Laman

Rabu, 10 Juni 2015

Hijrah Menuju Cahaya Allah

Hijrah Menuju Cahaya Allah
“Syukur Alhamdulillah karena pagi ini anda telah selamat memasuki Tarekatullah (jalan kepada Allah), untuk itu kepada anda diminta untuk selalu istiqamah menyebut nama-Nya siang dan malam karena nama dengan yang punya nama tidak akan pernah berpisah, ketika kau menyebut nama-Nya dengan metode yang tepat maka Dia akan hadir dalam hati mu detik itu juga” (Sang Guru).
Kata-kata itu walaupun sudah sangat lama saya dengar, yaitu ketika pertama sekali habis shalat shubuh saya diterima menjadi murid Sang Guru, namun sampai saat ini nasehat tersebut masih terekam kuat dalam memori saya, seakan-akan Beliau mengucapkan baru tadi subuh.
Sejak subuh itu, saya merasakan kehidupan yang beda, menapaki jalan baru, jalan dibawah tuntunan dan bimbingan Wali Allah yang dengan sangat sabar menuntun menuju kehadirat-Nya. Tanggal subuh itu saya catat dan saya ingat, karena itu adalah hari pertama saya hijrah, berangkat dari kegelapan dan kebodohan menuju cahaya Allah yang penuh dengan pencerahan.
(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. [Ibrahim (14): 1]
Jalan yang di terangi oleh cahaya di atas cahaya sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nur 35 dan jalan yang merupakan pintu langsung menuju Allah SWT yaitu Wasilah sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah 35.
Ketika kita memutuskan untuk menempuh jalan kepada-Nya, di bawah bimbingan Guru Mursyid yang Khalis Mukhlisin, saat itu tanpa sadar rohani kita sudah berada di alam akhirat sementara jasmani kita tetap berada di dunia.
“Kita ini ibarat orang-orang akhirat yang sedang bermain-main di muka bumi”, demikian Guru sering mengingatkan para murid agar mereka sadar bahwa tujuan hakiki bukanlah dunia ini tapi kehidupan akhirat, kehidupan bersama cahaya Allah yang harus kita miliki sejak kita hidup.
Segala sesuatu yang diperlukan di alam setelah kematian harus di selesaikan terlebih dulu di dunia ini, sehingga kita tidak lagi mencari dan berada di dalam kebingungan setelah berada di alam setelah kematian. Kita wajib mengenal Allah dengan benar dan berjumpa dengan-Nya ketika kita hidup agar setelah ruh meninggalkan jasad akan tetap bisa berjumpa dengan-Nya karena kewajiban menuntut ilmu adalah di dunia ini bukan di akhirat. Kalau di dunia tidak mengenal Allah, tidak bisa berjumpa dengan Allah maka di akhirat tidak ada yang menjamin untuk berjumpa.
Maka Hijrah menuju cahaya Allah adalah suatu yang wajib yang tidak bisa di tawar, karena tanpa itu kita akan selalu berada dalam kegelapan, kegelapan hati sejak hidup sampai di alam akhirat nanti.
Nabi 14 abad lalu telah memberikan contoh hijrah sebagai simbol, yaitu hijrah dari mekkah (kegelapan) menuju Madinah (cahaya), contoh itu yang harus diteladani oleh seluruh ummat Islam, berhijrah menuju cahaya Allah, sehingga kehidupan akan selalu di sinari cahaya Allah, dengan demikian segala gerak kita akan selalu dalam aturan-Nya, selalu atas keridhaan-Nya.
Semoga kita semua selalu di bimbing dan di tuntun oleh Allah menuju cahaya-Nya, amin ya Rabbal ‘Alamin.

WASILAH, Cara Berjumpa Dengan Allah


Semua manusia di dunia ini meyakini bahwa Tuhan adalah sosok yang Agung, Mulia, Sempurna dan segala gelar hebat di sandang oleh-Nya. Kalau di dunia ada Raja maka Tuhan adalah Maha Raja Diraja. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia tersebut, sebegitu tingginya sehingga hampir semua manusia merasa mustahil untuk berjumpa denga-Nya. Hanya golongan tertentu saja seperti Nabi yang diizinkan untuk menjumpai-Nya. Bahkan dalam pandangan kelompok tertentu dalam Islam, bahkan Nabi sendiri tidak pernah berjumpa dengan Allah di dunia, dalil tentang pengalaman Musa ingin melihat Tuhan dijadikan dalil untuk membenarkan pendapat mereka. Kelompok Mu’tazilah bahkan lebih ekstrim lagi, mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dilihat atau dijumpai baik di dunia maupun di akhirat.
Kelompok yang paling banyak adalah yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat atau dijumpai didunia namun Dia bisa dijumpai di akhirat setelah manusia meninggal dunia. Karena banyak bahkan sangat banyak, pada umumnya kita juga meyakini atau dipaksa meyakini bahwa Tuhan tidak mungkin dilihat di dunia dengan alasan Dia Maha Tinggi dan Maha Segalanya.
Disisi lain, kaum Sufi meyakini dan memang mengalami hal yang mustahil bagi kaum awam, yaitu berjumpa, melihat dan berdialog dengan Allah sebagaimana yang diceritakan para Tokoh Sufi dalam berbagai karyanya, salah satu Imam al-Ghazali yang melihat dan berdialog dengan Tuhan di dalam mimpi Beliau.
Pertanyaan yang paling menggoda kita adalah, kenapa ketiga kelompok ini yang sama-sama mengambil sumber ilmu dari Al-Qur’an dan Hadist bisa begitu jauh berselisih paham dan ini telah terjadi dari zaman dulu sampai sekarang. Jawaban normative karena pikiran manusia berbeda-beda dan kemampuan untuk menyerap ilmu dari sumber yang Agung (Al-Qur’an juga berbeda.
Bagi kelompok yang tidak meyakini bahwa Allah bisa di lihat di akhirat, dengan segala dalil menyerang kelompok yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di akhirat. Kaum Mu’tazilah menganggap keliru pemahaman Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang meyakini Allah bisa dilihat di akhirat. Kemudian, orang yang meyakini bahwa Allah hanya bisa dilihat di akhirat menganggap keliru atau aneh bagi orang yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di dunia dan akhirat. Kalau kita terus menerus terjebak kepaa perdebatan tentang Tuhan, maka secara tidak sadar kita tidak pernah mau berusaha untuk menemukan kebenaran lain selain yang kita yakini.
Tuhan Maha Tinggi dan tidak seorangpun yang bisa menjangkat Zat Allah yang Maha tinggi tersebut, dan dalam hal ini kaum sufi yang meyakini bahwa Tuhan bisa dilihat juga berpendapat seperti ini. Tidak berarti bahwa ketika kaum sufi berkesempatan memandang Allah, lalu kedudukan Allah menjadi rendah. Semua manusia memposisikan Tuhan sesuai kadarnya masing-masing makanya dengan segala keyakinannya menampatkan TUhan ditempat yang tdak terjangkau agar kedudukan Tuhan tetap tinggi. Lalu, kalau Tuhan sudah sangat tinggi tidak dapat dijangkau, untuk apa adanya Tuhan?
Tuhan tidak sekedar sesuatu yang disembah, tapi Dia adalah sosok yang akrab dengan kita, tempat kita berkeluh kesah dan sahabat yang paling setia. Nabi Ibrahim menjadi “Khalilullah” Sabahat Allah karena kedekatan Beliau dengan Allah, lalu apakah hanya Ibrahim satu-satunya manusia yang layak menjadi Sahabat Allah? Nabi Muhammad terkenal sebagai “Habibullah” lalu apakah hanya Muhammad satu-satunya manusia yang layak menjadi kekasih Allah? Nabi Musa dikenal dengan “Kalamullah” orang yang diajak berbicara oleh Allah, apakah hanya Nabi Musa yang mengalami seperti itu. Bagaimana dengan kita yang awam, orang-orang yang bukan Nabi, apakah tidak boleh berhubungan dengan Allah dengan akrab?
Kaum sufi yang akrab dengan Tuhan juga tidak merasa dirinya hebat, tidak merasa dirinya suci dan mulia bahkan disetiap saat dengan kesadaran penuh dia merasa sebagai hamba yang hina, dhoif, papa tidak bisa apa, hanya karena kemuarahan hati TUhan saja yang membuat mereka bisa melakukan banyak hal di dunia ini. Kaum Sufi tidak pernah meyakini bahwa TUhan bisa menjadi manusi dan manusia karena kesuciannya bisa menjadi Tuhan, bahwa manusia itu bisa mencapai kedudukan mulia TUhan adalah pendapat diluarorang lain terhadap pemahaman Sufi. Kesalahan dalam memahami Wahdatul Wujud inilah kemudian yang membuat kaum sufi mendapat tuduhdan sebagai kelompok sesat dari orang-orang yang tidak memahaminya.
Kaum Sufi, dari manapun dia berasal dalam berhubungan dengan Allah tetap memakai meode yang diajarkan oleh Rassulullah yaitu lewat Wasilah. Karena tidak mungkin manusia bisa berhubungan dengan Allah tanpa ada unsur atau alat yang diberikan Allah. Dia yang Maha tinggi tidak mungkin dijangkau oleh manusia yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Dalam hal ini seluruh manusia mempunyai kayakinan yang sama, termasuk Sufi. Allah yang Maha Pemurah memberikan “Alat Komunikasi” antara manusia dengan Dia yaitu berupa Nur Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Nur tersebut setelah Nabi Muhammad wafat diberikan kepada para ulama pewaris Nabi, dengan itulah manusia bisa berhubungan dengan TUhan. Sebagai alat komunikasi, Wasilah bukanlah ciptaan manusia, bukan pula manusia, tapi dia adalah sesuatu yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Tali Allah, yang pangkalnya ada pada Allah dan ujungnya ada pada kekasih-Nya. Jangankan Allah yang merupakan Cahaya Maha Tinggi, berhubungan dengan cahaya yang nampak saja harus ada alatnya. Gelombang radio atau televisi ciptaan manusia tidak bisa diterima tanpa adanya alat penerimanya apalagi Cahaya Allah yang begitu Tinggi.
Nabi bukanlah sekedar penyampai wahyu, tapi Beliau adalah pembawa Wasilah yang berasal dari sisi Allah sebagai media penyambug manusia dengan Allah. Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan langsung, tanpa perantara. Hubungan langsung yang dimaksud tentu saja hubungan dengan menggunakan metode yag tepat, metode yang telah disampaikan dan digunakan oleh Rasulullah SAW. Umumnya hubungan langsung yang diyakini oleh manusia secara umum, dia merasa yakin aja bahwa Tuhan yang disembah itu benar. Mulai dari dia bisa beribadah, dia meyakini yang disembah dalah Allah. Apkah memang demikian? Dari mana dia bisa tahu kalau yang berdiri didepannya itu sosok Iblis yang juga terdiri dari cahaya. Berpuluh-puluh tahun dia meyakini telah menyembah Allah lewat Shalat dan ibadah lainnya, ternyata yang disembah Iblis karena dia tidak bisa membedakan antara Allah dan Iblis. Ibadahnya berupa shalat itu diberi ganjaran Neraka oleh Allah karena yang disembah bukan Allah.
Apakah Iblis tidak bisa masuk kedalam Mesjid? Jangankan dalam mesjid atau rumah kita, kedalam surga pun dia bisa bolak balik, bebas keluar masuk. Jadi, kesmbongan kita menolak wasilah, menyembah Allah dengan metode Rasulullah ini yang menyembabkan kita mudah disusupi setan yang sangat Halus. Ingat, Nabi Adam digoda oleh Iblis bukan di Pasar Malam atau di Mall, tapi di dalam Surga yang dipagari oleh para Malaikat.
Kaum Sufi tidak ragu sedikitpun dia dalam beribadah karena dia sudah bisa membedakan antara Allah dan yang bukan Allah karena dia telah berjumpa dengan Allah. Bagi mereka Allah bukan hanya Maha Gaib (Al-Ghaibi) namun juga Maha Nyata (AD-Dzahir) seperti yang tertulis dalam Asmaul Husna. Bagi orang yang baru menempuh jalan kepada Allah (Thariqatullah), paling tidak dia telah mempunyai pembimbing (Mursyid) yang setiap saat akan menuntun dan membimbing dia kepada Allah secara zahir dan bathin. Godaan dan gangguan secara bathin dengan izin Allah akan mendapat Syafaat ( Bantuan) dari Guru Mursyid yang rohaninya selalu bersama rohani Rasulullah dan otomatis selalu bersama Allah.
Jadi, belum terlambat bagi siapapun kita yang belum menggunakan metode berhubungan dengan Allah berupa Wasilah untuk segera mencari Guru Pembimbing agar ibadahnya menjadi sempurna dan diterima oleh Allah SWT.

ZUHUD YANG SEBENARNYA


Sulthanul Aulia Ahli Silsilah ke-36 yang
mendapat gelar “Master Dunia Akhirat” mengatakan:
“Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”
Syahdan, ada seorang syaikh yang hidup sederhana. Dia makan sekedar kebutuhan untuk bertahan-hidup saja. Karena profesinya nelayan, pagi-pagi dia memancing ikan. Setelah mendapat banyak ikan, dia membelah ikan-ikan itu menjadi dua: batang tubuh ikan itu dibagi-bagikan kepada tetangganya, sementara kepalanya dia kumpulkan untuk dimasak sendiri. Karena terbiasa makan kepala ikan itulah sehingga ia diberi julukan syaikh kepala ikan. Dia seorang sufi yang memiliki banyak murid.
Salah seorang muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol. Kebetulan syaikh kepala ikan ini mempunyai seorang guru sufi besar disana (Syaikh Al-Akbar). “Tolong kamu mampir ke kediaman guruku di Mursia, dan mintakan nasihat untukku,” pesan syaikh kepada muridnya. Si muridpun pergi untuk berdagang. Setibanya di Mursia, dia mencari-cari rumah Syaikh Al-Akbar itu. Dia membayangkan akan bertemu dengan seorang tua, sederhana, dan miskin. Tapi ternyata orang menunjukkannya pada sebuah rumah besar dan luas. Dia tidak percaya, mana ada seorang sufi besar tinggal di sebuah bangunan yang mewah dan mentereng, penuh dengan pelayan-pelayan dan sajian-sajian buah-buahan yang lezat. Dia terheran-heran: “Guru saya hidup dengan begitu sederhana, sementara orang ini sangat mewah. Bukankah dia gurunya guru saya?” Dia pun masuk dan menyatakan maksud kedatangannya. Dia menyampaikan salam gurunya dan memintakan nasihat untuknya. Syaikh pun bertutur, “Bilang sama dia, jangan terlalu memikirkan dunia.” Si murid tambah heran dan sedikit marah, tidak mengerti. Syaikh ini hidup sedemikian kaya, dimintai nasihat oleh orang miskin malah menyuruh jangan memikirkan dunia. Akhirnya dengan kesal ia pulang.
Saat gurunya mendengar nasihat yang diperoleh melalui muridnya dia hanya tersenyum dan sedikit sedih si murid mengernyitkan kening tambah tidak paham. Apa maksud nasihat itu? Guru itu menjawab “Syaikh Akbar itu benar. Menjalani hidup tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh harta kekayaan yang kita miliki dan tetap terpaut dengan Allah SWT. Bila jadi orang miskin harta, tapi hatinya terus memikirkan dunia. Saya sendiri ketika makan kepala ikan, masih sering membayangkan bagaimana makannya daging ikan yang sebenarnya?”
Kisah ini menunjukkan dua hal: menjadi orang kaya itu tidak mesti jauh dari kehidupan sufi dan menjadi orang miskin tidak otomatis mendekatkan orang pada kehidupan sufistik. Syaikh Al-Akbar yang disebut diatas adalah Muhyiddin Ibn ‘Arabi, salah satu sufi besar dan cemerlang dalam sejarah perkembangan tasawuf.
Sulthanul Aulia Ahli Silsilah ke-36 yang mendapat gelar “Master Dunia Akhirat” mengatakan: “Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”. Beliau selalu menganjurkan murid-muridnya agar selalu berusaha, jangan malu dalam mencari nafkah asalkan halal dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist serta aturan-aturan negara. Agar bisa berhasil harus mencoba sampai 7 jenis usaha, Beliau mengistilahkan 7 sumber mata air. Beliau berusaha mengubah pandangan keliru terhadap tasawuf, bertasawuf tidak identik dengan kemiskinan, tapi justru dengan bertasawuf mengubah orang bodoh menjadi pandai, orang miskin menjadi kaya namun hatinya tetap bisa terus berzikir memuja Allah SWT.
Syaikh Nasiruddin Ubaidullah Al Ahrary As Samarqandi bin Mahmud bin Sihabuddin QS Salah satu Wali Qutub yang amat kaya. Kekayaannya pernah menutup hutang-hutang kerajaan Samarqan, membantu kerajaan Mugol India keluar dari krisis keuangan. Setiap tahun berzakat 60.000 ton gandum.
Seorang sufi lain mengatakan, kehidupan tasawuf adalah membiarkan tanganmu sibuk mengurusi dunia dan membiarkan hatimu sibuk mengingat Allah SWT.
Iman Ghazali mengatakan, jiwa harus merawat tubuh sebagaimana orang mau naik haji harus merawat untanya. Tapi kalau ia sibuk dan menghabiskan waktunya untuk merawat unta itu, memberi makan dan menghiasinya, maka kafilah (rombongan) akan meninggalkan ia. Dan ia akan mati di gurun pasir. Artinya, kita bukan tidak boleh merawat yang bersifat fisik, tapi yang tidak boleh adalah kita tenggelam didalamnya. Imam Al-Ghazali bertanya ”apakah uang itu membuat mu gelisah? Orang yang terganggu oleh uang belumlah menjadi seorang sufi”. Jadi persoalannya bukan kita tidak boleh mempunyai uang. Justru, bagaimana kita mempunyai uang cukup, tapi pada saat yang sama hati kita tidak terganggu dengan harta yang kita miliki.
Menurut Ibn ‘Arabi, dunia ini adalah tempat kita diberi pelajaran dan harus menjalani ujian. Ambillah yang kurang dari pada yang lebih didalamnya. Puaslah apa yang kamu miliki, betapapun yang kamu miliki itu kurang dari pada yang lain. Tapi dunia itu tidak buruk. Sebaliknya, ia ladang bagi hari akhirat. Apa yang kamu tanam didunia ini, akan kamu panen di akhirat nanti. Dunia adalah jalan menuju kebahagiaan puncak, dan karena itu baik, layak di puji dan dielu-elukan untuk kehidupan akhirat. Yang buruk, lanjut ‘Arabi, adalah jika apa yang kamu perbuat untuk duniamu itu menyebabkan kamu buta terhadap kebenaran oleh nafsumu dan ambisi terhadap dunia.
Nabi Muhammad SAW. Suatu kali ditanya, apa arti keduniawian itu? Rasulullah menjawab, “Segala sesuatu yang menyebabkan kamu mengabaikan dan melupakan Tuhanmu”. Kegiatan-kegiatan duniawi tidaklah buruk pada dirinya sendiri, tapi keburukannya terletak pada yang membuat lupa kepada Allah SWT.
Disamping Ibn ‘Arabi, konon banyak sufi yang hidup makmur. Fariduddin Al-Atthar, yang terkenal mengarang Al-Manthiq Al-Thair (Musyawarah Burung-Burung) itu, di gelari dengan al-Atthar karena perkerjaannya menjual minyak wangi. Junaid Al-Baghdadi dikenal sebagai al-Qawariri, penjual barang pecah belah. Kemudian Al- Hallaj al-Khazzaz, pemintal kapas: dia mencari nafkah dengan memintal kapas. Adalagi Sari as-Saqati, penjual rempah-rempah. Dan banyak lagi yang lain. Ini hanya gambaran bahwa sufi tidak harus menjauhi dunia.
Abu Zaid mengatakan bahwa seorang sufi yang sempurna bukanlah zahid yang tenggelam dalam perenungan tauhid. Bukan seorang wali yang menolak muamalat dengan orang lain. Sufi sejati adalah mereka yang berkiprah di masyarakat. Makan dan tidur bersama mereka. Membeli dan menjual di pasar. Mereka punya peran sosial, tapi tetap ingat kepada Allah SWT. Dalam setiap saat. Inilah hakikat zuhud yang sebenarnya.

Ajaran Guru Sufi; Ibnu 'Arabi


Muhiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Ta'i (1165-1240) atau lebih dikenal dengan Ibnu Arabi adalah seorang sufi amat terkenal dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Ibnu Arabi adalah keturunan Arab kuno dan ayahnya Ali ibn al-'Arabi adalah seorang yang berkedudukan tinggi dan berpengaruh. Ibnu Arabi adalah guru sufi yang terkenal dengan konsep Wihdatul Wujud-nya. Ia mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan, segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya. Menurutnya, keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang paling sempurna adalah perwujudan penampakan diri Tuhan yang paling sempurna.
Awal dari ekstase (keadaan di luar kesadaran diri) adalah diangkatnya selubung, dan hadirnya kesepahaman, serta perenungan pada yang tak kasat mata, dan percakapan rahasia, dan memandang yang tidak ada, dan ini berarti kau telah beranjak dari tempat asalmu.
Ekstase adalah persinggahan pertama bagi kaum pilihan dan ia adalah warisan kepastian dari hasrat, dan bagi mereka yang telah mengalaminya, ketika cahayanya telah tersebar luas ke penjuru kalbu, semua keraguan dan kecurigaan meninggalkan mereka. Siapa yang terselimuti dari ekstase dan dikuasai oleh keakuannya sendiri, terhalang oleh kehidupan dan oleh maksud-maksud duniawi, karena keakuan terselubung oleh maksud-maksud semacam ini. Tetapi jika maksud-maksud duniawi dihilangkan dan pengabdian diri kepada Tuhan disucikan dari kepentingan pribadi dan kalbu kembali dimurnikan dan disucikan serta mengindahkan peringatan, ketika kalbu menyembah Tuhan dan mengutarakan doa-doanya dalam percakapan intim dengan-Nya, semakin dekatlah dia ke arah-Nya. Dia berbicara kepadanya dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ekstase di dunia ini tidak berasal dari penyingkapan, tapi dari penglihatan kalbu dan kesadaran akan kebenaran dan keyakinan, dan siapa yang telah mengejarnya menyaksikan dengan luapan kegembiraan dan dengan pengabdian yang bebas hawa nafsu. Ketika ia terjaga dari penglihatan itu, dia kehilangan apa yang telah dia temukan, tapi pengetahuannya masih bersamanya, dan untuk waktu yang lama, ruhnya menikmatinya.
Jika seseorang meminta penjabaran lebih lanjut tentang ekstase, suruhlah dia berhenti menanyakannya, sebab bagaimana mungkin sesuatu dapat dijabarkan jika ia tidak memiliki penjelasan kecuali dirinya sendiri, dan tiada kesaksian kecuali dirinya. Siapa yang bertanya tentang aroma dan rasasanya berarti bertanya tentang kemustahilan, sebab aroma dan rasa tidak dikenal dengan penjabaran, melainkan dengan mengecap dan mengalaminya.

Fakir Terikat dan Kaya Terbebas


TERLEPAS DARI BEBAN DUNIA
Seorang nelayan yang shalih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya.
Nelayan itu lalu berguru kepada sufi besar, Ibnu ‘Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang syaikh seperti gurunya.
Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar Ibnu ‘Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.
Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibnu ‘Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri di puncak suatu bukit. “Itulah rumah Syaikh”, ujar mereka.
Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa mewah dunia Ibnu ‘Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana. Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan itu.
Sepanjang perjalanan, ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba dan kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan dan ternak itu tak lain ialah Ibnu ‘Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri: “Bagaimana mungkin seorang materialis seperti itu menjadi seorang guru sufi?”
Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh permadani mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya.
Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibnu ‘Arabi sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali.
Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari tentara khalifah lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan serta mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibnu ‘Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah lengkap dengan surban yang lazim dipakai para sultan.
Si murid lalu dibawa menghadap Ibnu ‘Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibnu ‘Arabi mengatakan kepadanya: “Katakanlah pada gurumu, yang menjadi problem baginya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia.”
Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang telah menemuinya.
“Lalu, apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?” tanya sang guru.
Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibnu ‘Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat betapa berkelimangan harta yang ia lihat pada kehidupan Ibnu ‘Arabi dan betapa berkekurangan kehidupan gurunya sendiri.
Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi. Mendengar itu semua, sang guru itu berurai air mata. Muridnya tambah keheranan, bagaimana mungkin Ibnu ‘Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia.
“Dia benar. Ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh”, jawab sang guru.

Ajaran Guru Sufi; Rabi’ah al-'Adawiyah


Rabi’ah dilahirkan di Bashrah. Dia digambarkan oleh penulis-penulis biografinya sebagai “wanita yang luluh dalam penyatuan dengan Tuhan, wanita yang diterima para lelaki sebagai perawan Maryam kedua.”
Ketika masih kanak-kanak dia diculik dan dijual sebagai budak, tetapi kemudian dibebaskan oleh tuannya, ketika tuannya menyadari bahwa Rabi’ah adalah seorang pilihan Tuhan. Dia lalu memasrahkan diri untuk beribadah dan pengabdian kepada Allah. Rabi’ah memiliki banyak murid, yang mencari nasihat dan doa-doanya.
Suatu hari Rabi’ah terlihat membawa api di tangan kanannya dan air di tangan kirinya dan dia berlari dengan sangat cepat. Mereka menanyainya, apa arti perbuatannya itu dan kemana dia akan pergi. Dia menjawab, “Aku akan menyalakan api di surga dan menyiramkan air ke neraka, agar kedua selubung (yakni penghalang bagi pandangan sejati Tuhan) benar-benar terbuka bagi para peziarah, dan mereka menjadi yakin, dan hamba-hamba Tuhan mampu melihat-Nya, tanpa harap ataupun takut. Bagaimana jika harapan tentang surga dan ketakutan akan neraka tidak ada? Tak seorang pun menyembah Tuhan atau mematuhi-Nya.”
Hal terbaik bagi hamba yang ingin berdekatan dengan Tuhannya adalah untuk tidak memiliki apa pun di dunia ini atau di dunia esok kecuali Dia semata. Aku tidak mengabdi kepada Allah karena ketakutan akan neraka, karena aku akan menjadi hamba yang buruk, jika aku melakukannya karena rasa takut. Tidak juga karena kecintaan pada surga, karena aku akan menjadi hamba yang buruk jika aku mengabdi demi apa yang diberikannya. Tetapi aku telah beribadah kepada-Nya dan karena hasratku hanya kepada-Nya.
Tetangga dulu, baru kemudian rumah: tidakkah ini cukup bagiku bahwa aku diberi kebebasan untuk menyembah Dia? Sekalipun surga dan neraka tidak ada, tidakkah ini mendorong kita untuki mematuhinya? Dia layak mendapatkan persembahan tanpa maksud apapun.
Oh Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di neraka, dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, buanglah aku dari sana, tetapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau semata, maka jangan tampik aku dari Kecantikan Abadi-Mu.
Jeritan dan rintihan kekasih Tuhan tidak akan terpuaskan sampai ia memuaskan Sang Kekasih.
Aku telah menjadikan-Mu sahabat kalbuku
Tetapi tubuhku siap sedia bagi mereka yang
menginginkan persahabatan
dan tubuhku akrab dengan tamu-tamunya,
tetapi Sang Kekasih hatiku adalah Tamu jiwaku
Kedamaianku adalah dalam kesunyian, tetapi Kekasihku selalu bersamaku. Tak ada sesuatu pun dapat menggantikan cinta-Nya dan ini menjadi ujian bagiku di tengah makhluk hidup. Kapan pun aku merenungkan Keindahan-Nya, Dia adalah mihrab-ku, Dia adalah kiblatku. Oh Penyembuh jiwa-jiwa, hati penuh dengan hasratdan menjadi perjuangan keras untuk bersatu dengan-Mu yang telah menyembuhkan jiwaku. Engkau adalah Kesenangan dan Hidupku untuk selamanya. Engkau adalah sumber kehidupanku, dari Engkau luapan gembiraku. Aku telah menjauhkan diriku dari makhluk ciptaan-Mu. Harapku adalah bersatu dengan-Mu, karena itulah tujuan pengembaraanku.

Jalan Sufi Seorang Uwaisi

Jalan Sufi Seorang Uwaisi

Pencari pengetahuan dan gnosis (makrifat) harus mengikuti jalan di bawah bimbingan seorang guru, sampai datang suatu saat di mana ia harus dibiarkan sendiri. Guru itu ibarat tongkat yang tidak perlu digunakan lagi setelah si pencari dapat berjalan sendiri. Saat itu tiba bila si murid tidak lagi memerlukan guru jasmaniah karena kini ia telah terisi langsung ke dalam sumber kekuatan sejati.
Apabila seseorang mengatakan bahwa ia memerlukan guru lahiriah sepanjang hidupnya, maka ia telah salah membatasi ukuran sebenarnya dari potensi manusia dan kerahiman Ilahi. Jika seseorang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak memerlukan seorang guru maka ia sombong (takabbur) dan angkuh dan akan hidup di bawah kezaliman nafsu yang rendah. Namun, bagi setiap aturan ada kekecualian. Kekecualian tersebut dalam kasus orang yang tidak memerlukan guru lahiriah, atau yang tidak kelihatan memiliki guru jasmaniah yang nyata, untuk mengarahkan dan membimbingya. Dalam tradisi sufi, orang semacam itu disebut uwaisi.

Istilah uwaisi berasal dari nama seorang lelaki, Uwais al-Qarni, yang tinggal di Yaman di masa Nabi Muhammad SAW. Walaupun ia belum pernah bertemu secara fisik dengan Nabi, namun ia telah melihat beliau dalam mimpi-mimpinya. Kabarnya Nabi SAW menyebutkan wali besar ini dengan mengatakan, "Nafas Yang Maha Pengasih datang kepada saya dari Yaman." Ketika orang mengetahui tentang tingkat spiritualnya, Uwais berusaha menyembunyikan diri di balik kehidupan biasa seorang gembala unta dan kambing, dan khalwat menjadi jalan hidupnya. Ketika ia ditanyai tentang hal ini, ia berkata, "mendoakan manusia dalam ketidakhadiran orang yang didoakan adalah lebih baik daripada mengunjunginya, karena aspek-aspek ego mereka, seperti pakaian atau citra diri, dapat mengalihkan perhatian saya." Ia juga biasa mengatakan, "Menyuruh orang berbuat baik tidak menyampaikan saya pada seorang sahabat," dan "Saya memohon kepada setiap orang yang lapar untuk memaafkan saya, karena saya tak mempunyai apa-apa dalam dunia ini selain apa yang ada dalam perut saya."


Bagi kaum sufi yang belakangan, Uwais menjadi prototipe orang sufi yang bersemangat yang tidak memihakkan dirinya kepada suatu tarekat sufi. Para sufi semacam itu menerima inisiasi atau cahaya mereka langsung dari cahaya (nur) Nabi, tanpa kehadiran secara fisik atau bimbingan dari seseorang guru spiritual yang hidup.

Bersedih Karena Dunia, Susah di Akhirat


FIRMAN DALAM HADITS QUDSY UNTUK HATI YANG GUNDAH

“Wahai anak Adam! Siapa yang bersedih karena dunia, hal itu hanya akan menjauhkannya dari Allah.
Di dunia dia lelah, di akhirat mendapat susah. Allah akan membuat hatinya selalu risau, selalu sibuk
berkepanjangan, -miskin tak pernah bisa kaya, dan selalu diliputi oleh angan-angan.


Wahai anak Adam! Umurmu setiap hari berkurang, tapi engkau tidak mengetahui, Setiap hari Aku
datang membawa rezekimu, tapi engkau tak pernah puas dengan yang sedikit, dan tak pernah
kenyang dengan harta yang banyak.

Wahai anak Adam! Setiap hari aku berikan rezeki padamu. Sementara setiap malam para malaikat
datang pada-Ku membawa amal burukmu. Engkau makan rezeki-Ku, tapi engkau bermaksiat kepada-
Ku. Engkau berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Kebaikan-Ku tercurahkan untukmu, tetapi
kejahatanmu yang sampai kepada-Ku. Sebaik-baik kekasihmu adalah Aku. Sedangkan seburuk-buruk
hamba-Ku adalah engkau. Engkau lepaskan apa yang Kuberikan padamu. Kututupi keburukanmu
setelah sebelumnya terbuka. Aku malu padamu, tetapi engkau tak pernah malu pada-Ku.

Engkau
melupakan-Ku dan mengingat yang lain. Engkau merasa takut pada manusia, dan merasa aman dari-
Ku. Engkau takut pada murka mereka dan tidak takut dengan murka-Ku.”
----Hadis Qudsi, dikutip dari kitab Kimiya As-Sa’adah karya Imam Al-Ghazali