Laman

Rabu, 29 Maret 2023

Mestikah Manusia Bertasawuf ?


Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat (Imam Malik)

Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal.

Pertanyaannya adalah mestikah manusia bertasawuf? Kalau itu mesti, mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer? Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini hanya tren sesaat?
Apa itu tasawuf?
Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.

Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.

Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya.

Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?
Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat.

Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat.

Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan, termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual, tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.

Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.

Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.

Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.

Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.

Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?
Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM.

Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.

Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.

Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual atau tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang setiap hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka sangat percaya dunia eskatologis, kehidupan setelah mati.

Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.

Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.

Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.

Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity.

Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.

Haruskan bertasawuf?
Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipetentangkan.

Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.

Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf , kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.

Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits.

Sumber: Republika

 

Mahabbah



Oh Allah, anugerahkanlah kami cinta-Mu,
Dan cinta kepada siapapun yang mencintai-Mu
Dan amalan yang akan membimbing kami kepada cinta-Mu.
sebuah doa Nabi Muhammad SAW)


Mahabbah menurut arti bahasa adalah saling cinta mencintai. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.

Kaum Sufi menganggap mahabbah sebagai modal utama sekaligus mauhibah dari Allah Swt, untuk menuju kejenjang ahwâl yang lebih tinggi.
Konsep al-hub (cinta) pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal Rabi'atul Adawiyah (96 H - 185 H), menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud, al khauf war raja' dari tokoh sufi Hasan Al Basri. Cinta yang suci murni adalah lebih tinggi dan lebih sempurna daripada al khauf war raja' (takut dan pengharapan), karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridla-Nya. Menurut Rabi'atul Adawiyah, al hub itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabi'atul Adawiyah, menyebabkan dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah SWT.

Cinta Rabi'ah kepada Allah SWT begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga dia menolak seluruh tawaran untuk menikah. Dia mengatakan dirinya adalah milik Allah yang dicintainya, karenanya siapa yang ingin menikahinya harus minta izin dahulu kepada-Nya. Pernah ditanyakan kepada Rabi'ah, apakah engkau benci kepada syetan ? Dia menjawab, "Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku, untuk tempat rasa benci kepada syetan. Ditanyakan apakah dia cinta kepada Nabi Muhammad SAW ? Dia menjawab, "Saya cinta kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi cintaku kepada khalik memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk. Banyak sekali syair dan gubahan dari Rabi'ah menggambarkan cintanya kepada Allah SWT.

Adalah Imam al Qusyairi, pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan cinta (mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua hambaNya--menurut Qusyairi--dinamakan Rahmat; kemudian jika irâdah tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka(ghadlab).
Masih dalam konteks yang sama, lebih jauh al Qusyairi memaparkan definisi mahabbah tersebut versi kaum salaf; mereka mengartikan cinta sebagai salah satu sifat khabariyyah lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diartikulasikan sebagaimana rupa seperti halnya mereka cenderung tidak memberikan pentafsiran yang lebih dalam lagi, sebab apabila cinta diidentikkan dengan kecenderungan pada sesuatu ataupun sikap ketergantungan, alias cinta antara dua manusia, maka mereka menganggap hal itu sangatlah mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi yang demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka (baca:kaum salaf) sangat menekankan metode tafwîdl dalam permasalahan yang bersifat ilâhiyah.

Al Junaidi Al Baghdadi menyebutkan, mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang daripada- Nya tanpa usaha.

Abu Nasr as Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat : (1) Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya, (2) Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
Banyak sekali dalil naqli, Al Qur'an dan Al Hadis yang menjadi dasar adanya mahabbah antara makhluk dengan khalik-Nya.

Firman Allah SWT,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al Maidah 5 : 54).

Firman Allah SWT,
Artinya : Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Ali Imran 3 : 31).
Sabda Rasulullah SAW, Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya" (H.R. Bukhari).

Sabda Rasulullah SAW: Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW menuturkan bahwa Jibril a.s memberitahukan bahwa Tuhan Allah SWT telah berfirman, "Barangsiapa yang menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu- ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba- Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun tidak ada jalan darinya. Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati-Ku adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Ku-perintahkan kepadanya, dan senantiasa dia mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan bagi barangsiapa yang Ku-cintai, maka Aku menjadi telinganya, matanya, tangannya dan tiang penopangnya".(H.R. Ibnu Abidunya, Al Hakim, Ibnu Mardawih dan Abu Na'im).

: Dari berbagai sumber

 

Sifat Ruh


Allah Yang Maha Suci dengan sengaja menciptakan ruh yang menjadi sumber kehidupan seluruh makhluk-Nya dari dunia hingga akhirat. Dan pada hakikatnya seluruh ciptaan-Nya tersebut “Hidup” karena tidaklah Ia menciptakan suatu makhluk melainkan padanya ada ruh yang meliputinya. Termasuk langit dan bumi beserta isi antara keduanya pun punya ruh. Allah Yang Hidup adalah Dzat pemberi hidup dan kehidupan pada seluruh makhluk bangsa ruhaniah yang diwujudkan pada alam semesta. Tidak ada yang hidup melainkan dengan sumber kehidupan, yaitu ruh! Adapun ruh sendiri berasal daripada-Nya, dan menjadi nur (hidup) makhluk.
Tetapi bagaimanakah sesungguhnya sifat ruh itu?

Ruh adalah sesuatu yang lembut dan halus, meliputi seluruh keadaan makhluk dan tidaklah ia bertempat pada suatu tempat yang sifatnya lokal dan mikro. Apabila ruh meliputi pada sesuatu yang mati, maka hiduplah sesuatu itu. Ruh tidak dapat diukur besar kecilnya dengan suatu wujud jasmaniah. Ruh tidak berjenis sebagaimana jenis jasmani manusia dan makhluk lainnya. Dan apabila ruh mensifati serta meliputi hati manusia, maka memancarlah “himmah” dan kestabilan serta kekuasaan dalam gerak langkah hidupnya. Dan bilamana menyelusup menyelimuti nafsu (jiwa) serta mendominasinya, tercerminlah kemauan dan semangat hidup dalam menata kehidupannya.
Iika ruh menguasai akal pikiran maka akal pikiran akan menjurus kesempurnaan di dalam pandangan dan dapat menentukan suatu sikap atas dasar pertimbangan yang matang bagi perjalanan hidupnya. Begitulah adanya, jika ruh singgah di telinga maka mendengarlah ia, manakala ruh berkelebat melalui mata maka memandanglah ia, dan ketika ruh bertamasya pada mulut maka berhamburanlah kata-kata yang punya mulut, pun bila ruh menjalar pada tangan maka bergeraklah ia meraba dan mengusap, juga apabila ruh mengalir pada kaki maka dapatlah melangkah tegap ataupun gontai. Begitu pula bila ruh meliputi dan menguasai sel–sel yang bergerak ke seluruh peredaran darah maka tampaklah gerak hidup jasmani.

Ruh adalah golongan makhluk Allahur Rabbul ‘ alamin yang dikekalkan kehidupannya. Adapun hidup serta kehidupan makhluk yang diliputi ruh selalu tumbuh dan berkembang. Allah Yang Maha Kaya menamai kehidupan langit dan bumi beserta isi keduanya dengan isyarat “Nur” (cahaya atau kehidupan), sebagaimana firman-Nya :
Allahu nuurus samaawaati wal ardhi …
“Allah (pemberi) cahaya (hidup) langit dan bumi ….” QS. 24 An Nuur : Ayat 35.

Innallah khalaqa ruuhan nabiyyi shalallahu ‘alaihi wasalam min dzaatihi wakhuliqal ‘aalamu biasrihi min nuuri muhammadin shalallahu ‘ alaihi wasallam. (Al – HADIS )
“Sesungguhnya Allah menciptakan ruh Nabi saw, daripada Dzat-Nya lalu diciptakan alam sekaliannya dengan rahasia-Nya dari pada Nur Muhammad saw.”

Ruh, termasuk makhluk ciptaan-Nya yang gaib dan hidup meliputi dimensi alam jasmaniah. Dan ruh memiliki sifat yang berlawanan dengan jasmani. Ruh adalah Nurullah! Tapi ruh sebagai Nurullah bukan berarti sebagaimana cahaya yang memancar dari matahari atau lampu. Nur dalam pengertian ayat dan Hadis tersebut di atas bermakna Hidup! Yakni suatu makhluk yang hidup dihidupkan Allah Yang Maha Hidup dengan ruh ciptaan-Nya! Allahul Hayyi jualah yang menghidupkannya dengan memberikan ruh ciptaan-Nya.
Kalimat “Nur” di dalam firman Allahul ‘Azhim sangat banyak, bahkan lebih dari tiga puluh (30) ayat yang menyebut tentang “Nur” sekaligus meliputi atau menjadi simbol berbagai hal seperti Muhammad Rasul Allah saw., Al Qur’aan, Agama Islam, Malaikat, Ilmu serta Hidayah (petunjuk). Istilah “Hidup” yang meliputi kehidupan seluruh makhluk juga dirumuskan dalam bahasa wahyu dengan istilah “Nur”. Apabila ruh diibaratkan nur yang terang benderang maka jasmani diibaratkan suatu tempat yang gelap gulita semisal ruangan. Padahal tidaklah akan tampak terang suatu cahaya bila ia tidak bertempat pada yang gelap gulita. Begitu pula keadaan gelap pekatnya jasmani dikatakan gelap gulita bila tidak ada sesuatu yang meneranginya. Demikianlah pengertian “Ruh” sebagai “Nur” dalam istilah wahyu-Nya.

sumber : http://www.akmaliah.com

 

Minggu, 26 Maret 2023

MAIYAH

 Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dipenghujung bulan suci Ramadhon 1442 H ini, seorang salik bertanya kepada yang lain : ‘Tulislah tentang muroqobah, agar kami dapat menarik pelajaran darinya.’ Percakapan ini sungguh dalam maknanya, karena pekerjaan muroqobah bukan hal biasa, melainkan pekerjaan khusus bagi para mutashowif. Tentunya yang ditanya adalah hasil dari muroqobah bukan cara melakukannya, karena cara-caranya (kaifiat) tentu sama, namun pemahaman dari hasilnya yang berbeda-beda. Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan perumpamaan, sebagaimana Al Qur’an juga demikian dalam menjelaskan hal-hal yang rumit. Karena sejak dahulu, banyak para salik yang bertanya tentang hal yang sama : ‘Saya sudah wirid Malakandias tetapi tidak terjadi apa-apa.’ Ada juga yang berkata : ‘Aku sudah berdzikir lathif dengan menambahkan rasa-rasa, namun tidak merasakan sesuatu pun sebagaimana yang di ajarkan.’ Ternyata yang demikian itu, bukan saja terjadi dan dialami oleh para salik, melainkan dialami dan dirasakan juga oleh ikan-ikan dilautan, mereka selalu bertanya kepada pemimpinnya tentang lautan, tanpa menyadarinya bahwa mereka telah berada didalamnya. Nah, sekarang kita dapat memahami, mengapa Hadrat Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Taswuf adalah kesadaran, dan untuk membongkar keasadaran yang tersembunyi didalam diri seseorang, maka ia harus terus menerus mendawamkan dzikir dan ubudiyah.’

Tak henti-hentinya, sebagaimana hujan yang turun dari langit. Kasih sayangnya bak seekor kucing yang selalu menjilati anak-anaknya. Airmata kesedihannya sebanyak embun pagi yang menetes dari ujung dedaunan, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) melihat dengan jelas keadaan murid-muridnya, tanpa pandang bulu diperlakukannya semua murid seperti seorang bayi. Diberinya minum susu dari cawan kewalian, agar dikemudian hari menjadi siap meminum anggur dari cawan yang suci. Begitulah kasih sayang seorang Syaikh didalam mendidik murid-muridnya, agar disuatu kelak dapat memahami dan memasuki rahasia-rahasia dzikir dan ‘muroqobah’. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang murid : ‘Jarang sekali ada yang bertanya kepadaku tentang hal-hal yang berkenaan dengan dzikir dan muroqobah, kecuali pertanyaan seputar kesempitan dada didalam menghadapi kehidupan di dunia ini.’ Ironis memang, yang mulia Syaikhuna membimbing murid-muridnya cara-cara untuk mencapai puncak gunung, agar beroleh sebuah rasa ‘dekat’ dan dengan jelas dapat ‘memandang’ matahari, namun yang selalu ditanyakan hanya seputar masalah dunia saja, yakni, rizki, jodoh dan problema rumah tangga. Sehingga murid-murid yang dahaga akan anggur suci pengetahuan tasawuf, tidak mendapat apa yang dicari, melainkan arak dunia yang memabukkan.

Sekitar 11 tahun yang lalu, ketika tradisi tasawuf masih bersinar terang, hampir seluruh pembicaraannya berputar kepada pengetahuan kesufian, riwayat para masyaikh yang menggugah hati, sehingga murid-murid mudah mabuk akan suguhan anggur suci ini. Satu demi satu, sedikit demi sedikit, dengan bahasa yang mudah dipahami, Yang Mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjelaskan rahasia-rahasia dzikir dan muroqobah, malah terkadang menceritakan hasil dari pelaksanaannya. Saat itu, murid-murid terkagum-kagum namun tidak dapat sepenuhnya memahami, karena belum mengalami dan merasakannya. Peristiwa yang demikian ini adalah jantung didalam mengarungi kehidupan bertasawuf, agar disuatu kelak nanti, bilamana seorang murid yang pada gilirannya menjumpai dan merasakan hal-hal yang demikian, tanpa keraguan apapun, ia akan meyakini bahwa jalan yang dilaluinya adalah benar adanya. Oleh sebab itu, betapa peristiwa 11 tahun yang lalu itu sangat mahal dan tinggi nilainya serta sulit ditemukan dibelahan dunia manapun juga. Sajadah harapan yang tinggi telah dihamparkan kepada Allah SWT kiranya memperjalankan sisa umur ini selalu dalam keadaan mencari ilmu agama, dan menghindarkan dari membicarakan masalah dunia dan perongkosan kehidupan kepada Yang Mulia Syaikhuna. Semoga Allah SWT menghidupkan kembali tradisi jamuan anggur suci itu, agar kita semua mabuk kembali, agar rasa-rasa itu berdatang kembali, agar lentera yang telah padam ini dapat bersinar kembali sebagai penerang dan penuntun didalam perjalanan pendakian gunung yang tinggi itu. Semoga Allah SWT memasukkan kita semua kedalam benteng-Nya, dan barang siapa berada didalam benteng itu, maka ia akan terhindar dari himpitan dunia dan akhirat.

Agar para murid dapat memahami masalah-masalah yang rumit, khususnya muroqobah (meditasi) tentang kebersamaan Allah (Maiyah), maka diperintahkannya seluruh muridnya untuk menghafal dan memahami makna dari Surat An Nuur ayat 35 : 'Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS 24 : 35)'

Di alam dunia ini (alam syahadah), yang mudah dipahami oleh indrawi adalah bahwa yang bersama-sama dengan segala sesuatu adalah cahaya, karena tanpa kebersamaannya, benda-benda tidak akan tampak. Maka sungguh sangat jelas bahwa kata ‘cahaya’ pada ayat diatas adalah sebuah perumpamaan, dan hal ini akan lebih mudah dipahami manakala cahaya tersebut adalah cahaya lahiriyah. Seseorang bisa membayangkan ketika berada di kebun teh, maka akan disaksikan olehnya bahwa yang dominan adalah warna hijau dari daun teh yang menghampar dan warna biru dari langit yang luas, tanpa terpikirkan peran cahaya yang begitu besar berada dibalik itu semua. Padahal cahaya yang berasal dari matahari itulah yang membuat segala sesuatu tampak dan yang menyinari warna itu. Ketika matahari terbenam, semua menjadi gelap, barulah disadari betapa besar peran cahaya itu. Hanya karena bersatunya cahaya dan warna itu begitu kuat dan jelas, maka membuat cahaya itu sendiri tidak dapat dilihat.

Nah, itulah cahaya lahiriyah yang bisa dipahami dan dirasakan oleh inderawi dan menjadi lebih jelas makna cahaya itu. Jika dengan cahaya lahiriyah segala sesuatu terlihat oleh mata, maka dengan ‘Allah’ segala sesuatu akan tampak oleh mata hati (bashirah), sebab, Dia bersama dengan segala sesuatu (maiyah), tidak pernah terpisah dengan-Nya, dan hanya dengan Dia-lah segala sesuatu tampak. Cahaya lahiriyah akan lenyap bersamaan dengan terbenamnya matahari, sedangkan cahaya Illahi selalu hadir dan menyinari segala sesuatu dimana dan kapan saja, dan tak mungkin padam atau terbenam. Oleh karena itu perumpamaan ‘cahaya’ pada ayat diatas dapat dipahami sebagai cahaya yang dapat melihat dirinya sendiri dan menjadi penyebab yang lain menjadi tampak.

Kelompok dzahiran terperosok oleh pemikiran bahwa ‘cahaya bersama dengan segala sesuatu’ disamakan secara mentah dengan ‘Allah bersama dengan segala sesuatu’. Sehingga akan dapat menimbulkan pemahaman bahwa Allah menempati setiap ruang dan waktu. Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari penisbatan yang demikian. Maka dari itu, menjadi sangat penting bahwa pekerjaan muroqobah wajib diawasi secara terus menerus oleh seorang mursyid. Sungguh sangat beruntung bagi para salik yang memperoleh karunia dari Allah untuk dapat merasakan dan memahami masalah ini, karena dengan merasakan kebersamaan dengan Allah (maiyah), pada saat ‘muroqobah’, maka akan diperoleh sebuah ‘rasa’ bahwa esensi dirinya sesungguhnya adalah cahaya, yang hidup di alam ruhani atau alam spiritual, menerangi dirinya sendiri, alam syahadah disekitarnya, sahabat-sahabatnya, tetangganya, saudara-saudaranya, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang atau makhluk-makhluk lain, serta terjaga dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, pandangannya dapat melihat segala sesuatu sesuai pada tempatnya, ilmunya tiada tara tingginya. Keadaan ini sulit dilukiskan, karena setiap tindakannya bukan miliknya, ia tidak mempunyai kesadaran, inisiatif dan dirinya sendiri. Apabila seorang salik masih meronta dalam air, atau apabila ia masih berseru, ‘aku tenggelam!’, maka ia belum dapat dikatakan berada dalam keadaan bersama dengan Allah (maiyah). Dalam keadaan ini perasaan ‘dualitas’ menjadi sirna, munajatnya adalah ‘diam’ karena dirinya sudah mengingkari adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan. Ia akan menyerahkan dirinya seraya berseru ‘Tiada wujud kecuali wujud Tuhan’. Oleh karenanya tidak heran bilamana yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Siapa-siapa yang dapat mencapai muroqobah Ahadiyah dan Maiyah secara baik, maka ia telah memasuki awal daripada kewalian sugro.’

Analoginya demikian, yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pada masa muda sering bepergian ke Cimahi melalui jalur Puncak, seluruh detail dalam perjalanannya dirasakan dan dilihatnya, seperti jalan yang berkelok, menanjak dan menurun, cuaca yang dingin, tumbuh-tumbuhan disekitarnya, hambatan-hambatannya, tempat-tempat pemberhentian, dan masih banyak lagi. Lalu pengetahuan dan pengalaman yang demikian itu diberikan kepada sahabat-sahabatnya agar tidak tersesat bila bepergian ke Cimahi melalui jalur Puncak, sebagaimana beliau sering menyampaikan pengalaman dan rasa dari muroqobah. Nah jalur ke Cimahi melalui Puncak inilah yang disebut dengan tarekat, meskipun jalan menuju ke Cimahi lebih banyak dari detak jantung seluruh makhluk didunia ini. Maka wajar saja bila bermunculan banyak kelompok tarekat di dunia ini, karena pemimpinnya atau mursyidnya atau Syaikhnya telah ‘sampai’ kepada Tuhannya melalui jalannya masing-masing, yang tentunya sesuai dengan syariat Islam. Oleh sebab itu, bilamana seorang murid yang telah baiat mengalami hal-hal yang niscaya pernah dialami oleh Syaikhnya, maka seorang pembimbing mengerti betul, terapi apa yang mesti diberikan kepada sang murid, agar cepat sampai kepada tujuannya. Oleh karenanya, seorang Syaikh akan segera mengetahui bilamana muridnya berbohong tentang pengalaman didalam perjalannya, bayangkan bilamana seorang murid berkata : ‘Syaikh, saya melihat lautan didalam perjalanan ke Cimahi melalui Puncak.' Padahal jelas-jelas jalur itu tidak ada lautan sama sekali. Bagi murid-murid yang berdekat dengan Syaikh dan yang mau mencatat didalam hatinya tentang perkataan-perkataannya dan pengalaman Syaikhnya, akan segera mengetahui apakah pengalaman dan rasa yang diperoleh dalam perjalan itu benar adanya. Sebagaimana Syaikh sering berbicara mengenai Ahadiyah, Maiyah, Aqrobiyah dan perkejaan muroqobah lainnya, serta dzikir jahr dan lathif, serta bercerita tentang rasa-rasa dalam perjalanan, seperti syauq wa mahabbah, da’im, merasa diawasi, merasa senang dengan af’al Allah, merasa bersatu dan melebur. Dan juga sering menjelaskan tentang af’al dan sifat-sifat Allah SWT, Hakikat Asma Ul-Husna, Hakikat Muhamamdiyah, Hakikat Ahmadiyah, Hakikat Al Qur’an, Hakikat Ka’bah, Hakikat Cinta yang tulus, Hakikat bertapa hinanya manusia, Hakikat Shalat, Hakikat kenabian dan perihal ini diulang-ulang dalam setiap pertemuan, sebagaimana Al Qur’an juga mengulang-ngulang ayat dan riwayat-riwayat. Maka yang dibicarakan oleh Yang Mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) ini adalah segala rahasia sebagaimana perjalanan ke Cimahi melalui Puncak. Sehingga buah dari melaksanakan dzikir dan muroqobah adalah bilamana seorang salik merasakan dalam hatinya dan pemikirannya tetang hal-hal yang demikian itu. Yaa Allah berikanlah kepada kami ... berikanlah dan ampunilah kami.

Zikir Wukuf, Muraqabah dan Tahlil

MAKNA Wukuf di dalam bahasa Arab adalah berhenti, sedangkan yang dimaksud di dalam tarekat adalah berhenti mengingat zat Allah dalam keadaan badan tetap dan hati tenang.

Kaifiahnya ada dua. Pertama, hadirkan lathaif-lathaif yang tujuh dari semua lathaif yang lalu. Kedua, hadirkan pula seluruh anggota badan pada menghadirkan Allah.

Apabila telah hadir dua macam tersebut, maka barulah dilakukan wukuf, yakni berhenti mengingat zat Allah, zat yang tidak ada misel (contoh) dan kaifiah dengan ingatan yang bulat, sehingga semua ingatan dan perasaan hanya tertuju pada zat Allah dan merasakan hadir di hadapan-Nya.

Maqam Muraqab
Pertama Muraqabah Itlak. Muraqabah ini disebut juga dengan Muraqabah Ula, atau muraqabah pertama. Muraqabah ialah menghadap hamba kepada Zat Allah SWT.

Adapun cara muraqabah ini adalah: pertama, kita merasa di dalam hati bahwa Allah selalu melihat kita selaku hamba-Nya dahir dan batin, tiada tersembunyi segala sesuatu bagi-Nya. Kedua, kita hendak merasa malu jika kita seorang yang pernah melakukan maksiat. Inilah yang dimaksud oleh ahli sufi akan istilah muraqabah itlak.
 
Kedua Muraqabah Wahdah. Af’al. Muraqabah ini disebut juga dengan muraqabah tsaniyah (muraqabah kedua), sedangkan makna muraqabah wahdah adalah mengumpulkan ingatan, perasaan kita dan makrifah kita semata-mata kepada zat Allah SWT. Sebelum mengumpulkan ingatan itu, lebih dahulu kita pandang, kita pikirkan dengan akal yang waras dan kita i’tikatkan serta kita rasakan dengan panca indera secara perasaan yang sangat mendalam, bahwa semua kejadian dan perbuatan dalam alam ini semuanya perbuatan Allah dan datang dari pada-Nya.

Di dalam amalan suluk Tarekat Naqsyabandiyah, wahdah af’al artinya pengakuan hati kita bahwa Allah SWT itu Maha Esa pada segala perbuatan-Nya.
 
Ketiga Muraqabah Ma’iyah. Muraqabah ini juga sering disebut Muraqabah Tsalisah (murakabah yang ketiga), yaitu mengumpulkan pikiran dan ingatan kita dengan ingatan yang mendalam, bahwa Allah SWT selamanya menyertai kita di mana saja kita berada. Kaifiyahnya adalah selalu kita yakini dan kita rasakan bahwa Allah SWT tetap selamanya beserta kita, kemudian kita selalu mengharapkan kasih sayang-Nya dan keampunan-Nya, tentulah dengan demikian kita selamanya pula tidak akan melakukan kesalahan sedikitpun kepada-Nya.
 
Maqam Zikir Tahlil
Maksud dengan zikir tahlil di sini adalah zikir “laa ilaaha illah’’. Zikir ini merupakan zikir yang terakhir dalam suluk.

Demikianlah metode zikir tahlil ini dikerjakan dengan sebaik-baiknya, zikir tahlil ini terbagi tujuh khatam zikir, tiap-tiap khatam akan dihadiahkan pahala dengan ketentuan, yaitu: khatam pertama dihadiahkan kepada Nabi Muhammad Saw, khatam kedua dihadiyahkan pahala untuk dirinya sendiri, khatam ketiga dihadiahkan pahala kepada ibu bapak.

 

Rabu, 22 Maret 2023

Pengertian Maqam Dan Martabat

Dalam ilmu thariqat menuju pendalaman bertasawuf ada di kenal istilah “maqam”, maqam di sini bukanlah bermaksud makam atau kuburan, akan tetapi maknanya adalah suatu tempat kedudukan sasaran saat seseorang hamba berdzikir atau bertawajjuh terhadap Allah. Secara dasarnya maqam merupakan tingkatan martabat seseorang hamba terhadap khalikNya, yang juga merupakan sesuatu keadaan tingkatannya seseorang sufi di hadapan tuhannya pada saat dalam perjalanan spritual dalam beribadah kepada Allah Swt.

Maqam ini terdiri dari beberapa tingkat atau tahapan seseorang dalam hasil ibadahnya yang di wujudkan dengan pelaksanaan dzikir pada tingkatan maqam tersebut, secara umum dalam thariqat naqsyabandi tingkatan maqam ini jumlahnya ada 7 (tujuh), yang di kenal juga dengan nama martabat tujuh, seseorang hamba yang menempuh perjalanan dzikir ini biasanya melalui bimbingan dari seseorang yang alim yang paham akan isi dari maqam ini setiap tingkatnya, seseorang hamba tidak di benarkan sembarangan menggunakan tahapan maqam ini sebelum menyelesaikan atau ada hasilnya pada riyadhah dzikir pada setiap maqam, ia harus ada mendapat hasil dari amalan pada maqam tersebut, jika memang layak berpindah kepada maqam selanjutnya menurut keterangan guru pembimbing tersebut, barulah ia boleh naik dzikirnya pada maqam yang selanjutnya atau di atasnya, begitu seterusnya.

Maqamat ini mempunyai arti dan makna yang sangat luas dan mengandung sesuatu yang serba rahasia, namun ia pada dasarnya adalah sebagai sarana pengobatan penyakit hati (sifat madzmumah atau buruk), agar seseorang hamba tersebut dapat mengerti akan beberapa sifat kebaikan yang di anjurkan oleh Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah Saw, tingkatan maqam ini jika berhasil amalan dzikirnya dapat menjadikan seseorang hamba mempunyai sifat dan budi pekerti yang baik dan di ridhai oleh Allah, seperti ; taat, sabar, wara’, tawakkal, tawaddu’, ridha dan fanafillah, yang dapat pada akhirnya membuat seseorang ma’rifat dan mahabbah terhadap tuhannya.

Martabat tujuh atau maqam yang 7 (tujuh) harus di lalui oleh seseorang hamba yang ingin mendekatkan dirinya kepada tuhannya, beberapa aliran thariqat sufi memang berbeda dalam menuntun pelajaran amalan dzikir ini kepada para jama’ahnya, lain thariqat lain pula caranya, namun tujuan tetap satu, yaitu menuju kepada Allah dan hanya mengharapkan keridhaan-Nya semata, jika keseluruhan maqam ini berhasil di lalui oleh seseorang salik, maka salik tersebut akan mendapatkan perasaan khauf dan raja’, artinya timbul rasa takut dan timbul pengharapan kepada Allah, ini rentetannya adalah bisa mencapai kepada mukasyafah, musyahadah dan timbul haqqul yakin yang sebenarnya terhadap Allah.

Tingkat martabat seseorang hamba di hadapan Allah mesti melalui beberapa proses sebagai berikut :

  1. Taubat; 
  2. Memelihara diri dari perbuatan yang makruh, syubhat dan apalagi yang haram; 
  3. Merasa miskin diri dari segalanya; 
  4. Meninggalkan akan kesenangan dunia yang dapat merintangi hati terhadap tuhan yang maha esa; 
  5. Meningkatkan kesabaran terhadap takdirNya; 
  6. Meningkatkan ketaqwaan dan tawakkal kepadaNya; 
  7. Melazimkan muraqabah (mengawasi atau instropeksi diri); 
  8. Melazimkan renungan terhadap kebesaran Allah; 
  9. Meningkatkan hampir atau kedekatan diri terhadapNya dengan cara menetapkan ingatan kepadaNya; 
  10. Mempunyai rasa takut, dan rasa takut ini hanya kepada Allah saja. 

Dengan melalui latihan di atas melalui amalan dzikir pada maqamat, maka seseorang hamba akan muncul sifat berikut :
  1. Ketenangan jiwa; 
  2. Harap kepada Allah; 
  3. Selalu rindu kepadaNya dan suka meningkatkan ibadahnya; 
  4. Muhibbah, cinta kepada Allah. 

Untuk mendapatkan point di atas, seseorang hamba harus melalui beberapa tingkatan maqam di bawah ini, tetapi melaluinya adalah amalan dzikir pada maqam yang 7 (tujuh), adapun hasilnya akan dapat di uraikan dengan beberapa maqam sifat, yaitu :
  1. Taubat; 
  2. Zuhud; 
  3. Sabar; 
  4. Syukur; 
  5. Khauf (takut); 
  6. Raja’ (harap); 
  7. Tawakkal; 
  8. Ridha; 
  9. Muhibbah. 

Uraian Ma’rifat

Mengenal akan dirinya secara awal dan akhir dari segala setiap perbuatan adalah di namakan dengan Ma’rifat, yang berarti juga secara singkat adalah kenal, wujud ma’rifat ini adalah ketetapan hati untuk mulai beribadah kepada-Nya, apabila seseorang hamba mau beribadah kepada Allah Swt dengan mengagungkan dan mensucikannya dari yang lain dan mengakui akan ke-ESA-an Allah, maka ini di namakan dengan ma’rifat atau kenal.

Kami berpendapat bahwa ma’rifat adalah awal dari segala perjuangan seseorang hamba menuju kepada tuhannya, sebab dengan mengenal ketuhananlah makanya seseorang hamba mau beribadah kepada-Nya, jika seseorang hamba belum kenal akan tuhan walaupun hanya sebatas pengakuan saja maka sudah tentu ia tidak akan mau beribadah alias ingkar, oleh karena itu kami berpendapat bahwa ma’rifat awal dari seseorang hamba menuju tuhannya, sedangkan yang akhir adalah Hakikat yang artinya Mengerti akan hal yang sebenarnya segala sesuatu.

Pada dasarnya dalam hati setiap manusia terselip akan kebenaran Allah Swt atas alam ini, tetapi hal ini di tutup oleh segala penyakit bathin yang di tiupkan oleh iblis dan syaithan, makanya dalam menuju kepada Allah memerlukan perjuangan yang berat dalam melawan peperangan hawa, nafsu, syaithan dan dunia.

Setiap manusia jika mau beribadah sudah tentu nafsunya saat itu tenang, maka ini adalah termasuk kategori ma’rifat juga, sebab jika tiada ketenangan maka seseorang hamba tidak jua akan mau beribadah, oleh karena itu sudah sepatutnya seseorang hamba jika sudah ada berkeinginan untuk beribadah, maka sesungguhnya itu adalah hidayah dari-Nya, maka hendaklah di ambil kesempatan tersebut untuk berbuat taat yang kuat, agar dapat menyingkap kebenaran dari setiap kebesaran Allah, di karenakan dengan hasil riyadhah yang sungguh-sungguh hal ini dapat di ketahui.

Keadaan yang kosong saat memasuki hakikat akan di isi oleh Allah berupa ilmu pengetahuan yang tidak di sangka-sangkanya, ini merupakan tujuan akhir seseorang sufi bertasawuf untuk mengenal-Nya, dan atas segala sesuatu tersebut adalah karunia dan hidayah dari-Nya.

Uraian Taubat

Dasar amalan yang harus di lalui oleh seseorang dalam menuju tuhannya adalah sebagai awalnya yaitu maqam taubat, sebelum bertaubat secara sungguh-sungguh kepada Allah, tidak akan bisa seseorang naik kepada maqam berikutnya, karena ia masih banyak mempunyai dosa-dosa hasil maksiat baik di sengaja maupun tidak.

Taubat menurut sufi adalah senantiasa tafakkur dan khalwat menyepikan diri untuk menyadari akan segala kesalahan yang di perbuat kepada Allah dan mohon ampun kepada-Nya. Menyadari bahwa maksiatnya banyak dan istighfar dengan sesungguhnya, taubat akan segala dosa, taubat akan segala tipu daya hawa dan nafsu dunia serta meningkatkan amal ibadah sebanyak-banyaknya guna menunjukkan bakti taubat yang sebenarnya. Jangan suka atau selalu berburuk sangka kepada Allah bahwa taubatnya tidak di terima, namun dengan keyakinan penuh harus yakin bahwa taubatnya di terima, karena Allah Maha Penerima taubat hamba-Nya yang sungguh-sungguh.

Uraian Zuhud

Zuhud ini ada 2 (dua) macam, yaitu :
1. Zuhud Zhahir, yakni zuhud dari cara yang berlebih-lebihan pada dunia dan pada segala perhiasan dunia, apalagi pada yang haram, makruh dan mubah.
2. Zuhud Bathin, yakni zuhud dari segala kebutuhan bathin yang bersifat penampilan zahir pada dunia, seperti mengejar jadi pemimpin yang otomatis akan menghela kepada hawa, nafsu dan dunia, hal ini adalah pantangan yang sangat besar bagi seseorang sufi yang bertasawuf.

Zuhud ini dapat di timbulkan dengan melalui tafakkur dan merenung atau berpikir akan kebesaran Allah, jika ia benar-benar memikirkan hal ini, maka ia akan dapat kesimpulan bahwa dunia hanya tempat bagi manusia yang selain Allah tujuannya, dia menyadari bahwa dunia hanyalah sebagai persinggahan dan berupa ladang sebagai pencari bekal bagi akhirat yang kekal, tiada yang lain di dunia ini hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan, serta terbuai akan tipu daya syaithan. Maqam zuhud tidak akan dapat di capai oleh seseorang jika di hatinya masih ada sifat keduniaan yang berlebihan, cintanya hanya pada kenikmatan dunia tanpa di sadari bahwa nikmat dunia itu hanyalah di berikan Allah sebagai sarana untuk ibadah kepada-Nya.


Seseorang hamba yang ingin menuju kepada Allah, harus bisa menafikan dunia dan isinya yang berlebihan itu hanya kepada Allah saja, jika tidak maka ia tidak akan dapat mengenal dirinya apalagi mengenal-Nya, sirnakanlah sifat keduniaan yang berlebihan agar dapat merasakan nikmatnya maqam zuhud ini dalam menuju Allah.

Uraian Sabar

Sabar terbagi 3 (tiga) menurut saya, yaitu :
  1. Sabar akan kehidupan dunia dari yang haram, dan menahannya atas dari segala sifat berlebihan; 
  2. Sabar dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah berikut ujian dan cobaan-Nya; 
  3. Sabar atas segala khayal dan angan-angan yang muncul saat menjalankan kewajiban taat tersebut. 

Sabar ini sangat luas maknanya, namun yang paling penting adalah sabar akan ketetapan Allah terhadap kehidupan dunianya, jika ini dapat di atasi maka akan memperoleh kemenangan dunia dan akhirat, dalam menjalankan ibadah kepada-Nya juga di tuntut kesabaran yang penuh, karena tidak juga terlepas dari ujian dan cobaan-Nya dalam menguji hamba-Nya yang menuju kepada-Nya, hijrahlah dari sifat buruk kepada sifat yang baik, ini memerlukan perjuangan bathin yang berat, sebab syaithan senantiasa membuat tipu daya walaupun dengan berlindung dari ketaatan dengan cara menyelipkan syirik dalam beribadah. Bersabar terhadap yang haram, ini juga berat, sebab dalam kehidupan dunia, yang sifatnya haram adalah nikmat dan asyik, sementara pada beramal ibadah sangat terasa berat baginya, ini di tuntut kesabaran penuh juga, agar dapat menjalankan ibadah secara rutin tanpa ada gangguan yang bersifat ingkar kepada Allah, jika seseorang hamba dengan penuh perjuangan menempuh alam kesabaran ini, maka Allah akan menariknya kepada-Nya dengan menambah tingkat kesabaran hamba-Nya tersebut. Hati-hatilah dalam beribadah, karena saat menjalankan ibadah sangat banyak di temui khayal dan angan-angan yang merupakan selain-Nya, ini tidak lain adalah kerjaannya para iblis, jin dan syaithan, mintalah selalu perlindungan kepada Allah akan hal ini.

Uraian Syukur

Syukur juga terbagi 3 (tiga) bagian, yaitu :
  1. Syukur secara lisan, maksudnya mengucapkan syukur terhadap Allah Swt secara langsung melalui ucapan; 
  2. Syukur secara jasmani, maksudnya menyampaikan rasa syukur dengan bersifat ketaatan kepada Allah; 
  3. Syukur secara khafi, maksudnya syukur dengan mengakui bahwa Allah maha pemberi nikmat atas segala makhluk ciptaan-Nya dan mengakui hanya daripada-Nya nikmat tersebut datang kepadanya, ini di buktikan dengan ketaatan dan pengakuan secara bathin. 

Syukur ini berbentuk taat pada Allah bagi orang yang berilmu, ia semakin meningkatkan ketaatannya kepada Allah Swt dengan perbuatan dzahir dan bathin, syukur merupakan anugerah tuhan yang tak terhingga, ruang lingkupnya sangat luas, mulai dari keduniaan sampai pada amal ibadah, sadarilah bahwa sesungguhnya yang memberi kekuatan untuk beribadah kepada-Nya adalah Allah, bukanlah merupakan kekuatan dan kekuasaan diri sendiri akan perbuatan tersebut.

Manfaat Syukur ini sangat besar nilainya di sisi Allah, jika seseorang hamba dapat menunjukkan Syukur ini secara ikhlas maka Allah akan senantiasa menambah karunia-Nya terhadap hamba yang mau bersyukur. Kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, jangan sampai seseorang hamba melupakan akan hal ini, jika ia lupa maka ia tidak akan sampai pada tujuannya untuk menuju kepada-Nya, karena hal ini adalah salah satu syarat untuk sampai kepada Allah. Jika seseorang hamba dapat menunjukkan rasa syukur yang suci murni alias ikhlas kepada-Nya, maka Allah akan menambah kenikmatan berupa mengerti akan diri-Nya, ini adalah karunia terbesar bagi seseorang hamba yang mengaku bahwa tiada tuhan selain Allah.

Uraian Khauf

Seseorang hamba yang pada maqam bathinnya mulai bersih dari segala sifat yang buruk, maka akan menimbulkan rasa takut, dan rasa takut ini harus di tekankan adalah hanya takut pada Allah saja, bukan pada yang lainnya, takut ia akan tersalah, baik tersalah akan dunianya apalagi tersalah akan amal ibadah kepada Allah.


Perasaan ini tidak dapat di buat-buat, jika muncul maka pindahkanlah rasa takut tersebut hanya kepada Allah, jika demikian maka Allah akan dapat menambah karunia nikmatnya berupa kedekatan kepada-Nya, karena dia adalah dzat maha pelindung bagi hamba-Nya.
 
Takutlah kepada Allah akan hukumnya yang sangat adil kelak, karena Allah sangat adil dalam menghisab setiap amal perbuatan manusia yang baik ataupun buruk, tunjukkanlah rasa takut tersebut dengan lebih meningkatkan ibadah kepada-Nya, takut ini sangat dekat pengaruhnya pada khayal dan angan-angan pada diri bathin manusia, hal sangat mudah di intervensi oleh iblis dan syaithan bagi seseorang hamba yang tidak beriman, munculnya rasa takut adalah sesungguhnya karunia-Nya juga, agar manusia dapat mengerti akan bagaimana rasa takut terhadap khalik-Nya tersebut.

Uraian Ridha

Meningkatkan tawakkal kepada Allah adalah merupakan ibadah yang besar nilainya di sisi Allah, dengan perjuangan berat menetapkan ibadah dengan istiqamah akan menghasilkan pengertian ridha akan setiap Allah terhadap dirinya, Allah maha menentukan atas hamba-Nya, hamba yang sudah ikhlas amal ibadahnya akan menimbulkan sifat ridha, ini adalah karunia Allah terhadap hamba-Nya yang shaleh dan taat.

Ia menyadari bahwa setiap segala sesuatu atas dunia dan pada dirinya adalah pada dasarnya merupakan kehendak Allah, ia ridha akan kehidupan dunianya, tabah atas segala ujian dan cobaan-Nya, pasrah akan perjalanan takdirnya tanpa memohon untuk merubahnya kepada Allah. Hamba yang sudah mencapai tahap maqam ridha ini akan selalu merasa bahwa Allah selalu bersamanya, segala gerak dan diamnya adalah merupakan kehendak dan karunia Allah, ia tidak akan merasa susah walaupun dunianya susah, ia lebih memerlukan kehidupan akhiratnya yang kekal, di sanalah setiap akhir dari segala sesuatu ciptaan-Nya.

Uraian Muhibbah

Perasaan tertinggi yang di karuniakan oleh Allah terhadap hamba-Nya adalah cinta (muhibbah), martabat ini muncul setelah segala tingkat sifat yang buruk sudah menjadi sifat yang baik dari hasil akhir mal ibadah dzikir pengibatan penyakit bathin oleh seseorang hamba. Segala sifat baik tersebut bisa menjelma menjadi sifat cinta hanya kepada Allah saja, setiap amal perbuatannya hanya berdasarkan cinta kepada Allah tanpa mengharapkan pamrih apapun juga, sebab segala sesuatu ibadah baginya adalah kebutuhan utamanya, sementara dunia baginya adalah sekedar sarana untuk beribadah semata, setiap rezeki telah di jamin secara nyata di dunia ini oleh Allah, segala gerak lakunya adalah ibadah, ini menunjukkan cinta yang tinggi terhadap khalik-Nya.

Senantiasa menjaga yang haram atas zahirnya, baik mata, telinga, kaki, tangan dan lain sebagainya, bathinnya selalu berkekalan ingat dan dekat padaNya, penjagaan Allah atas seseorang hamba tingkat ini adalah merupakan suatu karunia tiada ternilai harganya bagi manusia di dunia. Jadikanlah ibadah merupakan makanan pokok di dunia, maka atas izin-Nya kita akan mendapatkan rasa cinta terhadap Allah ini dengan sebenarnya cinta tanpa ada campuran cinta dunia, sebab jika di hati seseorang hamba masih ada cinta dunia, maka belumlah dapat di katakan hamba tersebut pada tingkat maqam muhibbah.

Uraian Hakikat

Hakikat bisa di artikan dengan “yang sebenarnya atas sesuatu”, ini merupakan ciri-ciri seseorang hamba yang sudah mengerti akan dirinya yang sebenarnya dengan mata hatinya yang bersih dari kotoran dunia dan penyakit bathin, jika penyakit bathin masih melekat pada hatinya maka ia tidak akan mengerti pada dirinya apalagi terhadap tuhannya.

Penyaksian dan pengertian atas segala sesuatu yang telah di tentukan dan di takdirkan Allah pada setiap sesuatu di alam semesta dan isinya berikut rahasia-rahasia-Nya adalah di namakan dengan hakikat, ini di dapatkan oleh seseorang hamba yang telah di berikan oleh Allah atas segala riyadhahnya dalam beramal ibadah kepada-Nya untuk meningkatkan keyakinan seseorang hamba terhadap khalik-Nya.

Mengerti akan hakikat ini di dasarkan dari hal sebagai berikut :

  1. Yakin akan segala ciptaanNya dan benar adalah Allah yang menciptakan alam beserta isinya, ini di namakan dengan ‘Ainul Yakin’. 
  2. Yakin dengan dasar pemikiran yang jernih akan melihat kebesaran Allah pada alam beserta isinya, ini di namakan dengan Ilmul Yakin. 
  3. Yakin dengan di dasari dengan hati yang bersih dari kotoran atas kebesaran Allah atas segala ciptaan-Nya, dan kebenaran ini di saksikan langsung oleh hatinya bersama keimanan yang teguh berdasarkan juga atas keputusan yang masuk akal, artinya zahir dan bathin yakin dengan sepenuhnya atas kebesaran Allah, ini di namakan dengan Haqqul Yakin. 

Hal inilah tujuan daripada sufi dengan bertasawuf yang menghasilkan mata hati yang jernih akan kebesaran Allah atas segala af’al, sifat, asma, dzat dan tajallinya pada alam dan segala ciptaan-Nya dengan tingkat iman tertinggi dari seseorang hamba, ini merupakan karunia hidayah Allah terhadap hamba-Nya yang ridha akan segala ketentuan-Nya atas dirinya, atas pengalaman bathin ini maka akan dapat mempertahankan tingkat keimanan seseorang hamba. 


Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai pembahasan maqamat tingkatan martabat seseorang hamba yang harus di lakukan untuk menuju Allah dan keridhaan-Nya.

 

Rangkuman Amalan Dzikir An-Naqsyabandi

Amalan ini di dasari dengan jalan memelihara keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah, agar senantiasa tetap akan hadirnya Allah pada masuk dan keluarnya nafas, dalam menarik dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat serta hadir bersama Allah di dalam hati sanubari, ingat kepada Allah saat keluar masuknya nafas guna memudahkan jalan dekat kepada Allah dan di ridhai-Nya. Kajian ini sangat berguna untuk jalan atau membuat seorang anak manusia (hamba) supaya dapat mengontrol dirinya agar jangan sampai lupa kepada Allah, di samping dengan ibadah fardhu (wajib) yang di lakukan sebagai sifat penghambaan dan pengabdian terhadap Allah, amalan ini jika di lakukan dengan rutin (istiqamah) dapat menjaga seorang hamba dari sifat lalai atau lupa kepada Allah yang di sebabkan oleh bisikan syaithan pada jalan-jalan atau pintu masuk yang halus daripada manusia, jadi inilah upaya untuk jalan menuju kepada Allah yang Maha Agung dan Maha Suci. Penerapan dalam kesehariannya salah satunya menjaga jika ia (salik) berjalan, mestilah selalu menundukkan kepalanya, kalau tidak dapat di khawatirkan membuat hati bimbang dan ragu, maka dari itu kita harus memelihara hati dan terjadinya perpindahan sifat-sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi penuh dengan ketaqwaan, karena itu wajiblah kita mengontrol hati, agar dalam hati kita tidak ada rasa cinta kepada makhluk selain dari Allah, setiap salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah dalam segala hal keadaan, baik di suasana sunyi maupun di tengah keramaian dunia. Suluk dalam hal ini terbagi dari 2 (dua) bagian, yakni ; Khalwat Lahir, yaitu orang yang sunyi di tengah keramaian, dan Khalwat Bathin, yaitu orang yang suluk senantiasa musyahadah kepada Allah dan menyaksikan rahasia-rahasia Allah, walaupun berada di tengah keramaian, dalam arti kata berkekalan dzikir (ingat) kepada Allah, baik dzikir izmu zat dengan membaca Allah…Allah…Allah maupun dengan dzikir napi istbat menyebut La ilahaa illallah, sampai yang di sebut itu terlihat di dalam dzikir yang hadir dan datang. Di luar suluk yang resmi, seorang salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya sedapat mungkin di dalam kesadarannya yang jernih, jika terjadi yang demikian walaupun hanya sebentar dapat menjadi masaalah besar, hal ini tidak boleh terjadi dalam ajaran ibadah cara thariqat.
Khattam Tawajjuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah yang menyaksikan keindahan kebesaran dan kemuliaan Allah terhadap Nur Dzat Ahdiyah, cahaya yang maha esa dengan tiada seumpama dengan apapun juga dan tanpa di sertai dengan kata-kata, hal ini dapat di capai oleh seorang hamba dalam menjalani ibadah cara suluk setelah dia mengalami fanafillah dan baqabillah yang baik. 
Pelajaran dalam ajaran ini ada mempunyai beberapa tingkatan yang di sesuaikan dengan tahap kebersihan jiwa dan hasil daripada pengamalan dzikirnya terhadap Allah, dengan di bimbing oleh seorang guru mursyid tentunya pada pembelajaran ini, semakin dekat seorang hamba dengan khalik-Nya, maka semakin naik pulalah tahapan tingkatan kajiannya dalam memperdalam ajaran dzikir ini, tingkatan dari ajaran dzikir ini terdiri sebagai berikut :

1. LATIFATUL QALBIY
Berhubungan dengan jantung jasmani, kira-kira dua jari di bawah susu kiri, dzikirnya sekurang-kurangnya 5000 dalam sehari semalam, ini wilayahnya Nabi Adam As, cahayanya kuning dan berasal dari tanah, angin dan api. Wilayah ini tempatnya sifat buruk pada manusia, yakni ; hawa nafsu, syaithan dan dunia, jika seorang hamba lkhlas dzikirnya pada wilayah ini, maka hilanglah itu daripadanya dan paling tidak berkurang, jadi sifat yang buruk pada wilayah ini jika di dzikirkan terus menerus, maka dapatlah menjelma atau masuklah sifat yang baik dan berakhlak, yaitu ; Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat.
Uraian latifah ini adalah merupakan sentral daripada ruhaniah manusia, wilayah ini merupakan induk dari latifah-latifah lainnya, yaitu hati sanubari manusia itu sendiri. Madzmumahnya adalah hawa nafsu yang buruk itu mengikut kepada kehendak iblis dan syaithan, cinta dunia, kafir dan syirik bertempatkan pada wilayah ini.
Madzmudahnya ialah Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat serta sifat-sifat malaikat, melalui dzikir pada latifatul qalbiy menjelmalah sifat madzmudah tadi kedalamnya, justru inilah di tuntut seorang hamba supaya rajin-rajin membersihkan wilayah ini dengan dzikrullah.
 Jika seorang hamba betul-betul ikhlas dan rajin berdzikir pada wilayah ini dan beristiqamah, maka insya Allah terbukalah rahasia gaib alam jabarud dan alam malakut dengan izin dan kehendak-Nya, dia mendapatkan ilham dan karunia daripada-Nya dan itu ini di katakan sunnah dan thariqat Nabi Adam As.
 
 Puncaknya adalah fana pada Af’al Allah, munculnya mati tabi’i, mati yang di maksudkan di sini adalah matinya hawa nafsu dan hiduplah hati sanubari. Mati Tabi’i artinya perasaan lahiriah orang yang berdzikir menjadi hilang, fana pendengaran dan penglihatan lahiriahnya, sehingga tidak berfungsi lagi, yang berfungsi adalah pendengaran dan penglihatan bathinnya yang memancar dari lubuk hatinya, sehingga terdengar dan terlihat adalah lapzul jalalah, dalam keadaan demikian akal dan pikiran tidak berjalan lagi, tetapi hanyalah ilham dari Allah yang merupakan nur illahi itulah yang terbit dari orang yang berdzikir, sehingga hatinya muhadharoh hadir bersama Allah. Mati Tabi’i juga merupakan lompatan dari pintu fana yang pertama, oleh sebab di terimanya dzikir seorang hamba oleh Allah dan ini merupakan hasil dari mujahadahnya dan merupakan rahmat dan karunia dari Allah, juga merupakan fanafillah di mana gerak dan diam tidak ada kecuali dari Allah.

2. LATIFATUL RUH
Berhubungan dengan rabu jasmani dua jari di bawah susu kanan, dzikirnya sekurang-kurangnya 1000 kali dalam sehari semalam, ini adalah wilayahnya Nabi Ibrahim As dan bercahaya merah, maqam ini berasal dari api. Maqam ini adalah tempatnya sifat madzmumah yaitu tamak, rakus dan bakhil, jika ikhlas dzikirnya maka masuklah dan berganti dengan sifat madzmudah, yaitu Khana’ah dalam arti memadai ianya akan apa ada adanya. Sifat buruk ini seperti, loba, tamak, rakus dan bakhil adalah salah satu sifat yang tidak di sukai oleh Allah dan Rasul-Nya, sifat bathiniah yang buruk seperti ini tidak ubahnya seperti binatang yang suka menurut akan hawa nafsunya, jadi dengan rajinnya mengobati sifat ini dengan dzikir pada maqam tersebut di atas adalah dapat berganti sifas yang di sukai Allah dan Rasul-Nya, seperti merasa selalu bersyukur dan menerima apa adanya yang telah di tetapkan oleh Allah, usaha untuk merubah sifat ini adalah dengan cara yang wajar melalui dzikir kepada Allah dengan seperti cara yang di ajarkan oleh Thariqat An- Naqsyabandi. Puncaknya pada dzikir adalah maqam fanafil asma dan mati ma’nawi, artinya semua sifat keinsanan manusia telah lebur dan lenyap di liputi oleh sifat ketuhanan yang di namakan dengan fanafisifattillah, sifat yang baharu dan sifat yang kekurangan pada diri seseorang yang berdzikir jadi lenyap atau fana, yang tinggal hanyalah sifat tuhan yang maha sempurna dan azali. Pendengaran dan penglihatan lahir menjadi hilang lenyap, yang tinggal hanyalah pendengaran bathin dan penglihatan bathin yang memancarkan nur illahi, yang terbit dari dalam hati yang dapat memancarkan ilham dari Allah, mati ma’nawi ini merupakan pintu fana yang kedua dan di terima oleh seseorang berdzikir, ini merupakan hasil mujahadahnya dan merupakan rahmat dan karunia dari Allah jika ikhlas dzikirnya.

3. LATHIFATUL SIRRI
Berhubungan dengan hati jasmani kira-kira dua jari di atas susu kiri, dzikirnya dalam sehari semalam sekurang-kurangnya 1000 kali, ini wilayahnya Nabi Musa As dan bercahaya putih asalnya dari angin, maqam ini tempatnya sifat madzmumah pada manusia, yaitu pemarah, pembengis, emosi tinggi dan penaik darah dan pendendam, jadi kita harus berdzikir di tempat ini jika ingin menghilangkan sifat buruk tersebut dari bathin kita, jika ikhlas dzikirnya pada tempat ini maka akan bergantilah sifat buruk tadi menjadi sifat yang terpuji, seperti pengasih, penyayang, baik budi bahasa dan pekertinya. Sifat ini di katakan seperti sifat binatang buas yang suka berbuat onar, kekejaman, penganiayaan, penindasan, permusuhan dan pendzaliman sesama, dan sebagai madzmudahnya adalah manakala lenyap sifat buruk di atas dan berganti dengan sifat kesempurnaan, terutama rahman dan rahim, ini di katakan adalah sunah dan thariqatnya Nabi Musa As. Puncaknya pada maqam ini adalah fanafisifattisubutiah dan mati sirri, mati sirri artinya segala sifat keinsanan menjadi lenyap dan berganti fana, demikian juga dengan alam yang wujud ini menjadi lenyap dan di telan oleh alam ghaib, alam malakul yang penuh dengan nur illahi, mendapat karunia mati sirri ini adalah bergelimang baqa finurillah, yaitu nur af’al Allah, nur asma Allah, nur zat Allah dan nurran ‘ala nurrin, cahaya di atas cahaya Allah, di mana Allah memberikan karunia itu kepada siapa saja yang dia kehendaki.  

4.    LATHIFATUL KHAFI 
Berhubungan dengan limpa jasmani kira-kira dua jari di atas susu kanan, berdzikir pada maqam ini dalam sehari semalam sekurang-kurangnya 1000 kali, ini adalah wilayahnya Nabi Isa As dengan bercahayakan hitam dan berasal dari air. Ini adalah tempatnya sifat madzmumah pada manusia, seperti busuk hati, munafik, pendusta, mungkir janji, penghianat dan tidak dapat di percaya, nah jika ikhlas dzikir pada tempat ini maka hilanglah sifat yang demikian dan berganti dengan sifat yang terpuji, seperti ridha dan syukur, madzmumahnya lathifatul khafi ini di katakan dengan sifat syaithan yang menimbulkan was-was, cemburu, dusta dan sebagainya yang sejenis, dan mahmudahnya adalah sifat syukur dan ridha serta sabar dan tawakkal, ini di katakan dengan sunahnya Nabi Isa As. Puncaknya adalah fana fissifatis salbiyah dan mati hissi, mati hissi artinya segala sifat keinsanan yang baharu menjadi lenyap atau fana dan yang tinggal hanyalah sifat tuhan yang qadim azali, ada tingkat ini tanjakan bathin seorang yang berdzikir telah mencapai tingkat tertinggi, yaitu tingkat ma’rifat, pada tingkat ini orang yang berdzikir telah mengalami keadaan yang tidak pernah di lihat oleh mata dzahir, tidak opernah di dengar telinga zahir dan tidak pernah terlintas dalam hati sanubari manusia dan tidak mungkin pula bisa di sifati oleh sifat manusia kecuali yang telah di karuniakan oleh Allah dengan seperti pada jalan tersebut di atas.

5.  LATHIFATUL AKHFA
Berhubungan dengan empedu jasmani kira-kira di tengah dada, dzikirnya sekurang-kurangnya dalam sehari semalam adalah 1000 kali, ini merupakan wilayahnya Nabi Muhammad Saw dan bercahaya hijau serta berasal dari tanah, tempat sifat takbur, ria, ujub dan suma’ah, ini harus kita hilangkan dengan berdzikir pada maqam ini agar dapat berganti dengan sifat tawadduk, ikhlas, sabar dan tawakkal kepada Allah. Sifat segala keakuan seperti sombong, takbur, ria, loba, ujub dan tamak serta bersikap akulah yang terpandai, akulah yang terkaya, akulah yang tergagah, tercantik dan lain sebagainya, maqam ini juga di katakan dengan sifat rububiyah atau rabbaniyah dan hanya pantas bagi Allah, sebab dialah yang pada hakikatnya yang memiliki, mengatur alam semesta ini, sifat baik pada maqam di dapatkan jika berdzikir dengan ikhlas adalah khusyu’, tawadduk, tawakkal dan ikhlas sebenar ikhlas, selalu tafakkur akan keagungan Allah dan ini di katakan dengan sunahnya dan thariqatnya Nabi Muhammad Saw, puncaknya adalah fana fidzzat, almuhallakah.

6.  LATHIFATUL NAFSUN NATIKAH
Berhubungan dengan otak jasmani terletak di tengah-tengah dahi, berdzikir pada maqam ini dalam sehari semalam adalah sebanyak 1000 kali sekurang-kurangnya, ini adalah wilayahnya Nabi Nuh As dan bercahaya biru serta tempat sifat buruk pada manusia yaitu khayal dan angan-angan, oleh karena itu kikislah sifat tersebut dengan berdzikir secara ikhlas pada tempat ini, agar berganti dengan sifat muthma’innah, yaitu sifat dan nafsu yang tenang. Buruknya pada tempat ini adalah selalu panjang angan-angan, banyak khayal dan selalu merencanakan selalu yang jahat untuk memuaskan hawa nafsu, sifat baiknya adalah nafsu muthma’innah yaitu sifat yang sakinah, aman, tenteram serta berpikiran yang tenang, ini di katakan dengan sunnah thariqatnya Nabi Nuh As, puncaknya adalah mati hissi.

7.  LATHIFATUL KULLU JASAD
Berhubungan dengan selurh badan atau jasad zahir, berdzikir pada maqam ini dalam sehari semalam sekurang-kurangnya 11.000 kali, ini adalah tempatnya sifat buruk manusia, yaitu jahil dan lalai, seseorang yang dzikirnya ikhlas pada tempat ini dapat menimbulkan ilmu dan amal yang di ridhai oleh Allah. Dzikir ini di sebut juga dengan dzikir sultan aulia Allah, artinya raja sekalian dzikir dan di jalankan melalui seluruh badan, tulang belulang, kulit, urat dan daging di luar maupun di dalam, di tempat ini dzikir Allah…Allah…Allah pada penjuru anggota badan beserta ruas dari ujung rambut sampai ujung kaki hingga tembus keluar yakni bulu roma pada sekujur tubuh atau badan, agar dapat menghilangkan sifat malas dan lalai beribadah kepada Allah. Untuk menghantam seluruh sifat malas dan lalai tersebut haruslah di laksanakan dengan sepenuh hati yang ikhlas, menurut kajian pengamal ajaran cara ibadah tasawwuf bahwa iblis dan syaithan bisa masuk melalui dan menetap pada seluruh bagian tubuh, karena itu perlu di getar dengan dzikirullah sehingga dzikirullah menetap di tempat itu dengan sendirinya dan tentu saja tidak ada lagi jalan iblis atau syetan untuk dapat memasuki tubuh dzahir dan merasuk kedalam bathin manusia untuk membisikkan segala perbuatan jahat yang tercela di hadapan Allah. Sifat yang masuk pada maqam ini setelah dzikir tersebut adalah ilmu dan amal yang di ridhai oleh Allah, dia berilmu sesuai dengan Al-Qur’an dan Syari’at serta sunnah Rasul Saw, hakikat cahaya pada maqam ini adalah nuurus samawi dan di katakan dengan sunah dan thariqatnya orang alim dan ma’rifat kepada Allah, puncak pada dzikir ini adalah mati hissi yang perupakan pokok dan mendasari dzikir-dzikir yang lain di atasnya, karena itu para pengamal ajaran ini harus mengkhatamkannya sekurang-kurangnya 11.000 sehari semalam. Dzikir lathaif inilah merupakan senjata paling ampuh untuk mengusir dan membasmi sifat madzmumah yang ada pada 7 (tujuh) lathaif tadi, segala sifat madzmumah atau sifat buruk ini di tunggangi oleh iblis dan syaithan

WUKUF QALBIY
Wukuf ini menurut ajaran Syeikh Muhammad Bukhari Baha’uddin Naqsyabandi, pertama-tama di dasari dengan 3 (tiga) tahapan, yaitu ;
  1. Wukuf Samani;
Artinya : Kontrol yang di lakukan oleh seorang salik terhadap ingat atau tidaknya dia kepada Allah sekurang-kurangnya dua atau tiga jam, jika dia ternyata dalam keadaan ingat kepada Allah dalam pada waktu tersebut, ia harus bersyukur kepada Allah, jika ternyata dia tidak ingat kepada Allah, ia harus banyak-banyak melakukan taubat kepada Allah dan usahakan dengan sekeras mungkin supaya kembali ingat kepada Allah.
  1. Wukuf ‘Adadi;
Artinya : senantiasa memelihara bilangan ganjil dan menyelesaikan dzikir napi istbat pada setiap dzikir tersebut di akhiri, jangan di akhiri dengan bilangan yang genap, tetapi mestilah bilangan yang ganjil, seperti ; 3, 5 atau 7 dan seterusnya.

  1. Wukuf Qalby;
Artinya : Keadaan hati seorang yang suluk, selalu hadir kepada Allah, pikiran yang ada terlebih dahulu di hilangkan dari perasaan, kemudian sekalian panca indera yang lima tawajjuh dengan mata hati yang hakiki untuk menyelami ma’rifat kepada Allah, tidak ada luang sedikitpun di dalam hati selain kasih Allah.
Dzikir wukuf menghadirkan seluruh lathaif dan seluruh anggota badan serta ruas-ruasnya di hadirkan kepada zat yang tanpa rupa dan bentuk, penghadiran tanpa menyertakan dzikir ismu zat, tapi hadir di haribaan dzat yang di namai Allah, yaitu Allah. Dzikir wukuf adalah Dzikir diam dengan semata-mata mengingat Allah, yaitu mengingat dzat Allah yang bersifat dengan segala sifat sempurna dan suci atau jauh dari segala sefat kekurangan, segala sifat kesempurnaan hanya di miliki oleh Allah, jadi sifat kekurangan adalah milik kita dan untuk meningkatkan sifat yang kurang sempurna itu menjadi lebih sempurna, maka inilah yang kita harapkan rahmat dan ridha Allah. Dzikir wukuf ini di rangkaikan setelah selesai melaksanakan Dzikir ismu dzat atau dzikir lathaif atau dzikir napi istbat, dzikir wukuf ini di laksanakan dalam rangka menutup dzikir yang lain sebelumnya.

PENGERTIAN MURAQABAH
Dzikir muraqabah ialah berkekalannya seorang hamba, ingat bahwa dirinya senantiasa di monitor oleh Allah dalam seluruh tingkah lakunya. Muraqabah artinya saling mengawasi, saling mengintai dan saling memperhatikan, dalam kajian tasawwuf atau thariqat, muraqabah dalam pengertian bahasa tersebut, yaitu terjadinya sesuatu antara hamba dengan khalik-Nya. Jenis muraqabah ini dalam ajaran ibadah cara Thariqat Naqsyabandi banyak, yang hanya di beri penjelasan melalui artikel ini hanya secara umum, kajian muraqabah ini di dasari dengan firman Allah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut :   
 “Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang).” Al-Qur’an Surah Asy-Syu’ara Ayat 218.

“Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang - orang yang sujud.” Al-Qur’an Surah Asy-Syu’ara Ayat 219.

“Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” Al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat 5. 

“Dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.” Al-Qur’an Surah Al-Ahzab Ayat 52.
“Apakah Tuhan yang menjaga Setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?”. Al-Qur’an Surah Ar-Ra’d Ayat 33.

“Tidaklah Dia mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”. Al-Qur’an Surah Al-‘Alaq Ayat 14. 

“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Al-Qur’an Surah An-Nisa’ Ayat 1. 

“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”. Al-Qur’an Surah Al-Bayyinah Ayat 8.

Rasulullah Saw bersabda : “Hendaklah engkau menyembah kepada Allah seolah engkau melihat Allah dan jika engkau tidak dapat melihat melihat Allah, maka sesungguhnya Allah melihat akan kamu”. Hadist riwayat Muslim.

Dari Abu Ya'la yaitu Syaddad bin Aus Ra, dari Nabi Saw, sabdanya : "Orang yang cerdik -berakal ialah orang yang memperhitungkan keadaan dirinya dan suka beramal untuk mencari bekal sesudah matinya, sedangkan orang yang lemah ialah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan mengharap-harapkan kemurahan atas Allah, yakni mengharap-harapkan kebahagiaan dan pengampunan di akhirat, tanpa beramal shalih." Di riwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi.

Dari Anas Ra katanya : "Sesungguhnya engkau semua pasti melakukan berbagai amalan -yang di remehkannya sebab di anggap dosa kecil-kecil saja, yang amalan-amalan itu adalah lebih halus dan lebih kecil menurut pandangan matamu daripada sehelai rambut, tetapi kita semua di zaman Rasulullah menganggapnya termasuk golongan dosa-dosa yang merusakkan, menyebabkan kecelakaan dan kesengsaraan." Di riwayatkan oleh Imam Bukhari.

Dari ayat dan hadist tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa markobah berarti mawas diri seorang hamba terhadap khaliknya bahwasanya Allah mengawasi, mengintai dan memperhatikan setiap niat dan amalan hambanya, sebaliknya seorang hamba harus mawas diri terhadap hati, niat dan amal yang dia kerjakan untuk melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Seorang hamba harus melaksanakan perhitungan terhadap dirinya sendiri tentang apa yang telah di laksanakannya di masa yang telah lalu atau lampau dan karena itu harus bertekad merumuskan yang baik dan meningkatkannya di masa mendatang semata-mata karena Allah serta mengharapkan ridha Allah.
Muraqabah juga adalah sarana mengevaluasi diri sehabis beramal, guna memperbaiki dan meningkatkan amalan-amalan yang akan datang, yang menyangkut dalam pelaksanaan istighfar dan taubat serta terhadap dosa-dosa yang telah terlanjur di laksanakan pada masa lampau dengan perasaan menyesal dan takut terulang lagi, begitu juga orang yang belum mengukuhkan rasa takutnya kepada Allah.
Mawas dirinya terhadap Allah dapat membukakan atau mencapai kasyaf (terbuka tabir antara hamba dengan tuhannya) dan syahadah (menyaksikan) akan keutamaan dan hikmah, muraqabah dari seseorang hamba terlihat bahwa dia selalu dalam keadaan ridha dan ingin meningkatkan amal-amal shalihnya. Bentuk pelaksanaan Dzikir muraqabah di rangkaikan dengan akan selesainya atau ada hasil daripada dzikir sebelumnya, seperti dzikir lathaif dan napi istbat.

1. DZIKIR MURAQABATUL ‘ITHLAQ
Dzikir muraqabatul ‘ithlaq adalah di mana seseorang berdzikir dan ingat kepada dzat Allah, bahwa Allah mengetahui keadaan-keadaanya, maka Allah melihat perbuatan-perbuatannya dan Allah mendengar perkataan-perkataannya.

2. DZIKIR MURAQABATUL AHDIYAH AF’AL
Berkekalannya seorang hamba bertawajjuh serta memandang zat Allah Swt yang bersifat dengan segala sifat yang sempurna serta suci bersih dari segala sifat kekurangan. Dzikir ini di mana seorang hamba berDzikir dan ingat kepada zat Allah Swt, bahwa Allah Swt maha pencipta dan maha suci dan mengerjakan segala sesuatu yang dia kehendaki.
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". As-Shaffaat Ayat 96.
 

“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” Al-Qur'an Surah Huud Ayat 107.
 
3. DZIKIR MURAQABATUL MA’IYAH
Muraqabatul Ma’iyah adalah berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh serta memandang kepada Allah, yang mengintai di mana saja hamba itu berada, sesuai dengan firman Allah sebagai berikut : “Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada, dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”Al-Qur’an Surah Al-Hadid Ayat 4.

4. DZIKIR MURAQABTUL ‘AGHRABIYAH
Dalam kajian Thariqat Naqsyabandi, para salik di ajarkan Tahlil Lisan yang berbilang sebelum di ajarkan Dzikir Muraqabtul ‘Aghrabiyah walaupun dzikir ini juga menggunakan tahlil, menurut Syeikh Sulaiman Zuhdi, Dzikir Muraqabatul ‘Aghrabiyah adalah berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh serta memandang betapa dekatnya Allah dengan hamba-Nya, yaitu sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu “Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”Al-Qur’an Surah Qaaf Ayat 16.

5. DZIKIR MURAQABTUL AHDIYATUZZAT
Pengertian dzikir ini adalah berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh, serta memandang kepada Allah yang Maha Esa, dan dzat-Nya yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu dan lagi ia-Nya berdiri sendiri. Dzikir ini di mana seseorang hamba yang berdzikir dan dan ingat kepada dzat Allah, tiada sekutu bagi-Nya, tiada dzat yang Maha Esa kecuali Allah itu sendiri, segala sesuatu itu tergantung kepada Allah. “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” Al-Qur’an Surah Al-Ikhlas Ayat 2.

6. DZIKIR MURAQABATUZZ ZALISH SHARFI WAL BAHTI
Dzikir Muraqabatuzz Zalish Sharfi Wal Bahti adalah berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh serta memandang kepada Dzat Allah yang merupakan sumber timbulnya kesempurnaan sifat yang mengikuti pada akhlak kenabian, kerasulan dan ‘ulul azmi, juga dzikir ini di mana seseorang yang berdzikir dan ingat kepada Allah, bahwa Allah Maha Suci, Allah sajalah yang menentukan dan mentasharuffkan segala sesuatu, Allah menetapkan kenabian, kerasulan, ‘ulul azmi dan lain-lain sebagainya. Firman Allah : "Demikianlah, Allah berbuat apa yang di kehendaki-Nya". Al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat 40. “Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” Al-Qur’an Surah Al-Hajj Ayat 14. 

Dalam kehidupan kita sehari-hari di luar kegiatan suluk, kajian ini sangat penting  di terapkan untuk menjaga daripada nur (cahaya) keimanan hati kita kepada Allah, agar senantiasa mendapatkan ketetapan (istiqamah) dalam menetapkan ingat kepada Allah, hal ini terdiri dari 8 (delapan) perkara, yaitu :

1. Hush dar dam artinya : Menjaga napas secara sadar dan di sengaja.
Dalam setiap tarikan nafas yang naik turun kita senantiasa berpikir akan kebesaran Allah, hamba yang cerdas dan bijak harus selalu mengontrol napasnya terhadap kelalaian, dalam keadaan hal menarik dan melepaskan nafas tersebut, dengan itulah selalu menjaga hatinya senantiasa hanya tertuju kepada Allah. Kita harus selalu menjaga napas dengan ingat berkekalan kepada Allah, sebab tiap tarikan dan hembusan napas yang demikian itu adalah akan hidup dan menyambung dengan Allah, tiap tarikan dan hembusan napas dengan kelalaian adalah akan mati dan terputus hubungan dengan Allah, ajaran ini di bangun atas teori dasar napas, jadi suatu keharusan bagi semuanya untuk menjaga napasnya pada waktu menarik dan menghembuskan, selalu menjaga napasnya dalam lingkungan ingat kepada-NYA di antara menarik dan menghembuskan napas sepanjang hidupnya. Nama Allah terdiri dari empat huruf : Alif, Lam, Lam dan Ha, dalam pengertian ini  di nyatakan bahwa dzat Allah yang sempurna di katakan pada huruf terakhir yakni "Ha", huruf ini mewakili dialah yang Maha Ghaib dan Maha Lathif serta tentu saja sempurna. Lam adalah untuk (tacrif) menyatakan identitas yang di cari, sedangkan Lam yang kedua adalah untuk mubalagha (penekanan) yang di cari, hal ini identik dengan dzikir napi istbat Seharusnya hal di ketahui oleh kita semua, bahwa menjaga napas dari kelalaian ingat adalah suatu pekerjaan yang susah bagi seseorang, sehingga kita harus melakukan hal itu dengan cara selalu mencari ampunan (istighfar), karena mencari ampunan akan membersihkan dan mensucikan diri kita dan akan menimbulkan keyakinan bahwa sesungguhnya Allah yang memang nyata berada di mana-mana.

2. Nazar bar qadam artinya : Mengintip dalam setiap langkah kemanapun.
Ini artinya bahwa kita dalam berjalan di kehidupan ini hendaknya pandangan mata hanya tertuju kepada obyek (fokus), yaitu keridhaan Allah. Kemanapun arah kakinya hendak dia tempatkan atau langkahkan, maka pandangan mata kita hendaknya tertuju kesitu pula. Jangan melemparkan pandangan kesana kemari, seperti melihat kekiri atau kekanan atau kedepan, agar pandangan yang satu tidak menutupi hatinya, karena timbulnya hijab (dinding), kebanyakan di sebabkan pada hati yang liar (tidak tetap), selama melangkah dalam perjalanan tersebut, karena berbagai macam keinginan yang tercetak di dalam pikiran kita senantiasa di bisikkan oleh syaithan dengan tiada henti-hentinya, berbagai macam gambaran dan khayalan itu, akan menjadi tabir yang akan menutup hati.
Hati yang telah di bersihkan melalui dzikir terus menerus, akan menjadi cermin untuk penglihatan mata hati, maka dengan itulah kita di perintahkan untuk merendahkan pandangannya agar supaya tidak di serbu oleh anak panah syaithan. Merendahkan dan menafikan pandangan juga merupakan tanda kerendahan hati, orang yang bangga dan sombong, tidak akan pernah melihat akan tujuan mereka, tetapi bila selalu melihat ke arah perjalanannya dengan fokus dan mantap hanya kepada Allah, maka gerak menuju arah tujuannya akan tercapai dengan kehendak-Nya insya Allah. Jika ini sudah tercapai, maka kita secara otomatis tidak akan melihat kemana-mana kecuali hanya kepada Tuhan, laksana seseorang yang ingin sampai ke tujuannya dengan cepat, demikian juga seseorang yang menuju Allah bergerak dengan cepat, tidak melihat ke kanan atau ke kirinya, tidak berbilang-bilang dalam beribadah, tetapi selalu dan selalu terus menerus, tidak juga mudah terkagum-kagum akan apa yang di jumpainya, tidak melihat kepada keinginan duniawi, tetapi hanya melihat kepada Allah.
Pandangan mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan....Ingatlah!!!!!!!!!!, untuk perjalanan yang meningkat keatas (mi’raj) ini, atau ke maqam yang lebih tinggi, di mulai dengan pandangan yang satu, di ikuti dengan langkah, apabila langkah mencapai level tinggi dari pandangan, maka pandangan akan naik lagi ke tingkat berikutnya, atas itulah langkah juga mengikuti secara bergilir. Pandangan akan di angkat ke tempat yang lebih tinggi lagi dan langkah akan mengikutinya secara bergilir, dan begitu seterusnya sampai pandangan mencapai tingkat kesempurnaan, ke arah itulah langkah akan di tarik dan di lakukan. Pahamilah..."Bila langkah mengikuti pandangan, maka kita telah mencapai tingkat kesiapan dalam mendekati langkah yang lurus dan benar, maka langkah yang lurus dan benar itu di sebut juga sebagai awal atau pertama dari semua langkah lainnya".

3. Syafar dar watan, artinya : Perjalanan kembali (pulang) dalam arti kata “Hijrah.”
Maknanya adalah kita selalu mengupayakan dalam kehidupan ini adalah berjalan atau hijrah, dari dunia yang penuh dengan hawa, nafsu dan syahwat ini, menuju kepada dunia ibadah. Rasulullah Saw mengatakan : "Saya akan mengunjungi Tuhanku dari satu maqam ke maqam yang lebih baik (tinggi) dan dari satu daerah ke daerah yang lebih tinggi". Artinya kita harus berjalan untuk kembali dari keinginan hal terlarang kepada keinginan untuk Allah.” Di uraikan lagi adalah sebagai berikut :

a. Perjalanan Luar, artinya berjalan atau hijrah, dari satu tempat ketempat yang lain guna menambah suatu ilmu dan amal (hijrah dari kebodohan kepada berilmu pengetahuan “tentang ibadah”), untuk lebih meningkatkan dan mendekatkan kita kepada Allah, guna mengangkat cara ibadah kita, dari yang kurang baik kepada yang lebih baik, mengingat dalam ibadah banyak terselip hal-hal yang dapat mengugurkan amal ibadah.

b. Perjalanan Dalam, artinya untuk kemantapan dalam melakukan perjalanan luar di atas, dalam perjalanan luar terdapat banyak sekali kesukaran yang berkemungkinan takkan sanggup di tanggung oleh kita, di khawatirkan malah akan jatuh kepada tindakan terlarang, ini di sebabkan karena masih banyak kendala dalam tata cara ibadahnya dalam praktek secara langsung, oleh karena itu alngkah baiknya jika dalam hijrah yang di atas tadi, maka sebaiknya di laksanakan ibadah rutin (istiqamah) kepada Allah tanpa mohon akan rahmat dan karunia-Nya, karena dalam mencari ilmu untuk beramal sangat besar faedahnya di sisi Allah. Jika dua hal di atas dapat kita laksanakan dengan baik, dan meninggalkan perilaku akhlaq yang buruk, tentu akan dapat meningkat kepada akhlaq yang lebih tinggi, menguasai akan semua keinginan dunia dari hatinya dan menafikannya dengan hanya untuk keperluan sekedarnya (qana’ah), maka kita akan di angkat oleh Allah dari keadaan yang tidak bersih kepada keadaan bersih dan suci. Apabila telah di sucikan oleh-Nya hati kita, maka membuatnya jernih seperti air, transparan bak kaca, mengkilap seperti cermin, di perlihatkan kebenaran dari semua hal dalam kehidupannya sehari-hari, dalam hatinya akan muncul semua hal yang di perlukan untuk kehidupannya dan untuk mereka yang berada di sekelilingnya.

4. Khalwat dar anjuman artinya : Merasa sunyi dan sendiri dalam ramai.
Khalwat artinya menyendiri secara sendirian, artinya tampak dari luar bersama-sama dengan manusia di sekelilingnya, sementara secara bathin, atau dalam hatinya senantiasa selalu ingat dan bersama Allah. Terdapat juga dua kategori “khalwat”, yakni ;
Khalwat ini ada dua macam :
1.  Khalwat pada suatu tempat yang tidak ada orang lain selain dari orang - orang yang khalwat, berkonsentrasi hati dengan dzikir kepada Allah, dengan tujuan untuk mencapai kebenaran Allah menjadi nyata kebesaran-NYA (Tajalli).
2.  Khalwat yang merasa sendiri di antara keramaian (dalam lingkungan manusia atau masyarakat), di sini kita hendaknya selalu hadir dengan Allah, sambil secara zahirnya berada di tengah-tengah keramaian tersebut, sementara di dalamnya selalu dzikir sir (tersembunyi) dalam hati sanubari, meskipun kita masuk dalam kancah keramaian manusia, usahakan selalu mengekalkan ingat kepada Allah, dalam keadaan ini adalah posisi yang tertinggi pada apa yang di namakan khalwat atau suluk, hal ini adalah benar dan lurus, sesuai dengan yang tersebut dalam Al-Qur'an "Orang-orang yang tak dapat di alihkan perhatinnya dari mengingat Allah oleh bisnis maupun keuntungan". Khalwat utama seorang penganut ajaran Thariqat An-Naqsyabandi adalah kesendirian dalam keramaian, mereka bersama Allah dan sekaligus bersama manusia, seperti kata Rasulullah Saw : "Saya memiliki dua sisi, satu muka menghadap Al-Khaliq muka lainnya menghadap ciptaan (makhluq)". Penganut ajaran Thariqat ini, selalu menekankan kebaikan akan berjama’ah, bermajlis (berkumpul) dalam berdzikir, Thariqat kita adalah persahabatan (kebersamaan), dan adalah suatu kebaikan berada dalam kebersamaan. Kesempurnaan bukan pada peragaan kekuatan karomah, tapi kesempurnaan kita adalah dalam penerapan beramal inadah sesuai dengan syari'at Rasulullah, bergaul dan duduk bersama-sama orang ramai (banyak/lingkungan), menjual dan membeli, menikah dan mempunyai anak dan lain sebagainya dalam kehidupan dunia ini, namun tak pernah meninggalkan kehadiran Allah dalam sekejap pun.

5.  Yad kard, artinya dzikir yang paling utama di tuju (lakukan).
Kita hendaknya melakukan dzikir dengan penolakan dan penerimaan, pada lidahnya senantiasa dzikir kepada Allah sampai mencapai keadaan muraqabah, keadaan itu akan di capai pada tiap hari dengan ucapan : Allah…Allah…Allah atau la ilaha illallah pada lidah di sertai hati (syiir), minimal antara 5,000 dan 11,000 kali, yang akan mewakili (meliputi) semua asma dan sifat-Nya, membuang dari hatinya segala unsur yang akan mengotori dan membuat hatinya berkarat. Kita senantiasa hendaknya mengulang dzikir ini dalam setiap tarikan dan hembusan napas, menghirup dan meniup, selalu membuatnya mencapai dan memukul hati, arti dari dzikir ini adalah membawa  sasaran kita hanya satu-satunya kepada Allah dan tidak ada sasaran lain lagi bagi kita, hanya satu Allah yang Maha Esa.

6.  Baz ghast, artinya : Pulang (kembali) dalam Keridhaan Allah.
Keadaan ini, di mana yang melakukan dzikir dengan sampai kepada pengertian ungkapan Rasulullah Saw,"Illahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi" artinya : Ya Allah, hanya engkaulah yang kumaksud dan keridhaan engkaulah yang kutuju". Munajat ini adalah dasar dan tujuan utama bagi ajaran Thariqat An-Naqsyabandi, akan menambah kesadaran dan pengakuan kita  tentang Ke-Esa-an Allah, sampai kita mencapai keadaan di mana keberadaan semua ciptaan (makhluq) lenyap dari pandangan mata, semua yang kita lihat, kemanapun kita memandang, adalah Allah.
Kita melakukan dzikir macam ini, agar supaya menerangkan hati akan rahasia yang maha satu (Al-Ahad), dan untuk membuka diri kepada kenyataan (tajalli) Allah, bagi salik yang pemula, tidak boleh  meninggalkan dzikir ini bila dia tidak mendapatkan hasil atau kekuatan itu muncul dalam hatinya, harus tetap melaksanakan dzikir ini, karena Rasulullah Saw telah mengatakan : "Barang siapa meniru suatu golongan orang, dan akan menjadi bagian dari golongan itu".
Makna Baz Ghast adalah kembali kepada Allah, dengan menunjukkan kepasrahan diri yang sempurna dan tunduk kepada kehendak-NYA, dan kerendahan diri ini akan sempurna dengan menyampaikan semua pujian kepada-NYA, itulah alasan Rasulullah Saw menyebutkan dalam do'anya : "Ma dzakarnaka  aqqa dzikrika ya madzkar" artinya :  "Kami tidak mengingat engkau sebagaimana seharusnya engkau di ingat, Ya Allah". Kita tidak akan dapat datang kepada hadhirat Allahdalam dzikir, dan tidak dapat mengungkapkan Rahasia dan Sifat Allah dalam dzikir, bila tidak melaksanakan dzikir itu dengan dukungan Allah dan tanpa Allah, mengingat hal ini balik jua faedahnya akan diri kita sendiri, singkatnya, kita tidak dapat melakukan dzikir oleh atau dengan sendirinya, tanpa mengetahui bahwa Allah adalah justru yang sedang melakukan dzikir melalui diri hamba-NYA.

7. Nighah dast, artinya perhatikan (instropeksi) diri dan sekitarnya.
Senantiasa membuat suatu pandangan, artinya kita hendaknya mengendalikan hati dan melindunginya dengan cara mencegah masuknya pikiran buruk, kecenderungan akan hal - hal yang buruk, akan menghalangi hati dari Allah dan akan menjadi hijab (dinding) antara hamba dengan tuhannya, bagi seseorang yang dapat melindungi hatinya dari kecenderungan buruk selama lima menit saja adalah merupakan sebuah hasil dan karunia yang besar dari-Nya jua. Untuk ini saja dia sudah akan di akui sebagai seorang yang sampai, ajaran sufi atau tasawwuf, adalah sebuah kekuatan untuk melindungi hati dari pemikiran buruk, dan menjaganya dari kecenderungan rendah, barang siapa berhasil dengan di atas, dia tentu akan mengerti hatinya dan memancar cahaya akalnya, yang tentu akan menimbulkan pikiran untuk selalu ingat akan kebesaran Allah atas alam semesta ini, dan barang siapa yang mengerti akan hatinya, tentu akan mengenali Tuhannya. Rasulullah Saw mengatakan :  "Barang siapa mengenal dirinya sendiri, niscaya akan mengenal Tuhannya".

8. Yada dast, artinya : Ingatan
Membaca dzikir, tentu akan melindungi hatinya, dalam tiap hembusan napas tanpa meninggalkan ingat Allah, ini adalah karunia yang sangat besar di berikan-Nya kepada seseorang hamba, hendaknya kita mempertahankan hati, supaya selalu berada dan dekat dengan Allah, ini akan membuat kita menyadari dan merasakan Cahaya (nur) dari Allah, kita harus membuang tiga dari empat bentuk pikiran yang terasa, yakni :
  • Pikiran egois;
  • Pikiran jahat;
  • Pikiran malaikat, sambil mempertahankan dan membenarkan, kita justru hanya boleh  membentuk pikiran keempat, yaitu; 
  • Pikiran kebenaran, artinya suatu keyakinan, hal ini akan membimbing kita menuju ketingkat tinggi dari kesempurnaan, dengan membuang semua khayalan dan hanya mengambil kebenaran, bahwa yang benar adalah Esa-nya Allah.
MAQAM MUSYAHADAH
Dzikir dalam maqam musyahadah aialah seseorang berdzikir seolah-olah dalam tahap berpandang-pandangan dengan Allah, di mana seorang hamba atau salik telah dapat konsep tiada hijab antara dirinya dengan Allah. Dzikir maqam musyahadah ini di rangkaikan dengan dzikir lathaif, Allah yang melihat kamu ketika kamu berdiri shalat dan Allah melihat pula kamu pada perubahan gerak badanmu (jasmani) di antara orang-orang yang sujud.

MAQAM MUKASYAFAH
Dzikir maqam mukasyafah adalah seseorang yang berdzikir di mana seolah-olah terbuka rahasia ketuhanan baginya, bila berdzikir maqam mukasyafah ini di laksanakan dengan baik, sempurna dan ikhlas, maka seorang hamba akan tahkik, maka dia akan memperoleh hakikat kasyaf dan rahasia-Nya. Dan seseorang hamba tidak akan menghendaki menempuh jalan itu kecuali bila dia di kehendaki Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dialah Allah Swt yang hidupnya kekal dan tiada tuhan melainkan Allah, maka sembahlah Allah dengan menunaikan ibadah kepada Allah, segala puja dan puji bagi Allah Rahmat sekalian alam.

MAQAM MUKABALAH
Dzikir dalam maqam mukabalah adalah seseorang hamba berdzikir dalam tahap rohaninya berhadap-hadapan dengan dzat Allah yang Wajibul ‘Ujud, dzikir ini di rangkaikan dengan dzikir lathaif dan hanya kepunyaan Allah barat dan timur, maka kemanapun muka kamu berhadap, maka di situlah wajah Allah.

MAQAM MUKAFAHAH
Berdzikir dalam maqam mukafahah ini, seseorang hamba dalam dzikir kepada Allah, di mana tahap ruhaniahnya berkasih sayang dengan Allah, dzikir ini dengan semata-mata mengingat dzat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kecintaan dari yang selain-Nya sudah hilang sama sekali, hanya tinggal kecintaan (muhibbah) kepada Allah, dzikir ini di rangkaikan dengan dzikir ismu dzat, lathaif dan napi istbat serta dzikir wukuf, adapun orang-orang yang sebenarnya beriman adalah sangat cintanya kepada Allah.

MAQAM FANAFILLAH
Dzikir dalam maqam fanafillah ini adalah seseorang hamba berdzikir dalam tahap telah lenyap dan lebur rasa keinsanannya kedalam rasa ketuhanan, dia telah fana kedalam baqabillah, seorang hamba yang telah melaksanakan perjuangan (riyadhah) serta mujahadah dan telah melepaskan dirinya dari belenggu hawa nafsu, sehingga ingatannya kepada alam maujud ini telah hilang lenyap sama sekali dan dia lebur kedalam kebaqoan Allah, maka dia telah fanafillah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an : “Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” Al-Qur’an Surah Ar-Rahman Ayat 26. “Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” Al-Qur’an Surah Ar-Rahman Ayat 27.

MAQAM BAQABILLAH
Maqam baqabillah adalah seseorang yang berdzikir telah mencapai tahap dzikir, di mana kehadiran hati bersama Allah semata-mata, artinya dengan fananya segala sesuatu termasuk dengan dirinya, maka yang tinggal baqa hanyalah dzat Allah, seorang hamba pada ketika itu telah lebur dan fana dalam kebaqaan Allah. Sebagaimana pada firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rahman Ayat 27. Para sufi mengatakan, “Fananya dalam kebaqaan Allah dan lenyapnya dalam kehadiran Allah.” Para guru sufi atau tasawwuf berkata : "Siapa yang ingin sampai kaji ibadahnya sesuai dengan kehendak Allah, dia haruslah mengalami sekurang-kurangnya" :  
Mati hakiki 4 kali;
Fana 4 kali;
Tajalli 4 kali.

Adapun mati tersebut terbagi dalam beberapa macam, yaitu : 
Mati Thabi'i;
Mati Ma'nawi;
Mati Syuri, dan
Mati Hissi.

Macam - macam Fana :

Fana'  Fi 'Af''al; 
Fana'  Fi  Asma; 
Fana'  Fi Sifat, dan
Fana'  Fi Dzat.

"Setiap orang fana atasnya dan tetaplah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan".

Macam - macam Tajalli :

Tajalli Af'alullah;
Tajalli Asmaullah; 
Tajalli Sifatullah, dan
Tajalli Dzatullah bizdzauqi.

Keseluruhan maqamat atau lathaif dalam pelajaran kajian agama islam menurut cara sufiyah di atas adalah yang di cantumkan hanya berupa yang ilmu di ilmukan, bukan pengungkapan yang bersifat rahasia daripada hasil ibadah melalui cara tersebut. Pelajaran ini hanya di sampaikan secara umum, mengenai tata cara pelaksanaannya adalah semestinya melalui guru pembimbing yang mursyid dalam hal ini, guna untuk mandapat penjelasan dan pemahaman yang jelas agar tidak terjadi penyimpangan dan salah langkah yang malah menimbulkan syirik dan kesesatan.
Wallahu'alam...
Rangkuman tuntunan dzikir naqsyabandi ini di sarikan dan di tulis oleh : Yuherman