Laman

Jumat, 19 September 2014

MAKRIFAT MENURUT SYEH ALBANJARI.

~~ Bismillahirrahmannirrahim.~~

Bag.1.

~~RISALAH MAKRIFAT: ~~

~~TAUHID DAN MAKRIFATULLAH.~~

Menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari,

siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua

makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus.

Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa.

Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis,

yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah.

Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah.
Allah SWT telah berfirman,

Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi,

baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa

(dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari
(QS 13:15).

Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka.

Lebih lanjut Syeikh

mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.

Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu.

Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran.

Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan.

Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib.

Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya

disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu.

Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.

Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari membagi tauhid dalam konteks makrifatullah

menjadi empat samudera makrifat,

berikut ini uraian untuk setiap tahapan ma’rifat tauhid dengan intepretasi pribadi, iaitu :

• Tauhid Af’al

sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.

• Tauhid al-Asma

adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim A’dham yang Mahaagung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.

• Tauhid As Sifat,

adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.

• Tauhid az-Dzat

berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid Az- Dzat menurut Syekh al-Banjari adalah

maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari memandangan dan musyahadah kaum arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan memandang dengan matakepala dan matahati bahwasanya tiada yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata.

Bersambung....

SYAIR CINTA RABIAH

I
Alangkah sedihnya perasaan dimabuk cinta
Hatinya menggelepar menahan dahaga rindu
Cinta digenggam walau apapun terjadi
Tatkala terputus, ia sambung seperti mula
Lika-liku cinta, terkadang bertemu surga
Menikmati pertemuan indah dan abadi
Tapi tak jarang bertemu neraka
Dalam pertarungan yang tiada berpantai
II
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk semua itu
III
Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu
Hingga tak ada satupun yang mengganguku dalam jumpa-Mu
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun berlalau
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku, Engkau terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mu
Inilah yang akan selalau ku lakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi kemanusian-Mu,
Andai Kau usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
IV
Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuh-Mu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
V
Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku
VI
Alangkah buruknya,
Orang yang menyembah Allah
Lantaran mengharap surga
Dan ingin diselamatkan dari api neraka
Seandainya surga dan neraka tak ada
Apakah engkau tidak akan menyembah-Nya?
Aku menyembah Allah
Lantaran mengharap ridha-Nya
Nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya
Sudah cukup menggerakkan hatiku
Untuk menyembah-Mu
VII
Sulit menjelaskan apa hakikat cinta
Ia kerinduan dari gambaran perasaan
Hanya orang
yang merasakan dan mengetahui
Bagaimana mungkin
Engkau dapat menggambarkan
Sesuatu yang engkau sendiri bagai hilang
dari hadapan-Nya, walau ujudmu
Masih ada karena hatimu gembira yang
Membuat lidahmu kelu
VIII
Andai cintaku
Di sisimu sesuai dengan apa
Yang kulihat dalam mimpi
Berarti umurku telah terlewati
Tanpa sedikit pun memberi makna
IX
Tuhan, semua yang aku dengar
di alam raya ini, dari ciptaan-Mu
Kicauan burung, desiran dedaunan
Gemericik air pancuran
Senandung burung tekukur
Sepoian angin, gelegar guruh
Dan kilat yang berkejaran
Kini
Aku pahami sebagai pertanda
Atas keagungan-Mu
Sebagai saksi abadi, atas keesaan-Mu
dan
Sebagai kabar berita bagi manusia
Bahwa tak satu pun ada
Yang menandingi dan menyekutui-Mu
X
Bekalku memang masih sedikit
Sedang aku belum melihat tujuanku
Apakah aku meratapi nasibku
Karena bekalku yang masih kurang
Atau karena jauh di jalan yang ‘kan kutempuh
Apakah Engkau akan membakarku
O, tujuan hidupku
Di mana lagi tumpuan harapanku pada-Mu
Kepada siapa lagi aku mengadu?
XI
Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa dengan-Mu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakan
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki
XII
Ya Tuhan, lenganku telah patah
Aku merasa penderitaan yang hebat atas segala
yang telah menimpaku
Aku akan menghadapi segala penderitaan itu dengan sabar
Namun aku masih bertanya-tanya
Dan mencari-cari jawabannya
Apakah Engkau ridha akan aku
Ya, Ya Allah
O Tuhan, inilah yang selalu mengganggu langit pikiranku
XIII
Ya Allah
Aku berlindung pada Engkau
Dari hal-hal yang memalingkan aku dari Engkau
Dan dari setiap hambatan
Yang akan menghalangi Engkau
Dari aku
XIV
Ya Illahi Rabbi
Malam telah berlalu
Dan siang datang menghampiri
Oh andaikan malam selalu datang
Tentu aku akan bahagia
Demi keagungan-Mu
Walau Kau tolak aku mengetuk pintu-Mu
Aku akan tetap menanti di depannya
Karena hatiku telah terpaut pada-Mu
XV
Tuhanku
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan
Keikhlasan mencintai-Mu
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku
Selain berdzikir kepada-Mu

MISTERI AKAL

Terjemah Kitab Ghawr Al Umur, Syekh Al Hakim At Tirmidzi [205 H – 320H]
Makrifat adalah raja yang Allah beri kuasa atasnya. Da memberinya satu tempat yang paling mulia dan paling tinggi. Ia memiliki busana keindahan, busana kebesaran, busana kekuasaan, busana keagungan, busana kewibawaan, busana kedermawanan, busana kemuliaan, busana rahmat, busana kasih, busana jabarut dan busana malakut. Ia juga memakai mahkota uluhiyah yang cahayanya bersinar hingga mencapai Zat Pemilik Arsy’ Yang Maha Agung.
Ada kondisi tertentu pada makrifat yang tidak dapat diungkapkan kepada masyarakat awam karena khawatir akan masuknya berbagai bisikan dan fitnah ke dalam hati mereka. Namun yang jelas, ia merupakan ilmu yang menakjubkan dan agung.
Misteri Akal
Allah menciptakan akal dan cahaya kemuliaan. Dalam penulisannya, ia terdiri atas tiga huruf yaitu ‘ain, qaf, dan lam.
‘Ain memiliki lima makna yaitu : (1) ‘izzah yang berarti kemuliaan, (2) ‘azhamah yang bermakna keagungan, (3) ‘uluw yang berarti ketinggian, (4) ‘ilm yang bermakna pengetahuan, dan (5) ‘atha yang bermakna pemberian. Untuk diketahui, setiap huruf pasti memiliki misteri dan muatan tersendiri yang tidak dimiliki huruf lain. Jadi, ketika mengucap huruf ‘ain, maka itu berarti di dalamnya ada keagungan, kemuliaan, ketinggian, pengetahuan dan pemberian.
Selanjutnya, huruf Qaf memiliki lima makna. Ia berasal dari kata Qurbah yang bermakna kedekatan, Qawl yang bermakna ucapan, Qur’an yang bermakna Al Qur’an, Qawaam yang bermakna lurus, dan Qudrah yang bermakna kekuasaan.
Ketika mengucap ‘Aq, itu artinya sudah masuk di dalamnya huruf ‘Ain dan Qaf berikut berbagai maknanya. Lalu huruf Lam, yang berasal dari kata Luthf yang bermakna lembut atau halus. Kelembutan tersebut berasal dari sifat rahmat. Rahmat tersebut berasal dari sifat belas kasih. Sifat belas kasih tersebut berasal dari rasa sayang. Rasa sayang tersebut berasal dari rasa sayang. Rasa sayang tersebut berasal dari rasa rindu. Rasa rindu itulah yang berasal dari cinta.
Hubb yang bermakna cinta terdiri atas dua huruf, Haa’ dan Baa’. Huruf Haa’ berarti Hayaah yang bermakna kehidupan, Hayaa’ yang bermakna rasa malu, Hilm yang bermakna kesabaran, dan Hikmah yang bermakna kebijaksanaan. Jadi, ketika mengucap huruf Haa, itu berarti di dalamnya ada kehidupan, rasa malu, dan kebijaksanaan.
Adapun huruf Baa’ terambil dari kata Birr yang bermakna kebajikan dan Bahaa’ yang bermakna kemuliaan. Dengan Ha’ yang ada pada kata Al Hayaah (kehidupan), Dia menghidupkan jasadnya. Dengan Haa’ yang ada pada kata Al Hubb (cinta), Dia menghidupkan kalbunya hingga bisa mengenalNya. Lalu dengna Baa’ yang ada pada kata Al Birr (kebajikan), Dia memberinya berbagai kenikmatan dunia. Dengan Baa’ yang ada pada kata Al Bahaa’ (kemuliaan), Dia memuliakannya di hadapan para malaikat. Seperti yang sudah saya jelaskan, kata ‘Aql (akal) terdiri atas beberapa huruf. Kemudian dilihat dari sisi bentuknya, ia merupakan ciptaan terbaik dan terbagus. Busananya pun merupakan busana yang terbaik dan termulia.
Ia dihiasi dengan berbagai bentuk keesaan dan keagungan Tuhan, dibungkus dengan pakaian yang berasal dari cahaya kesempurnaan, cahaya keagungan, cahaya kebesaran, cahaya kebaikan dan cahaya kemuliaan.
Ketika telah selesai dicipta, Allah berkata padanya, “Kemarilah ! Kemarilah !” lalu Dia berkata, “Pergilah ! Pergilah !” Kemudian Dia berkata lagi padanya “Duduklah ! Duduklah ! Demi Zat-Ku yang mulia, Aku tidak pernah menciptakan sebuah makhluk yang lebih baik daripada dirimu, yang lebih indah daripada dirimu, yang lebih mulia daripada dirimu, dan lebih utama daripada dirimu. Aku menciptakanmu dari cahaya, mengisimu dengan cahaya, membungkusmu dengan cahaya, mendekatkanmu dengan cahaya, menguatkanmu dengan cahaya, serta menempatkanmu di sumber cahaya. Aku adalah cahaya (QS 24 : 35), makrifat-Ku adalah cahaya, serta kalam-Ku adalah cahaya. Kamu ini berasal dari cahayanya cahaya. Kamu adalah cahaya di atas cahaya. Aku berikan cahaya-Ku pada siapa saja yang Aku Kehendaki di antara hamba-Ku.”
Setelah itu Allah bertanya padanya, “Siapa Aku ?”. Akal menjawab, “Engkau adalah Allah yang tiada Tuhan selain-Mu.” Lalu Allah berkata padanya, “Berkatmu manusia bisa taat. Berkatmu, dia bisa bersyukur. Berkatmu pula, Aku memberi. Berkatmu pula, pahala bisa diberikan. Atas kalkulasimu, perhitungan amal bisa dilakukan.”
[Diriwayatkan oleh Ibn’ Asakir dari Abu Abdillah yang berasal dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a. yang menuturkan, “Aku mendengan Rasulullah SAW bersabda “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Kemudian Dia menciptakan akal dan berkata ‘Demi Zat-Ku yang mulia, Aku akan menyempurnakanmu pada orang yang Ku cintai dan Aku akan mengurangimu dari orang yang Ku benci.’”.”]
Pasukan Akal
Berikut ini adalah pasukan akal : ilmu, kesabaran, keyakinan, kebenaran, penglihatan, kecerdasan, pemahaman, kewibawaan, ketenangan, rasa malu, petunjuk, hafalan, kebersihan, ketajaman, ketakwaan, pemikiran, ingatan, ampunan, kebajikan, kasih sayang, kehalusan, kelembutan, kedermawanan, keagungan, pujian, sanjungan, rasa syukur, kekuasaan, kebesaran, kebanggaan, kemuliaan, ketawadu’an, ketundukan, kekusyukan, kepatuhan, kejujuran, kesalinghubungan, keikhlasan, niat, tekad, kesetiaan, keadilan, keselamatan, kelurusan, ihsan, kerinduan, kebijaksanaan, dan pengabdian.
Selanjutnya rasa cukup, ridha, hati-hati, pengaturan, pandangan, tawakal, penyerahan, kemenangan, pertolongan, ketulusan, kelapangan, pengampunan, penutupan, rasa senang, rasa takut, harap, cemas, penampakan, diam, cinta, perintah, larangan, kekokohan, penciptaan, kejelasan, otak, ilham, pengawasan, kecukupan, tobat, kembali, canda, bahagia, pelajaran, mawas diri, penyesalan, kepandaian, dan zuhud. Jadi, ada sekitar seratus pasukan akal.
Peran Pasukan Akal
Ilmu dan kesabaran adalah menteri akal. Keyakinan adalah panglima pasukan akal. Kebenaran adalah teman mereka yang terzalimi. Penglihatan adalah pembebasan. Kecerdasan adalah pasukan terdepan. Pemahaman adalah pemilik keteguhan. Ketenangan dan kewibawaan adalah panglima. Rasa malu merupakan pemilik rahasia. Keabaran adalah pemilik siasat. Kesadaran menjadi petunjuk. Hafalan dan penjagaan adalah pemilik simpanan.
Kesungguhan, ketakwaan dan sikap wara adalah pemilik khazanah. Pemikiran dan ingatan adalah pemilik makar. Ampunan dan kebajikan adalah pemilik kehormatan. Kasih sayang, kehalusan, kelembutan dan pengawasan adalah para pembantu hakim. Kedermawanan, keagungan, pemberian dan sikap pemurah adlaah penjaga harta. Pujian, ingatan, sanjungan, dan rasa syukur adalah pemberi bantuan. Kekuasaan, kebesaran, keagungan, kebanggaan, dan kemuliaan adalah para petarung. Sikap tawadhu’, khusyuk, tunduk adalah pasukan pejalan kaki. Kejujuran merupakan hakim. Kebenaran, keikhlasan, niat dan tekad merupakan pasukan yang maju bertarung. Kesetiaan adalah pasukan yang dipercaya. Keadilan menjadi penerang. Keselamatan dan kelurusan menjadi penunjuk jalan. Sikap ihsan adalah pembawa panji bendera.
Rasa rindu adalah pemilik bendera. Hikmah adalah pimpinan. Pengabdian, pelayanan, rasa cukup dan ridha’ adalah penyangga segala urusan. Sikap hati-hati adalah pengatur. Pendapat merupakan unsur yang melakukan musyawarah. Tawakal adalah penjaga benteng. Kemenangan dan pertolongan merupakan pasukan pemanah. Ketulusan dan kelapangan adalah para utusan. Rasa senang, takut, harap dan cemas adalah milik mereka yang bersyukur. Pengaturan dan diam adalah pasukan pengintai. Cinta adalah tempat berlabuh.
Perintah dan larangan, janji dan sumpah, keteguhan yang kokoh, penciptaan dan diam, adalah wakil. Ketajaman adalah pasukan terdepan. Otak merupakan pimpinan pasukan, sementara ilham menjadi utusan penguasa tertinggi. Pengawasan adalah intel. Senang dan gembira adalah permainan. Penglihatan menjadi mata-mata. Nasihat merupakan penyeru. Kepandaian dan kecerdasan adalah pelayan. Wara dan zuhud adalah penguji. Tobat adalah pasukan yang ada di depan.
Penyesalan adalah pasukan penjaga di belakang. Itulah gambaran pasukan berikut kondisinya, disertai para amir, pelayang, penunggang kuda, dan pasukan pejalan kakinya

SUCI BADAN SUCI QALBU

Rasulullah saw, bersabda:
“Apabila diantara kalian berangkat menuju sholat Jum’at hendaknya lebih dahulu mandi.” (H.r. Muslim) Hadits mulia ini mengandung rahasia munajat agung di baliknya. Karena seorang hamba ketika sholat bermunajat dan ber-musyahadah kepada Tuhannya apalagi di hari Jum’at, sungguh merupakan musyahadah paling agung.
Hakikat Mandi
Bermandi di sini merupakan metaphor untuk mandi qalbu dan badan dan seluruh anggota fisik yang merupakan anjuran syariat. Tentu saja di dalamnya ada rahasia dibalik rahasia bermandi. Setiap anjuran syariat senantiasa ada makna batin hakikat di dalamnya, sekaligus makna lahir, yang tak bisa dijangkau oleh akal. Menyerahkan sepenuhnya segala perkara kepada Allah Swt.
Anak-anak sekalian….Siapa yang memandang kebajikan aturan Allah Ta’ala, kelembutan dan keparipurnaan Kuasanya atas segalanya, berarti ia akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu berdiri dengan sendiriNya atas apa yang dilakukanNya, menggerakkan hambaNya dengan TanganNya, membolak-balik hati mereka menurut kehendakNya, kebahagiaan
dan kebinasaan mereka, karena aturan kehendakNya sudah mendahului, tak ada yang menolak rencanaNya dan tidak ada yangmengadili hukumNya.
Apabila hal itu benar-benar maujud, sang hamba akan bergantung penuh kepada Allah Ta’ala, menyerahkan sepenuh jiwanya dan teguh dengan pijakan rasa tak berdaya, hingga yang tersisa hanyalah “tiada daya dan kekuatan, tiada ikhtiar dan dan keterkaitan, tak ada upaya mengatur maupun bertanya.
Karena sesungguhnya riangnya di dunia dan di akhirat hanyalah bergantung kepada Allah Ta’ala. Dan susahnya dunia terletak pada ketergantungannya pada selain Allah Ta’ala, dan melihat daya dan kekuatannya pada diri sendiri. Ingatlah firman Allah Ta’ala kepada NabiNya ‘alaihishsolaatu was-salam:
“Katakan, “”Aku tidak punya kemampuan terhadap diriku, baik yang berguna maupun yang membahayakan, kecuali apa yang dikehendaki Allah.”
Begitu pula bagaimana Allah Ta’ala memberlakukan pada Nabi Musa as ketika sedang bingung, “Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku…” (Al-Maidah 25)
Dikatakan, mengenai firman Allah Ta’ala, kepada Nabi Musa as, ”Maka lepaskanlah kedua sandalmu…” maksudnya adalah lepaskanlah keluarga dan anakmu dan segala hal selain Allah Ta’ala, dari hatimu. Allah bertanya kepada Nabi Musa as, “Apa yang ada di tangan kananmu wahai Musa?” Maka Musa menjawab, “itulah tongkatku…” dimana Nabi Musa as, menyandarkan tongkat pada dirinya. Allah Ta’ala bertanya,
“Apa yang akan kau perbuat dengan tongkat itu?” Musa menjawab,
“Aku pakai sebagai pegangan.”
Maka Allah Swt, memerintahkan kepadanya, “Lemparkanlah wahai Musa!” Maka beliau melemparkan tongkat itu, tiba-tiba berubah menjadi ular yang melata.
Allah Ta’ala berfirman kepada Musa as, “Hai Musa! Apa yang kau katakan “ini sebagai pegangan” telah menjadi musuhmu, karena engkau telah berpegang pada selain DiriKu.
Lalu Nabi Musa as, kembali kepada Allah Ta’ala, dan ketika Allah mengetahui kembalinya Musa, “Allah Swt berfirman, ambillah tongkat itu dan jangan takut!”.
Sedangkan Allah Swt, berfirman kepada Nabi kita saw, “Katakan Muhammad, tiada yang menimpa kami kecuali yang sudah ditulis Allah
pada kami.”
Bergantung pada Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi: “Tak seorang hamba pun yang turun padanya cobaan, lalu bergantung pada makhluk bukan padaKu, melainkan Aku memtuskan anugerah-anugerah langit dari tangannya dan Aku bebankan masalahnya pada dirinya.”
Siapa yang mendapatkan cobaan lalu bergantung pasdaKu bukan pada makhlukKu, melainkan Aku berikan padaNya sebelum ia meminta kepadaKu, dan Aku mengijabahi sebelum ia mendoa kepadaKu.”
Sebuah riwayat sampai pada kami, bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung padaKu bukan pada makhlukKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, maka ketika langit sampai ketujuh hingga para penghuninya, dan bumi sampai lapis tujuh dan seluruh penghuninya sedang merekadaya padanya, melain Aku memberi jalan keluar padanya.”
“Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung pada makhlukKu bukan padaKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, kecuali Aku putus dirinya dari sebab-sebab yang menyelesaikannya, kemudian Aku tak peduli di lembah mana Aku binasakan Dia, dan Aku penuhi hatinya kesibukan, ambisi, angan-angan yang tak pernah sampai selama-salamanya.”
Dalam hadits dijelaskan, “Siapa yang bergantung kepada Allah dan memohon kepada Allah, maka manusia akan butuh kepadanya, dan dari lisannya terucapkan hikmah, serta ia dijadikan sebagai raja dunia akhirat. Sedangkan siapa yang bergantung kepada makhluk, bukan pada Allah Ta’ala, serta membebankan ketergantungan itu di hatinya, maka Allah Swt, menyiksanya, dan ia diputus dari sebab-sebab instrument dunia akhirat!”.
Dalam riwayat dikatakan, “Kosongkanlah dirimu dari kesusahan dunia semaksimalmu. Dan menghadaplah kepada Allah Ta’ala dengan hatimu, dan bergantunglah kepadaNya dalam segala urusanmu. Karena seorang hamba ketika menghadap kepada Allah Ta’ala dengan qalbunya,
Allah menghadapkan hati para hambaNya kepadaNya. Dan siapa yang bergantung kepada Allah, maka Allah Swt mencyukupi seluruh biayanya.”
Yahya bin Mu’adz ra ditanya, “Kapankah seseorang itu disebut bergantung kepada Allah Swt?”
“Ketika seseorang itu putus hatinya dari ketergantungan dengan segalanya, apakah ia punya maupun tidak, serta ia pun ridlo kepada Allah Ta’ala sebagai waki (tempat berserahnya),” jawabnya.
Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Tak ada satu pun hamba yang beribadah kepadaNya, dan tak seorang pun yang taqarrub, yang lebih utama bagiKu ketimbang bergantung dan pasrah padaKu.”
Amir bin Qais ra berkata kepada salah satu ‘arifin, “Doakan kepada Allah untukku.”
Sang arif berkata, “Anda benar-benar minta tolong kepada orang yang lebih lemah dibanding anda sendiri? Taatlah pada Allagh Ta’ala, bergant7unglah padaNya, maka Allah Ta’ala akan memberikan yang lebih besar ketimbang yang diminta oleh para pemohon.”
Dalam wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa as, disebutkan, “Bila engkau ingin menjadi pemimpin dunia, dan menjadi pangeran dalam pandangan yang luhur, maka pasrah totallah dirimu pada perintahKu dan ridlo atas hukumKu.”
Al-Fudhail bin Iyadh ra, mengatakan, “Aku sungguh malu untuk mengatakan kepada Allah, bahwa aku ini bergantung kepada Allah. Karena orang yang bergantung kepada Allah Ta’ala, ia tidak pernah takut kepada selainNya, tidak pernah berharap selain Dia, dan hatinya putus dari gantungan dunia akhirat”.
Ditafsirkan mengenai arti firman Allah Ta’ala, “Inna Lillah” artinya adalah kami sebagai hamba Allah dan perangkatNya, berada dalam bolak balik kehendakNya dan ketentuanNya, setrta gerak gerik hamba ada di TanganNya.
“Inna Ilaihi Rooji’un” kami ridlo kepadaNya, pasrah padaNya, bergantung denganNya dan pasrah total hanya kepadaNya.
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala, berfirman kepada Nabi Musa as, “Pergilah ke Fir’aun sesungguhnya ia telah ingkar!”
Lantas Nabi Musa as, menyela, “Oh Tuhanku, bagaimana dengan kambing-kambingku dan anak isteriku?”
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau engkau menemukanKu, maka manalagi yang akan engkau perbuat selain kepadaKu? Hai Musa! Berangkatlah, dan bergantunglah padaKu dan pasrah totallah hanya padaKu, serahkan urusanmu kepadaKu. Karena Aku jadikan harimau sebagai penggembala atas kambing-kambingmu dan para malaikat menjaga keluargamu.
Hai Musa ! Siapakah yang menyelamatkan dirimu dari Nil itu, hingga ditemukan oleh ibumu di sana? Siapakah yang mengembalikan dirimu pada bundamu setelah itu? Siapakah yang menyelamatkanmu dari musuhmu Fir’aun ketika engkau membunuh seseorang? Siapakah yang menyelamatkanmu dari Fir’aun ketika engkau melintasi sahara?”
Nabi Musa as, menjawab semuanya, “Engkau…Engkau….”
Ketahuilah siapa yang bergantung kepada selain Allah Swt, atau apa pun selain Allah maka orang itu terhinakan, keluar dari garis kehambaan. Karena batas kehambaan itu adalah: Menyerahkan upaya pilihannya kepada Sang Maha Perkasa.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Tuhanmulah Yang Mencipta Yang DikehendakiNya dan Memilihkan,
tak ada bagi mereka pilihan.”
“Apa yang dibuka oleh Allah kepada manusia dari rahmat, maka tak satu pun bias menghadangnya.”
“Dan jika Allah menghalanginya atas suatu bahaya, tak seorang pun bisa mencegahnya kecuali Dia.”
“Katakan, tak satu pun musibah yang menimpa kami melainkan Allah sudah menentukan bagi kami.”
“Dan siapa yang pasrah total kepada Allah, maka Dia mencukupinya.”
Ketahuilah bahwa ubudiyah itu terbangun atas sepuluh dasar:
Bergantung kepada Allah Ta’ala dalam segala hal,
Ridlo kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Kembali kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Butuh kepada Allah Ta’ala di dalam segalanya.
Mengembalikan hati kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Sabar bersama Allah dalam segalanya.
Memutuskan diri hanya kepada Allah dalam segala hal.
Istiqomah bersama Allah dalam segala hal.
Menyerahkan total kepada Allah Ta’ala dalam segala hal.
Pasrah segalanya dalam semua hal.