Laman

Sabtu, 23 Februari 2019

"Dari ALIM ke ARIF"

PADA umumnya orang arif ialah alim, tetapi tidak semua orang alim itu arif. Penggunaannya dalam bahasa Indonesia kedua kata tersebut sering dipertukarkan (interchangible). Seolah-olah kedua kata ini sinonim, padahal keduanya amat berbeda.

Alim dari akar kata ’alima-ya’lam yang berarti mengetahui, mengerti. Memang arti dasarnya mirip dengan kata ’arafa-ya’rifu berarti memahami, mengetahui. Kalau sudah menjadi isim fa’il, alim dan arif sudah mulai dibedakan. Alim artinya orang yang mengetahui sesuatu dengan menggunakan kecerdasan logika, sedangkan arif berarti orang yang memahami sesuatu dengan menggunakan kecerdasan batin atau spiritual.

Ada seorang ilmuwan, bahkan profesor, tetapi penampilan dan akhlaknya seperti ‘kurang ajar’. Sementara itu, orang arif mungkin pendidikan formalnya tidak terlalu tinggi, tetapi akhlaknya santun. Bahkan, orang arif jalan pikirannya pun lurus, hatinya tulus dan bersih, tidak riya’ dan tidak kasar.
Cara untuk menjadi alim tidak terlalu susah. Yang penting ada kesungguhan, punya biaya, dan rajin belajar, insya Allah pasti dapat menjadi alim.

Orang yang mengenyam pendidikan di bangku sekolah atau kuliah pasti memperoleh ilmu (‘alim). Namun, untuk meraih kearifan, lebih dari itu, harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjauhi larangan-Nya, dan menaati perintah-Nya.
Itu pun belum tentu dapat, makanya diperlukan kesabaran, kepasrahan diri, dan tawakal yang kuat serta senantiasa berdoa agar mendapatkan berkah itu.

Secara epistimologis, kealiman dapat diperoleh melalui ijtihad, yakni pengerahan segenap e­nergi akal pikiran untuk mencapai pengetahuan terhadap sesuatu. Sementara itu, kearifan diperoleh melalui mujahadat, yakni pengerahan segenap energi batin untuk memahami sesuatu.
Pengetahuan yang diperoleh melalui metode yang pertama disebut ilmu, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui metodologi yang kedua disebut makrifat (ma’rifah).

Idealnya seorang muslim atau muslimah, ilmu dan ma’rifah menyatu secara utuh di dalam dirinya, seperti diisyaratkan dalam ayat yang pertama kali turun di dalam Alquran: Iqra’ bi ismi Rabbik (Bacalah dengan membaca nama Tuhanmu). Iqra’ simbol ilmu pengetahuan dan bismi Rabbik menjadi simbol ma’rifah dan pada saatnya nanti dengan mukasyafah (penyingkapan).
Dalam Alquran, kemampuan yang dapat dicakup i
lmu amat terbatas, seperti kata Alquran: Wama utitum minal ‘ilmi illa qalil (Kami tidak memberikan ilmu kepada kalian, kecuali hanya sedikit).

Yang biasa disepadankan dengan ma’rifah ialah hikmah, yaitu sesuatu yang unlimited, tanpa batas, sebagai mana dikatakan dalam Alquran: Yu’til hikmah man yasya’, wa man yutal hikmah faqad utiya khairan katsir (Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki (oleh Allah), barang siapa yang mendapatkan hikmah itu maka akan diberikan kebaikan yang lebih banyak).

Prototipe ideal seorang muslim sesungguhnya harus memiliki kedua-duanya, yakni ‘ilmu dan ma’rifah. Keilmuan akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan-kemudahan duniawi, sedangkan ma’rifah akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan ukhrawi.
Ilmu banyak menolong kita untuk sukses menjadi khalifah di bumi, sedangkan ma’rifah banyak menolong kita untuk sukses menjadi hamba (ábid). Khalifah dan hamba kedua-duanya menjadi tanggung jawab manusia.

Manusia paripurna atau insan kamil ialah manusia yang menyandingkan keberhasilannya sebagai khalifah dan sebagai hamba.
Hubungan horizontal (hablun minannas) dengan sesama makhluk idealnya berban­ding lurus dengan hubungan vertikal (hablum minallah).