Laman

Jumat, 13 Maret 2015

JIHAD YANG SEBENARNYA


Lalu Apa Sebenarnya Jihad?
Secara bahasa, kata jihad terambil dari kata “jahd” yang berarti “letih/sukar”, karena jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat kata jihad berasal dari kata “juhd” yang berarti “kemampuan”, karena jihad menuntut kemampuan dan harus dilakukan sebesar kemampuan (Shihab, 1996: 501). Dalam hukum Islam, jihad adalah segala bentuk maksimal untuk penerapan ajaran Islam dan pemberantasan kezaliman, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat dengan tujuan mencapai rida Allah Swt.
Dalam pengertian luas, jihad mencakup seluruh ibadah yang bersifat lahir dan batin dan cara mencapai tujuan yang tidak kenal putus asa, menyerah, kelesuan, dan pamrih, baik melalui perjuangan fisik, emosi, harta benda, tenaga, maupun ilmu pengetahuan sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. selama peroide Mekah dan Madinah. Selain jihad dalam pengertian umum, ada pengertian khusus mengenai jihad, yaitu memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam dan makna inilah yang sering dipakai oleh sebagian umat Islam dalam memahami jihad.
Kesalahan memahami jihad yang hanya dimaknai semata-mata perjuangan fisik disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pengertian jihad secara khusus banyak dibahas dalam kitab-kitab fikih klasik senantiasa dikaitkan dengan peperangan, pertempuran, dan ekspedisi militer. Hal ini membuat kesan, ketika kaum Muslim membaca kitab fikih klasik, jihad hanya semata-mata bermakna perang atau perjuangan fisik, tidak lebih dari itu. Kedua, kata jihad dalam Al-Quran muncul pada saat-saat perjuangan fisik/perang selama periode Madinah, di tengah berkecamuknya peperangan kaum Muslim membela keberlangsungan hidupnya dari serangan kaum Quraisy dan sekutu-sekutunya. Hal ini menorehkan pemahaman bahwa jihad sangat terkait dengan perang. Ketiga, terjemahan yang kurang tepat terhadap kata anfus dalam surat Al-Anfal ayat 72 yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS Al-Anfal [7]: 72).
Kata anfus yang diterjemahkan dengan “jiwa”, menurut Quraish Shihab tidak tepat dalam konteks jihad. Makna yang tepat dari kata anfus dalam konteks jihad adalah totalitas manusia, sehingga kata nafs (kata tunggal dari anfus) mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, dan pikiran.
Kesalahan yang sama juga dialami oleh para pengamat Barat yang sering mengidentikkan jihad dengan holy war atau perang suci. Jihad yang didefinisikan sebagai perang melawan orang kafir tidak berarti sebagai perang yang dilancarkan semata-mata karena motif agama. Secara historis, jihad lebih sering dilakukan atas dasar politik, seperti perluasan wilayah Islam atau pembelaan diri kaum Muslim terhadap serangan dari luar. Oleh sebab itu, holy war adalah terjemahan keliru dari jihad. Holy war dalam tradisi Kristen bertujuan mengkristenkan orang yang belum memeluk agama Kristen, sedangkan dalam Islam jihad tidak pernah bertujuan mengislamkan orang non-Islam.
Munawar Chalil dalam buku Kelengapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. mengutip pendapat Muhammad Abduh, Ibnul-Qayyim dalam Zaad Al-Ma?ad, dan Syeikh Thanthawi Jauhari, menyatakan bahwa orang-orang kurang mengerti, menyangka bahwa jihad itu tidak lain adalah berperang dengan kafir. Sebenarnya tidak begitu. Jihad itu mengandung arti, maksud, dan tujuan yang luas. Memajukan pertanian, ekonomi, membangun negara, serta meningkatkan budi pekerti umat termasuk jihad yang tidak kalah pentingnya ketimbang berperang.
Jihad Akbar
Perang Badar, perang besar pertama antara kaum Muslimin yang hanya berjumlah 313 orang, harus bertarung melawan musyrikin Quraisy yang berjumlah 950 orang, yang berakhir dengan kemenangan gemilang kaum Muslimin, perang yang begitu besar oleh Rasulullah saw. dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perang lain. Yaitu perang melawan hawa nafsu. Ucapan beliau, seusai perang Badar, Roja’na minal jihadil asghar, ilal jihadil akbar. Jihadun nafsu. Kita keluar dari jihad kecil, menuju ke jihad besar. Yaitu jihad melawan hawa nafsu...
Berdasarkan hadist di atas jihad yang dinginkan oleh Rasulullah sebenarnya bukanlah jihad dalam arti peperangan yang penuh dengan kekerasan akan tetapi perang mewalan syetan dalam diri sendiri yang merupakan musuh terbesar manusia yang jauh lebih berat. Dalam beberapa ayat disebutkan bahwa musuh kita yang sebenarnya dan teramat nyata adalah syetan yang terus menerus akan menggoda sepanjang hidup kita. Nabi juga pernah mengatakan bahwa orang kuat itu bukanlah orang yang menang dalam bergulat akan tetapi orang yang bisa menahan amarahnya ketika dia akan marah.
Mengharapkan pahala syahid disambut oleh ribuan biadadari di surga dengan cara peperangan membunuh orang lain bisa jadi akan mengurangi keikhlasan hati dan justru akan mengantarkan kita ke Neraka. Terlepas benar atau salah tindakan Amrozi akan tetapi saya lebih melihat dari sudut pandang moral, orang-orang yang dianiaya oleh Amrozi cs bukan hanya orang yang berbeda agama namun juga termasuk orang Islam yang mengakui Allah SWT sebagai Tuhan dan Muhammad SAW sebagai Rasul, bukankah do’a orang-orang yang teraniaya di makbulkan Tuhan? Bukankah membunuh orang muslim merupakan dosa besar yang tidak terampuni?
Kita telah menyaksikan tindakan-tindakan brutal yang kemudian sebagian orang menyebutkannya sebagai Jihad dan belum tentu itu jihad, kalaupun benar itu jihad namun masih dalam pada tataran jihad kecil. Marilah kita lebih menfokuskan kepada jihad Akbar, yaitu jihad melawat hawa nafsu dan syetan dalam diri kita yang terus menerus memperdaya agar kita melakukan tindakan-tindakan yang benar menurut kita namun dimurkai oleh Allah. Jihad Akbar adalah berzikir menghilangkan sifat-sifat tercela dalam diri kita dalam Suluk/’Itikaf serta memperbanyak ‘Ubudiyah sebagai wujud rasa penghambaan diri kita kepada Allah SWT. Disaat kita berzikir dibawah bimbingan Mursyid yang digambarkan oleh Nabi sebagai Taman Surga maka kekal-lah Nur Allah dalam diri kita dengan demikian tanpa sadar kita telah berada di Surga mulai dari dunia ini sampai ke akhirat kelak. Semoga Allah SWT akan selalu menuntun dan membimbing kita kearah yang di inginkan-Nya, Amien.

LEBIH NIKMAT DARI SURGA


Kecintaan kaum sufi kepada Allah, bukan sebab takut akan siksa-Nya, atau kerena ingin surga-Nya, akan tetapi karena rindu dendam merasakan kelezatan cinta-Nya. Juga karena Allah adalah yang paling berhak dicintai. Itulah idealnya dalam bercinta, yang tidak dikenal oleh selain mareka yang menjadi pilihan Allah.
Nikmat terbesar yang mereka harap-harapkan hanyalah ridha dan berjumpa dengan Dia. Sementara siksa yang paling mereka takuti adalah jauhnya dari memperbincangkan soal keindahan kedamaian-Nya, juga dari tempat berkomunikasi dengan-Nya. Mereka terhalang dari sinar Dzat yang Maha Mulia.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa maqam tertinggi yang bisa dicapai oleh pengamal ilmu zahir (syri’at) adalah wukuf dipadang Arafah, menunggu terbukanya pintu rahmat dan karunia Allah SWT dan pada hakikatnya adalah menunggu kehadiran Allah. Apakah selamanya kita harus menunggu, dan apakah menunggu itu hanya di Padang Arafah?
Seluruh ritual Haji sebagaimana ibadah lain tentu saja mempunyai aspek zahir dan bathin. Pada hakikatnya orang yang melaksanakan haji adalah memenuhi panggilan Allah, menjadi manusia mulia sebagai tamu Allah dan tentu saja sebenarnya setiap yang menunaikan ibadah haji sudah pasti berjumpa dengan yang punya rumah, jumpa dengan yang mengundang yaitu Allah SWT.
Dalam ilmu zahir (syariat), Ihsan merupakan puncak pencapaian spiritual dan tidak ada lagi maqam setelah itu. “Shalatlah kamu seolah-olah kamu melihat Allah dan jika kamu tidak melihat Allah yakinlah Allah akan melihat kamu” inilah dasar dari Ihsan. Menurut kaum sufi tentu saja maqam ini masih spekualitif, masih seolah-olah dan tidak ada kepastian disana. Siapapun yang bersikukuh pada syariat tidak akan bisa melanjutkan perjalanan ke maqam berikut yaitu Makrifatullah, berpandang-pandangan dengan Allah dan inilah kenikmatan puncak dari para penempuh jalan spiritual melebihi apapun, bahkan kenikmatannya melebihi surga.
Abu Yazid al-Bisthami ketika berada dalam puncak kegembiraan, dia berbisik, “Apakah itu surga? Surga hanyalah mainan dan kesukaan anak-anak. Aku hanya mencari Dzat Allah. Bagiku surga bukanlah kenikmatan yang sejati. Dzatnya menjadi sumber kebahagiaanku, ketentraman yang menjadi tujuanku.”
Mengenai ucapan Abu Yazid yang agung ini, Ibnu Arabi pernah ditanya seseorang. Jawabnya, “Tidak masalah. Rasulullah pernah berkata dalam do’anya, “Wahai Tuhan kami…! Aku mohon kepada-Mu kelezatan melihat DzatMu. Aku rindu ingin bertemu dengan-Mu”.
Setiap hamba yang ingin berjumpa dengan Allah terlebih dahulu dititipkan rasa rindu dan cinta membara dihatinya, dengan itulah dia mampu bermujahadah melawan hawa nafsu dan berbagai rintangan untuk sampai kepada tujuannya yaitu menemukan cinta sejati dan berjumpa dengan yang dicintainya.
Konon An-Nuri bertanya kepada Rabi’ah al-Adawiyah, katanya, “Setiap hamba punya syarat. Setiap iman punya hakikat, apakah hakikat iman anda?” Rabi’ah menjawab, “Saya menyembah Allah bukan lantaran takut Dia. Karena dengan persepsi demikian, aku seperti budak hina yang bekerja hanya karena takut. Tidak pula lantaran ingin surga, agar tidak seperti budak hina yang diupah. Akan tetapi aku menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.”
Sa’id bin Yazid berkata: “Barang siapa beramal karena Allah atas dasar cinta kepada-Nya, itu lebih mulia dari pada beramal atas dasar ketakutan.” Selanjutnya dia berkata, “Andaikan diberikan kepadaku do’a yang mustajab, aku tidak akan minta Firdaus, akan tetapi aku hanya akan memohon ridha-Nya.” Katanya pula,”Lupa kepada Allah itu lebih menyiksa dari pada masuk neraka”
Kalau memang memandang wajah Allah itu merupakan nikmat yang melebihi surga, kenapa kita tidak berusaha mencari jalan untuk bisa memandang wajah-Nya? Para Nabi dan orang-orang sufi mengatakan bahwa memandang wajah Allah itu bisa di dunia dan tentu bisa juga di akhirat, kalau memang bisa melihat-Nya di dunia ini kenapa kita harus menunggu sampai datang kiamat? Bukankah kalau wajah-Nya bisa dilihat di dunia sudah pasti di akhirat juga wajah itu tidak berubah dan sudah pasti bisa dilihat juga, kalau di dunia tidak bisa melihat Allah, di akhirat?!?

NAFSU MUTMAINAH

NAFSU MUTMAINAH
(by rahsia sufi)
Inilah peringkat/ martabat nafsu yang pertama yang benar-benar diridhai Allah seperti yang saudara kita nyatakan di atas. Yang layak masuk syurga Allah. Maknanya siapa sampai pada maqam ini bererti syurga tetap terjamin, InsyaAllah. Hakikat inilah yang difirmankan Allah: "Wahai orang yang berjiwa / bernafsu mutmainnah,pulanglah kepangkuan Tuhanmu dalam keadaan redhai meredhai olehNya dan masuklah ke dalam golongan HAMBAKU dan masuklah ke dalam syurgaKU".
Pada peringkat ini jiwa mutmainnah merasakan ketenagan hidup yang hakiki yang bukan dibuat-buat. Tidak ada lagi perasaan gelisah. Semuanya lahir dari tauhidnya yang tinggi dan mendalam. Tauhid yang sejati dan hakiki. Tidak ada lagi perbezaan senang dengan susah baginya sama sahaja. Pada maqam inilah permulaan mendapat darjat wali kecil.
Antara sifat-sifat maqam ini adalah:
1. Taqwa yang benar.
2. Arif
3. Syukur yang benar
4. Tawakkal yang hakiki
5. Kuat beribadat
6. Redho dengan ketentuan Allah
7. Murah hati dan seronok bersedekah.
8. Dan lain-lain sifat mulia yang tidak dibuat-buat
Pada maqam ini biasanya(walaupun tidak semestinya), akan adanya keramat-keramat yang luar biasa serta mendapat ilmu dengan tak payah belajar sebab sudah dapat mengesan rahsia-rahsia dari LohMahfuz. Adanya sifat lidah masin. Apa yang keluar dari mulut bukan sembarangan lagi bahkan menerusi yang dipanggil sebagai 'inkisaf'. Mereka sudah menguasai ilmu peringkat nur, tajalli, sir dan juga sirussir, iaitu lebih tinggi dari maqam mulhamah.
Yang dikatakan menerusi sirussir ialah cara penerimaan dengan telinga dan mata batin. Kalau mulhammah tadi baru terbuka dengan telinga batin tanpa mata batin. Dengan mata batin inilah dia berupaya melihat sesuatu yang ghaib yang tak mampu dilihat oleh mata biasa kita. Malah dapat melihat sesuatu yang akan berlaku pada masa akan datang. Betul-betul macam melihat TV. Malah siap boleh rewind lagi. Kalau guru kita nak lihat sejarah hidup kita yang lalu biasanya dia akan memrhati rakaman hidup kita dan mengesan dimana kesalahan kita dan memberi petua untuk membetulkannya. Kalau mencuri disuruhnya kita memulangkan kembali serta minta halal dan maaf, dan sebagainya lagi. Namun begitu dia tetap akan menjaga aib muridnya kepada orang lain. Perlu diingat pada peringkat ini dia tidak terganggu penglihatan dan pendengaran zahirnya pada masa sama melihat dan mendengar yang batin walaupun duduk di kedai kopi bersama-sama orang lain. Melalui penerimaan sirussir ini dia berupaya melihat alam barzakh, menjelajahi alam alam malakut. Keyakinan mereka sudah pada tahap ainul yakin dan haqqul yakin.
Fana juga boleh berlaku yang dikenali sebagai "fana qalbi" iaitu merupakan penafian diri ataupun menafikan maujud dirinya dan diisbatkan kepada wujudnya Allah semata-mata.Inilah peringkat yang kita bincangkan dulu mengenai LAA MAUJUD ILLALLAH. Keadaan inilah yang digambarkan Allah: "Semua yang ada adalah fana (tiada wujud hakikinya).Dan yang kekal(baqa) itu adalah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan"
Namun fana qalbi ini tidaklah kekal.

SYARIAT THOREQOH HAKIKAT MAKRIFAT DLL

Perjalanan Syariat, Tarikat, Hakikat & Makrifat Insan


Adalah didalam kajian hakikat kesemua perjalanan AGAMA bersendikan akan perjalanan pulang iaitu pengenalan akan AGAMA ialah untuk mengenali asal dan usulnya diri kita dan kaitan kita dengan Tuhan.


Maka sebagai mana yang telah kita ketahui perjalanan mengenal itu membawa kita kepada pengertian SYARIAT, TARIKAT, HAKIKAT DAN MAKRIFAT dan juga yang dikatakan MARGA atau JALAN dalam kefahaman AJARAN HAKIKAT maka PERJALANAN itu sebenarnya IALAH jalan kita mendekati akan Tuhan kita iaitu mengikuti peraturan yang menjadi asanya HUKUM agar patuh akan apa yang dikehendaki dan kedua kebaktian diatas peraturan itu yang membuka kepada pintu RAHMATnya dan menyempurnakan akan pengenalannya dan sampai akan perjalanannya kepada Tuhannya.

Maka sempurnanya itu diatas PERJALANAN AGAMA ialah memahami akan zahirnya atau turunnya akam hukum itu dan mematuhi akan hukum itu bukan diatas suatu PAKSAAN dan MENERIMA PADAH jika ditolak tetapi diatas mengenal TUHAN ITU DAN MENYINTAINYA bukan seperti PERCAYA KEPADA TUHAN kerana ini tiada membawa manusia itu kepada keimanan sejati kerana sekadar percaya adalah membawa kepada DASAR KEWAJIPAN kerana takut didera sementara KENAL

DAN CINTA Tuhan membawa erti ibadat diatas sebab kerana cinta tanpa paksaan dan bukan kerana DOSA atau PAHALA maka disini kita lihat HUKUM ITU DIPATUHI TETAPI KENA TAHU KENAPA BARU SEMPURNA KENYATAAN KITA.
Akan perkara yang dikenali sebagai PERJALANAN itu terbahagi ia kepada 7 makam iaitu :-

1. SHARIAT – TUBUH
2. TARIKAT – HATI (SANUBARI)
3. HAKIKAT – QALBI (HATI FUAD)
4. MAKRIFAT – SIR
5. HARIKAT – SIRUSIR
6. RAMAKAT – KHAFA
7. EKATAT – AKHFA

Empat yang pertama telah dikenali sementara tiga yang terakhir merupakan batin kepada MAKRIFAT.

RENGKASAN 4 JALAN YANG PERTAMA

1. SHARIAT = satu jalan zahir yang membentuk suatu peraturan yang telah digariskan oleh Allah dalam Al-Quran dan rasulullah melaluinya hadis.
KARMAMARGA SEMBAH RAGA – ertinya perjalanan ibadatnya hanya bertumpukan diatas kesungguhan dan tertib akan ibadatnya dan berusaha untuk memperbaiki akan ibadatnya sehingga tiada cela lahiriahnya dan mengharapkan diatas kelakuannyanya itu mendapat ganjaran

2. TARIKAT = satu jalan yang diterokai bagi merapatkan diri dengan Allah s.w.t.. Ianya merupakan jalan menyucikan diri dan hati supaya terbentuk jalinan akrab diantara dirinya dengan Allah s.w.t.
BAKTIMARGA SEMBAH SUKMA – ertinya perjalanan ibadatnya yang semakin mantap dikeusiaannya dan kerajinannya menjalankan ibadat dengan sempurna shariatnya membawanya kepada tahap kebaktian yang sejati kepada Tuhannya.

3. HAKIKAT = suatu jalan menyelami dan mengenali diri sendiri yang merupakan satu-satunya jalan ke arah makrifat diri dengan Allah s.w.t.
JANNAMARGA SEMBAH JIWA – ertinya perjalanan ibadatnya disertai akan ilmu yang memberi erti diatas segala hukum shariat itu yang mana dia memahami kenapa dan apa maksud shariat itu.

4. MAKRIFAT = adalah jalan yang dilalui oleh wali Allah yang agung.
YUGAMARGA SEMBAH RAHSIA – ertinya perjalanan ibadatnya sudah mencapai tahap kesempurnaan yang tertinggi dan sudah keluar dari tabiat kebiasaan beribadatnya manusia dimana segala ibadatnya tertumpu diatas kefana’an dirinya sehingga tiada lagi keberadaan dirinya

PENGENALAN KEPADA HARIKAT, RAMAKAT DAN EKATAT

Selepas pengenalan kepada empat perjalanan maka disini diperkenal akan 3 lagi jalan yang membawa kepada kesempurnaan terakhir. Adapun 3 jalan terakhir ini adalah batin kepada MAKRIFAT atau jalan RAHSIA alam SIRURSIR namanya terbahagi kepada 3 BATINnya iaitu :

1. Sirrusir ( RAHSIA DALAM RAHSIA)
2. Khafa (TERSEMBUNYI –GHAIB)
3. Akhfa (AMAT TERSEMBUNYI – GHAIBUL-GHAIB)

Pengenalan jalan ini hanya terbuka kepada manusia dalam masa 11 ribu tahun sekali dan hampir-hampir tiada yang dapat melengkapkan kerana setiap jalan itu pula terbuka untuk 11 orang manusia yang terbaik diantara bangsa dan keturunannya dan lagi setiap perjalanan itu memakan 1.1 juta tahun dan penghujung perjalanan ini jika lengkap akan tiga perjalanan memakan masa selama 330 juta tahun.
Adalah pengenalan akan HARIKAT, RAMAKAT dnan EKATAT ini suatu yang dinamakan batin kepada makrifat dimana makrifat itu sendiri terpecah kepada tiga bahagian tersebut menjadi ia hakikat akan makrifat atau batinnya makrifat itu. Kefahaman diatas perkara ini amat bergantung diatas kefahaman makrifat itu sendiri dan hanya terbukti kebenarannya apabila seseorang itu telah sampai kepada pengajian makrifat.

MARTABAT PERJALANAN HARIKAT
Ianya suatu jalan yang membawa ertinya kesatuan diatas dua keberadaan yang ditampirkan sabagai INSAN AL-KAMIL iaitu sempurnanya KUN diatas lidahnya satu Kun dengan Tuhannya, inilah martabat orang yang telah memasuki wilayah MAKRIFAT segera tenggelam didalam lautan ilahiyah yang menjadikan dirinya tiada lagi berkata diatas lidahnya melainkan di KUN-kan oleh Tuhannya.

Mereka yang didalam martabat harikat ini menjadi dia RAJA yang akur akan segala sesuatu dan menjadi dia penghukum hukum Allah itu menjadi kitab akan Allah itu dan menjadi ganti diri Allah itu dikemanusiaannya iaitu ternyata ketuhanannya di kemanusiaannya tiada dapat terbeza oleh manusia awam kerana KUNnya itu Kun Tuhannya. Disini yang arifbillah itu mengenali Tuhannya dengan kalamnya dan shuhud yang tiada lagi bertempat melainkan pada dirinya itulah ternyata akan kekuasaan ilahi itu tiada liagi ada batasan lagi
MARTABAT PERJALANAN RAMAKAT.

Adalah perjalanan RAMAKAT pula perjalanan kepada menghadirkan diri kepada dua alam dan duduk nya pada satu alam dimana tiada lagi kemanusiannya dan ketuhanannya bahkan telah luluh pada satu alam jua walaupun masih ujud keduanya tetapi alamnya tiada dua tetap satu jua dan mereka yang didalam perjalanan ini adalah pemegang kuasa pemeliharaan yang membawa erti kesatuan kehormanian yang seimbang diatas dua alam pada satu alam itu jua maka ilahiyah itu sudah berubah kepada satu AKU dua DIRI namun tiada shiriknya lagi kerana tuhannya telah menjadikan dia dua kepala satu tubuh membolehkan dia melihat pada satu mata dua pandangan kasyaf pada bayangan yang cerah dan kelam itu jua.

MARTABAT PERJALANAN EKATAT
Ini adalah satu jalan semata-mata perjalanan MAHARAJA bukan Raja kerana disini tiada lagi Dia atau Aku bahkan hancur semuanya kepada suatu martabat yang menyatu akan segalanya kuasa dan kehendak sebagai KUASA SEMATA-MATA yang membawa kepada PENCIPTAAN dan KEHANCURAN itu ada pada sesiapa yang sampai ke martabat ini.

KONTAK ROHANI


Manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Diri rohani adalah inti daripada manusia. Diri rohani yang merupakan mitra dari diri jasadi (jasmani) dapat mengadakan kontak dengan diri rohani manusia lainnya, baik semasa masih sama-sama hidup atau sama-sama sudah mati atau salah seorang sudah mati dan yang lainnya masih hidup. Diri rohani tidak mengalami kematian, sedangkan yang mengalami kematian adalah diri jasadi.

Kontak Rohani Semasa Hidup
Kontak rohani semasa masih hidup yang sering juga dinamakan kontak batin seperti :
Antara imam dan makmum dalam shalat; Seorang makmum wajib berniat menjadi makmum dan konsekwensinya dia harus mengikuti imam sepenuhnya. Manakala makmum menyalahi perbuatan imam atau tidak sesuai dengan apa yang dilakukan imam, umpamanya imam sujud dia rukuk, imam tahiyat dia berdiri dan seterusnya, maka shalat si makmum tadi menjadi batal.
Antara anak dengan kedua orang tua; Hubungan betin kasih sayang, perasaan tanggung jawab antara kedua orang tua dan anak, dan sebaliknya, merupakan fitrah manusia. Banyak dalil dalam Al Qur’an maupun Al Hadist bahwa orang tua bertanggung jawab terhadap anaknya dalam masalah nafkah, pendidikan, agama, dan sebagainya. Sebaliknya anak disuruh berbakti dan tidak boleh durhaka kepada kedua orang tuanya. (Q.S. Al Isra 17:23).
Antara suami dan isteri; Dengan akad nikah yang sah, maka terjadilah suatu hubungan atau ikatan batin yang kuat antara suami dan istri dan keluarga kedua belah pihak. Dengan akad nikah terjadilah mwaddah, rasa kasih sayang antara keduanya yang merupakan berkahnya nikah (Q.S. Ar Rum 30:21) dan menimbulkan suatu ikatan janji yang suci lagi kokoh kuat antara keduanya, yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing (Q.S. An Nisa’ 4:21).
Antara murid dengan guru; Tidak ada di atas dunia ini seseorang memperoleh ilmu tanpa melalui guru, langsung atau tidak langsung. Seorang murid dengan sungguh-sungguh menuntut ilmu dari gurunya, dan seorang guru dengan tulus ikhlas memberikan pendidikan dan pengajaran kepada muridnya, sehingga dengan demikian terjadilah hubungan, kontak batin yang harmonis antara keduanya. Murid yang mendapatkan ilmu pengetahuan dari gurunya dengan cara demikian akan memperoleh ilmu yang berkah dan bermanfaat.
Antara murid/salik dan Syekh Mursyid; Sama halnya antara murid dengan guru sekolah, bagitu pulalah halnya antara murid/salik dengan Syekh Mursyidnya, ada hubungan bathin yang sangat kuat satu dengan lainnya. Kalau antara murid dengan guru di kelas adalah transfer of knowledge, mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka antara murid/salik dengan Syekh Mursyid adalah Transfer of Spiritual, mentransfer masalah-masalah kerohanian, membina iman dan taqwa (imtak). Masalah kerohanian adalah sangat halus dan tinggi yang dasar utamanya adalah wahyu dari Allah SWT. Karena itulah persyaratan Syekh Mursyid, jauh lebih sulit dan tinggi dibandingkan dengan guru di depan kelas. Syekh Mursyid adalah seorang yang berkualitas wali, karena dia membimbing rohani murid dalam berzikir dan beribadah. (Q.S. Al Kahfi 18:27).

Kontak Rohani Orang Hidup dengan Orang yang Meninggal dan Sebaliknya
Sesungguhnya arwah di alam barzah itu masih hidup, bsai mendengar, melihat, mengetahui dan berkomunikasi baik antara sesama arwah orang yang sudah meninggal, maupun dengan arwah orang yang masih hidup. Dalam kajian tasawuf, arwah para Nabi dan wali-wali Allah semasa hidupnya, arwahnya hidup di alam Syahadah dan juga hidup atau dapat berkomunikasi di alam gaib.
Seorang Syekh Mursyid dapat membimbing muridnya dari jarak tanpa batas baik semasa dia masih hidup maupun dia telah meninggal dunia karena sesungguhnya arwah para wali itu hidup disisi Allah. Sebagai contoh Syekh Abdul Wahab Rokan semasa Perang Aceh sekitar tahun 1890-an pernah di photo oleh tentara belanda ikut sebagai penjuang dipihak pasukan Aceh sehingga Belanda menganggap Beliau sebagai pemberontak. Padahal pada saat yang sama Beliau tidak pernah keluar dari rumahnya ber zikir/suluk selama berhari-hari. Saidi Syekh Dermoga Barita Raja Muhammad Syukur pernah menolong muridnya yang tenggelam di laut dan membawanya ke darat dengan selamat padahal pada saat yang sama Beliau sedang makan dengan santai di rumah Beliau. Lalu siapa yang mengangkat orang di laut? Atau siapa yang ikut dalam perang?
Hal-hal seperti ini bukan hal yang asing dalam Tarekat dan tentu saja kalau diuraikan penomena yang dialami oleh para pengamal tarekat sangat banyak dan sangat unik serta ajaib.
Di antara sesama kita pun bisa saling berkomunikasih secara rohani asal lengkap memenuhi rukun dan syaratnya. Pengkajian masalah roh atau diri rohani ini dan hubungan roh satu dengan roh lainnya, merupakan masalah pokok dan amat penting dalam kajian tasawuf dan tarekat. Tentang roh dapat kita ketahuai dengan jelas dari Firman Allah :
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diiwaktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Az Zumar 39:42)
Menalaah tafsir ayat ini, baik dari tafsir Depag maupun tafsir Ibnu Qayyim dalam bukunya “Ar Ruh” dapat disimpulkan bahwa :
Roh orang yang meninggal keluar dari jasadnya dan roh itu ditahan oleh Allah SWT.
Roh orang yang tidur dilepaskan oleh Allah untuk kembali kepada jasadnya sampai dengan dia meninggal, sesuai dengan ajal yang ditetapkan baginya.
Roh Nabi, roh Rasul dan roh orang saleh yang tidur mengembara ke alam atas, alam malakut, alam rabbani dan dapat melihat kejadian yang telah lalu, sekarang dan yang akan datang. Dari penglihatannya itu kadang-kadang menzahir dan menjelma sebagai mimpi, maka mimpinya itu dinamakan mimpi yang benar atau ar ru’yatush-shalihah.

Kontak Rohani dengan Allah
Roh yang telah disucikan kemudian diajarkan cara berzikir kepada Allah barulah bisa mengadakan kontak dengan Allah dalam Shalatnya (Q.S. Al A’laa, 87:14-15). Tanpa disucikan terlebih dahulu mustahil roh kita bisa berhubungan dengan Allah karena Allah adalah Zat Maha Suci dan Maha Tinggi. Disinilah pentingnya kedudukan seorang Syekh Mursyid bukan hanya membimbing secara jasmani akan tetapi bisa mensucikan rohani sang murid dengan Nur Allah yang dititipkan dalam dadanya. Tentu saja seorang murid harus mengenal guru semasa Gurunya masih hidup, pernah bertemu dengan guru nya (berziarah) sehingga benar-benar mengenal Guru nya, dengan demikian akan terjadi kontak rohani baik semasa Guru nya masih hidup maupun sudah meninggal begitu juga sebaliknya. Banyak orang tersesat karena mencari Guru Rohani di hutan-hutan, di pinggir laut menunggu datang Nabi Khidir atau berzikir sendiri di rumah meninggu datangnya Syekh Abdul Qadir atau Syekh lainnya. Cara demikian justru akan semakin jauh kita dengan hakikat sebenarnya karena syetan dengan mudah datang menyerupai orang yang kita inginkan. Berguru secara rohani harus pernah perjumpa terlebih dahulu secara jasmani agar benar-benar terjaga.
Bukan hal mustahil seorang hamba yang telah disucikan dan dibimbing sampai ke tahap Makrifatullah bisa berkumunikasi dengan Allah dan bahkan melihat wajah-Nya karena roh itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Kalau kita belum bisa berkomunikasi dengan Allah dalam artinya yang sebenarnya, belum bisa mendengar suara-Nya dan belum bisa melihat wajah-Nya berarti kita belum sampai ke tahap Makrifatullah. Kalaupun ada yang mengaku telah mencapai maqam Makrifatullah namun belum bisa memenuhi kriteria diatas maka makrifat nya hanya sampai kepada pemahaman saja atau makrifat kepada sifat dan nama-Nya belum kepada makrifat Zat-Nya. Carilah seorang Guru Mursyid yang benar-benar bisa mengantarkan rohani kita sampai ke tahap Makrifatullah karena hanya itu satu-satunya jalan yang paling aman untuk sampai ke hadirat-Nya.
Semoga Allah memberikan kita kesempatan untuk mengenal-Nya serta mengabdi dengan ikhlas kepada-Nya.