Laman

Minggu, 27 November 2016

ANTARA SYARIAT DAN HAKIKAT


Imam Qusyairi menjelaskan bahwa syariat adalah perintah yang ditetapkan dalam ibadah, sedangkan hakikat adalah kesaksian akan kehadiran peran-serta ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan. Kita sering mengenal istilah, musyahadah rububiyah, yakni melihat Tuhan dengan hati. Dikatakan demikian sebab syariat merupakan pengetahuan atau konsep merambah jalan menuju Allah, sedangkan hakikat adalah keabadian melihat-Nya. Sementara, thariqah merupakan perjalanan hamba meniti jalan syariat. Artinya, aktualisasi prinsip-prinsip syariat dengan ketentuan hukum yang sah.
Syariat datang dengan beban hukum dari Sang Maha Pencipta, sedangkan hakikat bersumber dari dominasi kreativitas Al-Haqq. Syariat merupakan penyembahan makhluk pada Al-Khaliq, sedangkan hakikat adalah kesaksian makhluk terhadap kehadiran-Nya.
Syariat adalah penegakan apa yang diperintahkan Tuhan, sedangkan hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya, serta yang disembunyikan dan yang ditampakkan.
Abu Ali Ad-Daqaq memberi penjelasan menarik tentang hal ini. Menurutnya, “Iyya ka na’budu (Hanya kepada-Mu kami menyembah)-[QS Al-Fatihah [1]: 4] adalah manifestasi dari syariat. Sedangkan “Iyya ka nasta’iin” (Hanya kepada-Mu kami memohon)- [QS Al-Fatihah [1]: 5 ] adalah manifestasi dari pengakuan (penetapan) hakikat.
Jadi, syariat adalah hakikat dari sisi mana kewajiban diperintahkan, dan hakikat sebenarnya juga merupakan syariat dari sisi mana kewajiban diperintahkan bagi ahli ma’rifat.

Fana Wujud

Assalamualaikum wr wb
Bismillahirahmanirrahim
Ketika mengatakan Allah itu tarik nafas dari dlm Fuat hingga sampai
ke alam Qudus alam ubun ubun....,dan makam Kabfusain yaitu antara dua Alis Mata, maka tahanlah
hingga kuat sekalian Alam kita...

Merasa Fana atau Lenyap atau lebur Wujud yg zahir ini kepada Wujud yang Batin..
Fana Wujud yang batin kepada Zat semata mata, maka Fana dan Karamlah sekalian sifat Basariah dalam lautan Bahrul Qadim.,Hingga Nyatalah sifat Lahut semata mata yaitu Allah...
Maka telah Fanalah sekalian
kelakuan dan diri kita
Maka Nyatalah Baqa keadaan
Zat Tuhan semata mata...
Inilah yang dikatakan Suhut
sehingga sampai kepada Salam...
Adapun Suhut itu artinya Pandang Mata Hati....
Arti Mata Hati ialah Nyawa..
Alam Nyawa itulah sebenar benar Iman..
Inilah Sirrullah yaitu Cahaya Alam
Atau Ilmu Zat Allah yang Tiada Huruf tiada Suara..
Wujud Mutlak yakni Wujud Zat wajibul wujud.., dengan ini jasad kita Kamil dengan Nyawa dan Nyawa Kamil mukamil dengan Zat Allah...
Hidup Jasad serta Nyawa
Tahu Jasad serta Nyawa
Berkuasa Jasad serta Nyawa
Berkendak Jasad serta Nyawa
Mendengar Jasad serta Nyawa
Melihat jasad serta Nyawa
Berkata Jasad serta Nywa..
Hidup Nyawa dengan Hayat Tuhan
Tahu Nyawa dengan Ilmu Tuhan
Berkuasa Nyawa dgn Qudrat Tuhan
Mendengar Nyawa dg Sama' Tuhan
Melihat Nyawa dengan Basar Tuhan
Berkehendak Nyawa dg Iradat Tuhan
Berkata Nyawa dengan Kalam Tuhan
Salam ya salam santun selalu surya..

Rabu, 23 November 2016

TATAPLAH MASA DEPAN


Ini bukan sebuah cerita belaka, namun sebagain dari kita memang mengalami hal seperti ini di dalam kehidupan ini. Kita seolah tidak memiliki gairah yang besar untuk sebuah keberhasilan, dan seakan-akan hanya menjadi seorang penggembira saja di berbagai kesempatan baik yang kita temukan di dalam kehidupan kita.
Di saat sebagian orang berpacu untuk meraih dan mengejar mimpi-mimpi mereka akan masa depan yang cerah, beberapa yang lainnya justru hanya berada di titik yang sama untuk beberapa waktu yang cukup panjang. Mereka tetap hidup dan menjalani hidup sebagaimana yang lainnya, namun mereka tidak pernah beranjak dan selalu berada pada titik yang sama, meskipun mereka memiliki kesempatan yang luas untuk melakukannya. Lalu, apa yang sebenarnya sedang kita lakukan?
Tidak menerima kenyataan dengan hati lapang
Ada banyak orang yang mengalami kegagalan, bahkan meski pada akhirnya mereka berhasil dalam sebuah bidang, namun mungkin saja mereka telah mengalami berbagai kegagalan sebelum meraih keberhasilan tersebut di dalam genggaman. Hal ini bisa dialami siapa saja, bahkan oleh kita juga. Namun yang kemudian menjadi pembeda adalah bagaimana kita menyikapi dan menerima kegagalan tersebut sebagai sebuah hal yang positif untuk kehidupan kita saat ini, atau bahkan untuk kehidupan kita di masa yang akan datang.
Baca juga : Kita Akan Menjadi Apa Yang Kita Percayai
Meski menyadari kegagalan yang telah terjadi, sebagian dari kita memilih untuk tetap berada di sana dan tidak beranjak ke mana-mana. Membiarkan diri selalu terpuruk dan seolah berupaya untuk mengingkari kegagalan yang telah terjadi, itulah hal yang sering kita lakukan. Bersikap seolah semuanya baik-baik saja, dan menyamankan diri pada kegagalan-kegagalan yang sama. Kita tidak pernah benar-benar bangkit dan memberi kesempatan diri kita sendiri untuk menjadi lebih baik lagi. Ini tentu sebuah tindakan yang salah, bahkan sangat fatal.
Belajarlah untuk menerima kenyataan dan kegagalan yang mungkin saja pernah kita alami di masa lalu. Jangan selalu menyalahkan diri atas hal tersebut, sebab ini akan selalu membuat kita marah dan tidak pernah tenang dalam menjalani kehidupan. Cobalah untuk memaafkan diri sendiri dan berdamai dengan semua masa lalu yang telah terjadi, bahkan berbagai hal terburuk sekalipun yang pernah kita alami.
Tataplah masa depan dengan berani dan rasa percaya diri yang tinggi
Jangan menghukum diri sendiri atas berbagai masalah yang pernah terjadi, sebab hal ini akan membuat kita selalu hidup di bawah bayang-bayang masa lalu yang kelam. Hidup hanya sekali maka tataplah masa depan, karena sangat mubazir jika dilewatkan dengan meratapi masa lalu, bukan?
Nikmati saja apa yanga ada sekarang dan milikilah sebuah harapan untuk masa yang akan datang. Beranjak dan meninggalkan masa lalu adalah sebuah pilihan yang tepat, jika kita memiliki keinginan untuk berubah dan menjadi seseorang yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Mulailah untuk memberikan diri sendiri sebuah kesempatan yang lain, agar kita bisa memulai sebuah lembaran baru di dalam hidup kita. Rasa percaya diri yang kita miliki akan sangat membantu untuk bisa bangkit dan memperbaiki berbagai hal buruk dan juga kegagalan yang kita alami di masa silam. Hiduplah di masa sekarang dan bukan di masa lalu yang gagal dan selalu penuh dengan berbagai hambatan. Bahkan meski di masa lalu kita teramat sangat gagal, namun akan tetap selalu ada kesempatan di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Baca juga : Jadilah Pemenang, Jangan Menyerah dan Berjuanglah Hingga Akhir
Baca juga : Putus Asa atau Berusaha, Mana Pilihan Kamu?
Artikel berjudul tataplah masa depan, hiduplah sekarang dan bukan di masa lalu ini mengajarkan kita untuk tidak terpaku di masa lalu karena yang terpenting adalah masa depan. Jangan pikirkan masa lalu yang penuh kegagalan, llihat masa lalu hanya untuk belajar agar di masa depan tidak terulang kesalahan yang pernah terjadi. Tataplah masa depanmu dengan penuh keyakinan dan hal hal yang positif.

Ma’rifatullah [Mengenal Allah]


ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
Segala puji bagi Allah Subh anahu wa Ta’âla yang telah mengajarkan hamba-hamba-Nya apa-apa yang tidak dia ketahui,kemudian shalawat beserta salam tercurahkan kehadirat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya y dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman. Ma’rifatullah atau mengenal Allah ‘ Azza wa Jalla merupakan satu perkara wajib yang mesti diketahui oleh seorang muslim karena tanpa mengenal Allah Subh anahu wa Ta’âla tidak akan mungkin bisa diraih kebahagian hidup, surga Allah
Subh anahu wa Ta’âla . Seseorang yang tidak mengenal Allah Subh anahu wa Ta’âla dengan benar tidak akan mengerti hakekat hidup yang sesungguhnya, dalam artian siapakah dia, untuk apa ia diciptakan oleh Allah Subh anahu wa Ta’âla .
Mengenal Allah Subh anahu wa Ta’âla merupakan salah satu dari tiga pertanyaan yang akan ditanyakan oleh malaikat kepada manusia tatkala mereka masih berada di alam Barzakh (alam kubur). Adapun tiga pertanyaan itu adalah sebagai berikut:
1. Pertanyaan tentang siapa Robbmu
2. Apa agamamu
3. Siapa Nabimu
Ketiga pertanyaan di atas merupakan tiga landasan pokok yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Ketidaktahuan seseorang kepada tiga hal tersebut akan menyebabkan ia mendapat azab dari Allah Subh anahu wa Ta’âla
Apa tujuan yang hendak dicapai ketika seseorang mengenal Allah I ?
Seseorang yang tidak mengerti tujuannya, maka ia akan berada dalam kebingungan dan terombang-ambing sehingga ia akhirnya terjatuh kedalam lembah kesesatan dan kebathilan. Oleh karena itu Syaikh utsaimin rah imahullah mengatakan bahwa; ketika seseorang telah mengenal Allah Subh anahu wa Ta’âla dengan benar, maka secara pasti mereka akan mempunyai beberapa sikap yang akan tampak pada dirinya, diantara sifat tersebut adalah:
1. Menerima syariat yang ditetapkan Allah ‘ Azza wa Jalla .
2. Tunduk dan patuh kepada Allah
Subh anahu wa Ta’âla
3. Menjadikan Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah r sebagai penentu hukum.
Tentunya semua ini akan menjadi pertanyaan bagi kita, kenapa banyak orang tidak mau menerima Syariat Islam yang Allah Subh anahu wa Ta’âla tetapkan, kenapa banyak kaum muslimin tidak mau patuh dan tunduk kepada Allah Subh anahu wa Ta’âla ? Bahkan mereka lebih mendahulukan hawa nafsunya ketimbang mentaati perintah Allah Subh anahu wa Ta’âla , bahkan mereka masih berhukum dengan hukum jahiliyah yang mereka buat sendiri.
Tentu semua jawabannya kembali kepada satu titik terang, yaitu mereka tidak mengenal Allah Subh anahu wa Ta’âla dengan benar. Mengenal Allah I dengan benar akan membuahkan ketaatan dan kecintaan kepada Allah ‘ Azza wa Jalla.
Siapakah Robb-mu (Tuhanmu)
Agar seorang muslim bisa mengenal Robbnya dan bisa patuh serta mencintai Allah ‘ Azza wa Jalla, maka mereka wajib mengenal Allah Subh anahu wa Ta’âla dengan benar dan menurut pandangan Syariat.
Robb kita adalah Allah Subh anahu wa Ta’âla, Dialah yang menciptakan kita, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan dan mematikan, Dia-lah Allah Subh anahu wa Ta’âla Robbul ‘alamin, Dialah Allah ‘ Azza wa Jalla Dzat yang wajib kita sembah. Hanya Dia yang kita sembah dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dalam bentuk apapun. Dialah Allah Subh anahu wa Ta’âla yang telah menurunkan kepada makhluknya semua nikmat. Nikmat-nimat Allah ‘ Azza wa Jalla tidak terhitung banyaknya: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa menghitung-Nya.” (QS. an-Nahl: 18)
Untuk lebih meyakinkan kita tentang siapakah Allah I, maka mari kita lihat ayat-ayat al-Qur’an:
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan manusia dari tanah
:
Allah Subh anahu wa Ta’âla berfirman:
“Dia-lah (Allah) yang telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian menetapkan ajal, dan ajal yang telah ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang hanya Dia mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu (tentang hari berbangkit itu)” (QS. al-An’am :2)
2. Allah
Subhanahu wa Ta’ala
Maha pemberi rezki Sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya Dia-Nya Allah Maha Pemberi rezeki dan Yang Maha Kuat lagi Kokoh” (QS. adz-Dzaariyat: 58)
“Katakanlah siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan ? Maka mereka akan menjawab: “Allah” (Q.S Yunus: 31)
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan manusia untuk mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya saja. Dalam hal ini Allah Subh anahu wa Ta’âla berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku” . (QS. adz-Dzaariyat: 59)
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan Robb sekalian alam. Sebagaimana dalam firman-Nya : “Segala puji bagi Allah Robb sekalian alam”. (QS. al-Fatihah: 2)
Robb artinya: Dialah Allah Subh anahu wa Ta’âla yang membimbing, memberikan nikmat, pencipta manusia, penguasa dan Maha mengatur terhadap manusia, sebagaimana yang Dia kehendaki, sedangkan kata-kata -‘alam- adalah setiap apapun selain Allah Subh anahu wa Ta’âla .
Apa metode (manhaj) dalam mengenal Allah I ?
Hal ini sangat perlu dan wajib kita ketahui, karena tatkala seseorang tidak mengenal cara yang benar dalam mengenal Allah Subh anahu wa Ta’âla , maka ia akan mengenal Allah Subh anahu wa Ta’âla dengan cara-cara keliru. Contoh kekeliruan dalam mengenal Allah
Subh anahu wa Ta’âla adalah dengan anggapan bahwa mengenal Allah seperti mengenal diri sendiri, mereka berdalil: “Siapa yang mengenal dirinya maka mereka akan kenal dengan Tuhannya” ungkapan tersebut adalah hadist maudhu (palsu).
Adapun Manhaj (metode) dalam mengenal Allah Subh anahu wa Ta’âla adalah:
1. Mentadabburi dan tafakkur terhadap kebesaran ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keagungan-Nya, karena dengan melakukan hal seperti itu akan mengantarkan seseorang kepada mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengenal kekuasaan-Nya, dan keagungan-Nya serta rahmat-Nya. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah”. (QS. al-A’raf: 185) “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pada pertukaran malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir.” (QS. Ali Imran: 190)
Tatkala seseorang mau mengkaji dan mentadabburi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung ini, maka dengan sendirinya mereka akan semakin yakin dan kagum kepada Penciptanya, Dzat yang maha segala-galanya dan tidak bisa disaingi oleh siapapun. Lihatlah langit, bulan, matahari, siang, malam bahkan manusia sendiri yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk. Semua ini menunjukkan kehebatan Sang Pencipta.
2. Mengkaji ayat-ayat Syar’i (al-Qur’an)
Seseorang yang ingin kenal dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka wajib baginya untuk memandang ayat-ayat Syar’i, yaitu alqur’anul karim. Karena tidak cukup hanya dengan melihat keagungan ciptaan-Nya saja. Al-Qur’an akan memberikan keyakinan dan akan memperkenalkan kepada tentang Allah ‘Azza wa Jalla, ia merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, di dalamnya terdapat kemaslahatan-kemaslahatan yang besar, karena tidak akan tegak kehidupan makhluk, baik di dunia maupun di akhirat kecuali dengan mengenalnya. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka apakah mereka tidak mentadabburi al-Qur’an. Kalau sekiranya al-Qur’an itu bukan dari Allah, maka sungguh mereka akan mendapati perselisihan yang sangat banyak di dalamnya”. (QS. an-Nisaa’: 82)
Tentu semua ini harus dikaji dengan ilmu, sedangkan untuk mendapatkan ilmu seseorang tidak boleh berpangku tangan, atau menunggu datangnya ilmu tersebut. Hendaklah seseorang yang akan mengenal Allah I mau belajar, hadir di majelis-majelis ilmu, mempunyai perhatian tentang Aqidah yang Shohih.
Semakin tinggi ilmu seseorang tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia akan semakin mengetahui nikmat dan manfaat yang dapat ia rasakan, bahkan ia akan semakin takut untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiyat, dan juga ia akan merasakan semakin kuat dorongan di dalam beramal sholeh dan melaksanakan syari’at agama ini. Hal ini disebabkan karena perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain adalah realisasi dari mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk menambah bahan bacaan dalam hal ini kami anjurkan para pembaca untuk membaca buku-buku aqidah seperti:
Syarah Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, kitab Tauhid oleh Syaikh Sholeh al-Fauzan dari jilid 1 – 3.
4 hal pokok yang wajib diperhatikan dalam mengenal Allah ‘Azza wa Jalla
dan beriman dengan-Nya.
1. Beriman dengan adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala
Seorang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib baginya meyakini adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dengan dalil akal maupun dalil naqli (al-Quran dan Sunnah)
2. Beriman dengan Rububiyah Allah ‘Azza wa Jalla
Meyakini bahwa Dialah satu-satunya Robb, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah Allah yang menghidupkan, mematikan, memberi rezki, serta mengatur alam semesta ini.
3 Beriman dengan Uluhiyah-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala
Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya zat yang harus disembah dan diibadati.
4. Beriman dengan asma’ dan sifat-Nya.
Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang husna sesuai dengan kemuliaan-Nya, dan wajib menetapkan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Buah dari mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala (Ma’rifatullah)
Ketika seorang muslim telah kenal dengan Robbnya dengan benar, maka dengan sendirinya ia akan merasakan kenikmatan, ketenangan dan kebahagian hidup serta mampu menghadapi kehidupan dengan baik. Ibarat pepatah mengatakan tak kenal, maka tak sayang, dan tak sayang maka tak cinta.
Syaikh Utsaimin rah imahullah mengatakan dalam kitab beliau Syarah Tsalasatul Ushul, bahwa buah yang didapatkan bagi orang yang beriman dengan Allah Subhanahu wa ta’ala (ma’rifatullah) adalah sebagai berikut :
1. Terwujudnya tauhid yang sesungguhnya, karena ia tidak lagi mempunyai ketergantungan, pengharapan dan rasa takut kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, dan ia tidak menyembah kecuali kepada-Nya.
2. Sempurnanya cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengagungkan-Nya, disebabkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai nama-nama yang husna dan sifat-sifat yang tinggi yang tidak sama dengan makhluk. Dengan mengetahui hal tersebut, akan bertambah yakin dengan kesempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla.
3. Dengan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada-Nya, maka seseorang bisa mewujudkan ibadah yang sesungguhnya kepada Allah
Ta’ala
dengan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.
Demikianlah pembahasan ini semoga ini menjadi pintu gerbang bagi kita untuk mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dalam lagi, sehingga kita akan merasakan kelezatan beriman dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam .

RAHSIA BISMILLAH DAN ROH IDHAFI

AL-RUH AL-IDHAFI
Kata Al-Marhum Syeikh Naem As-Saufi dalam kitab Mengenal Ruh : Bermula ada pun Ruh Idhafi itu maka daripadanya asalnya Jawahir.
Ada pun Ruh Idhafi itu ialah Nuktah. Yang mengadakan Nuktah itu Zat Allah yang Maha Suci. Maka Nuktah itu adalah Titik. Maka Titik itu didalam BA, maka bernamalah ia Bismillah.
Maka dari huruf Bismillah itulah asalnya kejadian alam semesta dan segala isi–isinya. Apabila BA itu terbalik ianya dinamakan NUN. Maka Roh Idafi itulah izin Allah di dalam diri kita.
Maka Ruh Idhafi itulah dinamakan Ujud Idhafi. Maka Ruh Idhafi itulah dinamakan Nyawa Muhammad, Nyawa Adam, Nyawa orang-orang Mukmin dan Nyawa kepada Ruhani.
Maka kenyataan Ruh Idhafi itu lah Ruhul Quddus. Maka kenyataan Ruhul Quddus itu ialah Ruhani. Kenyataan Ruhani itu ialah Nafas kita. Maka ada pun Ruh Idhafi itu didalam diri. Maka Hakeqat itu diri, dan diri itu didalam Idhafi.
Pasal Nabi Musa AS tidak kenal apa itu Idhafi, maka sebab itu Nabi Musa AS tidak kenal siapa itu Nabi Khidir AS. Maka sebab itu Nabi Musa tidak sanggup mengikuti perjalanan Nabi Khidir AS sampai pada edahnya…
Wallahu’alam…
[ Qarin jin pendamping manusia ]
Qarin adalah jin yang dicipta oleh Allah sebagai pendamping atau kembar kepada setiap insan yang dilahirkan (manusia). Dia dikatakan sebagai “syaitan” kepada manusia itu. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini pasti ada qarin nya sendiri. Rasulullah s.a.w. tidak terkecuali. Cuma bezanya, qarin Rasulullah adalah muslim. Manakala yang lain-lainnya adalah kafir. Pada umumnya qarin kafir ini mendorong “dampingan”nya membuat kejahatan. Dia membisikkan was-was, melalaikan ibadah seperti solat, membaca al-Quran dan sebagainya. Malah ia bekerja sekuat tenaga untuk menghalang manusia dampingannya melakukan ibadah dan kebaikan.
Untuk mengimbangi usaha qarin ini Allah utuskan malaikat (Maha Adil Allah). Malaikat ini akan membisikkan hal-hal kebenaran dan mengajak membuat kebaikan. Maka terpulanglah kepada setiap manusia membuat pilihan.
Walau bagaimanapun orang2 Islam mampu menguasai dan menjadikan pengaruh qarinnya lemah tidak berdaya.
Caranya ialah dengan membaca “Bismillahir Rahmanir Rahim” (basmalah) sebelum melakukan sebarang pekerjaan, banyak berzikir, membaca al-Quran, melakukan kebaikan dan taat melaksanakan perintah Allah. Secara tidak langsung manusia itu akan meninggalkan nafsu syahwat dan sifat-sifat tercela. Membersihkan dirinya bersesuaian dengan martabat malaikat tersebut.
Pernah satu ketika dulu para ‘ustaz” pendakwah menceritakan bahawa apabila kita makan berserta Bismillah…. syaitan akan kelaparan dan kurus tetapi jika sebaliknya ia semakin gemuk. Pada awalnya memang mengelirukan dan sukar difahami bagaimana syaitan itu boleh kurus kerana bukan kita seorang sahaja manusia di muka bumi ini. Bukan semuanya baca basmalah bila hendak makan dan minum. Setelah dibangkitkan soal qarin ini baharulah kita faham kedudukan sebenarnya. Syaitan yang dimaksudkan ialah jin qarin ini (sifatnya berlawanan dengan sifat malaikat – sebab itu disebut syaitan) dan ia khusus untuk setiap individu.
Sabda Rasulullah s.a.w. daripada Abdullah Mas’ud r.a. maksudnya: “Setiap kamu ada Qarin daripada bangsa jin, dan juga Qarin daripada bangsa malaikat. Mereka bertanya: “Engkau juga ya Rasulullah.” Sabdanya: “Ya aku juga ada, tetapi Allah telah membantu aku sehingga Qarin itu dapat kuislamkan dan hanya menyuruh aku dalam hal kebajikan sahaja.” (Riwayat Ahmad dan Muslim)
Kewujudan qarin ialah untuk menggoda manusia, menampakkan hal-hal yang buruk dan hal-hal yang jahat-jahat seolah-olah baik pada anggapan manusia, lalu akhirnya manusia terpengaruh atau terpesong.
Dalam surah al-An’am: 112 terdapat firman Allah: “Dan demikianlah kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh dari jenis manusia dan jin, sebahagian daripada mereka membisikkan kepada yang lain perkataan yang indah-indah untuk menipu”.
Ath-Thabarani mengisahkan riwayat dari Syuraik bin Thariq. Ia berkata, Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: “Tidak ada seseorang di antara kalian melainkan ada baginya seorang syaitan.” Mereka bertanya, “Juga bagimu, ya Rasulullah?” “Ya, juga bagiku, tetapi Allah melindungiku sehingga aku selamat .”(HR. Ibnu Hibban)
Jin ini, menurut para alim ulama’, bukanlah dari kalangan jin yang biasa. Jin ini tugasnya hanya untuk menyesatkan ‘tuan’nya, yang didampingi dari awal kelahiran hingga kematian manusia tersebut. Ada juga qaul yang menyatakan bahawa jin ini dilahirkan bersama-sama kita, akan tetapi ianya tidak mati apabila kita meninggal dunia kerana hayat mereka dipanjangkan Allah, dan mereka hanya dimatikan menjelang hari Qiamat.
Ketika manusia mati sama ada dalam keadaan beriman kepada Allah atau mati dalam keadaan murtad, syirik atau kufur hasil daripada tipu helah iblis dan syaitan yang sentiasa berada di samping manusia, menemani manusia ke mana dia pergi, ataupun mati dalam Islam tetapi bergelumang dalam maksiat.
Qarin akan berpisah dengan “kembar”nya apabila manusia meninggal dunia. Roh manusia akan ditempatkan di alam barzakh, sedangkan qarin terus hidup kerana lazimnya umur jin adalah panjang. Walau bagaimanapun, apabila tiba hari akhirat nanti maka kedua-duanya akan dihadapkan ke hadapan Allah untuk diadili.
Tetapi qarin akan berlepas tangan dan tidak bertanggungjawab atas kesesatan atau kederhakaan manusia.
[ HAKIKAT MUHAMMAD ]
Dalam bahasa tasawuf/sufi hakikat muhammad berhubungan dengan roh al quddus dengan roh al-muhammadiyah. dibawah ini penulis kemukakan analis hal tsb dalam perspektif wali agung Syeikh Abdul Qodir al-Jaelani dan juga dalam perspektif wali di tanah jawa , yang sebagian perjalanan pemahaman tentang tasawufnya banyak di pengaruhi oleh wali agung Syeikh al-Jaelani.
Anda mungkin pernah bertanya-tanya mengapa wajah rasulullah tidak bisa atau tidak boleh di gambarkan? .. alasan yang muncul kadang karena pada saat itu belum ada fotografi sehingga gambarnya tidak mungkin tepat, kalau hanya itu alasannya, kurang tepat bagi saya, karena pasa masa nabi-nabi yang lain juga belum ada tekhnik foto, dan tidak dipermasalahkan gambar-gambar para nabi dan wali yang ada.
Kalau kita melihat banyak kitab dan buku yang ada, pengambaran Allah dan Nabi Muhammad diilustrasikan dengan dengan cahaya yang terang benderang. inspirasi dari ilustrasi cahaya tsb sebenarnya berasal dari QS:Al-Nur:35 tentang nur illahi. Sementara Muhammad adalah personalisasi di dunia nur tsb, maka dalam hal sosok Muhammad yang harus di perhatikan bukan person historisnya ,akan tetapi essensinya dalam bentuk substansi nur muhammad, cahaya pilihan dalam bentuk manusia yang terpuji (Sempurna), karena justru dengan nur muhammad itulah, maka person historis Nabi Muhammad bermakrifat secara musyahadah dan dengan mata telanjang(Ibn Arabi:26) dan dengan cahaya makrifat Nabi Muhammad maka seluruh makhluk dapat mengenali, dan melalui keutamaannya mengungguli seluruh makhluk, mereka memberi pengakuan. Jelas menurut Syeikh al-Jaelani, Nur Muhammad ciptaan pertama dan utama Allah,yang di cipta dari nur Allah (esensi) sendiri, atau memang cahaya khusus yang di karuniakan Allah sendiri, untuk merujuk pada keutamaan dan kemuliaanya sebagai prototipe al-insan al-kamil(al-jaelani:121).
Dalam kaitan bahwa Nabi Muhammad Hakikatnya bukan sosok historisnya yang harus di rujuk, maka asma’ Muhammad bukanlah nama asal dari rasulullah yang agung ini. Muhammad adalah nama dunianya, di mana nama aslinya sejak kecil adalah “Ahmad”, sosok yang penuh dengan keterpujian, sementara secara sepiritualnya, dan dalam posisinya terhadap Allah, Rasulullah mengemukakan dirinya sendiri bahwa: Ana Ahmadun bi-la mim”. Artinya pada dirinya tidak lain penyandang nama “Ahad” dia adalah pengejawentahan dari Yang Esa. Inilah yang juga di sebut Roh Al- Quds, roh suci untuk meneruskan penzahiran yang paling sempurna dalam peringkat alam lahut(Al-jaelani:27) dalam hal ini para wali kuno tanah jawa memberikan penjelasan secara tepat sbb:
‘…. Muhammad itu pada hakikatnya Nur Allah, yang dalam bentuk lahir ialah muhammad “… persis ungkapan Al Ghazali: bahwa Muhammad yang seorang nabi/rasul dengan Muhammad yang seorang arab mesti kita harus bisa membedakan walaupun memang kenyataanya Nabi Muhammad lahir di jazirah arab.
Di sinilah rahasia dari menyatunya syahadat rasul ke dalam syahadat tauhid, dan inilah jawaban mengapa sejak Nabi Adam AS menghuni surga, digerbangnya sudah terdapat tulisan syahadat rasul ini. Ya Nur Muhammada selalu menyertai roh dari semua jiwa yang akan dan pernah ada di alam semesta ini. Ini pula kunci rahasia mengapa para nabi yang pernah ada memohon kepada Allah agar di jadikan sebagai umat Nabi Muhammad saw.(Al-jaelani :121).
Nur muhammad dalam perspektih Syaikh Abdul Qodir Al-Jaelani di sebut dengan sebutan Roh Muhammad, yang diciptakan dari cahaya ketuhanan (nurun ala nurin) nur Muhammad merupakan realitas ghaib yang menjadi inti segala penciptaan. Oleh karenanya kadang ia disebut Nur, Roh, Qalam (tercipta dari perkataan kun). Ia merupakan realitas yang memiliki banyak nama menurut fungsi dan dari mana sudut mana kita memandang (al-jaelani:7).
Maka realitas batin seperti inilah yang diberikan kepada orang-orang sufi sebagai Hakikat Al-Muhammadiyah. Jika disebut dengan nur tau cahaya karena ia memang bebas dan bersih dari segala kegelapan, karena adanya cahaya tsb. Realitas dalam fungsinya di dunia tampak pada gelarnya sebagai ‘Aql al-kull(Akal semesta) karena pengetahuanya tentang segala sesuatu. Ia mendapat gelar Qalam, karena dari pengetahuannya dalam akal semesta ia menyebarkan ilmu dan hikmah dan menzahirkan ilmu dalam bentuk huruf dan perkataan, ia disebut roh karena menjadi esensi kehidupan, dan memunculkan yang hidup.
Maka menurut Al-Jaelani, Muhammad adalah nama insan dalam alam gaib, di mana roh berkumpul, yang menjadi sumber dan asal segala sesuatu. Di sinilah letak dari logika bahwa Allah menciptakan alam, karena akan menciptakan person dari muhammad utk keperluan alam ini. Dari kelahiran Nur Muhammad inilah diikuti oleh penciptaan makhluk-makhluk yang lain serta Arsy-nya.
Dalam pengejawentahannya, menurut al Jaelani dan para tokoh sufi lainya, Allah kemudian menurunkan nur dari tempat kejadiannya, yaitu alam lahut ke alam asma’ Allah, yaitu alam penciptaan sifat-sifat Allah dan alam akal roh semesta. Kemudian di turunkan lagi ke alam malaikat utk di pakaikan pakaian kemalaikatan. Lalu diturunkan lagi ke alam ajsam yang terjadi unsur api, udara, air dan tanah, disitulah roh diberikan jasmaniah beserta nafsu-nafsunya(al-jaelani:9).
Setelah roh mengalami badanisasi inilah ia mulai mengalami kehilangan nur, dan lupa akan asal serta perjanjian azalinya dengan Allah. Namun Allah juga tetap memberikannya bekal untuk kembali dalam bentuk mata hati atau bashirah yang menjadi gerbang bagi gerak bebas roh al -idhafi sebagai mursyid setiap jiwa. Hanya saja, basirah ini akan berfungsi optimal kalau seseorang selalu berada dalam taqarrubnya kepada Allah.
Dengan bashirahnya inilah ia akan sanggup menembus kabut alam ghaib, dan menyingkap segala hijab yang menjadi penghalangnya untuk kembali kepada Allah. Orang sudah dapat memfungsikan bashirahnya dan mendayagunakan Roh Al-Muhammad-nya sebagai pusat perjalanan sepiritualnya. maka ia akan bisa menembus semesta, karena letak nur muhammad itu sendiri berada di langit tujuh berada dalam arsy-nya yang menyatu dan menyanding dengan Allah itu sendiri. Ia akan dapat kembali terserap dalam kesatuan nur essensial, sehingga ia dapat melihat apa yang belum pernah dilihat, dan mengatasi semua penglihatan dan benda yang dapat dilihat..
Menurut Al-Jaelani, hal yang di perlukan orang awam utk membuka bashirahnya adalah dengan mencari orang yang bashirohnya sudah terbuka dan sudah di daya gunakan secara optimal. Hanya melalui orang yang sudah mata hatinya sudah di fungsikan secara semestinya, orang awam dapat memasuki dunia sufisme, serta menunggu giliranya untuk terbukanya mata bashirohnya kepada Allah, karena hanya dengan terbukanya pintu bashirohnya inilah, maka ia dapat menjalani fungsi utamanya di ciptakan di dunia, yakni untuk bermakrifatullah. Yang harus di ingat adalah bahwa bahwa posisi Roh Al-Muhammadiyah ini hanya dapat bertahan dan berfungsi pada pribadi rasul, nabi, auliya’ dan kekasih-kekasihnya. Maka tidak ada pilihan lain bagi diri kita masing-masing untuk semaksimal mungkin agar dapat menjadi hamba dan kekasih Allah.
Tentu sempat muncul pertanyaaan , mengapa roh suci ini di turunkan ke dunia yang fana’ ini ? Ia di hantarkan ketempat yang paling terendah supaya ia dapat kembali ke asalnya yaitu berpadu dan berdampingan dengan Allah saja atau “innal lillahi wa inna ilahi rajiun”. seperti ketika ia berada dalam pakaian daging, darah, dan tulang itu. melalui mata hati Yang ada di dalam wadag-nya, ia dapat selalu menanam, memelihara dan memupuk benih kesatuan dan ke-esaan, serta berusaha menyuburkan rasa “berpadu” dan berdampingan” dengan Allah. Demikian menurut Syaikh Abdul QodirAl-Jaelani (al-jaelani:28). Inilah hakikat roh suci.
Adapun ganjaran bagi roh suci, menurut al-jaelani, adalah melihat makhluk yang pertama dilahirkan. Ketika itu, ia akan dapat melihat keindahan Allah. Kepadanya di perlihatkan rahasia illahiah. penglihatan dan pendengaranya menjadi satu. tidak ada perbandingan, tidak ada persamaan, dengan sesuatu apapun. Dilihatnya kesatuan Jalal (kegagahan, kemurkaan)dengan sifat Jamal (keindahan, kecantikan) Allah. Sifat Jalal dan Jamal menjadi satu dalam pandanganya (al-jaelani:27). Inilah kunci kearifan dirinya sebagai buah makrifat dan hakikat yang telah disaksikan dan dialami oleh roh suci. Ia mendapat karunia kebeningan dan kesucian batinya berupa shafa’ al-asror (rahasia-rahasia suci). Dan pengalaman parawali inilah yang menjadikan benar-benar hidup di sisi tuhannya, walaupun jasad kita kembali kepada zatnya masing. Inilah kehidupan sejati yang perlu kita capai hidup penuh dengan kesempurnaan di sisi illahi rabbi………………….
[ 9 JENIS ROH ]
Menurut ilmu batin pada diri manusia terdapat sembilan jenis Roh. Masing-masing roh mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ke sembilan macam roh yang ada pada manusia itu adalah sebagai berikut :
1. Roh Idofi (Roh Ilofi) : Adalah roh yang sangat utama bagi manusia. Roh Idofi juga disebut "JOHAR AWAL SUCI", karena roh inilah maka manusia dapat hidup. Bila roh tersebut keluar dari raga, maka manusia yang bersangkutan akan mati. Roh ini sering disebut "NYAWA". Roh Idofi merupakan sumber dari roh-roh lainnyapun akan turut serta. Tetapi sebaliknya kalau salah satu roh yang keluar dari raga, maka roh Idofi tetap akan tinggal di dalam jasad. Dan manusia itu tetap hidup. Bagi mereka yang sudah sampai pada irodat Allah atau kebatinan tinggi, tentu akan bisa menjumpai roh ini dengan penglihatannya. Dan ujudnya mirip diri sendiri, baik rupa maupun suara serta segala sesuatunya. Bagai berdiri di depan cermin. Meskipun roh-roh yang lain juga demikian, tetapi kita dapat membedakannya dengan roh yang satu ini. Alamnya roh idofi berupa nur terang benderang dan rasanya sejuk tenteram (bukan dingin). Tentu saja kita dapat menjumpainya bila sudah mencapai tingkat "INSAN KAMIL".
2. Roh Rabani : Roh yang dikuasai dan diperintah oleh roh idofi. Alamnya roh ini ada dalam cahaya kuning diam tak bergerak. Bila kita berhasil menjumpainya maka kita tak mempunyai kehendak apa-apa. Hatipun terasa tenteram. Tubuh tak merasakan apa-apa.
3. Roh Rohani : Roh inipun juga dikuasai oleh roh idofi. Karena adanya roh Rohani ini, maka manusia memiliki kehendak dua rupa. Kadang-kadang suka sesuatu, tetapi di lain waktu ia tak menyukainya. Roh ini mempengaruhi perbuatan baik dan perbuatan buruk. Roh inilah yang menepati pada 4 jenis nafsu, yaitu :
· Nafsu Luwamah (aluamah)
· Nafsu Amarah
· Nafsu Supiyah
· Nafsu Mulhamah (Mutmainah)
Kalau manusia ditinggalkan oleh roh rohani ini, maka manusia itu tidak mempunyai nafsu lagi, sebab semua nafsu manusia itu roh rohani yang mengendalikannya. Maka, kalau manusia sudah bisa mengendalikan roh rohani ini dengan baik, ia akan hidup dalam kemuliaan. Roh rohani ini sifatnya selalu mengikuti penglihatan yang melihat. Di mana pandangan kita tempatkan, di situ roh rohani berada. Sebelum kita dapat menjumpainya, terlebih dulu kita akan melihat bermacam-macam cahaya bagai kunang-kunang. Setelah cahaya-cahaya ini menghilang, barulah muncul roh rohani itu.
4. Roh Nurani : Roh ini di bawah pengaruh roh-roh Idofi. Roh Nurani ini mempunyai pembawa sifat terang. Karena adanya roh ini menjadikan manusia yang bersangkutan jadi terang hatinya. Kalau Roh Nurani meninggalkan tubuh maka orang tersebut hatinya menjadi gelap dan gelap fikirannya.
Roh Nurani ini hanya menguasai nafsu Mutmainah saja. Maka bila manusia ditunggui Roh Nurani maka nafsu Mutmainahnya akan menonjol, mengalahkan nafsu-nafsu lainnya.
Hati orang itu jadi tenteram, perilakunyapun baik dan terpuji. Air mukanya bercahaya, tidak banyak bicara, tidak ragu-ragu dalam menghadapi segala sesuatu, tidak protes bila ditimpa kesusahan. Suka, sedih, bahagia dan menderita dipandang sama.
5. Roh Kudus (Roh Suci): Roh yang di bawah kekuasaan Roh Idofi juga. Roh ini mempengaruhi orang yang bersangkutan mau memberi pertolongan kepada sesama manusia, mempengaruhi berbuat kebajikan dan mempengaruhi berbuat ibadah sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya.
6. Roh Rahmani : Roh di bawah kekuasaan roh idofi pula. Roh ini juga disebut Roh Pemurah. Karena diambil dari kata "Rahman" yang artinya pemurah. Roh ini mempengaruhi manusia bersifat sosial, suka memberi.
7. Roh Jasmani : Roh yang juga di bawah kekuasaan Roh Idofi. Roh ini menguasai seluruh darah dan urat syaraf manusia. Karena adanya roh jasmani ini maka manusia dapat merasakan adanya rasa sakit, lesu, lelah, segar dan lain-lainnya. Bila Roh ini keluar dari tubuh, maka ditusuk jarumpun tubuh tidak terasa sakit. Kalau kita berhasil menjumpainya, maka ujudnya akan sama dengan kita, hanya berwarna merah.
Roh jasmani ini menguasai nafsu amarah dan nafsu hewani. Nafsu hewani ini memiliki sifat dan kegemaran seperti binatang, misalnya: malas, suka setubuh, serakah, mau menang sendiri dan lain sebagainya.
8. Roh Nabati : Ialah roh yang mengendalikan perkembangan dan pertumbuhan badan. Roh ini juga di bawah kekuasaan Roh Idofi.
9. Roh Rewani : Ialah roh yang menjaga raga kita. Bila Roh Rewani keluar dari tubuh maka orang yang bersangkutan akan tidur. Bila masuk ke tubuh orang akan terjaga. Bila orang tidur bermimpi dengan arwah seseorang, maka roh rewani dari orang bermimpi itulah yang menjumpainya. Jadi mimpi itu hasil kerja roh rewani yang mengendalikan otak manusia. Roh Rewani ini juga di bawah kekuasaan Roh Idofi. Jadi kepergian Roh Rewani dan kehadirannya kembali diatur oleh Roh Idofi. Demikian juga roh-roh lainnya dalam tubuh, sangat dekat hubungannya dengan Roh Idofi.

Selasa, 01 November 2016

KESAKSIAN PARA ULAMA FIQIH TENTANG TASAWUF


Sesungguhnya tasawuf adalah Islam, dan Islam adalah tasawuf. Untuk mencapai kesempurnaan ibadah dan keyakinan dalam Islam, seseorang hendaknya mempelajari ilmu tasawuf melalui thariqah-thariqah yang mu’tabar dari segi silsilah dan ajarannya. Para ulama besar kaum muslimin sama sekali tidak menentang tasawuf, tercatat banyak dari mereka yang menggabungkan diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para ulama tersebut berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh thariqah yang arif, bahkan walaupun ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan Islam, namun mereka tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini dikarenakan keilmuan yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah ilmu lahiriah, sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk qalbun salim dan kesempurnaan ahlak, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh tasawuf yang sejati.
Empat orang imam mazhab Sunni, semuanya mempunyai seorang syaikh thariqah. Melalui syaikh itulah mereka mempelajari Islam dalam sisi esoterisnya yang indah dan agung. Mereka semua menyadari bahwa ilmu syariat harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga akan tercapailah pengetahuan sejati mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.
Imam Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit – Ulama besar pendiri mazhab Hanafi) adalah murid dari Ahli Silsilah Thariqat Naqsyabandiyah yaitu Imam Jafar as Shadiq ra . Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.
Imam Maliki (Malik bin Anas – Ulama besar pendiri mazhab Maliki) yang juga murid Imam Jafar as Shadiq ra, mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut, “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.”
(‘Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, vol. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).
Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris, 150-205 H ; Ulama besar pendiri mazhab Syafi’i) berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.”
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, vol. 1, hal. 341)
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H ; Ulama besar pendiri mazhab Hanbali) berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka”
(Ghiza al Albab, vol. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)
Syaikh Fakhruddin ar Razi (544-606 H ; Ulama besar dan ahli hadits) berkata, “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .”
(I’tiqad al Furaq al Musliman, hal. 72, 73)
Ibn Khaldun (733-808 H ; Ulama besar dan filosof Islam) berkata, “Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.”
(Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328).
Imam Jalaluddin as Suyuti (Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) didalam kitab Ta’yad al haqiqat al ‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan bid’ah.”
Bahkan Ibnu Taimiyyah (661-728 H), salah seorang ulama yang dikenal keras menentang tasawuf pada akhirnya beliau mengakui bahwa tasawuf adalah jalan kebenaran, sehingga beliaupun mengambil bai’at dan menjadi pengikut thariqah Qadiriyyah. Berikut ini perkataan Ibnu Taimiyyah didalam kitab Majmu al Fatawa Ibn Taimiyyah, terbitan Dar ar Rahmat, Kairo, Vol. 11, hal. 497, dalam bab. Tasawuf : “Kalian harus mengetahui bahwa para syaikh yang terbimbing harus diambil dan diikuti sebagai petunjuk dan teladan dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Thariqah para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia kepada kehadiran dalam Hadhirat Allah dan ketaatan kepada Nabi.” Kemudian dalam kitab yang sama hal. 499, beliau berkata, “Para syaikh harus kita ikuti sebagai pembimbing, mereka adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita berhaji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.” Di antara para syaikh sufi yang beliau sebutkan didalam kitabnya adalah, Syaikh Ibrahim ibn Adham ra, guru kami Syaikh Ma’ruf al Karkhi ra, Syaikh Hasan al Basri ra, Sayyidah Rabi’ah al Adawiyyah ra, guru kami Syaikh Abul Qasim Junaid ibn Muhammad al Baghdadi ra, guru kami Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Ahmad ar Rifa’i ra, dll.
Didalam kitab “Syarh al Aqidah al Asfahaniyyah” hal. 128. Ibnu Taimiyyah berkata, “Kita (saat ini) tidak mempunyai seorang Imam yang setara dengan Malik, al Auza’i, at Tsauri, Abu Hanifah, as Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Fudhail bin Iyyadh, Ma’ruf al Karkhi, dan orang-orang yang sama dengan mereka.” Kemudian sejalan dengan gurunya, Ibnu Qayyim al Jauziyyah didalam kitab “Ar Ruh” telah mengakui dan mengambil hadits dan riwayat-riwayat dari para pemuka sufi.
Dr. Yusuf Qardhawi, guru besar Universitas al Azhar, yang merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini didalam kumpulan fatwanya mengatakan, “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.” Beliau juga berkata, “Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang marifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari.
Seperti itulah pengakuan para ulama besar kaum muslimin tentang tasawuf. Mereka semua mengakui kebenarannya dan mengambil berkah ilmu tasawuf dengan belajar serta berkhidmat kepada para syaikh thariqah pada masanya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada bantahan terhadap kebenaran ilmu ini, mereka yang menyebut tasawuf sebagai ajaran sesat atau bid’ah adalah orang-orang yang tertutup hatinya terhadap kebenaran, mereka tidak mengikuti jejak-jejak para ulama kaum salaf yang menghormati dan mengikuti ajaran tasawuf Islam.
Pembahasan disarikan dari kitab
“Miftah at Thariq – Pembuka Jalan Spiritual Thariqah Hasan wa Husein”
Bab.I, Tentang Tasawuf dan Thariqah

ADAB DALAM BERTEMU DENGAN ULAMAA


Sayyidi Syeikh Abdul Qadir Jailani qs. di usia mudanya adalah seorang yang sangat jenius, cerdas dan gemar menuntut ilmu. Beliau mempunyai dua orang sahabat yaitu Ibnu as-Saqa dan Abu Said Abdullah Ibnu Abi Usrun, keduanya juga dikenal sebagai sosok yang cerdas.Suatu saat Syeikh Abdul Qadir Jailani beserta kedua temannya sepakat untuk mengunjungi seorang waliAllah yang bernama Syaikh Yusuf al-Hamdani [440H – 535H] : Beliau Abu Ya’qub Yusuf ibn Ayyub ibn Yusuf ibn al-Husain al-Hamdani adalah murid kepada Syaikh Abu ‘Ali al-Farmidhi dan guru kepada Syeikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani – Masyaikh di Tariqah Naqsyabandi. Kepada Syeikh Abdul Khaliq inilah dinisbahkan ‘amalan khataman khawajakhan danyang mengatakan Syeikh Abu ‘Ali al-Farmidhi adalah guru kepada Imam al-Ghazali], yang dikenali sebagai al-Ghaus. Al-Ghaus adalah seorang ahli ibadah yang shaleh, waliAllah yang tinggal di pinggir kota. Namun beliau dikunjung banyak orang.Sebelum berangkat, Ibn as-Saqa dan Ibn Abi Usrun berdiskusi mengenai niat atau maksud dariziarah yang ingin mereka lakukan. Ibn as-Saqa berkata : Aku akan menanyakan persoalan yang susah agar ia bingung dan tidak bisa menjawabnya.kemudian Ibn Abi Usrun juga berkata: Aku akan ajukan pertannyaan ilmiah, dan aku ingin melihat apakah yang ingin beliau katakan.Akan tetapi Syeikh ’Abdul Qadir al-Jailani qs. hanya diam membisu. Maka bertanyalah Ibn as-Saqa dan Ibn Abi Usrun kepada beliau: Bagaimana pula dengan engkau, wahai Abdul Qadir?Syeikh Abdul Qadir menjawab: Aku berlindung dengan Allah dari mempertanyakan permasalahan yang sedemikian. Aku hanya ingin ziarah untuk mengambil barokah darinya.Kemudian berangkatlah tiga shahabat ini ke rumah Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghaus. Setelah dipersilahkan masuk oleh al-Ghaus, beliau meninggalkan mereka seberapa ketika. Setelah menunggu agak lama, barulah Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghaus keluar dengan pakaian kewaliannya untuk menemui mereka, dan berkata:wahai Ibn as-Saqa, kamu berkunjung ke mari untuk mengujiku dengan permasalahan demikian, jawabnya adalah demikian (Syaikh Yusuf al-Hamdani menjelaskan jawabannya beserta dengan nama kitab yang dapat dijadikan rujukan). Ia kemudian berkata kepada Ibnu as-Saqa, Keluarlah kamu! Aku melihat api kekufuran menyala-nyala di antara tulang-tulang rusukmu.Sedangkan kamu, ya Ibnu Abi Usrun, kamu ke mari dengan tujuan menanyakan permasaalahanilmiah, jawabnya adalah demikian. Beliau, Syaikh Yusuf al-Hamdani lalu menjelaskan jawabannya berserta nama kitab yang membahas persoalan itu. Keluarlah kamu! Aku melihat dunia mengejar-ngejar kamu.Kemudian Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghaus melihat kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jailani qs, lantas berkata: Wahai anakku Abdul Qadir, Engkau diridhai Allah dan RasulNya dengan adabmu yang baik. Aku melihat engkau kelak akan mendapat kedudukan di Baghdad dan memberi petunjuk kepada manusia. Apa yang kamu ingin kan insyaallah akan tercapai. Aku melihat bahwa kamu nanti akan berkata “Kedua kakiku ini berada di atas pundak setiap para wali”.Mereka bertiga kemudian keluar dari rumah al-Ghaus.Beberapa tahun kemudian, Ibnu as-Saqa diperintahkan raja untuk berdebat dengan pemuka agama Nashrani. Perdebatan ini atas permintaan Raja kaum Nashrani. Penduduk negeri telah sepakat bahwa mereka sebaiknya diwakili oleh Ibn Saqa. Dialah orang yang paling cerdas dan alim di antara kita, kata mereka. Maka berangkatlah Ibn Saqa untuk berdebat dengan pemuka agama Nashrani. Sesampainya Ibnu Saqa di negeri kaum Nashrani, dia terpikat dengan seorang wanita pada pandangan pertamanya. Lalu dia menghadap ayah si wanita untuk meminangnya. Ayah perempuan itu menolak, melainkan jika Ibn Saqa terlebih dahulu memeluk agama mereka (nashrani). Dia pun dengan serta merta menyatakan persetujuan dan memeluk agama mereka, menjadi seorang Nashrani.kemudian Ibnu Abi Usrun, dia ditugaskan raja iaitu Sultan as-Shaleh Nuruddin asy-Syahid, untukmenangani urusan wakaf dan sedekah. Akan tetapi kilauan dunia selalu datang menggodanya dari berbagai penjuru hingga akhirnya ia jatuh dalam pelukannya.Adapun Shaikh Abdul Qadir, kedudukannya terus menjulang tinggi disisi Allah juga disisi manusia sehingga sampai suatu hari beliau berkata “Kedua kakiku ini berada di atas leher setiap wali”. Suara beliau didengar dan dipatuhi oleh seluruh wali ketika itu. Demikian kisah diatas, kita bisa melihat bagaimana berkah yang didapat oleh syeikh abdul qadir al jailani qs. yang menjadikannya seorang sulthon Awlia di jamannya.Mudah-mudahan kita bisa mencontoh Syeikh Abul Qadir Al Jailani untuk menjaga ADAB ketika bertemu dengan seorang Ulama.

Perbedaan Antara Karamah Dan Istidraj


Saudaraku...
Perlu diketahui bahwa siapa saja yang menginginkan sesuatu dan keinginannya itu dikabulkan oleh Allah, maka itu belum tentu menunjukkan bahwa ia seorang hamba yang mulia di sisi Allah, baik pemberian Allah tersebut sesuai atau berbeda dengan kebiasaan. Akan tetapi pemberian Allah tersebut bisa berarti penghormatan Allah untuk hamba-Nya (karamah) atau tipuan untuknya (istidraj). Dalam Al-Qur’an, istilah istidraj diungkapkan dengan beberapa istilah:
1. Al-istidraj, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
Kami (Allah) akan memperdaya mereka secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS Al-A’raf [7]: 182)
Makna al-istidraj dalam ayat ini adalah Allah mengabulkan semua keinginannya di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Allah. Pada praktiknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan.
Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukasyafah (tingkat ketersingkapan cahaya) dan derajat ma’rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia. Inilah yang dinamakan istidraj.
2. Al-makr, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS Al-A’raf [71: 99)
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali’Imran [31:54)
Mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar pula, sedang mereka tidak menyadari. (OS Al-Naml T271:50)
3. Al-kaid (tipu daya), seperti dinyatakan dalam firman Allah,
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (QS Al-Nisa’ [4]: 142)
4. Al-imla (memberi tangguh), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa masa penangguhan yang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka bertambah. (QS Ali ‘Imran [3]: 178)
5. Al-ihlak (siksaan), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. (QS Al-An’am [6]: 44)
Dan dalam firman Allah tentang Fir’aun,
Dan berlaku angkuhlah Fir’aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.
Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan karamah yang dimilikinya, bahkan karamah itu membuatnya semakin takut kepada Allah, kewaspadaannya terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan mengira bahwa karamah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Allah, dan tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti yang dimilikinya bukanlah karamah tetapi istidraj.
Orang-orang yang berpegang pada kebenaran (Al-Muhaqqiqun) mengatakan bahwa ada kesepakatan bahwa keterputusan dari hadirat Allah sebagian besar terjadi dalam kondisi memiliki karamah. Tidak diragukan lagi, golongan Al-Muhaqqiqun takut kepada karamah, seperti rasa takut mereka kepada berbagai macam cobaan. Rasa senang kepada karamah dapat memutuskan jalan kepada Allah. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa hujjah:
Hujjah pertama: Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang yakin bahwa dirinya berhak memperoleh karamah dan sekiranya ia bukanlah orang yang berhak mendapatkannya maka tidak akan muncul rasa bangga itu bahkan rasa bangganya itu muncul hanya karena karamah wali. Keutamaan karamahnya lebih besar daripada kebahagiaan karena karamah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adanya karamah itu melebihi kebahagiaan pada dirinya sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena adanya karamah tidak akan muncul kecuali dengan adanya keyakinan bahwa dirinyalah pemilik karamah itu dan yang berhak mendapatkannya. Ini adalah kebodohan yang nyata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada yang kami ketahui kecuali dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqarah [2]: 32).
Dan Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (QS Al-An’am [6]: 91). Ada dalil meyakinkan yang menyatakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan kebenaran, maka bagaimana mungkin ada orang mengaku berhak mempunyai karamah.
Hujjah kedua: Karamah adalah sesuatu yang senantiasa tergantung pada Allah Swt. Rasa senang karena memiliki karamah adalah senang kepada sesuatu yang bukan haknya. Rasa senang kepada sesuatu yang
bukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin layak untuk senang dan bergembira?
Hujjah ketiga: Orang yang yakin bahwa dirinya berhak memiliki karamah karena merasa amal perbuatannya memiliki pengaruh besar dalam dirinya dan merasa bahwa perbuatannya bernilai atau berpengaruh pada dirinya adalah orang yang bodoh. Kalau saja ia mengenal Tuhan, ia pasti menyadari semua ketaatan makhluk di sisi Allah itu hanya sedikit, semua rasa syukur mereka atas anugerah dan nikmat-Nya itu juga sangat sedikit, dan semua pengetahuan dan ilmu mereka dibandingkan dengan keagungan Allah hanyalah kebingungan dan kebodohan saja.
Ketika Ustaz Abu ‘Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah yang berbunyi Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya ia berkata, “Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah Swt.”
Hujjah keempat: Pemilik karamah merasa bahwa karamah yang dimilikinya justru untuk memperlihatkan kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Allah. Jika ia merasa bangga, tinggi hati, dan sombong disebabkan karamah yang dimilikinya, maka batallah segala sesuatu yang menyebabkannya menerima karamah. Sikap seperti inilah yang membuat pemilik karamah tertolak. Oleh karena itu, setiap kali Rasulullah Saw. menceritakan tentang manaqib (keistimewaan) dan keutamaan dirinya, beliau selalu mengakhirinya dengan kalimat, “Tiada kebanggaan,” maksudnya “Aku tidak bangga dengan karamah yang kumiliki ini, yang aku banggakan adalah Zat yang memberi karamah.”
Hujjah kelima: Kemunculan hal-hal luar biasa pada iblis dan bal’am begitu menakjubkan, tetapi kemudian Allah berfirman kepada iblis, Ia termasuk golongan kafir, kepada bal’am, Ia seperti anjing, dan kepada ulama Bani Israil, Perumpamaan orang-orang yang memegang Taurat, tetapi tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (QS Al-Jumu’ah [62]: 5), juga firman-Nya kepada Bani Israil, Orang-orang yang telah diberi Al-Kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang ilmu kepada mereka, di antara mereka kemudian ada yang membangkang (QS Ali ‘Imran [3]: 19). Jadi jelaslah bahwa kegelapan dan kesesatan yang menimpa mereka disebabkan karena rasa bangga dengan ilmu dan kezuhudan yang diberikan kepada mereka.
Hujjah keenam: Karamah bukanlah kemuliaan, dan segala sesuatu yang tidak mulia adalah kehinaan. Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena itu Nabi Ibrahim a.s. berkata, “Adapun bagi-Mu, itu tidak berarti apa-apa.” Merasa cukup dengan kefakiran adalah fakir, takwa dengan kelemahan adalah lemah, merasa sempurna dengan kekurangan adalah kurang, bahagia dengan semua hal yang diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran adalah sikap ikhlas. Fakir adalah ketika seseorang senang dengan kemuliaan yang menjatuhkan derajatnya. Jika seseorang melihat karamah, sesunggu-hnya setiap ia melihat keperkasaan niscaya ia melihat sang pemberi keperkasaan, dan setiap ia melihat ciptaan niscaya ia melihat penciptanya.
Hujjah ketujuh: Bangga terhadap diri dan sifat-sifatnya termasuk sifat-sifat iblis dan Fir’aun. Iblis berkata, Aku lebih baik daripada Adam (QS Al-A’raf [7]: 12) dan Fir’aun berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini adalah kepunyaanku (QS Al-Zukhruf [43]: 51). Setiap orang yang mengaku nabi atau tuhan secara dusta, maka ia tidak memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias diri, memperkuat ketamakan dan kebanggaan diri. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda, “Ada tiga hal yang merusak, yang terakhir adalah orang yang membanggakan diri.”
Hujjah kedelapan: Allah berfirman, Berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur (QS Al-A’raf [7]: 144). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr [15]: 99). Ketika Allah menganugerahkan karunia yang melimpah kepada kita, kita diperintah untuk menyibukkan diri dengan melayani Sang Pemberi, bukan malah bangga dengan karunia yang diberikan-Nya itu.
Hujjah kesembilan: Ketika Nabi Saw. disuruh oleh Allah untuk memilih antara menjadi raja yang nabi atau hamba yang nabi, beliau tidak memilih posisi raja, padahal tidak diragukan bahwa posisi raja yang meliputi daerah Timur dan Barat adalah kemuliaan, bahkan mukjizat. Namun Nabi Saw. meninggalkan singgasana dan memilih penghambaan (‘ubudiyah)kepada Allah. Sebab ketika menjadi seorang hamba, kebanggaannya diarahkan kepada tuannya. Tetapi ketika menjadi raja, kebanggaannya diarahkan kepada budaknya. Ketika Nabi Saw. memilih penghambaan, sudah tentu dia menjadikan sunnah sebagai penghormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud, “Aku bersaksi bahwa Muhammmad Saw. adalah hamba dan utusan-Nya.” Allah berfirman tentang mi’raj Nabi Saw., Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra’ [17]: 1)
Hujjah kesepuluh: Mencintai tuan itu tidak ada artinya, mencintai sesuatu demi tuan juga tidak ada artinya. Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan senang dan gembira selain dengan kekasihnya. Kesenangan dan kegembiraan dengan selain Allah menunjukkan bahwa ia tidak mencintai tuannya, tetapi ia hanya mencintai bagian dari nafsunya sendiri dan bagian dari nafsu hanya dituntut oleh nafsu. Orang seperti ini hanya mencintai dirinya sendiri.
Sebenarnya ia tidak mencintai tuannya, ia hanya menjadikan tuannya sebagai sarana untuk memperoleh apa yang dicarinya. Berhala besar adalah nafsu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (QS Al-Furqan [25]: 43). Manusia seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para muhaqqiqin mengemukakan bahwa mudarat karena menyembah berhala tidak sebesar mudarat karena menyembah nafsu, rasa takut karena menyembah berhala tidak sebesar rasa takut karena merasa bangga dengan adanya karamah.
Hujjah kesebelas: Allah berfirman, Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya (QS Al-Thalaq [65]: 2-3). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa dan bertawakkal kepada Allah, maka tidak akan memperoleh apa-apa dari perbuatan dan keadaan mereka itu.

Tasawuf merupakan ilmu halus

Tasawuf merupakan ilmu halus yang sangat tinggi dan tidak bisa dengan mudah dipelajari. Tasawuf bukan ilmu hapalan yang dipelajari dengan otak akan tetapi merupakan ilmu praktek dan merupakan teknologi Al-Qur’an yang Maha Dahsyat. Hasil pengamalan tasawuf akan melahirkan manusia-manusia berkualitas tinggi, tidak pernah lepas sedetikpun hubungan dengan Allah sebagai sumber kebaikan. Salah satu tujuan Allah mengutus para nabi adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Para nabi bukan sekedar menyampaikan firman Allah, akan tetapi juga berfungsi sebagai pembawa wasilah (wasilah carrier) sebagai media penyambung antara manusia dengan Tuhan. Nabi adalah teknolog Al Qur’an yang mengerti bagaimana menyalurkan power maha dahsyat menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat untuk manusia. Kemampuan nabi Musa membelah laut, kehebatan Nabi Isa menghidupkan orang mati dan menyembuhkan segala jenis penyakit dan kehebatan Nabi Muhammad SAW membelah bulan bukan terjadi dengan serta merta. Mereka diajarkan oleh Allah teknologi Maha Dahsyat, teknologi metafisika dan siapapun menggunakan teknologi yang sama maka hasilnya pasti akan sama.
Kalau kita perhatikan bagaimana hebatnya teknologi fisika. Air yang tenang bisa diubah menjadi listrik lewat teknologi turbin. Air dipanaskan menjadi uap mampu menggerakkan gerbong kereta api yang beratnya ratusan ton. Air juga bisa mendongkrak mobil yang dengan memakai ujung jari tentu saja lewat teknologi hidrolika. Air juga apabila di pisahkan inti atomnya akan terjadi ledakan sangat hebat, menjadi sebuah bom yang daya rusaknya luar biasa. Air sifat dasarnya memadamkan api bisa berubah menjadi bahan bakar yang hebat. Masih banyak teknologi lain yang hebat hasil penemuan manusia.
Berbicara tentang teknologi al-Qur’an, alam metafisika tentu hasilnya berpuluh, beratus bahkan berjuta kali lebih hebat dari teknologi fisika. Sampai saat ini belum ada teknologi yang mampu membelah laut seperti yang dilakukan oleh nabi Musa atau menghidupkan orang mati. Teknologi fisika akan selalu tertinggal jauh oleh teknologi metafisika.
Menyadari potensi yang sangat hebat terkandung dalam al-Qur’an maka para kaum orientalis berusaha memisahkan ummat Islam dengan teknologi Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya untuk di baca dan dilombakan, dialun-alunkan dengan suara merdu. Ilmu untuk mengeluarkan power Al-qur’an itu tidak lain adalah Tarekatullah dibawah bimbingan Mursyid Kamil Mukamil, yang ahli di bidangnya, ahli tentang teknologi Al Qur’an.
Kalau Mursyidnya tidak ahli dan tidak mendapat izin dari guru-guru sebelumnya, tidak mempunyai silsilah bersambung kepada Rasulullah SAW maka Tarekat hanyalah sebuah praktek zikir kosong tanpa power. Sudah sekian lama tarekat dikucilkan, tasawuf didebatkan terus menerus bahkan dengan tanpa rasa bersalah memasukkan tasawuf sebagai ajaran di luar Islam, sungguh sangat menyedihkan.
Sangat berbahaya mendalami tarekat kalau Gurunya tidak mendapat izin dari Allah. Ibarat pilot pesawat tanpa izin terbang dan tidak mempunyai sama sekali pengalaman terbang tentu sangat berbahaya, bukan rahmat kita dapat tapi malah celaka.
Orientalis dengan sekuat tenaga berusaha agar ummat Islam berpandangan buruk terhadap tasawuf dengan menciptakan tarekat-tarekat palsu. Tarekat palsu tersebut kemudian disebarkan keseluruh dunia dengan tujuan untuk menjelekkan tarekat. Ajaran-ajaran yang menyimpang dari nilai-nilai Al-Qur’an dan hadist sehingga dengan mudah kalangan yang selama ini miring melihat tarekat mendapat angin segar.
Pilihlah Gurumu yang kamil mukamil khalis mukhlisin, yang dicerdikkan Tuhan, tidak setengah kasih akan dunia, kuat berpegang teguh kepada Tali Allah dan tentu saja mempunyai silsilah sebagai tanda sah ilmu yang diajarkannya.
Tasawuf bukan ilmu hapalan, bukan pula ilmu yang dipelajari lewat membaca. Tasawuf adalah ilmu rasa dan rasa itu datang dari Allah SWT atas ikhtiar sungguh2 dari sang murid. Sebagai contoh, kalau hanya sekedar dibaca, letak maqam yang 7 tempat bisa dibaca dalam satu malam bahkan seluruh kaji dalam suluk selesai dipelajari dalam 1 malam. Pertanyaannya apakah bisa “duduk” amalan tersebut dalam satu malam? Jawabannya tidak, membutuhkan waktu bertahun-tahun baru bisa amalan tersebut melekat dalam diri kita. Mungkin kita telah berulang kali suluk, kalau masih ada unsur sombong dalam diri, berarti belum sempurna maqam ke-5, begitu juga kalau masih suka memperturutkan hawa nafsu berarti suluk kita masih belum benar. Mungkin banyak tarekat yang menulis tentang amalan dari awal suluk sampai selesai. Tapi Guru saya sangat melarang karena amalan itu datang dulu baru dijelaskan. Sebagai kiasan, seorang anak lahir dulu kedunia baru diberi nama.
Beliau mengatakan biarlah amalan berupa karunia dari Allah datang dengan sendirinya. Lebih baik karunia itu datang tanpa mengetahui namanya dari pada menghapal nama tapi tidak pernah merasakan karunia.
Kita wajib berterima kasih kepada Almarhum Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc Mursyid Tarekat Naqsyabandi atas jasa Beliau yang mampu menjelaskan ilmu tasawuf lewat ilmu eksakta (fisika klasik) sehingga tidak bisa dibantah sama sekali oleh siapapun. Ilmu tarekat selama ini dianggap kolot dan ketinggalan zaman ternyata merupakan ilmu yang sangat hebat tiada tanding menjadi senjata ampuh ummat Islam diseluruh dunia. Beliau juga yang pertama kali mempopulerkan istilah Teknologi Al-Qur’an. Kalau Imam Al-Ghazali berjasa mendamaikan tasawuf dengan syariat dan menyatukan keduanya lewat ilmu sosial maka Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc berhasil mendamaikan lewat ilmu metafisika eksakta.
Akhirnya, kita semua berharap bisa berjumpa dengan Guru Mursyid Kamil Mukamil Khalis Mukhlisin yang bisa mengajarkan kita tentang Teknologi Al-qur’an sehingga bisa kita salurkan kepada keluarga, kampung, Negara bahkan seluruh jagad raya ini sebagai bukti bahwa Islam Mulia Raya adalah Agama yang membawa Rahmatan Lil Alamin.