Laman

Kamis, 27 November 2014

Tidak Ada Perantara Antara Manusia dengan Allah


Dalam hadist Qudsi Allah berfirman, “Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah…”, ini perintah Allah yang utama. Setiap manusia berusaha dengan segenap kemampuannya, dengan ikhtiar ibadahnya untuk bisa senantiasa selalu beserta atau bersama dengan Allah. Karena tidak semua manusia mengetahui rahasia untuk berhubungan dengan Allah maka Allah memberikan rumus, “Jika engkau belum bisa berhubungan dengan Allah maka adakanlah dirimu beserta dengan orang yang beserta dengan Allah, maka dialah yang mengantarkan dirimu kepada Allah”. Dari hadits Qudsi tersebut jelas bahwa Allah tidak menyuruh kita mengambil perantara tapi mencari orang yang bisa menuntun dan membimbing kita kepada-Nya dalam hal ini Nabi dan kemudian diteruskan oleh para Wali Allah.
Pengamal tarekat tidak pernah menjadikan Gurunya sebagai perantara antara manusia dengan Allah, Guru Mursyid bertugas untuk membimbing, mengarahkan dan menuntun murid kepada jalan Allah, jalan yang sudah berulang kali di lewati oleh Sang Guru sehingga paham di mana jurang terjal dan di mana tikungan tajam sehingga para murid selamat sampai ke tempat tujuan.
Guru, Mursyid dan Wasilah
Hal yang harus kita pahami dengan baik terlebih dulu adalah perbedaan antara Guru, Mursyid dan Wasilah agar kita lebih mudah memaknai hakikat langsung hubungan dengan Allah. Kalau kita menyebut Guru berarti kita sedang membicarakan sosok manusia dalam hal ini lebih khusus kepada Guru tarekat. Gelar yang diberikan kepada Guru Tarekat bisa Syekh, Saidi Syekh, Tuan Guru, Sunan, Kanjeng, Kiayi, Abuya, Abi dan gelar lain yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat yang tujuannya adalah untuk menghargai sang Guru. Guru Tarekat dalam keseharian bisa saja berprofesi sebagai pimpinan pasantren, iman mesjid, ahli pengobatan, Guru di Universitas dan bahkan sebagai pekerja biasa. Profesi duniawi Guru tidak mempengaruhi derajat Beliau di sisi Allah. Guru sebagaimana manusia biasa memiliki sifat-sifat alamiah manusia juga seperti: sedih, sakit, tersinggung, senang, susah dan sifat-sifat alamiah manusia lainnya. Seorang murid harus memahami akan kepribadian Gurunya, karena itu dalam tarekat ada istilah Hadab/Adab atau sopan santun dari murid kepada Guru agar kasih sayang Guru bisa mengalir kepada murid-muridnya.
Mursyid adalah pembimbing rohani, ketika menyebut kata Mursyid lebih bersifat kepada rohani. Mursyid akan membimbing rohani para murid secara 24 jam dari dunia sampai ke akhirat kelak karena rohani Mursyid telah berada pada tingkatan sempurna lagi menyempurnakan.
Sama halnya dengan Nabi atau Rasul yang merupakan pangkat kerohanian, Muhammad bin Abdullah adalah manusia biasa sama seperti umumnya manusia lain yang memiliki kekurangan, mengalami sakit dan sedih sedangkan Rasulullah (rohani Muhammad) adalah suci lagi mensucikan yang terbit dari dzat dan sifat Allah, Rasulullah ini lah yang berfungsi membimbing rohani ummat menuju Allah SWT.
Dalam dunia tarekat sudah menjadi kelaziman kata Guru dan Mursyid di gabung menjadi satu karena fungsi seorang Guru Tarekat bukan hanya menuntun murid secara zahiriah dengan ilmu-ilmu agama tapi juga membimbing rohani para murid setiap saat 24 jam agar jauh dari godaan setan. Kita sering menyebut Guru Tarekat sebagai Guru Mursyid atau Syekh Mursyid.
Sedangkan Wasilah adalah pancaran cahaya Allah atau dikenal dengan Nur Muhammad yang berasal langsung dari sisi Allah. Dengan Nur inilah manusia bisa berkomunikasi dengan Allah. Manusia tidak akan mungkin bisa sampai kehadirat Allah, siapapun itu tanpa kecuali, tanpa adanya wasilah, tanpa adanya cahaya Allah tanpa adanya AL-BURAQ. Dengan Cahaya Allah itu pula seluruh Nabi/Rasul termasuk Nabi Muhammad berhubungan dengan Allah, karena Beliau diberi Wasilah berupa Nur itulah yang membuat pangkat Beliau menjadi Rasulullah, utusan Allah. Satu hal yang harus di pahami, utusan Allah itu bukanlah Muhammad bin Abdillah yang sudah wafat 14 abad yang lain, bukan sama sekali. Utusan Allah adalah Nur Muhammad, cahaya Allah yang diberikan ke dalam dada Muhammad yang telah terlebih dulu di sucikan oleh Jibril as dengan menggunakan metodologi yang berasal dari Allah. Dengan memiliki Wasilah tersebut maka Muhammad adalah sebagai pembimbing seluruh manusia saat itu untuk bisa berkomunikasi dengan Allah. Siapapun yang menggunakan metode yang persis digunakan oleh Nabi Muhammad maka dia akan mendapat hasil yang sama yaitu komunikasi yang murni dengan Allah Ta’ala.
Nabi Muhammad dengan kedudukan sebagai utusan Allah bisa diibarat sebagai Pemancar gelombang radio yang meneruskan gelombang dari pusat kemudian diteruskan keseluruh alam, sehingga radio tersebut bisa diterima oleh semua orang yang telah memiliki radio, dengan syarat radio nya hidup dan menyetel di chanel yang tepat.
Hubungan antara manusia dengan Allah dengan Wasilah ini sangat ilmiah dan tak terbantahkan, inilah sebagai sumber power bagi ummat Islam sehingga musuh-musuh Islam berusaha dengan sekuat tenaga menghancurkan hal yang Maha Penting ini, menghembuskan keraguan ke dalam kaum muslim tentang Wasilah. Kabar buruknya propaganda yang dilakukan berabad-abad untuk menghancurkan metode warisan Nabi ini (Tarekatullah) telah mulai berhasil dilakukan oleh orientalis pada abad ke-19 yang dimulai dari jantung peradaban Islam yaitu Mekkah dan Madinah, dari sanalah dimulai gerakan untuk menghancurkan ajaran tasawuf, warisan Nabi yang tak ternilai harganya.
Wasilah yang tertanam dalam dada nabi Muhammad itu kemudian diteruskan kepada sahabat, diteruskan ke generasi berikut, sampai akhir zaman. Jadi, Nabi, Rasul dan para Wali itu bukanlah Wasilah, mereka hanya sebagai pembawa wasilah yang berasal dari sisi Allah.
Ketika seorang hamba pilihan dititipkan Wasilah oleh Allah maka secara otomatis dalam dirinya bersemayam Nur Allah, apapun yang terpancar dalam dirinya berasal dari Allah swt. Pada tahap ini persis seperti yang di firmankan Allah dalam hadits Qudsi, “Apabila melihat AKU-lah matanya”, “Apabila berjalan AKU-lah kakinya” dan “Apabila bermohon niscaya KU kabulkan”. Orang yang mempunyai kedudukan seperti di atas sangat langka, tidak semua manusia yang dalam matanya ada mata Allah, di kakinya ada kaki Allah dan dalam bahasa sederhana diseluruh tubuhnya telah dipenuhi dengan cahaya Allah sehingga ketika orang memandang wajahnya adalah Allah disana. Orang yang telah mendapat wasilah ini disebut oleh Nabi, “Barang siapa memandang kepada wajah orang Alim sekali dengan pandangan yang senang, niscaya Allah menjadikan pandangan tersebut malaikat yang memintakan ampun baginya hingga hari kiamat”. Bukan hanya memandang wajah, namanya pun begitu mulia sebagaimana disebut dalam hadist, “Sebaik-baik manusia adalah yang apabila namanya disebut maka nama Allah ikut disebut”. Siapakah manusia yang namanya tidak pernah berpisah dengan nama Allah, yang menyebut namanya sama dengan menyebut nama Allah? Mareka adalah orang-orang yang diberi kedudukan mulia oleh Allah, para kekasih Allah yang hanya Allah yang mengetahui keberadaan mereka. Mereka pula yang telah begitu akrab dengan Allah bisa mengantarkan seluruh manusia dengan mudah di sisi-Nya.

Tasawuf adalah Ajaran Rasulullah SAW dan Para Sahabat


Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW.
Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat (mengasingkan diri) di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pengasingan diri Nabi SAW digua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke tujuh), bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dgn Allah. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari.
Perikehidupan (sirah) nabi Muhammad SAW juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon: ”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR.at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim).
“Pada suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” (HR.Abu Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i) .
Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya: ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab:” Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” (HR.Bukhari dan Muslim).
Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata: “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” (HR.at-Tabrani).
Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali (HR.Muslim). Selain itu nabi SAW banyak pula melakukan iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan.
Akhlak Nabi Muhammad SAW. Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS.Al Qalam:4) ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab: Akhlaknya adalah Al-Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim). Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya.
Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha.
Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”.
Kehidupan Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW.
Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya.
Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka: ” Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.At Taubah:100).
Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin) tentang kehidupan para sahabat:” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah SWT.”
Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb:
Abu Bakar as-Siddiq.
Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama menjawab:”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW bertanya kepada: ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia menjawab:”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.”
Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya:”Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab:”Karena menghibur lapar.”
Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata:”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir.
Umar bin Khattab
Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata:” Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.
Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal (Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya.
Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.
Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT.
Usman bin Affan
Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara.
Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin.
Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta.
Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya:…”Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya.
Ali bin Abi Talib
Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya:…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” (QS.Al Kahfi:65).
Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakiannya yang robek.
Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya:”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin (Khalifah)?” Kemudian dijawabnya:”Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?”.
Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya:”Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi.
Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf (w. 430/1038) menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`(Permata para wali) yang artinya: Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju.
Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang Munafik. Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik.
Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin.
Begitu juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang hidup sangat sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu Ahli Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung kepada Saidina Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah SAW.
Mudah-mudahan tulisan di atas menjadi informasi yang bermanfaat bagi kita semua sehingga tidak ragu dalam berguru mengamalkan ajaran Tasawuf yang merupakan inti sari Islam yang bersumber dari ajaran Rasulullah SAW dan kemudian ajaran mulia ini diteruskan oleh Para Sahabat, Tabi’in, Tabi Tabi’in serta para Guru Mursyid sambung menyambung dengan tetap menjaga kemurniannya sehingga ajara tasawuf zaman Rasulullah SAW sampai kepada kita tetap dalam keadaan murni. Para Guru Mursyid adalah khalifah Rasulullah SAW ulama Warisatul Anbiya yang menjaga amanah Rasulullah SAW, tidak berani menambah dan mengurangi sehingga ilmu Tasawuf itu tetap terjaga sepanjang zaman.

Hijrah Menuju Cahaya Allah


“Syukur Alhamdulillah karena pagi ini anda telah selamat memasuki Tarekatullah (jalan kepada Allah), untuk itu kepada anda diminta untuk selalu istiqamah menyebut nama-Nya siang dan malam karena nama dengan yang punya nama tidak akan pernah berpisah, ketika kau menyebut nama-Nya dengan metode yang tepat maka Dia akan hadir dalam hati mu detik itu juga” (Sang Guru).
Kata-kata itu walaupun sudah sangat lama saya dengar, yaitu ketika pertama sekali habis shalat shubuh saya diterima menjadi murid Sang Guru, namun sampai saat ini nasehat tersebut masih terekam kuat dalam memori saya, seakan-akan Beliau mengucapkan baru tadi subuh.
Sejak subuh itu, saya merasakan kehidupan yang beda, menapaki jalan baru, jalan dibawah tuntunan dan bimbingan Wali Allah yang dengan sangat sabar menuntun menuju kehadirat-Nya. Tanggal subuh itu saya catat dan saya ingat, karena itu adalah hari pertama saya hijrah, berangkat dari kegelapan dan kebodohan menuju cahaya Allah yang penuh dengan pencerahan.
(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. [Ibrahim (14): 1]
Jalan yang di terangi oleh cahaya di atas cahaya sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nur 35 dan jalan yang merupakan pintu langsung menuju Allah SWT yaitu Wasilah sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah 35.
Ketika kita memutuskan untuk menempuh jalan kepada-Nya, di bawah bimbingan Guru Mursyid yang Khalis Mukhlisin, saat itu tanpa sadar rohani kita sudah berada di alam akhirat sementara jasmani kita tetap berada di dunia.
“Kita ini ibarat orang-orang akhirat yang sedang bermain-main di muka bumi”, demikian Guru sering mengingatkan para murid agar mereka sadar bahwa tujuan hakiki bukanlah dunia ini tapi kehidupan akhirat, kehidupan bersama cahaya Allah yang harus kita miliki sejak kita hidup.
Segala sesuatu yang diperlukan di alam setelah kematian harus di selesaikan terlebih dulu di dunia ini, sehingga kita tidak lagi mencari dan berada di dalam kebingungan setelah berada di alam setelah kematian. Kita wajib mengenal Allah dengan benar dan berjumpa dengan-Nya ketika kita hidup agar setelah ruh meninggalkan jasad akan tetap bisa berjumpa dengan-Nya karena kewajiban menuntut ilmu adalah di dunia ini bukan di akhirat. Kalau di dunia tidak mengenal Allah, tidak bisa berjumpa dengan Allah maka di akhirat tidak ada yang menjamin untuk berjumpa.
Maka Hijrah menuju cahaya Allah adalah suatu yang wajib yang tidak bisa di tawar, karena tanpa itu kita akan selalu berada dalam kegelapan, kegelapan hati sejak hidup sampai di alam akhirat nanti.
Nabi 14 abad lalu telah memberikan contoh hijrah sebagai simbol, yaitu hijrah dari mekkah (kegelapan) menuju Madinah (cahaya), contoh itu yang harus diteladani oleh seluruh ummat Islam, berhijrah menuju cahaya Allah, sehingga kehidupan akan selalu di sinari cahaya Allah, dengan demikian segala gerak kita akan selalu dalam aturan-Nya, selalu atas keridhaan-Nya.
Semoga kita semua selalu di bimbing dan di tuntun oleh Allah menuju cahaya-Nya, amin ya Rabbal ‘Alamin.

Mencari Tuhan?


kaligrafi-allah-3Kunci Rahasia untuk memudahkan kita mencari sepupu jauh yang berada di Tiongkok adalah dengan ditemani oleh orang yang sudah sangat kenal dan sering berjumpa dengan sepupu kita tersebut, maka istilah yang tepat bukan mencari tapi “diperkenalkan”. Begitu juga dalam hal mencari Tuhan, istilah yang tepat adalah “diperkenalkan” sebagaimana Nabi Muhammad diperkenalkan kepada Allah oleh malaikat Jibril as sebagai pembimbing rohani Beliau. Mula-mulai diperkenal nama-Nya, “Bacalah (hai Muhammad”, bacalah dengan nama Tuhanmu..”, disini Muhammad diajari cara menyebut atau memanggil nama-Nya, diajarkan dzikir tersembunyi menyebut nama Allah pagi dan petang.
Secara bertahap atau dalam mujadah Nabi selama bertahun-tahun, maka terbukalah hijab pembatas antara Muhammad dengan Allah, maka bertemulah antara hamba dengan Tuhannya yang terungkap di Tahiyat dalam shalat, Allah berseru “Keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya bagimu wahai Nabi…”. Karena shalat adalah proses Mikraj nya seorang mukmin maka seharusnya apabila shalat mengalami kesempurnaan maka kita juga mendapat seruan yang sama dari Allah, “Keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya bagimu wahai fulan”.
Berulangkali saya menulis bahwa mencari Tuhan lewat akal akan lebih banyak keliru dari pada benarnya. Akal fikiran diciptakan Allah untuk mengungkapkan rahasia hasil ciptaan Allah untuk dipergunakan demi kemaslahatan manusia. Akal fikiran tidak di rancang untuk menemukan Sang Pencipta sebagai mana peringatan Allah, “Fikirkanlah ciptaanku dan jangan kau fikirkan Dzat-Ku”. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak akan mungkin bisa ditemukan dengan akal fikiran. Namun demikian bukan berarti firman Allah tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak bisa ditemukan sama sekali. Sebagian keliru memaknai “Jangan kau fikirkan dzat-Ku” sebagai bentuk kemustahilan manusia untuk menemukan dzat Allah. Firman Allah tersebut mengingatkan kita bahwa ada cara khusus telah dirancang Allah untuk mengenal-Nya yaitu lewat bimbingan orang yang sudah mengenal-Nya.
Ketika pencarian Tuhan mengalami kebuntuan, maka cara terbaik adalah dengan mengikuti apa yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat dan ulama pewaris Nabi yang dengan menemukan Wasilah yang menghubungkan kita dengan Allah SWT.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan bersungguh-sungguh pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.“ ( Qs al-Maidah : 35 )
Silahkan memaknai Wasilah menurut pemahaman masing-masing, sebagian memaknai wasilah sebagai ibadah yang mendekatkan diri kepada-Nya dan makna wasilah menurut pemahaman Tasawuf adalah gelombang atau frekwensi yang membuat kita tersambung kepada Allah swt. Wasilah bukanlah ibadah akan tetapi Nur Allah yang diberikan kepada Nabi SAW dan kemudian diteruskan kepada ulama pewaris Nabi. Nabi sendiri bukanlah wasilah, Beliau hanya sebagai pembawa wasilah, ibarat gelas dengan air, Nabi adalah gelas sedangkan wasilah adalah air.
Wasilah akan terus berlanjut dan berkesinambungan, secara estafet tanpa putus diwariskan kedalam dada para Ulama dan wasilah ini yang kita gunakan untuk bisa berhubungan dengan Allah SWT. Ibarat listrik dengan kabel, wasilah sebagai listrik sedangkan kabel ibarat Nabi atau Wali Allah, fungsi kabel membawa arus listrik sampai kepada kita.
Perumpamaan ini hanya untuk memudahkan kita dalam memahami karena hal yang paling banyak diperdebatkan oleh orang yang belum menekuni tarekat adalah kedudukan seorang Guru Mursyid bagi pengamal tarekat yang menurut mereka diperlakukan dengan berlebihan. Anda tidak mungkin bisa menikmati listrik kalau tanpa menggunakan kabel, dan suatu hal yang wajar kalau rasa terima kasih kepada kabel yang telah begitu berjasa membawa listrik kepada anda.
Hal yang wajar kalau anda berterima kasih kepada gelas dan memperlakukan gelas dengan istimewa karena tanpa gelas anda tidak bisa minum air. Antara Mursyid dengan Wasilah walaupun berbeda unsur tapi tidak bisa dipisahkan sama sekali, keduanya telah menyatu. Kalau anda ingin menyambungkan diri dengan wasilah, anda harus menyambungkan diri dengan Guru Mursyid terlebih dulu.
Dalam hadist qudsi Allah berfirman, “…Apabila dia telah Ku cintai maka apabila melihat Aku lah matanya…” ini menunjukkan orang-orang yang dicintai oleh Allah (Guru Mursyid) memiliki keistimewaan dimana ketika kita memandang wajah Beliau ada cahaya Allah disana. Itulah sebabnya kenapa para pengamal tarekat selalu melakukan rabithah kepada Gurunya agar Allah selalu berhampiran dengan mereka dan terjauh dari gangguan setan.
Saya mengakhiri tulisan ini dengan kesimpulan bahwa Allah tidak perlu cari karena Dia tidak pernah hilang, yang dilakukan adalah mencari orang yang sudah bersama-Nya, maka orang tersebut yang akan menuntun kita kepada-Nya sebagai mana firman Allah dalam hadist Qudsi : “Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, Jika engkau belum bisa beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta dengan Allah, maka dialah yang mengantarkan dirimu kepada Allah”
Semoga tulisan di hari Jum’at penuh berkah ini bermanfaat hendaknya, amin ya Rabbal ‘Alamin