Laman

Selasa, 21 Juni 2016

HAKEKAT SEMBAHYANG

 :
Berdiri menyaksikan diri sendiri, kita bersaksi dengan diri kita sendiri, bahwa tiada yang nyata pada diri kita… hanya diri bathin (Allah) dan diri zahir kita (Muhammad ) adalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah
SWT .
Hal ini terkandung dalam surat Al-Fatehah yaitu :
Alhamdu (Alif, Lam, Ha, Mim, Dal)
Kalimat alhamdu ini diterima ketika rasulullah isra’ dan mi’raj dan mengambil pengertian akan hakekat manusia pertama yang diciptakan Allah SWT. Yaitu : Adam AS. Tatkala Roh (diri bathin) Adam AS. Sampai ketahap dada, Adam AS pun bersin dan berkata alhamdulillah artinya : segala puji bagi Allah
Apa yang di puji…. Adalah : zat (Allah) , Sifat (Muhammad), Asma’ (Adam) dan Af’al (Manusia):
Jadi sembahyang itu bukan sekali-kali berarti :
Menyembah, tapi suatu istiadat penyaksian diri sendiri dan sesungguhnya tiada diri kita itu adalah diri Allah semata.Kita menyaksikan bahwa diri kitalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah SWT. Dan tiada sesuatu pada diri kita hanya rahasia Allah semata serta.. tiada sesuatu yang kita punya : kecuali Hak Allah semata.
Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahzab 72 Inna ‘aradnal amanata ‘alas samawati wal ardi wal jibal. Fa abaina anyah milnaha wa’asfakna minha wahamalahal insanu.
Artinya :
“sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung tapi mereka enggan menerimannya (memikulnya) karena merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya”
Dan karena firman Allah inilah kita mengucap :
“Asyahadualla Ilaaha Illallah Wa Asyahadu Anna Muhammadar Rasulullah ”
Yang berarti :
Kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita sendiri hanya Allah Semata dengan tubuh zahir kita sebagai tempat menanggung rahasia Allah dan akan menjaganya sampai dengan tanggal yang telah ditentukan.
Manusia akan berguna disisi Allah jika ia dapat menjaga amanah Rahasia Allah dan berusaha mengenal dirinya sendiri.
Karena bila manusia dapat mengenal dirinya, maka dengan itu pulalah ia dapat mengenal Allah.
Hadits Qudsi….
“MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU”
Artinya : Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Allah
ALIF ITU ARTINYA : NIAT SEMBAHYANG
LAM ITU ARTINYA : BERDIRI
HA ITU ARTINYA : RUKU’
MIM ITU ARTINYA : DUDUK
Perkataan pertama dalam sembahyang itu adalah : Allahu Akbar (Allah Maha Besar) Perkata ini diambil dari peringatan ketika sempurnanya roh diri Rahasia Allah itu dimasukkan kedalam tubuh Adam AS. Adam AS. Pun berusaha berdiri sambil menyaksikan keindahan tubuhnya dan berkata : Allahu Akbar (Allah Maha Besar).
Dalam sembahyang harus memenuhi 3 syarat :
Fiqli (perbuatan)
Qauli (bacaan)
Qalbi (Hati atau roh atau qalbu)
Mengapa kita sembahyang sehari semalam 17 rakaat :
Adalah mengambil pengertian sebagai berikut :
Hawa, Adam, Muhammad, Allah dan Ah
Ah Itu Menandakan Sembahyang Subuh
Rakaat Yaitu Zat Dan Sifat
Allah Itu Menandakan Sembahyang Zohor
Rakaat Yaitu : Wujud, Alam, Nur Dan Shahadat.
Muhammad Itu Menandakan Sembahyang Asar
Rakaat Yaitu : Tanah, Air, Api, Dan Angin
Adam Itu Menandakan Sembahyang Maghrib
Rakaat Yaitu : Ahda, Wahda, Dan Wahdia
Hawa Itu Menandakan Sembahyang Isya
Rakaat Yaitu : Mani’, Manikam, Madi, Dan Di
MENGAPA KITA MENGUCAP DUA KALIMAH SYAHADAT 9 KALI DALAM 5 WAKTU SEMBAHYANG
Sebab diri bathin manusia mempunyai 9 wajah.
Dua kalimah syahadat pada :
Sembahyang SUBUH 1 kali itu memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat
SIRUSIR (Rahasia didalam Rahasia)
Sembahyang ZOHOR 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat
SIR dan AHDAH
Sembahyang ASAR 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat
WAHDA dan WAHDIA
Sembahyang MAGHRIB 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat
AHAD dan MUHAMMAD
Sembahyang ISYA 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat
MUSTAFA dan MUHAMMAD
MENGAPA KITA HARUS BERNIAT DALAM SEMBAHYANG
Karena : niat itu merupakan kepala sembahyang.
Hakekat niat letaknya pada martabat alif dan ataupun kalbu manusia didalam sembahyang itu kita lapazkan didalam hati :
Niat sbb :
“aku hendak sembahyang menyaksikan diriku karena Allah semata-mata.”
Dalilnya :
LA SHALATAN ILLA BI HUDURIL QALBI
Artinya : Tidak Sah Shalat Nya Kalau Tidak Hadir Hatinya (Qalbunya)
LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFATULLAH
Artinya : Tidak Syah Sholat Tanpa Mengenal Allah
WAKALBUL MU’MININ BAITULLAH
Artinya : Jiwa Orang Mu’min Itu Rumahnya Allah
WANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ
Artinya : Aku (Allah) Lebih Dekat Dari Urat Nadi Lehermu
IN NAMAS SHALATU TAMAS KUNU TAWADU’U
Artinya : Hubungan Antara Manusia Dengan Tuhannya Adalah Cinta. Cintailah Allah Yang Karena Allah Engkau Hidup Dan Kepada Allah Engkau Kembali. (H.R. Tarmizi)
AKI MIS SHALATA LI ZIKRI
Artinya : Dirikan Shalat Untuk Mengingat Allah (QS. Taha : 145)
Sedangkan :
Al-Fatehah ialah merupakan tubuh sembahyang
Tahayat ialah merupakan hati sembahyang
Salam ialah merupakan kaki tangan sembahyan
Membersihkan hati dari syirik kepada Allah SWT
Mengingat kita bahwa tubuh manusia itu mempunyai 7 lapis susunan jasad yaitu :
Bulu
Kulit
Daging
Darah
Tulang
Lemak
Lendir
7 ayat dalam Al-Fatehah merupakan tawaf 7 kali keliling ka’bah.
HAKEKAT ALLAHU AKBAR DALAM SHALAT IALAH :
“Mengambil magna ucapan Nabi Adam AS. Ketika berdiri menyaksikan dirinya sendiri dan Nabi Adam AS. Mengucap kalimah Allahu Akbar.
Peristiwa ini merupakan tajali (perpindahan) diri rahasia Allah sehingga dapat di tanggung oleh manusia dengan 4 perkara yaitu :
1. Wujud 2. Ilmu 3. Nur 4. Syahadat
Perkataan Allah pada Allahu Akbar mengandung magna atau martabat zat sedangkan perkataan “Akbar” pada Allahu Akbar mengandung magna atau martabat : sifat.
Jadi zat dan sifat itu tidak boleh berpisah, zat dan sifat sama-sama saling puji memuji
DALAM SHALAT ITU JUGA MENGANDUNG HAKEKAT ZAKAT.
Hakekat zakat dalam shalat ialah :
Mengandung makna “ Pembersih hati “ dari pada syirik kepada Allah SWT.
“ Iiya Kanak Budu Wa Iiya Kanasta’in”
Hanya kepada Allah lah aku menyembah dan hanya kepada Allah lah aku mohon pertolongan
HAKEKAT PUASA DALAM SHALAT :
Tidak Boleh Makan Dan Minum
Mata Berpuasa
Telinga Berpuasa
Kulit Berpuasa
Hati Berpuasa

Senin, 20 Juni 2016

MANUSIA DI KARUNIAI 5 BAGIAN PADA JASADNYA


1) .AKAL
- Diciptakan dari materi Alam barzah
- Berkedudukan pada jaringan otak
- Warnahnya Biru
- Sifatnya Dingin atau beku
- Fungsi, Berfikir, Menganalisa
- Daya jangkau sinarnya, sampai ke Alam Barzah
- Watak azali, Tunduk kepada Allah atau berpihak kepada kebenaran
2) .NAFSU
- Diciptakan dari materi Api
- Berkedudukan pada Jakun
- Warnahnya, Merah
- Sifat, Panas
- Fungsi, semangat (penyemangat)
- Daya jangkau sinarnya, sampai kealam Jin
- Watak azali, Ingkar kepada Allah, Tamak, Sombong
3). HAYAT
- Diciptakan dari materi Surga (Buah khuldi) yg dimakan Adam & Hawa
- Berkedudukan pada jaringan Plasenta atau Pusar
- Warnahnya Hijau
- Bersifat, Sejuk
- Fungsi, Pertumbuhan pada jasad, mengaktifkan kerja organ tubuh, memperbaiki kerusakan pada organ tubuh, Gerak refleks, Perlindungan organ tubuh dari hal yg membahayakan
- Daya jangkau sinarnya, Sampai Alam Auliyah
- Watak azali tunduk kepada Allah
4).RUH
- Diciptakan dari Nur ( Refleksi Nurullah)
- Berkedudukan pada Qolbi atau Jaringan Hati
- Warnahnya Kuning (bagi Awam) Putih, ( karena teradiasi oleh Ilmu)
- Bersifat, Muthmainnah, Tenang atau Kosong
- Fungsi, Indra
- Daya jangkau sinarnya, sampai Alam malakut
- Watak azali, Tunduk kepada Allah, Keterangan Karena Allah bersifat Witir (ganjil) Maka diberikan satunya lagi agar menjadi 5
5). ILMU
- Bukan materi ciptaan (Refleksi Sirrullah)
- Berkedudukan, Membungkus Ruh
- Warnahnya, Bening
- Bersifat Kosong
- Fungsi, Mencipta, Merusak, Memperbaiki, Menguasai, Menyembuhkan
- Daya jangkau sinarnya, Sampai Sirrullah
- Watak azali Sifatullah

Al-Qur’an melarang jadikan orang kafir sbg PEMIMPIN

Yang mengaku Orang Islam tolong Camkanini...., Sebelum azab Allah menimpa karena tidak mengindahkan Peringatan Allah di dalam Al Qur'an:...
.
1. Al-Qur’an melarang jadikan orang kafir sbg PEMIMPIN : Aali Imraan : 28, An-Nisaa’ : 144, Al-Maa-idah : 57,
2. Al-Qur’an melarang menjadikan orang kafir sebagai PEMIMPIN walau KERABAT sendiri : At-Taubah: 23, Al-Mujaadilah: 22,
3. Al-Qur’an melarang menjadikan orang kafir sebagai TEMAN SETIA : Aali Imraan : 118, At-Taubah: 16.
4. Al-Qur’an melarang SALING TOLONG dengankafir yang akan MERUGIKAN umat islam : Al-Qasshash : 86, Al-Mumtahanah: 13.
5. Al-Qur’an melarang MENTAATI orang kafir untuk MENGUASAI muslim : Aali Imraan : 149 – 150.
6. Al-Qur’an melarang beri PELUANG kepada orang kafir sehingga MENGUASAI Muslim : An-Nisaa’ : 141
7. Al-Qur’an memvonis MUNAFIQ kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin : An-Nisaa’ : 138 – 139.
8. Al-Qur’an memvonis ZALIM kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin : Al-Maa-idah: 51.
9. Al-Qur’an memvonis FASIQ kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin : Al-Maa-idah: 80 – 81.
10. Al-Qur’an memvonis SESAT kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin : Al-Mumtahanah : 1
11. Al-Qur’an mengancam AZAB bagi yang jadikan kafir sebagai pemimpin/ teman setia: Al-Mujaadilah : 14 – 15.
12. Al-Qur’an mengajarkan doa agar muslim tidak menjadi SASARAN FITNAH orang kafir : Al-Mumtahanah : 5.
.
‪#‎Ya‬ Allah________________
.
#Ya Tuhan kami, sungguh telah kami sampaikan FirmanMu. Kami memohon ampun serta berlindung kepadaMu

SIAPA YANG BERDIRI SENDIRI?


(Qiamuhu Binafsih)
(berdirinya Allah itu dengan sendiri). Iaitu dengan pengertian Allah itu, tidak perlu kepada pembantu, tidak perlu kepada penasihat dan tidak perlu kepada pekerja sokongan. Allah itu bekerja, bertindak dan pelaksana dengan sendiri, tanpa pembantu, tanpa penasihat dan tanpa pekerja sokongan.
Adapun menurut kefahaman, erti, makna, tafsiran atau istilah kepada perkataan “Allah berdiri sendiri” itu, adalah seperti berikut;
1) Allah bersendirian
2) Allah berkeseorangan
3) Tidak ada yang lain selain Allah
4) Allah itu Esa
5) La Maujud Bil Haqqi Ilallah (Tidak ada yang dijadikan ini, melainkan Allah)
Kiamuhu Binafsih itu, bererti, bermakna dan bermaksud bahawa Allah itu, tidak perlu kepada yang lain selain diriNya sendiri. Allah sahaja yang wujud (ada), ujud (mengadakan) dan yang maujud (yang diadakan). Sebagaimana sifat nafsiah wujud (ada), Allah sahaja yang bersifat ada. Selain daripada sifat Allah, bererti dan bermakna “tidak ada”.
Benarlah sebagaimana sifat wujud (ada), yang ada hanya Allah. Ertinya disini, Allah itu bersendirian (sendiri). Seumpama tuan datang kerumah saya secara berkeseorang, lalu saya bertanya kepada tuan, “tuan datang berapa orang?”. Lalu tuan menjawab “saya datang sendiri”. Perkataan”sendiri” disitu menunjukkan, mengambarkan dan menceritakan berkeseorangan!.
Begitu juga Allah, Allah itu adalah tunggal, Esa dan bersendirian. Bilamana bersendirian (sendiri), maka Dialah yang meyembah Dia, Dialah yanng menyatakan Dia, Dialah yang menilik Dia, Dialah yang memandang Dia, Dialah yang mengenal Dia dan Dialah seDia-Dianya Dia…………………………………………………….
Bilamana Allah yang mendirikan kita dan Allah yang menjadikan kaki kita berdiri, jika segalanya Dia, mana bahagian kita?. Kemana perginya hak kita dan ke mana perginya kepunyaan kita?. Mana yang dikatakan diri kita, mana kaki, tangan, mulut dan mata kita, jika segalanya milik Allah?. Mana kita,. Bolehkah barang milik orang, kita mengaku milik kita?. Tanah orang punya atau rumah orang punya, bolehkah kita mengaku harta milik kita?.
Disini memang benarlah bahawa Allah itu berdiri sendiri (berkeseorangan, Esa, satu atau tungggal). Allah itu, adalah Allah. Allah yang awal mula, Allah yang akhir, Allah yang zahir dan Allah yang batin. Yang tidak ada wujud yang lain selain Allah……………………………………….
Siapa yang membolehkan kaki tuan-tuan berdiri untuk bersembahyang?. Adakah berdirinya kaki tuan-tuan itu, atas dasar kehendak, kuasa, kudrat atau iradat tuan-tuan sendiri?.
Tidakkah berdirinya kaki tuan-tuan itu, adalah di atas dasar kuasa dan kudrat Allah!. Tidakkah kuasaNya yang mendirikan kedua-dua belah kaki tuan-tuan semasa tuan-tuan berdiri untuk mengerjakan sembahyang?. Sekiranya yang mendirikan kaki kita, semasa kita berdiri itu, adalah Allah, mana yang dikatakan kuasa atau kudrat kita. siapa yang sebenar-benar berdiri?. Apa masih ada lagi kaki kita?. Apa masih ada lagi daya upaya, apa masih ada lagi kudrat atau iradat kita?……………………..
 

Ahli Hakikat Tidak Perlu Syariat?


Ada segolongan dari pengamal ilmu tarekat (hakikat) mendakwa bahawa mereka sudah tidak perlu bersholat, berpuasa, zakat atau mengerjakan haji kerana mereka sudah mencapai maqam haqiqat yang sebenar. Apakah benar dakwaan sebegini? Dan bolehkan mereka yang mendakwa sedemikian dijadikan ikutan?
Kami (hamba Allah yang faqir algi haqir abu zahrah) menjawab: Dakwaan itu adalah bathil, kerana hakikat setinggi mana sekalipun tidak terpisah dengan syariat. Dakwaan tersebut dilontarkan bukan oleh golongan thoriqat, sebaliknya golongan bathiniah yang bertopengkan thoriqat, atau golongan thoriqat yang palsu. Ahli sufi atau ahli thoriqat yang hak tidak mendakwa sedemikian.
Mari kita lihat apa kata para ulama’ terutamanya ulama’ tasawuf atau para masyaikh thoriqat yang mu’tabarah yang juga merupakan Kata-kata ulama berkenaan dengan syariat dan tasawuf (thoriqat/hakikat)
Syaikh al-‘Allamah al’Arifbillah Abi al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin bin ‘Abdul Malik bin Talhah bin Muhammad al-Qusyairi an-Naisaburi menyebut di dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah:
Telah berkata seorang lelaki kepada Junaid [al-Baghdadi]: Diantara ahli ma’rifah ada satu kaum yang mengatakan bahwa meninggalkan harakat [amal perbuatan – ubudiah] termasuk dalam bab berbuat baik dan taqwa. Maka Junaid [al-Baghdadi] berkata: Ini adalah perkataan orang-orang yang ingin menggugurkan ‘amal [menggugurkan taklif]. Dan mereka disisiku perkara ini besar. Dan sesungguhnya orang yang mencuri dan berzina pun masih lebih baik daripada orang yang mengatakan hal tersebut kerana para arifbillah mereka memperoleh ‘amal dari Allah Ta’ala dan ber’amal kerana Allah Ta’ala. Dan andaikata aku hidup 1,000 tahun, aku tidak akan meninggalkan amal-amal kebajikan sebesar zarrahpun.
Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata lagi:
علمنا هذا مقيد بالكتاب والسنة من لم يقرأ القرآن ويكتب الحديث لا يقتدى به في علمنا هذا
Manakala Abu Yazid al-Bistami pula berkata:
Andaikata kalian melihat seorang yang diberikan pelbagai karamah, hingga di dapat terbang diudara sekalipun, maka janganlah kamu terpedaya, hingga kalian melihat bagaimana dia mematuhi perintah, larangan dan menjaga batas-batas Allah (hukum-hukum Allah) dan bagaimana ia menjalankan syariat.
Imam Malik رضي الله عنه berkata:
مَنْ تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق
Barangsiapa bertasawuf (berhaqiqat) dan tiada berfeqah maka dia zindiq, dan barangsiapa yang berfeqah tiada bertasawuf maka dia fasiq, dan barangsiapa yang menghimpun keduanya maka dia tahqiq. (Kitab sharh ‘ain al-ilm wa zain al-Hilm; Mulla Ali Qari)
Yang pertama dikatakan sebagia zindiq kerana ia melihat kepada haqiqat tanpa melaksanakan hukum-hukum syariat yang ditaklifkan kepadanya. Makakala yang kedua dikatakan sebagai fasiq kerana syariat zahirnya bagus namun bathinnya masih bergelumang dengan mazmumah, tiada keikhlasan pada amalannya. Dan ketiga itu dikatakan tahqiq kerana dia telah menghimpunkan diantara syariat dan haqiqat. Sempurna zahir dan bathinnya.
Telah berkata Abu Nuaim al-Asbahani didalam kitabnya Hilyatul Auliya:
كان أبو حفص يقول: من لم يزن أفعاله وأحواله في كل وقت بالكتاب والسنة، ولم يتهم خواطره فلا تعده في ديوان الرجال
Abu Hafs [Umar bin Salamah al-Haddad; wafat 260H/874M] berkata: Barangsiapa yang tidak menimbang perbuatannya dan ahwalnya setiap waktu dengan al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah, dan tidak merasa syak terhadap lintasan-lintasan hatinya, maka ia tidak termasuk di dalam diwan al-rijal
Sultanul Auliya’ Shaikh Abdul Qadir al-Jilani رضي الله عنه berkata:
كل حقيقة لا تشهد لها الشريعة فهي زندقة. طِرْ إِلى الحق عز وجل بجناحي الكتاب والسنة، ادخل عليه ويدك في يد الرسول صلى الله عليه وسلم
Setiap haqiqat yang tidak disaksikan baginya dengan syariat, maka ia adalah zindiq. Terbanglah kepada al-Haq عز وجل dengan sayap al-Kitab dan as-Sunnah. Masuklah kepadaNya sedangkan tanganmu dalam gengaman tangan Rasulullah صلى الله عليه وسلم . – Fathur rabbani -
ترك العبادات المفروضة زندقة. وارتكاب المحظورات معصية، لا تسقط الفرائض عن أحد في حال من الأحوال-الفتح الرباني للشيخ عبد القادر الجيلاني
Meninggalkan ibadat yang fardhu adalah zindiq. Melakukan perkara yang terlarang adalah ma’siat. Tidak gugur akan kefardhuan daripada seseorang ketika ia berada di dalam satu hal diantara ahwalnya. - Fathur rabbani -
Shaikh Abdul Wahab ash-Sha’rani berkata di dalam Thabaqatul Kubra:
من دقق النظر علم أنه لا يخرج شىء من علوم أهل الله تعالى عن الشريعة وكيف يخرج والشريعة صلتهم إلى الله عز وجل في كل لحظة
Barangsiapa yang menghalusi penelitiannya terhadap ilmu tasawuf, ia mengetahui bahwasanya tidak terkeluar satupun daripada ilmu-ilmu ahlillah (ilmu shufi atau ilmu haqiqat) daripada landasan syariat. Dan bagaimana mereka boleh terkeluar daripada landasan syariat sedangkan ianya merupakan penghubung mereka kepada Allah pada setiap saat.
Shaikh Abul Hasan ash-Shadhuli رضي الله عنه berkata
إِذا عارض كشفُك الصحيح الكتابَ والسنة فاعمل بالكتاب والسنة ودع الكشف، وقل لنفسك: إِن الله تعالى ضمن لي العصمة في الكتاب والسنة، ولم يضمنها لي في جانب الكشف والإِلهام
Apabila kasyafmu bercanggah dengan al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah, maka beramal dengan al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah dan tinggalkan kasyaf itu. Dan katakanlah kepada dirimu: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjaminkan bagiku akan 'ismah (keterpeliharaan) al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah, dan Dia tidak pernah menjamin tentang 'ismah kasyaf, ilham [kecuali jika kasyaf dan ilham itu tidak bercanggah dengan al-Quran dan as-Sunnah].
Abu al-Hussin al-Warraq berkata:
لايصل العبد إلى الله الا بالله، وبموافقة حبيبه صلى الله عليه وسلم في شرائعه. ومن جعل الطريق إلى الوصول في غير الإقتداء يضل من حيث يظن أنه مهتد
Tiada sampai seseorang hamba kepada Allah melainkan dengan Allah dan mengikut syariat kekasihNYA, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Sesiapa yang menjadikan jalan untuk sampai kepada Allah tanpa mengikuti Rasulullah صلى الله عليه وسلم , dia akan sesat dalam keadaan dia menyangka diberi petunjuk oleh Allah.
Abu Said Ahamd bin Isa al-Kharraz (wafat 277H) berkata:
كل باطن يخالفه ظاهر فهو باطل
Setiap perkara yang bathin yang bercanggah dengan perkara yang dzahir (syariat), maka ia adalah bathil.
Demikianlah sebahagian daripada petikan dari kata-kata ulama’ besar tasawwuf yang mana ada dikalangan mereka hidup dizaman salafus sholeh dan mereka inilah merupakan diantara imam-imam shufi yang mu’tabar.

 

TEMPAT ROH-ROH DI DALAM BADAN (SYAIKH ABDUL QADIR JAILANI)


Tempat roh manusia, roh kehidupan, di dalam badan ialah dada. Tempat ini berhubung dengan pancaindera dan deria-deria. Urusan atau bidangnya ialah agama. Pekerjaannya ialah mentaati perintah Allah. Dengan peraturan-peraturan yang ditentukan-Nya, Allah memelihara dunia nyata ini dengan teratur dan harmoni. Roh itu bertindak menurut kewajipan yang ditentukan oleh Allah, tidak menganggap perbuatannya sebagai perbuatannya sendiri kerana dia tidak berpisah dengan Allah. Perbuatannya daripada Allah; tidak ada perpisahan di antara ‘aku’ dengan Allah di dalam tindakan dan ketaatannya.
“Barangsiapa percaya akan pertemuan Tuhannya hendaklah mengerjakan amal salih dan janganlah ia sekutukan sesuatu dalam ibadat kepada Tuhannya”. (Surah Kahfi, ayat 110).
Allah adalah esa dan Dia mencintai yang bersatu dan satu. Dia mahu semua penyembahan dan semua amal kebaikan, yang Dia anggap sebagai pengabdian kepada-Nya, menjadi milik-Nya semata-mata, tidak dikongsikan dengan apa sahaja. Jadi, seseorang tidak memerlukan kelulusan atau halangan daripada sesiapa pun di dalam pengabdiannya kepada Tuhannya, juga amalannya bukan untuk kepentingan duniawi. Semuanya semata-mata kerana Allah. Suasana yang dihasilkan oleh petunjuk Ilahi seperti menyaksikan bukit-bukti kewujudan Allah di dalam alam nyata ini; kenyataan sifat-sifat-Nya, kesatuan di dalam yang banyak, hakikat di sebalik yang nyata, kehampiran dengan Pencipta, semuanya adalah ganjaran bagi amalan kebaikan yang benar dan ketaatan tanpa mementingkan diri sendiri. Namun, semuanya itu di dalam taklukan alam benda, daripada bumi yang di bawah tapak kaki kita sehinggalah kepada langit-langit. Termasuk juga di dalam taklukan alam dunia ialah kekeramatan yang muncul melalui seseorang, misalnya berjalan di atas air, terbang di udara, berjalan dengan pantas, mendengar suara dan melihat gambaran dari tempat yang jauh atau boleh membaca fikiran yang tersembunyi. Sebagai ganjaran terhadap amalan yang baik manusia juga diberikan nikmati di akhirat seperti syurga, khadam-khadam, bidadari, susu, madu, arak dan lain-lain. Semuanya itu merupakan nikmati syurga tingkat pertama, syurga dunia.
Tempat ‘roh perpindahan atau roh peralihan’ ialah di dalam hati. Urusannya ialah pengetahuan tentang jalan kerohanian. Kerjanya berkait dengan empat nama-nama pertama bagi nama-nama Allah yang indah. Sebagaimana dua belas nama-nama yang lain empat nama tersebut tidak termasuk di dalam sempadan suara dan huruf. Jadi, ia tidak boleh disebut. Allah Yang Maha Tinggi berfirman:
“Dan bagi Allah jualah nama-nama yang baik, jadi serulah Dia dengan nama-nama tersebut”. (Surah A’raaf, ayat 180).
Firman Allah di atas menunjukkan tugas utama manusia adalah mengetahui nama-nama Tuhan. Ini adalah pengetahuan batin seseorang. Jika mampu memperolehi pengetahuan yang demikian dia akan sampai kepada makam makrifat. Di samalah pengetahuan tentang nama keesaan sempurna.
Nabi s.a.w bersabda, “Allah Yang Maha Tinggi mempunyai sembilan puluh sembilan nama, sesiapa mempelajarinya akan masuk syurga”. Baginda s.a.w juga bersabda, “Pengetahuan adalah satu. Kemudian orang arif jadikannya seribu”. Ini bermakna nama kepunyaan Zat hanyalah satu. Ia memancar sebagai seribu sifat kepada orang yang menerimanya.
Dua belas nama-nama Ilahi berada di dalam lengkungan sumber pengakuan tauhid “La ilaha illa Llah”. Tiap satunya adalah satu daripada dua belas huruf dalam kalimah tersebut. Allah Yang Maha Tinggi mengurniakan nama masing-masing bagi setiap huruf di dalam perkembangan hati. Setiap satu daripada empat alam yang dilalui oleh roh terdapat tiga nama yang berlainan. Allah Yang Maha Tinggi dengan cara ini memegang erat hati para pencinta-Nya, dalam kasih sayang-Nya. Firman-Nya:
“Allah tetapkan orang-orang yang beriman dengan perkataan yang tetap di Penghidupan dunia dan akhirat”. (Surah Ibrahim, ayat 27).
Kemudian dikurniakan kepada mereka kehampiran-Nya. Dia sediakan pokok keesaan di dalam hati mereka, pokok yang akarnya turun kepada tujuh lapis bumi dan Dahannya meninggi kepada tujuh lapis langit, bahkan meninggi lagi hingga ke arasy dan mungkin lebih tinggi lagi. Allah berfirman:
“Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah adakan misal, satu kalimah yang baik seperti pohon yang baik, pangkalnya tetap dan cabangnya ke langit. (Surah Ibrahim, ayat 24).
Tempat ‘roh perpindahan atau roh peralihan’ adalah di dalam nyawa kepada hati. Alam malaikat berterusan di dalam penyaksiannya. Ia boleh melihat syurga alam tersebut, penghuninya, cahayanya dan semua malaikat di dalamnya. Kalam ‘roh peralihan’ adalah bahasa alam batin, tanpa huruf tanpa suara. Perhatiannya berterusan menyentuh soal-soal rahsia-rahsia maksud yang tersembunyi. Tempatnya di akhirat apabila kembali ialah syurga Na’im, taman kegembiraan kurniaan Allah.
Tempat ‘roh sultan’ di mana ia memerintah, adalah di tengah-tengah hati, jantung kepada hati. Urusan roh ini ialah makrifat. Kerjanya ialah mengetahui semua pengetahuan ketuhanan yang menjadi perantaraan bagi semua ibadat yang sebenar-benarnya diucapkan dalam bahasa hati. Nabi s.a.w bersabda, “Ilmu ada dua bahagian. Satu pada lidah, yang membuktikan kewujudan Allah. Satu lagi di dalam hati. Inilah yang perlu bagi menyedarkan tujuan seseorang”. Ilmu yang sebenar-benarnya bermanfaat berada di dalam sempadan kegiatan hati. Nabi s.a.w bersabda, “Quran yang mulia mempunyai makna zahir dan makna batin”. Allah Yang Maha Tinggi membukakan Quran kepada sepuluh lapis makna yang tersembunyi. Setiap makna yang berikutnya lebih bermanfaat daripada yang sebelumnya kerana ia semakin hampir dengan sumber yang sebenarnya. Dua belas nama kepunyaan Zat Allah adalah umpama dua belas mata air yang memancar dari batu apabila Nabi Musa a.s menghentamkan batu itu dengan tongkatnya.
“Dan (ingatlah) tatkala Musa mintakan air bagi kaumnya, maka Kami berkata, ‘Pukullah batu itu dengan tingkat kamu’. Lantas terpancar daripadanya dua belas mata air yang sesungguhnya setiap golongan itu mengetahui tempat minumnya”. (Surah Baqarah, ayat 60).
Pengetahuan zahir adalah umpama air hujan yang datang dan pergi sementara pengetahuan batin umpama mata air yang tidak pernah kering.
“Dan satu tanda untuk mereka, ialah bumi yang mati (lalu) Kami hidupkannya dan Kami keluarkan daripadanya biji-bijian, lalu mereka memakannya”. (Surah Yaa Sin, ayat 33).
Allah jadikan satu bijian, sebiji benih di langit. Benih itu menjadi kekuatan kepada kehaiwanan di dalam diri manusia. Dijadikan-Nya juga sebiji benih di dalam alam roh-roh (alam al-anfus); menjadi sumber kekuatan, makanan roh. Bijian itu dijiruskan dengan air dari sumber hikmah. Nabi s.a.w bersabda, “Jika seseorang menghabiskan empat puluh hari dalam keikhlasan dan kesucian sumber hikmah akan memancar dari hatinya kepada lidahnya”.
Nikmat bagi ‘roh sultan ialah kelazatan dan kecintaan yang dinikmatinya dengan menyaksikan kenyataan keelokan, kesempurnaan dan kemurahan Allah Yang Maha Tinggi. Firman Allah:
“Dia telah diajar oleh yang bersangatan kekuatannya, yang berupa bagus, lalu ia menjelma dengan sempurnanya padahal ia di pehak atas yang paling tinggi. Kemudian ia mendekati rapat (kepadanya), maka adalah (rapatnya) itu kadar dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu Ia wahyukan kepada hamba-Nya apa yang Ia mahu wahyukan. Hatinya tidak mendusta apa yang dia lihat”. (Surah Najmi, ayat 5 – 11).
Nabi s.a.w menggambarkan suasana demikian dengan cara lain, “Yang beriman (yang sejahtera) adalah cermin kepada yang beriman (yang sejahtera)”. Dalam ayat ini yang sejahtera yang pertama ialah hati orang yang beriman yang sempurna, sementara yang sejahtera kedua itu ialah yang memancar kepada hati orang yang beriman itu, tidak lain daripada Allah Yang Maha Tinggi sendiri. Allah menamakan Diri-Nya di dalam Quran sebagai Yang Mensejahterakan.
“Dia jualah Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia…Yang Mensejahterakan (Pemelihara iman), Pemelihara segala-galanya”. (Surah Hasyr, ayat 23).
Kediaman ‘roh sultan’ di akhirat ialah syurga Firdaus, syurga yang tinggi.
Setesen di mana roh-roh berhenti adalah tempat rahsia yang Allah buatkan untuk Diri-Nya di tengah-tengah hati, di mana Dia simpankan rahsia-Nya (Sirr) untuk disimpan dengan selamat. Keadaan roh ini diceritakan oleh Allah melalui pesuruh-Nya:
“Insan adalah rahsia-Ku dan Aku rahsianya”.
Urusannya ialah kebenaran (hakikat) yang diperolehi dengan mencapai keesaan; mencapai keesaan itulah tuagsnya. Ia membawa yang banyak kepada kesatuan dengan cara terus menerus menyebut nama-nama keesaan di dalam bahasa rahsia yang suci. Ia bukan bahasa yang berbunyi di luar.
“Dan jika engkau nyaringkan perkataan, maka Sesungguhnya Dia mengetahui rahsia dan yang lebih tersembunyi”. (Surah Ta Ha, ayat 7)
Hanya Allah mendengar bahasa roh suci dan hanya Allah mengetahui keadaannya.
Nikmat bagi roh ini ialah penyaksian terhadap ciptaan Allah yang pertama. Apa yang dilihatnya ialah keindahan Allah. Padanya terdapat penyaksian rahsia. Pandangan dan pendengaran menjadi satu. Tidak ada perbandingan dan tidak ada persamaan tentang apa yang disaksikanya. Dia menyaksikan sifat Allah, keperkasaan dan kekerasan-Nya sebagai esa dengan keindahan, kelembutan dan kemurahan-Nya.
Bila manusia temui matlamatnya, tempat kediamannya, bila dia temui akal asbab, pertimbangan keduniaannya yang memandunya selama ini akan tunduk kepada Perintahnya; hatinya akan rasa gentar bercampur hormat, lidahnya terkunci. Dia tidak berupaya menceritakan keadaan tersebut kerana Allah tidak menyerupai sesuatu.
Bila apa yang diperkatakan di sini sampai ke telinga orang yang berilmu, mula-mula cubalah memahami tahap pengetahuan sendiri. Tumpukan perhatian kepada kebenaran (hakikat) mengenai perkara-perkara yang sudah diketahui sebelum mendongak ke ufuk yang lebih tinggi, sebelum mencari peringkat baharu, semoga mereka memperolehi pengetahuan tentang kehalusan perlaksanaan Ilahi. Semoga mereka tidak menafikan apa yang sudah diperkatakan, tetapi sebaliknya mereka mencari makrifat, kebijaksanaan untuk mencapai keesaan. Itulah yang sangat diperlukan.



MENYAKSIKAN ALLAH: SAMPAI KEPADA MAKAM MELIHAT KENYATAAN ZAT YANG MAHA SUCI.


Melihat Allah ada dua jenis: Pertama melihat sifat keindahan Allah yang sempurna secara langsung di akhirat’ dan satu lagi melihat sifat-sifat ketuhanan yang dipancarkan ke atas cermin yang jernih kepunyaan hati yang tulen di dalam kehidupan ini. Dalam hal tersebut penyaksian kelihatan sebagai penzahiran cahaya keluar daripada keindahan Allah yang sempurna dan dilihat oleh mata hati yang hakiki.
“Hati tidak menafikan apa yang dia lihat”. (Surah Najmi, ayat 11).
Mengenai melihat kenyataan Allah melalui perantaraan, Nabi s.a.w bersabda, “Yang beriman adalah cermin kepada yang beriman”. Yang beriman yang pertama, cermin dalam ayat ini, adalah hati yang beriman yang suci murni, sementara yang beriman kedua adalah Yang Melihat bayangan-Nya di dalam cermin itu, Allah Yang Maha Tinggi. Sesiapa yang sampai kepada makam melihat kenyataan sifat Allah di dalam dunia ini akan melihat Zat Allah di akhirat, tanpa rupa tanpa bentuk.
Kenyataan ini disahkan oleh Saidina Umar r.a dengan katanya, “Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku”. Saidina Ali r.a berkata, “Aku tidak menyembah Allah kecuali aku melihat-Nya”. Mereka berdua tentu telah melihat sifat-sifat Allah dalam kenyataan. Jika seseorang melihat cahaya matahari masuk melalui jendela dan dia berkata, “Aku melihat matahari”, dia bercakap benar.
Allah memberi gambaran yang jelas tentang kenyataan sifat-sifat-Nya:
“Allah itu nur bagi langit-langit dan bumi. Bandingan nur-Nya (adalah) seperti satu kurungan pelita yang di dalamnya ada pelita (sedang) pelita itu dalam satu kaca, (dan) kaca itu sebagai bintang yang seperti mutiara, yang dinyalakan (dengan minyak) dari pohon yang banyak faedah (iaitu) zaitun yang bukan bangsa timur dan bukan bangsa barat, yang minyaknya (sahaja) hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api, nur atas nur, Allah pimpin kepada nur-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mengadakan perumpamaan bagi manusia, dan Allah mengetahui tiap sesuatu”. (Surah Nuur, ayat 35).
Perumpamaan dalam ayat ini adalah hati yang yakin penuh di kalangan orang yang beriman. Lampu yang menerangi bekas hati itu ialah hakikat atau intipati kepada hati, sementara cahaya yang dipancarkan ialah rahsia Tuhan, ‘roh sultan’. Kaca adalah lutsinar dan tidak memerangkap cahaya di dalamnya tetapi ia melindunginya sambil menyebarkannya kerana ia umpama bintang. Sumber cahaya adalah pohon Ilahi. Pohon itu adalah makam atau suasana keesaan, menjalar dengan dahan dan akarnya, memupuk prinsip-prinsip iman, berhubung tanpa perantaraan dengan bahasa yang asli.
Secara langsung, melalui bahasa yang asli itulah Nabi s.a.w menerima pembukaan al-Quran. Dalam kenyataan Jibrail membawa firman Tuhan hanya setelah firman tersebut diterima – ini adalah untuk faedah kita supaya kita boleh mendengarnya dalam bahasa manusia. Ini juga memperjelaskan siapakah yang tidak percaya dan munafik dengan memberi mereka peluang untuk menafikannya seperti mereka tidak percaya kepada malaikat.
“Dan sesungguhnya diwahyukan kepada kamu Quran (ini) dari sisi (Tuhan) yang bijaksana, yang mengetahui”. (Surah Naml, ayat 6).
Oleh kerana Nabi s.a.w menerima pembukaan sebelum Jibrail membawanya kepada baginda, setiap kali Jibrail membawa ayat-ayat suci itu Nabi s.a.w mendapatinya di dalam hatinya dan membacanya sebelum ayat itu diberikan. Inilah alasan bagi ayat:
“Dan janganlah engkau terburu-buru dengan Quran sebelum habis diwahyukan kepada kamu”. (Surah Ta Ha, ayat 114).
Keadaan ini menjadi jelas sewaktu Jibrail menemani Nabi s.a.w pada malam mikraj, Jibrail tidak terdaya untuk pergi lebih jauh daripada Sidratul Muntaha. Dia berkata, “Jika aku ambil satu langkah lagi aku akan terbakar”. Jibrail membiarkan Nabi s.a.w meneruskan perjalanan seorang diri.
Allah menggambarkan pokok zaitun yang diberkati, pokok keesaan, bukan dari timur dan bukan dari barat. Dalam lain perkataan ia tidak ada permulaan dan tidak ada kesudahan, dan cahayanya yang menjadi sumber tidak terbit dan tidak terbenam. Ia kekal pada masa lalu dan tiada kesudahan pada masa akan datang. Kedua-dua Zat Allah dan sifat-sifat-Nya adalah kekal abadi. Kedua-dua kenyataan Zat-Nya dan kenyataan sifat-Nya bergantung kepada Zat-Nya.
Penyembahan yang sebenar hanya boleh dilakukan apabila hijab yang menutup hati tersingkap agar cahaya abadi menyinarinya. Hanya selepas itu hati menjadi terang dengan cahaya Ilahi. Hanya selepas itu roh menyaksikan perumpamaan Ilahi itu.
Tujuan diciptakan alam maya adalah untuk ditemui khazanah rahsia itu. Allah berfirman melalui Rasul-Nya:
“Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Aku suka dikenali lalu Aku ciptakan makhluk agar Aku dikenali”.
Ini bermakna Dia boleh dikenali di dalam dunia ini melalui sifat-sifat-Nya. Tetapi untuk melihat dan mengenali Zat-Nya sendiri hanyalah boleh terjadi di akhirat. Di sana melihat Allah adalah secara langsung sebagaimana yang Dia kehendaki dan yang melihatnya adalah mata bayi hati.
“Beberapa muka pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat”. (Surah Qiamat, ayat 22 & 23).
Nabi s.a.w bersabda, “Aku melihat Tuhanku di dalam rupa jejaka tampan”. Mungkin ini adalah bayangan bayi hati. Bayangan adalah cermin. Ia menjadi alat untuk menzahirkan yang ghaib. Hakikat Allah Yang Maha Tinggi tidak menyerupai sesuatu samada bayangan atau bentuk. Bayangan adalah cermin, walaupun yang kelihatan bukanlah cermin dan bukan juga orang yang melihat ke dalam cermin. Fikirkan tentang itu dan cubalah memahaminya kerana ia adalah hakikat kepada alam rahsia-rahsia.
Tetapi semuanya berlaku pada makam sifat. Pada makam Zat semua kenyataan hilang, lenyap. Orang yang di dalam makam Zat itu sendiri lenyap tetapi mereka merasai zat itu dan tiada yang lain. Betapa jelas Nabi s.a.w menggambarkannya, “Aku daripada Allah dan yang beriman daripadaku”. Dan Allah berfirman melalui Rasul-Nya:
“Aku ciptakan cahaya Muhammad daripada cahaya Wujud-Ku sendiri”.
Maksud Wujud Allah adalah Zat-Nya Yang Maha Suci, menyata di dalam sifat-sifat-Nya Yang Maha Mengasihani. Ini dinyatakan-Nya melalui Rasul-Nya:
“Rahmat-Ku mendahului murka-Ku”.
Rasul yang dikasihi Allah adalah cahaya kebenaran sebagaimana Allah berfirman:
“Tidak Kami utuskan engkau melainkan menjadi rahmat kepada seluruh alam”. (Surah Anbiyaa’, ayat 107).
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu rasul Kami, menerangkan kepada kamu beberapa banyak dari (isi Kitab) yang kamu sembunyikan, dan ia tidak ambil tahu berapa banyak. Sesungguhnya telah datang kepada kamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan”. (Surah Maaidah, ayat 15).
Pentingnya utusan Allah yang dikasihi-Nya itu jelas dengan firman-Nya kepada baginda, “Jika tidak kerana engkau Aku tidak ciptakan makhluk”.



Siapa Saksi Dan Siapa Yang Meyaksikan Syahadah Kita?


PEYAKSIAN KALIMAH SYAHADAH
Tuan-tuan dan puan-puan yang dirahmati Allah sekalan. Disini saya tidak bercadang untuk mengupas atau tidak bercadang untuk menterjemahan syahadah dalam bentuk kalimah tauhid atau kaliamah Rasul. Keranan kaimah tauhid dan kalimah Rasul, tafsir panjang lebar sudah terkandung dan sudah terdapat didalam kitab mengenal makrifat (kitab mengenal Allah yang bewarna hijau), halaman 26 daripada muka surat 496 sehingga 530.
Dikesepatan ini, saya bercadang untuk membicarakan tentang peyaksian, iaitu apa maksud saksi dan apa makna meyaksikan!. Sebelum berkalimah syahadah, terlebih dahulu marilah bersama-sama kita memohon petunjuk dan hidayah dari Allah s.w.t, agar lafaz yang terkeluar dari kalam bibir kita itu, dipersetujui, diperkenan dan diredhai Allah s.w.t.
Bagi mendapatkan perkenan atau persetujuan Allah s.w.t, hendaklah terlebih dahulu kita tanya kepada diri kita sendiri, apakah kalimah syahadah yang telah berlangsung di kalam bibir kita itu, dihayati dengan sajian ilmu atau berlangsung dengan sekadar dendangan alunan suara bibir?. Hanya hati mereka-mereka yang ditunjuki, dianugerah dan yang dikehendaki Allah s.w.t sahaja yang dapat membuka simpulan iman yang tersembunyi di sebalik kalimah syahadah. Allah s.w.t sahaja yang dapat membuka simpulan iman itu dan hanya Allah s.w.t sahaja yang dapat memberi petunjuk ke arah mengetahui rahsia di sebalik syahadah.
Simpulan iman yang tersimpul di sebalik syahadah itu, teramat sulit untuk dibuka oleh akal. Syahadah itu, tersimpul disebalik simpulan iman. Simpulan iman itu tersimpul di dalam kalimah “tahu“ tetapi tidak “mengetahui” (kenal). Perkataan tahu itu, adalah simpulan yang tersimpul di sebalik khayalan akal atau hanya sekadar angan-angan.

Tanya: Siapa saksi dan siapa yang meyaksikan?.
Jawab: Semasa melafaz dua kalimah syahadah, kita dikehendaki menghadirkan saksi dan mengadakan saksi. Barulah lafazan kita itu diterima pakai, jika kita melafazkan dengan tidak ada saksi, seumpama lafaz seekur burung tiung dan seumpama lafaz dari sebuah radio kaset
Sebelum kita melafazkan kalimah syahadah, terutamanya di dalam solat, kita dikehendaki menghadirkan dan menyatakan wajah Allah terlebih dahulu di dalam hati. Setelah wajah Allah itu benar-benar hadir di dalam lubuk hati kita, barulah dua kalimah syahadah yang kita ucapkan itu, ada nilai, ada makna dan ada yang menyaksikannya. Jika Allah tidak dapat kita hadirkan, kepada Tuhan mana hendak kita persaksikan syahadah kita?.

Siapakah saksi dan siapakah yang menyaksikan di kala kita melafazkan kalimah syahadah?. Yang bersaksi (melafaz) kalimah syahadah kita itu, adalah roh, saksinya adalah Allah sendiri dan yang meyaksikannya atau selaku pemerhatinya, adalah anggota zahir dan makhluk alam seluruhnya. Oleh itu sebelum bersyahadah, kita dikehendaki menghadir dan menzahirkan wajah Allah terlebih dahulu, sebagai saksi ucapan syahadah kita. Barulah ucapan kita itu, boleh dikatakan dilafaz melalui saksi.

Jika kita tidak dapat menghadirkan Allah sebagai saksi, siapa lagi yang hendak menjadi saksi kita?. Tidak sah sesebuah kesaksian (perjanjian), bila kita yang melafaz, kita yang menjadi hakim dan kita juga yang menjadi saksinya.

Syahadah yang sah dan yang diterima Allah itu, adalah syahadah yang disertai dengan saksi. Saksi syahadah kita itu, adalah Allah sendiri, tidak ada perantaraan dengan yang lain selain Allah. Seandainya kita tidak mengenal Allah, bagaimana untuk menghadirkan Allah ke dalam hati, sebagai saksi!. Seandainya kita tidak mengenal diri, bagaimana pula untuk menghadirkan roh, bagi menyaksikan perjanjian syahadah kita, ketika mulut melafazkan syahadah?. Selaku orang Islam, jangan kita ambil mudah dan pandang ringan tentang syahadah, ianya adalah payung kepada segala ibadah.

Apabila kedua-duanya tidak dapat kita hadirkan diketika bersyahadah atau diketika sembahyang, apalah ertinya sebuah kalimah syahadah dan apalah maknanya sebuah ibadah sembahyang, apakah ucapan kalimah syahadah dan sembahyang kita itu, sudah dihadiri oleh wajah Allah dan roh?. jika jawapannya memihak kepada tidak, apalah ertinya, gunanya dan nilainya sebuah syahadah atau solat kita itu, tanpa kehadiran keduanya!. Seandainya kita tidak mengenal Allah, kita tidak akan dapat memahami apa ertinya sebuah kalimah tauhid (Laila hailallah). Manakala seandainya kita tidak mengenal diri, kita tidak akan dapat memahami erti sebutan kalimah rasul (Muhamadul Rasulullah). Pokok pangkalnya di dalam sebarang ucapan kalimah syahadah yang kita lafazkan itu, ianya memerlukan kepada perkara mengenal Allah dan Rasulnya terlebih dahulu. Barulah segala ibadah dan segala ucapan yang kita lafazkan itu, penuh makna dan penuh erti serta diterima Allah Taala. Apabila kita melafazkan ucapan dua kalimah syahadah atau bersolat, hati kita hendaklah terlebih dahulu menghadirkan Allah. Setelah Allah itu hadir dengan jelas dan nyata di hati kita, barulah lafaz kita itu dianggap sah dan disertai sekali dengan saksi dan yang menyaksikannya. Barulah syahadah kita itu, diperakui benar oleh Allah Taala.

Kita tidak perlu menghadirkan orang lain selain Allah bagi menjadi saksi dalam berkalimah. Antara kita dengan Allah, tidak ada hijab, dinding, tembok, sempadan atau perantara. Segala makhluk tidak layak untuk menjadi saksi lafazan keramat syahadah, melainkan Allah sendiri. Bagaimana untuk menzahir dan menghadirkan Allah ke dalam hati kita!, cara dan kaedah untuk menzahir dan menghadirkan wajah Allah ke dalam hati, adalah dengan belajar ilmu mengenal Allah (ilmu makrifat). Manakala semasa kita melafazkan kalimah rasul (Muhamad Rasulullah), kita dikehendaki mengenal diri (mengenal roh) terlebih dahulu. Bagi yang tidak mengenal diri, bagaimana untuk menzahir dan menghadirkan roh untuk bersaksi (berjanji). Bagi sesiapa yang tidak dapat menghadir dan menzahirkan roh, siapakah lagi yang layak untuk menyampai dan mengucapan kalimah syahadah kita kepada Allah?.

Anggota zahir seumpama bibir mulut, hanya selaku pemerhati atau selaku menyaksikannya sahaja, tidak lebih dari itu. Diri kita yang zahir ini hanya selaku tukang sebut sahaja, seumpama kuli angkat barang. Selaku kuli, tugas kita hanyalah angkat, angkut dan pikul barang, manakala yang menerima barang itu, adalah majikan kita (roh), selaku tuan yang empunya barang, kita selaku kuli hanya dapat penat dan dapat pandang sahaja, tanpa dapat rasa sedikit pun dari barang yang kita angkut. Inilah nasib kuli dan nasib orang yang kena suruh.

Apalah yang ada pada kita, selaku hamba abdi yang fakir lagi daif untuk menjadi saksi lafaz kalimah Allah Yang Maha Tinggi. Cuba kita gerak-gerakkan bibir orang yang sudah mati, anggota orang mati itu, boleh bergerak bila ianya digerakkan, sebegitu jugalah taraf dan kedudukan diri kita selaku seorang hamba Allah, selaku abdi dan selaku kuli yang fakir. Sudah tentu tidak layak menjadi saksi dan bersaksi dengan Allah, dalam melafazkan kalimah syahadah.

Yang melafazkan ucapan kalimah syahadah itu, adalah diri rohani (roh) yang berkedudukan tinggi dan bukannya lafaz dari sifat anggota diri jasmani yang berkedudukan rendah lagi kotor, apa lagi dari seorang diri yang tidak kenal diri dan mengenal Allah. Diri jasmani tidak ubah seumpama diri orang mati, yang tidak berkuasa melafazkan kalimah Allah Yang Maha Tinggi. Yang akan menyambut kalimah itu nantinya, adalah dari kalangan yang tinggi-tinggi kedudukannya. Apabila yang menyambutnya berkedudukan tinggi, semestinya yang melafazkannya juga, seharusnya dari kalangan yang berkedudukan tinggi juga. Rohani (roh) kitalah sebenarnya yang melafazkan kalimah syahadah Yang Maha Tinggi itu.

Kalimah syahadah yang kita lafazkan itu, apakah bukan sekadar main-main atau sekadar lafazan dari seekor burung tiung atau dari bibir mulut seorang yang hanya tahu menyebut sahaja?. Apabila kedudukan yang melafaz itu berada pada kedudukan tinggi, barulah yang berkedudukan tinggi juga akan menyambutnya. Yang menyambut syahadah kita itu adalah Allah sendiri.

Setiap kali syahadah yang disebut, setiap kali itu juga bergegarnya tiang arash. Seandainya tiang arash Allah yang menjadi pasak bumi boleh bergegar bila mengucapkan kalimah syahadah, inikan pula hati kita yang lembut. Sudah tentu gegaran, getaran serta sentuhan lafaz kalimah syahadah itu, teramat hebat menerjah ke dinding hati.

Tidak ada yang dapat mengegarkan tiang arash Allah, melainkan kalimah syahadah. Letupan gunung berapi dan laungan malaikat Israfil semasa meniup trompet sangka kala di hari kiamat, tidak sediki tpun dapat mengegarkan tiang arash, melainkan hanya kalimah syahadah dari hamba-hambaNya yang mengenal Allah. Begitulah besar, tinggi, hebat serta dahsyatnya ucapan kalimah syahadah itu, bila ianya dilafaz dengan pengetahuan ilmu mengenal Allah, sehingga ianya dapat mengegar dan mengoncang pintu hati dengan rasa yang amat hebat dan dahsyat. Kalimah syahadah yang keluar dari peti suara kita, janganlah sama dengan suara yang keluar dari peti radio kaset atau dari peti suara seekor burung tiung. Untuk membezakan lafaz kita itu, berbeza dengan lafaz kanak-kanak yang belum akil baliqh atau lafaz burung tiung, kita hendaklah mengenal diri (roh) dan mengenal Allah. Barulah lafaz kita itu, benar-benar lafaz kalimah syahadah yang sebenar-benarnya berbeza dari mereka yang tidak mengenal Allah. Barulah lafaz syahadah kita itu ada saksi, bersaksi dan ada yang menyaksikannya.

Kalimah syahadahlah yang menentu dan membezakan apakah kita itu, benar-benar seorang Islam atau tidak. Apabila benar dalam bersyahadah, maka akan benarlah dalam sembahyang dan benarlah juga menjadi seorang Islam muslim yang beriman.

Yang bersyahadah, yang berjanji dan yang bersaksi itu adalah roh. Yang menjadi saksi dan yang menerima penyaksian kita itu, adalah Allah sendiri, tanpa ada makhluk perantaraan. Manakala anggota tubuh dan makhluk sekalian alam ini, hanya bertindak selaku pemerhati dan selaku menyaksikannya sahaja.

Soal: Bagaimana hakikat syahadah menurut sudut pandang ilmu makrifat?.
Jawab: Tuan-tuan dan puan-puan yang dirahmati Allah sekalian. Lafaz syahadah yang sebenar mengikut sudut pandang ilmu hakikat itu, bukan lagi terletak pada saksi, diperaksi atau meyaksi lagi!. Sebutan bersaksi, saksi dan meyaksikan itu, adalah syahadah yang berada pada anak tangga ilmu syariaat. Iaitu sebutan atau lafazan yang terbit, yang keluar dan yang terzahir di bibir mulut itu, adalah sekadar bunyi yang keluar dari suara halkum!. Syahadah diperingkat ilmu syariaat itu, adalah syahadah lafah yang keluar bertujuan untuk meletakkan suara menjadi saksi!. Sedangkan suara tidak boleh menjadi saksi!. Kebanyakkan kita, secara tidak sedar dan secara tidak sengaja, telah meletakkan suara bagi menjadi saksi, bersaksi dan meyaksikan dalam bersyahadah!.
Soal: Bagaimana syahadah makam (tangga) orang Feqah (syariaat) atau syahadah orang awam?
Jawab: Orang syariaat menyebut kalimah syahadah “aku bersaksi atau aku naik saksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah”. Pada peringkat permulaan (peringkat syariaat), sebagaimana dinyatakan didalam kitab pertama ( Kitab Mengenal Makrifat), pengarang telah meletakkan adanya perkara bersaksi, saksi dan meyaksikan. Iaitu roh itu bersaksi, Allah itu saksi dan tubuh badan sebagai meyaksi.
Soal: Bagaimana syahadah makam (tangga) orang torikat;
Jawab: Adapun syahadah peringkat orang hakikat bilamana melafaz perkataan syahadah itu, adalah lafazan yang disertai dengan “mengetahui”. Bukan syahadah yang berpaksi kepada ikar mulut, bukan berpaksi kepada bersaksi, bukan berpaksi kepada meyaksi dan tidak berpaksi kepada disaksikan!, tetapi berpaksi kepada mengetahui!.

Bilamana tingkatan ilmu sudah sampai kepada tangga hakikat, sudah tentu lafaz syahadah kita memberi pengertian yang lebih tinggi, berbanding tahao syariaat. Orang syariaat berpaksi kepada “suara atau kepada bunyi”, manakala orang torikat melafas kalimah syahadah pula, adalah berpaksi kepada “megetahui”, aku mengetahui bahawa Allah itu, adalah Allah”.
Soal: Bagaimana syahadah makam (tangga) orang hakikat dan makrifat;
Tidak perlu kepada bersaksi, saksi dan tidak perlu lagi kepada peyaksian!. Tidak perlu lagi kepada apa-apa. Tidak perlu kepada perkara suara dan tidak perlu kepada perkara mengetahui. Syahadah makam orang hakikat dan orang makrifat itu, bukan lagi berhajat kepada niat “aku naik saksi” bahawa tiada Tuhan lain selain Allah tetapi lebih berhajat kepada “aku mengetahui” bahawa Allah itu, adalah
Allah!.
Orang hakikat atau orang makrifat itu, makam syahadahnya bukan lagi duduk pada sebutan mulut atau niat hati tetapi duduk kepada daripada Allah kepada Allah sendiri. Syahadahnya mereka-mereka yang mengenal Allah itu, adalah syahadah yang disertai dengan perkara “rasa”. Mereka-mereka yang mengenal Allah (makrifatllah) itu, tidak lagi perlu saksi, bersaksi atau meyaksi lagi. Bagi mereka-mereka yang sudah tamat dan sudah khatam dalam bidang ilmu makrifat itu, tidak ada lagi berdalil dengan mulut, suara, saksi, bersaksi atau meyaksikan!.

Cukuplah Allah itu, adalah Allah. Allah bagi orang makrifat itu, teramat jelas, terang dan teramat nyata, yang tidak perlu lagi berdalil dengan yang lain selain Allah!. Apa yang hendak saksi meyaksikan lagi, bukankah Allah itu nyata!. Setelah nyatanya Allah itu senyata-nyatanya, apakah masih masih memerlukan kepada saksi dan yang memerlukan kepada peyaksian lain?.

Mereka-merea yang belum nyata Allah sahaja, yang masih lagi nak diadakan dalil–dalil lain, yang masih nak disaksi atau yang terpaksa dibenar, terpaksa disah atau terpaksa diiakan oleh orang lain. Apakah tidak cukupkah Allah yang membenarkan ucapan kita?. Terjemahan sebenar kalimah “La Ila haillah” itu, adalah bermaksud “Aku mengetahui tiada lain melainkan hanya Allah”. Jika tidak kita faham dan tidak kita ketahui makna di sebalik maksud, seberapa banyak sekalipun kita menyebut perkataan bersaksi atau kita menyebut perkataan naik saksi, tidak bermakna kita sudah bersyahadah!. Lafaz syahadah kita itu, hanyalah sekadar lafaz di bibir

Lafaz syahadah dalam keadaan tidak mengetahui, adalah lafaz yang tidak terlafaz atau ucap yang tidak terucap. Syahadah dari bibir mereka-mereka yang dalam berkeadaan hilang ingatan, hilang akal, khayal atau dalam berkeadaan mabuk. Lafaz syahadah dari bibir orang yang “tidak megetahui” itu, seumpama garam yang tiada masin!. Lafaz yang tidak diterima Allah s.w.t!.

Maksud atau makna perkataan “mengetahui” itu, adalah merujuk kepada “mengenal”. Sekiranya kita tidak mengenal Allah s.w.t, apa kesaksian yang hendak kita persaksikan atau yang hendak kita persembahkan kepada Allah s.w.t?. Cuba anda jawab pertanyaan saya?.

Setiap yang bersaksi, hendaklah terlebih dahulu mengenal antara satu sama lain. Sepatutnya yang bersaksi itu, mengenal dengan yang menyaksikannya!. Sekiranya saksi tidak kenal kepada yang menyaksi dan yang menyaksi pula tidak mengenal kepada yang bersaksi, apakah ertinya bersyahadah?. Di antara mereka saling tidak kenal-mengenal di antara satu sama lain, apa yang hendak kita persaksikan?.

Kefahaman Mengenai Peyaksian Atau Kesaksian Semasa Bersyahadah Dua Kalimah Syahadah, Mengikut Suluhan Ilmu Makrifat

Bagi mereka-mereka yang sudah mengenal diri dan mengenal Allah, tidak ada lagi perkara saksi, perkara bersaksi atau perkara menyaksi.

Diri kita, adalah sifat yang bersifat dengan sifat lebur, sifat binasa dan sifat tidak ada!. Bilamana segalanya sudah lebur, sudah binasa dan sudah fana, apakah lagi yang tersisa atau terbaki pada kita?. Setelah tidak ada lagi yang tersisa, tidak ada yang berbaki dan tidak ada yang tertingggal, apa lagi dan siapa lagi yang hendak meyaksi atau bersaksi?.

Sebagai makhluk, kita adalah bersifat dengan sifat binasa. Setelah binasa segala sifat makhluk, mana adanya lagi kita?. Setelah diri kita semuanya tidak ada, siapa lagi yang hendak meyaksi dan siapa lagi yang hendak bersaksi?.……………….

Setelah kita tidak ada dan setelah sifat kita binasa, siapa lagi yang hendak menjadi saksi?. Seandainya tidak ada saksi, mana mungkin untuk menyaksikan kesaksian!. Saksi itu roh dan yang bersaksi itu tubuh badan (bibir mulut), manakala yang menyaksikan kesaksian kita itu, adalah Allah s.w.t. Setelah roh dan setelah segala anggta tubuh badan kita telah selamat kita kembalikan kepangkuan Allah (mati sebelum mati), apa lagi yang hendak Allah tageh dari kita dan apa lagi yang hendak Allah tuntut atas kita?.

setelah segalanya (jiwa dan raga) telah tidak ada (semua telah kembali menjadi milik Allah). Apakah lagi yang hendak Allah tuntut?…………………………………

Seandainya sifat tubuh badan dan roh kita binasa, kemana lagi hendak kita hadapkan penyaksian kita?. Itulah makanya bagi mereka yang sudah sampai kepada tahap makrifat, tidak ada lagi yang menjadi saksi, tidak ada lagi yang bersaksi dan tidak ada lagi yang menyaksi!…………………………..

Melainkan yang ditilik itu, adalah juga yang menilik, yang dililhat itu, adalah yang yang melihat, yang dipanggil itu, adalah juga yang memanggil dan ya meyembah itu adalah juga yang disembah!……………………..

Seumpama sifat garam sudah kembali pulang kedalam sifat masin. Tidak ada lagi sifat garam melainkan segala-galanya masin belaka!. Setelah segala-galanya masin, maka hilanglah ketulan garam dan leburlah sifat garam kedalam masin!. Setelah hilangnya garam dan setelah segalanya masin, siapa lagi yang hendak menyaksi siapa?………………………..

Inilah yang dikatakan tangga atau martabat pelajaran ilmu makrifat!. Bicara ilmu makrifat ini, nampaknya seperti kasar, biadap atau bahasa yang tidak bersopan, tetapi inilah kenyataan dan inilah sebenarnya ilmu makrifat dan inilah cara kita bersyahadah yang sebenar-benar syahadah!. Selagi tidak binasa, tidaklah ia bersyahadah, melainkan sekadar angan-angan atau melainkan hanya sekadar hayalan atau mainan akal

Bersaksi itu, bilamana ada dua sifat wujud. Iaitu bilamana wujud aku dan wujud Dia!. Setelah wujud diri yang bersifat majazi itu lebur, mana ada lagi wujud yang lain selain wujud hakiki (iaituAllah s.w.t)!. Maka yang lain akan dengan sendirinya menjadi lebur musnah, bilamana penglihatan mata hati terpandang akan wujudnya Allah s.w.t!.

Erti wujud itu, bermaksud ada. Sifat ada itu, adalah hanya bagi Allah s.w.t. Makhluk itu, adalah bersifat dengan sifat binasa!. Setelah makhluk bersifat binasa, mana ada lagi wujudnya makhluk. Setelah tidak wujudnya makhluk, di situlah baru timbulnya sebenar-benar yang dikatakan Allah s.w.t itu wujud dengan sendiri. Tidak berkongsi wujudnya Allah s.w.t itu, dengan wujud yang lain selain dari Dia.

Bilamana sampainya kita kepada tahap itu, barulah boleh dikatakan bahawa saksi itu Dia, yang bersaksi itu Dia dan yang menyaksi pun Dia. Dialah seDia-Dianya. Allahlah seAllah-Allahnya Allah!. Tidak adalah yang wujud, yang ujud dan yang maujud di alam ini, selain Allah. Allah itulah Allah, Allah, Allah……………..

Inilah syahadah yang sebenar-benar syahadah, pengakuan yang sebenar-benar pengakuan dan tauhid yang sebenar-benar tauhid!. Pengakuan yang bukan sahaja putus setakat di bibir mulut, tetapi pengakuan yang beserta dengan tasdik hati yang ikhlas, jujur dan benar!. Yang boleh dikatakan tasdik hati (pengakuan hati) yang ikhlas, benar dan jujur itu, adalah setelah kita campakkan garam ke dalam sifat masin. Campakkan diri kedalam lautan fana’ dan baqa’ Allah.

Apa Makna Dan Apa Gunanya Kita Naik Saksi, Jikalau Tidak Mengenal Siapa Saksi Dan Siapa Yang Meyaksi? (apa guna bersaksi, jika tidak mengenal Allah)!.
Sekiranya anda masih tidak faham apa itu maksud saksi dan apa itu maksud yang menyaksi,. Saya bawa anda masuk sekejap ke dalam mahkamah!. Saya mahu anda menjadi seorang saksi dalam satu kes rompakan bersenjata yang mendatangkan kematian. Secara kebetulan, anda melihat dan menyaksikan rompakan tersebut dengan mata kepala sendiri. Sebagai saksi, tuan hakim meminta anda mengenal pasti pelaku yang melakukan rompakan.

Hakim mengumpulkan beberapa orang suspek untuk anda kenal pasti, yang mana satukah perompak yang benar-benar melakukan rompakan tersebut. , bagaimana sekiranya anda tidak dapat cam atau tidak dapat untuk mengenal pasti pelaku yang melakukan rompakan tersebut. Bolehkan anda disebut atau dipanggil sebagai seorang saksi?. Sebagai seorang saksi itu, hendaklah mengenal orang yang disaksikannya!.

Begitu juga halnya dalam soal kita berkalimah syahadah. Kita mengaku untuk naik saksi bahawasanya tidak ada Allah lain selain Allah!. , bila masanya anda mengenali Allah s.w.t?. Bila masanya anda pernah melihat Allah s.w.t?. Sekiranya anda belum pernah melihat Allah dan belum pun pernah mengenal Allah, bagaimana anda hendak menjadikan diri anda itu sebagai seorang saksi, sekiranya anda sendiri belum pernah menyaksikannya.

Seorang saksi yang belum pernah dipersaksikan (belum pernah diperlihatkan), mana mungkin dapat menjadi saksi bagi menyaksikan suatu kesaksian?. Jika jawapannya memihak kepada tidak, bagaimana kesaksian anda terhadap kalimah syahadah yang anda sendiri sebut dan yang anda sendiri lafazkan?. Tidakkah itu satu pembohongan atau satu penipuan?. Anda adalah seorang makhluk pendusta!.

Dusta pada Allah s.w.t, dusta pada pandangan masyarakat dan dusta juga kepada diri sendiri!. Apakah ertinya tuan-tuan dan puan-puan sebagai hamba Allah s.w.t yang berpaksi kepada kalimah syahadah?.kepada diri sendiri!.
Kefahaman Syahadah Itu, Bukan Mengikut Sebagaimana Kefahaman Akal!
Maksud atau makna mengenal itu pula, adalah merujuk kepada kefahaman Allah s.w.t, bukan datangnya dari kefahaman atau pengertian khayalan akal atau angan-angan!. Setelah mengenal Allah s.w.t, barulah terbitnya perkataan sebutan bibir yang disertai dengan perkara “rasa“. Perkataan rasa itulah maksud mengetahui. Lafaz dengan mengetahui itulah, baru sah melafazkan kalimah syahadah.

Mari kita sama-sama melafazkan dua kalimah syahadah dengan mengetahui Allah s.w.t, bukannya dengan pengetahuan kita!. Untuk melafaz sambil mengetahui Allah s.w.t, terlebih dahulu harus kita faham apa itu pengertian perkataan “aku”!.

Bilamana menyebut perkataan “aku”, rujuklah kepada Allah s.w.t. Perkataan “aku” di situ, bukannya merujuk kepada diri kita!. Diri kita bersifat tidak mengetahui. Hanya Allah s.w.t sahaja yang bersifat tahu dan mengatahui!. Bilamana menyebut perkataan “Aku mengetahui”, rujuklah bahawasanya yang mengetahui itu, adalah sifat Allah s.w.t. Allah itu, tiada lain selain Allah!. Aku itu, adalah Aku. Allah itu, adalah Allah!.

Selagi kita mengaku bahawa kita yang mengetahui dan kita yang tahu, berertinya kita belum lagi bersyahadah. Perkataan “Aku mengetahui” itu, adalah merujuk kepada Allah s.w.t. Yang mengetahui itu hanya Allah s.w.t!. Bilamana kita melafaz, tasdiklah di dalam hati dan ingatlah dengan perasaan akal yang lemah itu, bahawasanya yang boleh mengetahui akan syahadah kita itu hanya Allah s.w.t. Yang mengerti dan yang faham akan syahadah kita itu, hanya Allah s.w.t. Setelah kita faham maksud mengetahui Allah s.w.t, barulah boleh kita tambah dengan perkataan aku bersaksi atau aku naik saksi. Sesudah kita faham akan duduknya makna yang tersirat itu, sebutlah apa sahaja perkataan yang terlafaz oleh bibir, ia tidak lagi memberi bekas. Kerana yang memberi bekas itu, adalah hanya Allah s.w.t.

Kitab Futuhal Ghaib, Syeikh Abdul Qadir Jailani
أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Futuhal Ghaib (1)
Syeikh Abdul Qadir Jilani
Bismillahirohmanirrohiim
Ada tiga perkara yang wajib diperhatikan oleh setiap Mu'min di dalam seluruh keadaan, yaitu: (1) melaksanakan segala perintah Allah; (2) menjauhkan diri dan segala yang haram; (3) ridha dengan hukum-hukum atau ketentuan Allah.
Ketiga perkara ini jangan sampai tidak ada pada seorang Mu'min. Oleh karena itu, seorang Mu'min harus memikirkan perkara ini. Bertanya kepada dirinya tentang perkara ini dan anggota tubuhnya melakukan perkara ini.
Ikutilah dengan ikhlas jalan yang telah ditempuh oleh Nabi besar Muhammad saw. dan janganlah merubah jalan itu. Patuhlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jangan sekali-kali berbuat durhaka. Ber-Tauhid-lah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya. Allah itu Maha Suci dan tidak mempunyai sifat-sifat tercela atau kekurangan. Janganlah ragu-ragu terhadap kebenaran Allah. Bersabarlah dan berpegang-teguhlah kepada-Nya. Bermohonlah kepada-Nya dan tunggulah dengan sabar. Bersatu-padulah di dalam menta'ati Allah dan janganlah berpecah-belah. Saling mencintailah di antara sesama dan janganlah saling mendengki. Hindarkanlah dari dari segala
noda dan dosa. Hiasilah dirimu dengan keta'atan kepada Allah.
Janganlah menjauhkan diri dari Allah dan janganlah lupa kepada-Nya. Janganlah lalai untuk bertobat kepada-Nya dan kembali kepada-Nya. Janganlah jemu untuk memohon ampun kepada Allah pada siang dan malam hari. Mudah-mudahan diberi rahmat dan dilindungi oleh-Nya dari marabahaya dan azab neraka, diberi kehidupan yang berbahagia di dalam surga, bersatu dengan Tuhan dan diberi nikmat-nikmat oleh-Nya. Anda akan menikmati kebahagiaan dan
kesentosaan yang abadi di surga beserta para Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada' dan orang-orang shaleh. Anda akan hidup kekal di dalam surga itu untuk selama-lamanya.
------------------------------------
Apabila kamu 'mati' dari makhiuk, maka akan dikatakan kepada kamu, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu." Kemudian Allah akan mematikan kamu dari nafsu-nafsu badaniyyah. Apabila kamu telah 'mati' dari nafsu badaniyyah, maka akan dikatakan kepada kamu, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu". Kemudian Allah akan mematikan kamu dan kehendak-kehendak dan nafsu. Dan apabila kamu telah 'mati' dari kehendak dan nafsu, maka akan dikatakan kepada kamu, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu." Kemudian Allah akan menghidupkan kamu di dalam suatu 'kehidupan' yang baru.
Setelah itu, kamu akan diberi 'hidup' yang tidak ada 'mati' lagi. Kamu akan dikayakan dan tidak akan pernah papa lagi. Kamu akan diberkati dan tidak akan dimurkai. Kamu akan diberi ilmu, sehingga kamu tidak akan pernah bodoh lagi. Kamu akan diberi kesentosaan dan kamu tidak akan merasa ketakutan lagi. Kamu akan maju dan tidak akan peroah mundur lagi. Nasib kamu akan baik, tidak akan pemah buruk. Kamu akan dimuliakan dan tidak akan dihinakan. Kamu akan didekati oleh Allah dan tidak akan dijauhi oleh-Nya.
Martabat kamu akan menjadi tinggi dan tidak akan pernah rendah lagi. Kamu akan dibersihkan, sehingga tidak lagi kamu merasa kotor. Ringkasnya, jadilah kamu seorang yang tinggi dan memiliki kepribadian yang mandiri. Dengan demikian, maka kamu boleh dikatakan sebagai orang yang luar biasa.
Jadilah kamu ahli waris para Rasul, para Nabi dan orang-orang yang shiddiq. Dengan demikian, kamu akan menjadi titik akhir bagi segala kewalian, dan wali-wali yang masih hidup akan datang menemuimu. Melalui kamu, segala kesulitan dapat diselesaikan, dan melalui shalatmu, tanaman-tanaman dapat ditumbuhkan, hujan dapat diturunkan dan malapetaka yang hendak menimpa umat manusia dan seluruh tingkatan dan lapisan dapat dihindarkan. Boleh dikatakan kamu adalah polisi yang menjaga kota dan
rakyat.
Orang-orang akan berdatangan menemuimu dari tempat-tempat yang dekat dan jauh dengan membawa hadiah dan oleh-oleh dan memberikan khidmat mereka kepadamu. Semua ini hanyalah karena idzin Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa jua. Lisan manusia tak henti-hentinya menghormati dan memuji kamu. Tidak ada dua orang yang beriman yang bertingkah kepadamu. Wahai mereka yang baik-baik, yang tinggal di tempat-tempat ramai dan mereka yang mengembara, inilah karunia Allah. Dan Allah mempunyai kekuasaan yang tiada terbatas.
--------------------------------------
Apabila kamu melihat dunia dikuasai oleh ahli-ahli dunia dengan perhiasan dan kekosongannya, dengan penipuan dan perangkapnya dan dengan racunnya yang membunuh yang di luarnya tampak lembut tetapi di dalamnya sangat niembahayakan, cepat merusak dan membunuh siapa saja yang memegangnya, yang menipu mereka dan yang menyebabkan mereka lengah terhadap dosa dan maksiat; apabila kamu lihat semua itu, maka hendaklah kamu bersikap sebagai seorang yang melihat orang lain yang membuang air besar yang membuka auratnya dan mengeluarkan bau busuk. Dalam keadaan seperti itu, hendaklah kamu memalingkan pandanganmu dari ketelanjangannya dan menutup hidungmu supaya tidak mencium baunya yang busuk. Demikian pulalah hendaknya kamu bersikap terhadap dunia. Apabila kamu melihatnya, maka hendaklah kamu memalingkan pandanganmu dari pakaiannya dan tutuplah hidungmu supaya tidak mencium bau busuk kegemerlapannya yang tidak kekal. Semoga dengan demikian kamu dapat selamat dari bahaya dan cobaannya. Apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, pasti akan kamu rasakan. Allah telah berfirman kepada Nabi Muhammad saw.:
'Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.' (QS,20:131)
Futuhal Ghaib (2)
Syeikh Abdul Qadir Jilani
Ia bertutur:
Akan kami paparkan bagimu sebuah misal tentang kelimpahan, dan kami berkata, "Tidakkah kau lihat seorang raja yang menjadikan seorang biasa sebagai gubernur kota tertentu, memberinya busana kehormatan, bendera, panji-panji dan tentara, sehingga ia merasa aman mulai yakin bahwa hal itu akan kekal, bangga dengannya, dan lupa akan keadaan sebelumnya. Ia terseret oleh kebanggaan, kesombongan, dan kesia-siaan. Maka, datanglah perintah pemecatan dari raja. Dan sang raja meminta penjelasan atas kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya dan pelanggarannya atas perintah dan larangannya. Lalu sang raja memenjarakannya di dalam sebuah penjara yang sempit dan gelap serta memperlama pemenjaraannya, dan orang itu terus menderita, terhinakan dan sengsara, akibat ketakaburan dan kesia-siaannya, dirinya hancur, api kehendaknya padam, dan semua ini terjadi di depan mata sang raja dan diketahuinya. Setelah itu ia menjadi kasihan terhadap orang itu, dan memerintahkan agar ia dibebaskan dari penjara, disertai kelembutan terhadapnya, dianugerahkan kembali busana kehormatan, dan dijadikannya kembali ia sebagai gubernur. Ia menganugerahkan semua ini kepada orang itu sebagai karunia cuma-cuma. Kemudian ia menjadi teguh, bersih, berkecukupan dan terahmati. Beginilah keadaan seorang beriman yang didekatkan dan dipilih-Nya.
Ia bukakan di hadapan mata hatinya pintu-pintu kasih-sayang, kemurahan dan pahala. Maka, ia melihat dengan hatinya yang mata tak pernah melihat, yang telinga tak pernah mendengar, yang hati manusia tak tahu akan hal-hal gaib dari kerajaan langit dan bumi, akan kedekatan dengan-Nya, akan kata manis, janji menyenangkan, limpahan kasih-sayang, akan diterimanya doa dan kebajikan, dan akan dipenuhinya janji serta kata-kata bijak bagi hatinya, yang menyatakan sendiri melalui lidahnya, dan dengan semua ini Ia sempurnakan bagi orang ini karunia-karunia-Nya pada tubuhnya, yang berupa makanan, minuman, busana, istri yang halal, hal-hal lain yang halal dan pemerhati terhadap hukum dan tindak pengabdian. Lalu, Allah memelihara keadaan ini bagi hamba beriman-Nya yang didekatkan kepada-Nya sampai sang hamba beriman-Nya yang didekatkan kepada-Nya sampai sang hamba merasa aman di dalamnya, terkecoh olehnya dan percaya bahwa hal itu kekal. Maka, Allah membukakan baginya pintu-pintu musibah, aneka kesulitan hidup, milikan, istri, anak, dan mencabut darinya segala karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepadanya sebelum ini, sehingga ia terkulai, hancur dan
terputus dari masyarakatnya.
Bila ia melihat keadaan-keadaan lahiriahnya, maka ia melihat hal-hal yang buruk baginya. Bila ia melihat hati dan jiwanya, maka ia melihat hal-hal yang menyedihkannya. Jika ia memohon kepada Allah untuk menjauhkan kesulitannya, maka permohonannya itu tak diterima. Jika ia memohon janji baik, ia tak segera mendapatkannya. Jika ia berjanji, ia tak tahu tentang pemenuhannya. Bila ia bermimpi, ia tak bisa menafsirkannya dan tak tahu tentang kebenarannya. Bila ia bermaksud kembali kepada manusia, ia tak mendapatkan sarana untuk itu. Bila ada
sesuatu pilihan baginya dan ia bertindak berdasarkan pilihan itu, maka ia segera tersiksa, tangan-tangan orang memegang tubuh nya, dan lidah-lidah mereka menyerang kehormatannya.
Bila ia hendak melepaskan dirinya dari keadaan ini, dan kembali kepada keadaan sebelumnya, ia gagal. Bila ia memohon agar dikaruniai pengabdian, ketercerahan dan kebahagiaan di tengah-tengah musibah yang dialaminya, permohonannya itu pun tak diterima.
Maka, dirinya mulai meleleh, hawa nafsunya mulai sirna, maksud-maksud serta kerinduan-kerinduannya mulai pupus, dan kemaujudan segala suatu menjadi tiada. Keadaannya ini diperpanjang dan kian hebat, hingga sang hamba berlalu dari sifat-sifat manusia. Tinggallah ia sebagai ruh. Ia mendengar panggilan jiwa kepadanya: "Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum." (QS 38:42)
Sebagaimana panggilan kepada Nabi Ayub as. Lalu Allah mengalirkan samudra kasih-sayang dan kelembutan-Nya ke dalam hatinya, menggelorakannya dengan kebahagiaan, aroma harum pengetahuan tentang hakikat dan ketinggian pengetahuan-Nya, membukakan baginya pintu-pintu nikmat dalam segala keadaan hidup, membuat para raja mengabdi kepadanya, menyempurnakan baginya
nikmat-nikmat-Nya lahiriah dan ruhaniah, menyempurnakan lahiriahnya melalui makhluk dan rahmat-rahmat lain-Nya, menyempurnakan ruhaninya dengan kelembutan dan karunia-Nya, dan membuat keadaan ini berkesinambungan baginya, hingga ia menghadap-Nya. Kemudian Ia memasukkannya ke dalam yang mata tak pernah melihat, yang telinga tak pernah mendengar dan yang tak pernah tersirat dalam hati manusia, sebagaimana firman-Nya:
"Tiada jiwa yang tahu yang disembunyikan bagi mereka, yang akan mengenakkan mata
mereka, balasan bagi yang telah mereka perbuat." (QS 32:17)
Futuhal Ghaib (3)
Syeikh Abdul Qadir Jilani
"Apabila Allah memperkenankan permohonan dan doa seorang hamba, maka ini tidak berarti bahwa simpanan Allah itu akan berkurang, karena Allah itu Maha Kaya; dan juga tidak semestinya Allah merasa terpaksa menerima permohonan hamba itu, seakan-akan Dia takluk kepada permohonan hamba itu. Sebenarnya, permohonan atau doa hamba itusesuai dengan kehendak Allah dan juga sesuai dengan masanya. Sebenarnya, penerimaan doa itu telah tertulis dalam azalinya, dan hanya tinggal menunggu masa dikabulkan doa itu oleh Allah. Inilah apa yang dikatakan oleh orang-orang 'arif di dalam menerangkan kalam Allah, "Setiap saat Dia dalam keadaan baru".
Ini berarti bahwa Allah menerima permohonan hamba itu pada masa yang telah ditentukan-Nya. Allah telah menentukan masa dikabulkannya doa itu. Allah tidak akan memberi sesuatu kepada seseorang dalam dunia ini, kecuali dengan doa yang datang dari hamba itu sendiri. Begitu juga Allah tidak menolak sesuatu dari hamba itu, kecuali dengan doanya. Ada sabda Nabi yang menyatakan bahwa ketentuan takdir Ilahi itu tidak akan terelakkan, kecuali dengan doa yang ditakdirkan Allah dapat menolak ketentuan takdir itu. Begitu juga, tidak ada orang yang akan masuk kedalam surga hanya melalui perbuatan baiknya saja, melainkan dengan rahmat Allah juga. Walaupun demikian, hamba-hamba Allah itu akan diberi derajat di surga sesuai dengan amal perbuatannya.
Diriwayatkan bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Nabi, "Dapatkah seseorang itu memasuki surga hanya dengan melalui perbuatan baiknya saja?" Nabi menjawab, "Tidak, kecuali dengan rahmat Allah". Aisyah bertanya lagi, "Sekalipun engkau sendiri?" Beliau menjawab, "Ya, sekalipun aku kecuali jika Allah meliputi aku dengan rahmat-Nya". Setelah bersabda demikian, beliau meletakkan tangannya di atas kepalanya.
Beliau berbuat demikian itu untuk menunjukkan bahwa tidak ada seseorangpun yang berhak untuk melanggar ketentuan takdir Ilahi, dan Allah itu tidak harus memperkenankan doa-doa hamba-hamba-Nya. Dia berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia menghukum siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia memiliki kekuasaan yang mutlak. Segala ketentuan kembali kepada-Nya.
Allah tidak boleh ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, tetapi hamba itulah yang ditanya. Allah memberikan karunia-Nya, kepada orang yang dikehendaki-Nya dan tidak memberikannya kepada orang yang tidak dikehendaki-Nya juga. Segala apa yang berada di langit dan di bumi serta di antara keduanya adalah kepunyaan Allah belaka dan berada dalam kontrol-Nya. Tidak ada tuan-tuan yang memiliki semua itu, melainkan Allah saja. Dan tidak ada pencipta, melainkan Dia juga.
Firman Allah: "Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah keapadamu. Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?". (QS, 35:3)
Firman-Nya lagi: "Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?" (QS, 19:65)
Selanjutnya Allah berfirman: "Kerajaan yang haq pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. (QS, 25:26)
Futuhal Ghaib (4)
Syeikh Abdul Qadir Jilani
Yang dimaksud dengan dekat dan bersatu dengan Tuhan itu ialah, kamu mengosongkan hati kamu dari makhluk, hawa nafsu dan lain-lain selain Allah, sehingga hati kamu hanya di penuhi oleh Allah dan perbuatann-Nya saja. Kamu tidak bergerak, kecuali dengan kehendak Allah saja. Kamu akan bergerak jika Allah menggerakkan kamu. Keadaan
seperti ini dinamakan 'fana'. Fana inilah yang dimaksud dengan 'bersatu dengan Tuhan'. Tetapi harus diingat, bahwa bersatu dengan Tuhan itu tidak seperti bersatu dengan makhluk atau dengan yang selain Tuhan.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Al-Khaliq itu tidak sama dengan apa saja yang kamu duga. Hanya orang yang telah mengalami dan menyadari bersatu dengan Tuhan itu sajalah yang dapat mengerti dan memahami apa yang dimaksudkan dengan 'bersatu dengan Tuhan' itu. Orang yang belum pernah merasakan atau mengalaminya tidak akan dapat mengerti apa yang
dimaksud dengannya. Setiap orang yang pernah merasakan pengalaman tersebut mempunyai perasaan dan pengalaman tersendiri.
Pada setiap Nabi, Rasul dan Wali Allah terdapat rahasia. Masing-masing mempunyai rahasianya tersendiri. Seseorang tidak akan dapat mengetahui rahasia seorang lainnya. Kadang-kadang seorang murid mempunyai rahasia yang tidak diketahui oleh gurunya. Ada kalanya pula,rahasia yang dimiliki oleh guru itu tidak diketahui oleh muridnya,meskipun murid itu sudah hampir sederajat dengan gurunya. Apabila seorang murid dapat mencapai keadaan kerohanian yang ada pada gurunya, maka murid itu diperintahkan untuk memisahkan dari guru itu. Dengan kata lain, dia sekarang telah setarap dengan gurunya. Murid itupun berpisahlah dari gurunya dan Allah sajalah yang menjadi penjaganya.Kemudian Allah akan memisahkannya dari seluruh makluk.
Bolehlah diibaratkan bahwa, guru itu laksana ibu dan murid itu laksana bayinya yang masih menyusu. Apabila si bayi telah mencapai usia dua tahun, maka berhentilah dia menyusu dari ibunya. Tidak lagi kebergantungan kepada makhluk, setelah hawa nafsu amarah dan kehendak-khendak kemanusiaan hapus. Guru atau syaikh itu hanya diperlukan selagi murid masih memiliki hawa nafsu angkara murka dan kehendak-kehendak badaniah yang perlu dihancurkan. Setelah semua itu hilang dari hati si murid tadi, maka guru itu tidak lagi diperlukan,karena si murid sekarang sudah tidak lagi memiliki kekurangan atau dia telah sempurna.
Oleh karena itu, apabila kamu telah bersatu dengan Tuhan, maka kamu akan merasa aman dan selamat dari apa saja selain Dia. Kamu akan mengetahui bahwa tidak ada yang wujud melainkan Dia saja. Kamu akan mengetahui bahwa untung, rugi, harapan, takut dan bahkan apa saja adalah dari dan karena Dia jua. Dia-lah yang patut ditakuti dan kepada Dia sajalah meminta perlindungan dan pertolongan. Karenanya, lihatlah
selalu perbuatan-Nya, nantikanlah selalu perintah-Nya dan patuhlah selalu kepada-Nya. Putuskanlah hubunganmu dengan apa saja yang bersangkutan dengan dunia ini dan juga dengan akhirat. Janganlah kamu melekatkan hatimu kepada apa saja selain Allah.
Anggaplah seluruh yang dijadikan Allah ini sebagai seorang manusia yang telah ditangkap oleh seorang raja yang agung dan gagah;raja itu telah memotong kaki dan tangan orang tadi dan menyalibnya pada sebatang pohon yang terletak di tepi sebuah sungai yang besar lagi dalam, raja itu bersemayam di atas singgasana yang tinggi dengan dikawal oleh hulu-balang yang gagah berani yang diperlengkapi persenjataan yang lengkap dan raja itu melempar orang tadi dengan seluruh senjata yang ada padanya. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melihat keadaan ini, lalu memalingkan pandangannya dari raja itu dan takut kepadanya, sebaliknya ia berharap dan meminta kepada orang itu dan bukannya kepada raja yang agung itu? Jika ada orang yang gentar dan takut kepada orang yang tersalib itu, dan bukannya kepada raja, maka orang ini adalah orang, gila dan tidak sadar.
Oleh karena itu, mintalah perlindungan kepada Allah dari menjadi buta setelah Dia memberikan penglihatan, dari berpisah setelah disatukan-Nya, dari berjauhan setelah didekatkan-Nya, dari tersesat setelah Dia memberikan petunjuk dan dari kekufuran setelah Dia memberikan petunjuk dan dari kekufuran setelah Dia memberikan keimanan.
Dunia ini bagaikan sebuah sungai yang lebar, airnya senantiasa mengalir dan selalu bertambah setiap hari. Begitu juga halnya dengan nafsu kebinatangan, manusia itu selalu merasa tidak puas, semakin tampak dan semakin tak sadarkan diri. Hidup manusia di dunia ini senantiasa penuh dengan ujian dan cobaan. Di samping mendapatkan
kebahagiaan, kadangkala manusia juga dikelilingi oleh penderitaan. Orang yang mempunyai kala pikiran yang sempurna, mau berpikir dan mengetahui hakekat, akan mengetahui bahwa pada hakekatnya tidak adakehidupan yang sebenarnya melainkan kehidupan akhirat saja. Oleh karena itu, Nabi besar Muhammad saw. Bersabda. "Tidak ada kehidupan, kecuali kehidupan di akhirat." Bagi orang yang beriman, hal ini adalah
benar. Nabi Muhammad selanjutnya mengatakan, "Dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang kafir." Nabi juga pernah menyatakan bahwa, "Orang yang baik itu terkekang".
Pada hakekatnya, kesentosaan dan kebahagiaan itu terletak dalam hubungan yang langsung dengan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tawakal yang bulat kepada-Nya dan senatiasa ridha dengan-Nya. Jika kamu telah dapat melakukan hal yang demikian itu, maka bebaslah kamu dari dunia ini dan Allah akan memberimu kesenangan,
keselamatan, kesentosaan, kasih sayang dan keridhaan Ilahi.
Futuhal Ghaib (5)
Syeikh Abdul Qadir Jilani
Apabila iman kamu masih lemah lalu kamu berjanji, maka hendaklah kamu menepati janji itu. Jika tidak, maka keimananmu itu akan berkurang dan kepercayaanmu semakin hilang. Tetapi, jika iman kamu itu telah kuat dan tertanam kokoh di dalam hati sanubarimu lalu kamu banyak menerima firman Allah di bawah ini:
Dan Raja berkata, "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku." Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seoarng yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami". (QS, 12:54)
Maka kamupun akan menjadi orang pilihan Tuhan, lalu kehendak, nafsu dan perbuatanmu sendiri akan hilang, kamu terus menjadi dekat dengan Tuhan yang kedekatan-Nya itu tidak terlihat olehmu dan kamu terus tenggelam di hadirat Ilahi.
Maka jadilah kamu seperti bak yang bocor, tidak ada air yang dapat tinggal di dalam bak itu, dan jadilah kamu seperti tong kosong yang berlubang. Dengan demikian, hati kamu hanya dopenuhi oleh Allah, tidak ada yang lain di dalam hatimu itu, kecuali Dia dan kamu bersih dari segala sesuatu selain Allah. Sehingga Allah meridhai kamu, kamu dijanjikan akan mendapatkan rahmat, nikmat dan ampunan-Nya dan kamu merasa senang kepada-Nya.
Kemudian kamu akan diberi suatu janji, dan apabila kamu merasa puas dengan janji itu dan tampak tanda keinginanmu kepadanya, maka janji itu akan ditukar dengan janji yang lebih tinggi lagi, kamu akan diberi perasaan cukup diri (self sufficiency), pintu ilmu akan dibukakan untuk kamu, kamu akan disinari dengan pengetahuan untuk memahami rahasia-rahasianya ke-Tuhan-an dan kamu akan merasakan bertambahnya keadaan kerohanianmu.
Selanjutnya kamu akan menerima pangkat kerohanian yang tinggi, kamu akan diberi rahasia-rahasia ke-Tuhan-an, dadamu menjadi lapang, lidahmu berkata lantang, ilmumu tinggi dan kamu cinta kepada Allah. Kamu akan dikasihi oleh semua orang, semua manusia, jin dan makhluk-makhluk lainnya di dunia ini dan di akhirat. Apabila kamu telah menjadi kekasih Allah, maka semua makhlukpun akan mengasihimu, lantaran semua makhluk itu takluk kepada Allah, kasih mereka masuk ke dalam kasih Allah, sebagaimana halnya benci mereka masuk ke dalam benci Allah.
Kamupun dinaikkan ke pangkat ini, di mana kamu tidak lagi mempunyai kehendak kepada yang lain selain Allah.
Setelah ini kamu akan diberi kehendak kepada sesuatu lalu kehendak itu akan dilepaskan dari kamu dan kamupun terhindar darinya. Kamu tidak akan diberi perkara-perkara yang kamu kehndaki di dunia ini, dan di akhirat kelak kamu akan diberi gantinay, kamu akan lebih didekatkan kepada Allah SWT dan segala sesuatu yang kamu khendaki itu akan menyejukkan matamu di surga.
Jika kamu tidak meminta sesuatu, tidak berharap atau berangan-angan untuk mendapatkannya di masa hidupmu di dunia ini - tempat sementara dan tempat ujian - dan kamu hidup di dunia ini semata-mata hanya ingin mencapai keridhaan Tuhan yang menjadikan langit dan bumi serta semesta alam, maka di dunia ini kamu akan dikarunia apa-apa yang seimbangdengannya dan Allah akan menambahkan karunia-Nya, sedangkan di akhirat nanti Dia akan menambahakan yang lebih banyak lagi. Sesungguhnya di sisi Allah terdapat ganjaran yang besar dan kekal. Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menurut ketentuan dan ketetapan-Nya.
Futuhal Ghaib (6)
Syeikh Abdul Qadir Jilani
Hindarkanlah dirimu dari orang ramai dengan perintah Allah, dari nafsumu dengan perintah-Nya dan dari kehendakmu dengan perbuatan-Nya agar kamu pantas untuk menerima ilmu Allah. Tanda bahwa kamu telah menghindarkan diri dari orang ramai adalah secara keseluruhannya kamu telah memutuskan segala hubungan kamu dengan orang ramai dan telah membebaskan seluruh pikiranmu dengan segala hal yang bersangkutan dengan mereka.
Tanda bahwa kamu telah putus dari nafsumu adalah apabila kamu telah membuang segala usaha dan upaya untuk mencapai kepentingan keduniaan dan segala hubungan dengan cara-cara duniawi untuk mendapatkan sesuatu keuntungan dan menghindarkan bahaya. Janganlah kamu bergerak untuk kepentinganmu sendiri. Janganlah kamu bergantung kepada dirimu sendiri didalam hal-hal yang bersangkutan dengan dirimu sendiri. Serahkanlah segalanya kepada Allah, karena Dia-lah yang memelihara dan menjaga segalanya, sejak dari awalnya hingga kekal selamanya. Dia-lah yang menjaga dirimu di dalam rahim ibumu sebelum kamu dilahirkan dan Dia pulalah yang memelihara kamu semasa kamu masih bayi.
Tanda bahwa kamu telah menghindarkan dirimu dari kehendakmu dengan perbuatan Allah adalah apabila kamu tidak lagi melayani kebutuhan-kebutuhanmu, tidak lagi mempunyai tujuan apa-apa dan tidak lagi mempunyai kebutuhan atau maksud lain, karena kamu tidak mempunyai tujuan atau kebutuhan selain kepada Allah semata-mata. Perbuatan Allah tampak pada kamu dan pada masa kehendak dan perbuatan Allah itu bergerak. Badanmu pasif, hatimu tenang, pikiranmu luas, mukamu berseri dan jiwamu bertambah subur. Dengan demikian kamu akan terlepas dari kebutuhan terhadap kebendaan, karena kamu telah berhubungan dengan Al-Khaliq. Tangan Yang Maha Kuasa akan menggerakkanmu. Lidah Yang Maha Abadi akan memanggilmu. Tuhan Semesta alam akan mengajar kamu dan memberimu pakaian cahaya-Nya dan pakaian kerohanian serta akan mendudukkan kamu pada peringkat orangorang alim terdahulu.
Setelah mengalami semua ini, hati kamu akan bertambah lebur, sehingga nafsu dan kehendakmu akan hancur bagaikan sebuah tempayan yang pecah dan yang tidak lagi berisikan air walau setetespun. Kosonglah dirimu dari seluruh perilaku kemanusiaan dan dari keadaan tidak menerima suatu kehendak selain kehendak Allah. Pada peringkat ini, kamu akan dikarunia keramat-keramat dan perkara-perkara yang luar biasa. Pada zhahirnya, perkara-perkara itu datang darimu, tapi yang sebenarnya adalah perbuatan dan kehendak Allah semata.
Oleh karena itu, masuklah kamu ke dalam golongan orang-orang yang telah luluh hatinya dan telah hilang nafsu-nafsu kebinatangannya. Setelah itu kamu akan menerima sifat-sifat ke-Tuhan-an yang maha tinggi. Berkenaan dengan hal inilah maka Nabi besar Muhammad saw. bersabda, "Aku menyukai tiga perkara dari dunia ini: bau-bauan yang harum, wanita dan shalat yang apabila aku melakukannya, maka mataku akan merasa sejuk di dalamnya". Semua ini diberikan kepadanya setelah seluruh kehendak dan nafsu sebagamana disebutkan di atas terlepas dari dirinya. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku bersama mereka yang telah luluh hatinya karena Aku." Allah Ta'ala tidak akan menyertai kamu, sekiranya semua nafsu dan kehendakmu itu tidak diluluhkan. Apabila semua itu telah hancur dan luluh dan tidak ada lagi yang tersisa pada dirimu, maka telah pantaslah kamu untuk 'diisi' oleh Allah dan Allah akan menjadikan kamu sebagai orang baru yang dilengkapi dengan tenaga dan kehendak yang baru pula. Jika egomu tampil kembali, walaupun hanya sedikit, maka Allah akan menghancurkannya lagi, sehingga kamu kosong kembali seperti semula, dan untuk selamanya kamu akan tetap luluh hati. Allah akan menjadikan kehendak-kehendak baru di dalam diri kamu dan jika dalam pada itu masih juga terdapat diri (ego) kamu, maka Allah-pun akan terus menghancurkannya. Demikianlah terus terjadi sehingga kamu menemui Tuhanmu di akhir hayatmu nanti. Inilah maksud firman Tuhan, "Sesungguhnya Aku bersama mereka yang telah luluh hatinya karena Aku." Kamu akan mendapatkan dirimu 'kosong', yang sebenarnya ada hanyalah Alah.
Di dalam hadits Qudsi, Allah berfirman, "Hamba-Ku yang ta'at senantiasa memohon untuk dekat dengan-Ku melalui shalat-shalat sunatnya. Sehingga aku menjadikannya sebagai rekan-Ku, dan apabila aku menjadikan dia sebagai rekan-Ku, maka aku menjadi telinganya yang dengan itu ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memegang dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan, yakni mendengar melalui Aku, memegang melalui Aku dan mengetahui melalui Aku."
Sebenarnya, ini adalah keadaan 'fana' (hapusnya diri). Apabila kamu telah melepaskan dirimu dan makhluk, oleh karena makhluk itu bisa baik dan bisa juga jahat dan oleh karena diri kamu itu bisa baik dan bisa juga jahat, maka menurut pandanganmu tidak ada suatu kebaikan yang datang dari diri kamu atau dari makhluk itu dan kamu tidak akan merasa takut kepada datangnya kejahatan dari makhluk. Semua itu terletak di tangan Allah semata. Karenanya, datangnya buruk dan baik itu, Dia-lah yang menentukannya semenjak awalya.
Dengan demikian, Dia akan menyelamatkan kamu dari segala kejahatan makhluk-Nya dan menenggelamkanmu di dalam lautan kebaikan-Nya. Sehingga kamu menjadi titik tumpuan segala kebaikan, sumber keberkatan, kebahagiaan, kesentosaan, nur (cahaya) keselamatan dan keamanan. Oleh karena itu, 'Fana' adalah tujuan, sasaran, ujung dan dasar perjalanan Wali Allah. Semua Wali Allah, dengan tingkat kemajuan mereka, telah memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah untuk menggantikan kehendak atau kemauan mereka dengan kehendak atau kemauan Allah. Mereka semuanya menggantikan kemauan atau kehendak mereka dengan kemauan atau kehendak Allah. Pendek kata, mereka memfana-kan diri mereka dan me-wujudkan Allah. Karena itu, mereka dijuluki 'Abdal' (perkataan yang diambil dari kata 'Badal' yang berarti 'pertukaran'). Menurut mereka, menyekutukan kehendak mereka dengan kehendak Allah adalah suatu perbuatan dosa.
Sekiranya mereka lupa, sehingga mereka dikuasai oleh emosi dan rasa takut, maka Allah Yang Maha Kuasa akan menolong dan menyadarkan mereka. Dengan demikian mereka akan kembali sadar dan memohon perlindungan kepada Allah. Tidak ada manusia yang benar-benar bebas dari pengaruh kehendak egonya (dirinya) sendiri, kecuali malaikat. Para malaikat dipelihara oleh Allah dalam kesucian kehendak mereka. Sedangkan jin dan manusia telah diberi tanggung jawab untuk berakhlak baik, tapi mereka tidak terpelihara dari dipengaruhi oleh dosa dan maksiat. Para wali dipelihara dari nafsu-nafsu badaniah dan 'abdal' dipelihara dari kekotoran kehendak atau niat.
Walaupun demikian, mereka tidak bebas mutlak, karena merekapun mungkin mempunyai kelemahan untuk melakukan dosa. Tapi, dengan kasih sayang-Nya, Alah akan menolong dan menyadarkan mereka.