Laman

Senin, 08 September 2014

SEKILAS TENTANG MAKRIFAT

Tentang beda ilmu dan makrifat, “ilmu mengenalkan kita tentang Allah sedangkan makrifat mengantarkan kita kepada-Nya”. Mungkin banyak yang penasaran dimana beda ilmu dan makrifat padahal buku-buku tentang tasawuf/tarekat banyak membahas masalah makrifat sebagai ilmu dan bahkan ada buku dengan judul “ilmu makrifat” atau “Pengantar ilmu makrifat”.
Untuk lebih mudah memahami beda antara makrifat dengan ilmu saya kemukakan beberapa ucapan sahabat dan tokoh sufi. Saidina Ali ketika ditanya tentang makrifat, Beliau berkata, “Aku mengenal Allah dengan Allah dan aku mengenal selain Allah dengan cahaya-Nya”. Abu Yazid berkata, “tidak ada keraguan sedikitpun dalam hatiku tentang Allah”. Makrifat berdasarkan ucapan diatas adalah pengalaman seorang hamba ketika berjumpa dengan Tuhannya. Makrifat khusus tentang bagaimana cara berhubungan dengan Allah dan orang yang telah mencapai tahap makrifat disebut dengan ‘Arif. Dalam keseharian kita sering mendengar istilah ‘Arif yang digabungkan dengan kata “bijaksana” sehingga menjadi Arif Bijaksana walaupun orang yang disebut Arif Bijaksana tersebut belum tentu benar-benar telah mencapai tahap makrifat.
Di dalam Kasful Mahjub kitab tasawuf klasik karya Imam Al-Qusyairi dijelaskan bahwa syarat untuk mencapai makrifat itu bukan pandai atau luas pengetahuannya karena kalau itu sebagai syarat maka semakin pandai seseorang maka semakin dia bermakrifat kepada Allah, kenyataan semakin pandai manusia semakin dia bingung dengan keberadaan Tuhan. Ilmu diperoleh dari panca indera sedangkan makrifat diperoleh lewat Qalbu (hati).
Makrifat tidak diperoleh dengan membaca dan mendengar, itulah sebabnya walaupun belajar banyak dari buku-buku tasawuf atau mengambil jurusan master tasawuf di universitas tidak akan menjamin untuk mencapai tahap makrifat. Pengetahuan tasawuf yang membahas tentang makrifat yang merupakan pengalaman dari Para Guru Sufi hanya bisa menjelaskan kita tentang apa itu makrifat tapi tidak akan pernah bisa membawa kita kepada pengalaman bermakrifat.
Makrifat adalah kondisi dimana seorang hamba sangat dekat dan akrab dengan Tuhannya tanpa keraguan sedikitpun yang sedang disembah dan sedang dipuja tersebut adalah Allah bukan yang lainnya, bukan sajadah atau dinding mesjid dan bukan pula ka’bah. Bahkan Imam Junaidi Al-Baghdadi ketika ditanya apakah Beliau melihat Tuhan yang disembah dalam ibadah, Beliau menjawab, “Kami tidak menyembah Tuhan yang tidak kami lihat”.
Pengalaman-pengalaman ruhani para sufi hanya bisa dicapai lewat mujahadah, berperang melawan diri sendiri, melawan setan yang bersemayam dalam dada setiap manusia tanpa kecuali. Mujahadah berupa zikir, puasa dan berbagai kegiatan yang bersifat ubudiyah kepada Allah, lewat itulah Allah berkenan memberikan karunia berupa Makrifat yaitu mengenal Dzat Allah yang Maha Agung. Jadi makrifat itu bukan hasil pencarian tapi merupakan karunia dari Allah SWT.
Sebelum mencapai tahap makrifat, seorang salik (murid penempuh jalan kepada Tuhan) terlebih dahulu mengenal dan mahir dengan Muraqabah, sehingga dia sangat mudah mengenal yang mana malaikat dan yang mana pula setan. Dia akan mudah mendeteksi bisikan-bisikan halus yang menyusup ke dalam dada dan pikiran manusia, bisikan setan atau bisikan malaikat, godaan iblis atau ilham dari Allah.
Banyak orang terjebak di alam rohani, menuntut ilmu hanya dengan membaca atau melakukan ritual tanpa bimbingan sehingga dia merasa sudah mencapai tahap makrifat. Dengan bangga kemudian meneriakkan apa yang diteriakkan tokoh sufi, karena merasa suci kemudian meninggalkan ibadah-ibadah yang sudah jelas-jelas di wajibkan oleh agama. Di zaman sekarang kita semakin sulit membedakan antara Hamba Allah atau Hamba Setan, ulama yang merupakan pembawa cahaya Allah atau dukun sebagai duta setan karena keduanya sudah bercampur aduk. Seorang dukun pun sangat mahir dalam berbicara tentang makrifat dan seolah-olah dia telah mencapai tahap makrifat, padahal apa yang disampaikan hanya sekedar teori dan hasil dari bacaan di buku-buku gaib. Karena itu Abu Yazid al-Bistami mengingatkan kita semua lewat ucapan Beliau, “Barangsiapa yang menuntut ilmu Tanpa Syekh (Guru) maka wajib setan Syekh (Guru) nya”.
Sulit memang membedakan ilmu yang benar dan ilmu yang keliru karena apa yang kita sebut sebagai ilmu benar itu bisa jadi keliru. Standar untuk mengukur apakah ilmu yang kita pelajari itu sah atau tidak bukan pada bentuk ilmunya. Semua orang mengklaim memperoleh ilmu dari Al-Qur’an dan Hadist. Sah atau tidaknya tergantung kepada Guru Mursyid tempat dia memperoleh ilmu tersebut. Dalam dunia tarekat Silsilah atau Rantai Emas yang merupakan menyambung antara Guru satu dengan Guru sebelumnya sampai kepada Rasulullah SAW adalah alat pengukur apakah ilmu yang diajarkan itu sah atau tidak. Kalau ilmu yang diperoleh dari Guru yang Silsilah Keguruannya tidak bersambung kepada Rasulullah SAW maka ilmu tersebut wajib diragukan keasliannya.
Seorang Guru Mursyid akan mengajarkan ilmu kepada para murid baik syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat dalam satu paket sebagai warisan dari Rasulullah SAW. Hadist yang disampaikan Guru Mursyid benar-benar dijamin keasliannya karena memang disampaikan lewat jalur yang sah, jalur yang bersambung yang terjamin keasliannya. Seluruh ajaran Guru Mursyid tidak akan terlepas dari apa yang di firmankan oleh Allah SWT dan apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tidak berubah dan tidak akan diubah sampai akhir zaman.
Satu hal yang harus diingat bahwa yang langka di dunia ini bukan ilmu berhubungan dengan Allah, bukan ilmu tarekat, bukan juga ilmu syariat karena semua ilmu itu bisa diperoleh dimana saja, dibuku, pasantren, universitas Islam, yang langka adalah Guru Mursyidnya, Grand Masternya yang menumpahkan ilmu lewat dada Beliau kepada para murid dimana saja si murid berada dan kapan saja. Ilmu yang ditumpahkan lewat dada ini lah yang benar-benar murni berasal dari Rasulullah SAW. Ucapan Nabi, “Tidak ada yang tersisa di dadaku ini kecuali aku tumpahkan ke dada Abu Bakar”.
Hamzah paman Nabi ingin sekali belajar Al-Qur’an dan ingin sekali paham tentang Al-Qur’an. Ketika Hamzah mengemukakan keinginannya kepada Nabi, kemudian Nabi memeluk paman Beliau dan sejak saat itu Hamzah langsung paham tentang Al-Qur’an. Nabi telah mentransfer Nur Al-Qur’an yang murni dari dada Beliau kepada dada paman Beliau.
Akhirnya kita selalu bersyukur kepada Allah SWT karena Allah dengan Rahman dan Rahimnya berkenan memperkenalkan kepada kita Auliya-Nya, Kekasih-Nya yang lewat Kakasih-Na itu kita dibawa berkenalan dengan Allah SWT yang Maha Agung dan Maha Suci sehingga ibadah yang kita lakukan benar-benar tanpa keraguan sedikitpun. Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa bermanfaat untuk kita semua, Amin ya Rabbal ‘Alamin!

Pandangan Ulama Tentang Pentingnya Bermursyid.


Abdul Qadir Isa dalam bukunya Hakaikut Tasawuf hlm. 36 menyebutkan, ulama-ulama tasawuf yang memandang pentingnya berguru di hadapan mursyid yang wali antara lain :
a. Abu Hamid al Ghazali
Abu Hamid al Ghazali berkata, “Bergabung dengan kalangan sufi adalah fardhu ‘ain. Sebab tidak seorang pun terbebas dari aib atau kesalahan kecuali para nabi.” Selanjutnya ia menuturkan pengalamannya, sebab-sebab ia berguru:
“Pada awalnya aku adalah orang mengingkari kondisi spiritual orang-orang saleh dan derajat-derajat yang dicapai oleh para ahli makrifat. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya aku bergaul dengan mursyid-ku, Yusuf an Nasaj. Dia terus mendorongku untuk melakukan mujahadah, hingga akhirnya aku memperoleh karunia-karunia ilahiyah. Aku dapat melihat Allah di dalam mimpi. Dia berkata kepadaku, “Wahai Abu Hamid, tinggalkanlah segala kesibukanmu. Bergaullah dengan orang-orang yang telah Aku jadikan sebagai tempat pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang menggadaikan dunia dan akhirat karena mencintai Aku.” Aku berkata, “Demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan melakukannya kecuali jika Engkau membuatku dapat merasakan sejuknya berbaik sangka terhadap mereka.” Allah berfirman, “Sungguh Aku telah melakukannya. Yang memutuskan hubungan antara engkau dan mereka adalah kesibukanmu mencintai dunia. Maka keluarlah dari kesibukanmu mencintai dunia dengan suka rela sebelum engkau keluar dari dunia dengan penuh kehinaan. Aku telah melimpahkan kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Maha Suci.” Aku bangun dengan penuh gembira. Lalu aku mendatangi Syaikh-ku, Yusuf an Nasaj, dan menceritakan tentang mimpiku itu. Dia tersenyum sambil berkata, “Wahai Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang pernah kami peroleh di fase awal perjalanan kami. Jika engkau tetap bergaul denganku, maka mata hatiku akan semakin tajam.”
Abu Hamid al Ghazali juga berkata, “Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia harus mempunyai seorang mursyid dan pendidik spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta melenyapkan akhlak-akhlak yang tercela dan menggantinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali dia melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan sebelum Rasulullah Saw wafat, Beliau telah menetapkan para khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang mursyid.”
Di antara yang pernah dikatakan oleh al Ghazali adalah, “Murid membutuhkan seorang mursyid atau guru yang dapat diikutinya, agar dia menunjukkannya ke jalan yang lurus. Jalan agama sangatlah samar dan jalan-jalan Syetan sangat banyak dan jelas. Oleh karena itu, jika seseorang yang tidak mempunyai Syaikh yang membimbingnya, maka pasti Syetan akan menggiringnya menuju jalannya. Barang siapa berjalan di jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka dia telah menjerumuskan dan membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh sendiri. Pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia dapat bertahan hidup dan berdaun, dia tidak akan berubah. Yang menjadi pegangan seorang murid adalah Syaikhnya. Maka hendaklah dia berpegang teguh kepadanya.”
Di samping itu, Abu Hamid al Ghazali juga pernah menyatakan, “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Dia akan memperlihatkan kepadanya penyakit-penyakit yang ada di dalam jiwanya. Barang siapa mata hatinya terbuka, niscaya dia akan dapat melihat segala penyakit. Apabila dia mengetahui penyakit itu dengan baik, maka dia dapat mengobatinya. Namun mayoritas manusia tidak dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara mereka dapat melihat kotoran di mata saudaranya. Tapi dia tidak dapat melihat kotoran di matanya sendiri. Barang siapa ingin mengetahui penyakit-penyakit dirinya, maka dia harus menempuh empat cara. Pertama, dia harus duduk di hadapan seorang mursyid yang dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk mursyidnya itu dalam melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian, mursyid atau gurunya akan dapat mengenalkannya tentang penyakit-penyakit yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya.”

b. Abdul Qadir al Jazairi
Dalam al Muwaqif, Abdul Qadir al Jazairi mengatakan bahwa Allah mengisahkan ucapan Musa as. kepada Khidir as, “Bolehkah aku mengikutimu, supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66)
Ketahuilah bahwa seorang murid tidak akan dapat mengambil manfaat dari ilmu dan kondisi spiritual Syaikhnya, kecuali jika dia tunduk secara sempurna kepadanya, melakukan apa saja yang diperintahkannya dan menjauhi apa-apa yang dilarangnya. Di samping itu, dia juga harus meyakini kemuliaan dan kesempurnaan yang dimiliki oleh Syaikhnya. Dia membutuhkan kedua hal itu. Sebagian orang meyakini kesempurnaan Syaikhnya, lalu menyangka bahwa itu sudah cukup untuk meraih apa yang dituju dan dicarinya, sehingga dia tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Syaikhnya dan tidak menjauhi apa yang dilarangnya.
Lihatlah Musa as. yang dengan kedudukannya yang mulia masih memohon untuk bertemu dengan Khidir as. dan menanyakan kepada beliau tentang jalan untuk bertemu dengan Tuhannya. Musa telah menanggung kesusahan dan keletihan dalam perjalanan, sebagaimana terekam dalam firman Allah, “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini” (QS. al Kahfi : 62) Namun demikian, ketika Musa tidak mematuhi satu larangan saja, “Janganlah engkau bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu” (QS. al Kahfi : 70) Musa tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari ilmu-ilmu Khidir. Padahal Musa merasa yakin bahwa Khidir lebih mengetahui tentang Allah dari padanya. Hal ini terekam dalam firman Allah saat Musa berkata, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang lebih berilmu dariku.” Allah berfirman, “Ada, yakni hambaku, Khidir.” Di sini Musa tidak mengkhususkan sebagian ilmu atas sebagian yang lain, tapi menyebutnya secara umum.
Pada awalnya, Musa tidak mengetahui bahwa potensinya tidak cukup untuk menerima sesuatu dari ilmu-ilmu Khidir. Sementara Khidir sudah mengetahui itu sejak awal perjumpaan mereka. Dia berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sabar bersama denganku” (QS. al Kahfi : 67). Ini merupakan salah satu bukti pengetahuan Khidir.
Setiap orang yang berakal hendaknya memperhatikan akhlak kedua orang yang mulia ini. Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Artinya : Apakah engkau mengizinkanku mengikutimu, agar aku dapat belajar kepadamu? Di dalam kalimat yang diungkapkan Musa ini terdapat kemanisan akhlak yang dapat dirasakan oleh setiap orang yang memiliki perasaan yang sehat.
Kemudian Khidir menjawab, “Jika engkau mengikutiku, maka jangan bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkan kepadamu.” (QS. al Kahfi:70). Khidir tidak menjawab dengan, “Jangan bertanya kepadaku”, lalu diam, hingga Musa menjadi bingung. Tapi dia berjanji akan menerangkan kepada Musa tentang ilmu atau hikmah dari apa yang dilakukannya. Dengan demikian, kesempurnaan Syaikh dalam ilmu yang dicari dan dituju tidak akan berguna apabila murid tidak menaati perintahnya dan tidak menjauhi larangannya.
Yang dapat diambil dari kesempurnaan Syaikh hanyalah petunjuknya yang dapat mengantarkan kepada apa yang dituju. Selebihnya Syaikh tidak dapat memberikan kepada muridnya kecuali apa yang diberikan oleh potensinya. Dan potensi seorang murid terletak pada diri dan perbuatannya. Ibarat seorang dokter ahli yang mendatangi seorang pasien dan menyuruhnya untuk meminum obat tertentu, tapi si pasien tidak meminumnya. Apakah si pasien dapat memanfaatkan sesuatu dari kepintaran dokter? Ketidakpatuhan pasien adalah bukti bahwa Allah tidak menghendaki kesembuhannya dari penyakit yang dideritanya. Sebab, apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menyediakan sebab-sebabnya. Hanya saja, seorang murid diharuskan untuk mencari seorang Syaikh yang paling sempurna dan mulia. Sebab, dikhawatirkan dia akan dituntun oleh seorang yang tidak mengetahui jalan untuk sampai kepada maksud yang dituju, sehingga hal itu menjadi penyebab terjerumusnya dirinya ke dalam jurang kebinasaan.
c. Ibnu Athaillah as Sakandari
Ibnu Athaillah as Sakandari berkata, “Seseorang yang bertekad untuk meraih petunjuk dan meniti jalan kebenaran hendaklah mencari seorang Syaikh dari ahli thareqat, yang meninggalkan hawa nafsunya dan teguh mengabdi kepada Tuhannya. Apabila dia menemukan seorang Syaikh yang seperti itu, maka hendaklah dia menaati apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa saja yang dilarangnya.”
Ibnu Athaillah juga berkata, “Syaikhmu bukanlah orang yang kau perhatikan perkataannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang dari engkau mengambil sesuatu yang positif. Syaikhmu bukanlah orang yang ungkapan-ungkapannya menebakmu, tapi Syaikhmu adalah orang yang petunjuk-petunjuknya mengalir dalam dirimu. Syaikhmu bukanlah orang yang mengajakmu menuju pintu, tapi Syaikhmu adalah orang yang menghilangkan tabir antara dirimu dan dirinya. Syaikhmu bukanlah orang yang menuntunnya dengan ucapannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya. Syaikhmu adalah orang yang mengeluarkan dari penjara hawa nafsu dan memasukkanmu ke hadapan Tuhan Yang Maha Mulia. Syaikhmu adalah orang yang senantiasa membersihkan cermin hatimu, sehingga tampak jelas padanya cahaya-cahaya Tuhanmu. Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu untuk menuju Allah, lalu engkau bangkit menuju-Nya. Dan dia terus mendampingimu hingga engkau berada di hadapan-Nya. Lalu dia menuntunmu menuju cahaya ilahiyah sambil berkata kepadamu, “Inilah engkau dan Tuhanmu.”
Ibnu Athaillah juga berkata, “Jangan engkau bergaul dengan Syaikh yang tidak dapat membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya dan tidak dapat menunjukkanmu menuju Allah dengan ucapan-ucapannya.”

d. Abdul Qadir al Jailani
Dalam Futuh al Ghaib, Abdul Qadir al Jailani menulis bait syair berikut,
Jika takdir membantumu atau kala menuntunmu
kepada Syaikh yang jujur dan ahli hakikat
maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya
Tinggalkanlah apa yang sebelumnya engkau lakukan
Sebab menentang berarti melawan
Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat kecukupan
Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya
Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam
dan seseorang dapat menghunus pedangnya
Maka Musa pun meminta maaf
Demikian keindahan di dalam ilmu kaum (sufi)

e. Abdul Wahab Asy Sya’rani
Asy Sya’rani berkata, “Kami pernah di baiat atas nama Rasulullah Saw agar kami melaksanakan shalat dua rakaat setiap kali selesai wudhu’, dengan syarat kami tidak boleh berbicara di dalam hati kami tentang sesuatu dari urusan dunia atau sesuatu yang tidak disyari’atkan di dalam shalat. Setiap orang yang hendak melakukan amal ini membutuhkan seorang Syaikh yang berjalan bersamanya, sehingga dia dapat melenyapkan segala keinginan yang membuatnya lupa akan perintah Allah.”
Lalu dia berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan seorang Syaikh yang selalu memberimu nasihat dan dapat membuatmu sibuk dengan Allah. sehingga dia dapat menghilangkan pembicaraan hatimu di kala engkau shalat, seperti ucapanmu, “Aku akan pergi ke sana”, “Aku akan melakukan ini dan itu”, “Aku akan mengatakan ini kepada fulan” dan sebagainya. Jika tidak, maka engkau akan selalu berbicara di dalam hati di setiap shalatmu. Dan tidak satu pun shalatmu yang dapat engkau bebaskan dari pembicaraan tersebut, baik shalat wajib maupun sunah. Ketahuilah hal itu! Engkau tidak akan dapat mencapai semua itu tanpa bimbingan seorang Syaikh. Ibarat orang-orang yang mendebat tanpa ilmu. Sikap seperti ini tidak baik bagimu.”
Asy Sya’rani juga berkata, “Apabila jalan kaum sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syaikh, niscaya orang seperti al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syaikh. Sebelum memasuki dunia tasawuf, keduanya pernah mengatakan, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah membuat kebohongan kepada Allah.” akan tetapi, setelah memasuki dunia tasawuf keduanya berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan).” Akhirnya, keduanya mengakui jalan tasawuf dan bahkan memujinya.”
Asy Sya’rani melanjutkan, “Cukuplah kemuliaan bagi ahli thareqat perkataan Musa kepada Khidir, ” Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Juga pengakuan Ahmad ibn Hanbal bahwa Abu Hamzah al Baghdadi lebih utama darinya dan pengakuan Ahmad ibn Suraij bahwa Abu Qasim Junaid lebih utama darinya. al Ghazali juga mencari seorang Syaikh yang dapat menunjukkannya ke jalan tasawuf, padahal dia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syaikh Abu Hasan asy Syadzili.” Apabila kedua ulama besar ini, yakni al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam, membutuhkan seorang Syaikh, padahal keduanya adalah orang yang memiliki pengetahuan luas tentang ilmu syari’at, maka orang selain mereka berdua lebih membutuhkannya lagi.”

f. Abu Ali ats Tsaqafi
Abu Ali ats Tsaqafi berkata, “Seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak akan sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang Syaikh yang memiliki akhlak yang luhur dan dapat memberinya nasihat-nasihat. Dan barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari seorang Syaikh yang memerintah dan melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah.”
g. Abu Madyan
Abu Madyan berkata, “Barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari para Syaikh yang berakhlak mulia, maka dia akan merusak para pengikutnya.”

h. Ahmad Zaruq
Dalam Qawa’id at Tashawwuf, Syaikh Ahmad Zaruq berkata, “Mengambil ilmu dan amalan dari para Syaikh adalah lebih baik dibanding mengambilnya dari selain mereka.” Sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. (QS. al Ankabut : 49). Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku. (QS. Lukman : 15)
Dengan demikian, mengangkat seorang Syaikh adalah suatu keharusan. Para sahabat sendiri mengambil ilmu dan amalan mereka dari Rasulullah. Rasulullah mengambil ilmu dan amalannya dari Jibril. Dan para tabi’in mengambil ilmu dan amalan dari para sahabat.
Setiap sahabat mempunyai para pengikut yang khusus. Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan al A’raj, misalnya, adalah pengikut Abu Hurairah. Sementara Thawus, Wahhab dan Mujahid, adalah pengikut Ibnu Abbas. Demikian seterusnya. Pengambilan ilmu dan amalan ini sangat jelas, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mereka. Sedangkan pemanfaatan himmah (kemauan) dan kondisi spiritual ditunjukkan oleh Anas, “Belum lagi kami menghilangkan debu dari tangan kami setelah mengubur Rasulullah, tapi telah kami mencela hati kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Anas menjelaskan bahwa melihat pribadi Rasul yang mulia adalah bermanfaat bagi hati para sahabat. Oleh sebab itu, Beliau memerintahkan untuk bergaul dengan orang-orang saleh dan melarang bergaul dengan orang-orang fasik.

i. Ali al Khawas
Ali al Khawas berkata dalam syairnya,
Jangan menempuh jalan yang tidak engkau kenal
tanpa penunjuk jalan, sehingga engkau terjerumus ke dalam jurang-jurangnya

Penunjuk jalan dan mursyid akan dapat mengantarkan seorang salik sampai ke pantai yang aman dan menjauhkannya dari gangguan-gangguan selama di perjalanan. Sebab, penunjuk jalan dan mursyid sebelumnya telah melewati jalan itu di bawah bimbingan seseorang yang telah mengetahui seluk beluk jalan tersebut, mengetahui tempat-tempat berbahaya dan tempat-tempat yang aman dan terus menemaninya sampai akhirnya dia sampai di tempat yang dituju. Kemudian orang tersebut memberinya izin untuk membimbing orang lain. Ibnu al Banna menjelaskan ini di dalam syairnya,
Kaum sufi tidak lain sedang melakukan perjalanan
Ke hadirat Tuhan Yang Maha Benar
Maka mereka membutuhkan penunjuk jalan
yang benar-benar mengenal seluk beluk jalan itu
Dia telah melalui jalan itu, lalu dia kembali
untuk mengabarkan apa yang telah didapat

j. Syaikh Muhammad al Hasyimi
Syaikh Muhammad al Hasyimi berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan seorang Syaikh yang bermakrifat kepada Allah, tulus, selalu memberimu nasihat serta memiliki ilmu yang benar, niat yang luhur dan kondisi spiritual yang diridlai. Sebelumnya Syaikh itu telah menempuh thareqat di bawah bimbingan para mursyid, mengambil akhlaknya dari akhlak mereka dan mengetahui seluk beluk jalan menuju Allah. Jika demikian, maka dia akan dapat menyelamatkanmu dari jalan-jalan yang membinasakan, mengarahkanmu untuk bergabung dengan Allah dan mengajarimu untuk menjauh dari selain Allah. Dia akan berjalan bersamamu, hingga engkau sampai kepada Allah. Dia akan membebaskanmu dari penyakit-penyakit jiwamu dan memperkenalkanmu dengan kebaikan Allah kepadamu. Apabila engkau telah mengenal-Nya, maka engkau akan mencintainya. Apabila engkau telah mencintainya, maka engkau akan bermujahadah di jalan-Nya. Apabila engkau telah bermujahadah di jalan-Nya, maka dia akan menunjukkanmu kepada jalan-Nya dan memilihmu untuk berada di dekat-Nya.”
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al Ankabut : 69). Oleh karena itu, hukum bergaul dengan Syaikh (mursyid) dan mengikutinya adalah wajib. Dasarnya adalah firman Allah, “Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku.” (QS. Lukman : 15) Dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. at Taubah : 119)
Selain itu, di antara syarat seorang mursyid adalah bahwa dia telah mendapat izin untuk mendidik manusia dari seorang mursyid kamil yang memiliki mata hati yang cemerlang. Jangan sampai engkau mengatakan, “Di mana aku dapat menemui mursyid yang memiliki ciri-ciri seperti itu?” Aku akan mengatakan kepadamu seperti yang dikatakan oleh Abu Athaillah as Sakandari dalam Latha’if al Minan, “Engkau tidak akan kekurangan mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka.”
Oleh sebab itu, bersungguh-sungguhlah dengan tulus, niscaya engkau akan menemukan seorang mursyid yang memiliki ciri-ciri demikian. Seorang penyair sufi mengatakan,
Rahasia Allah didapat dengan pencarian yang benar
Betapa banyak hal menakjubkan yang telah diperlihatkan kepada para pelakunya

Dalam Latha’if al Minan, Ibnu Athaillah juga berkata, “Hendaklah engkau mengikuti seorang wali yang Allah telah menunjukkannya kepadamu dan memperlihatkan kepadamu sebagian dari kekhususan dirinya. Engkau memandang bahwa kemanusiaannya lenyap dalam kekhususan dirinya. Sehingga engkau tunduk untuk mengikutinya, dan dia berjalan bersamamu di jalan kebenaran.”
Dalam al Hikam, Ibnu Athaillah berkata, “Maha Suci Allah yang tidak memberikan petunjuk menuju para wali-Nya kecuali dengan petunjuk menuju dirinya, dan tidak menyampaikan seseorang kepada mereka kecuali yang dikehendaki-Nya untuk sampai kepadanya.” (Abdul Qodir Isa, Hakikat Tasawuf, hlm.36-48)

TAQWA DALAM PANDANGAN GURU SUFI 1


Guru Sufi mengatakan, “Orang yang telah mencapai tahap Taqwa, tidak ada perasaan berat baginya dalam melakukan ibadah yang diperintahkan Allah”. Berarti taqwa bisa didenisikan sebagai kondisi dimana seorang hamba melakukan perintah Allah dengan senang hati bahkan memiliki gairah dalam ibadah tersebut.
Gairah dalam beribadah sangat mudah di temukan dalam komunitas sufi, mereka melakukan ibadah-ibadah sunnat dalam jumlah yang banyak. Ada sufi yang mengerjakan shalat tengah malam ratusan rakaat, sementara ada yang mengerjakan puasa secara terus menerus. Dalam kitab “Kasful Mahjub” diceritakan ada seorang sufi ketika memasuki bulan Ramadhan hanya berbuka puasa 2 kali. Dia selama 15 hari tidak makan dan minum dan berbuka pada pertengahan Ramadhan, kemudian melanjutkan puasa dan berbuka ketika memasuki Hari raya, padahal tiap malam dia menjadi imam shalat tarawih. Tubuh dari sufi yang telah memiliki kecintaan mendalam kepada Tuhan adalah sebuah misteri yang sulit diungkapkan dengan akal fikiran manusia.
Tidak usah terlalu jauh menyelami dunia sufi ratusan tahun yang lalu seperti yang diceritakan oleh kitab-kitab tasawuf klasik, di zaman ini saya ikut menyaksikan sendiri bagaimana Guru Sufi berdzikir selama 3 hari 3 malam tanpa berhenti dalam ruang khusus dan Beliau berhenti berdzikir ketika melakukan shalat fardhu. Saya juga menyaksikan sendiri sahabat-sahabat saya yang melakukan puasa selama 7 hari 7 malam tanpa makan dan minum tapi masih tetap bisa melakukan aktifitas sehari-hari dan mereka melakukan ibadah-ibadah khusus itu dengan penuh gairah.
Bagaimana mungkin kita bisa menuduh kaum sufi meninggalkan syariat sementara dalam keseharian mereka tidak pernah meninggalkan ibadah-ibadah pokok bahkan memperbanyak ibadah-ibadah yang sunnat.
“Hai orang-orang beriman, bertqwalah kamu kepada Allah dan carilah Wasilah (jalan kepada Allah), bersungguh-sungguh lah engkau di jalan itu, pasti engkau akan mendapat kemenangan”. (QS. Al-Maidah, 35).
Kalau kita menyimak surat al-maidah 35 akan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang tuduhan yang dilancarkan kepada pengamal tarekat yang meninggalkan ibadah-ibadah wajib, tuduhan itu tidak masuk akal sama sekali. Hanya orang beriman yang sudah mencapai tahap taqwa yang diperintahkan oleh Allah untuk mencari wasilah, melanjutkan tingkatan ibadah agar menemukan gairah-gairah baru sehingga terasa surga Allah yang maha tinggi menghampiri qalbu dari hamba.
Makanya ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa untuk bisa menekuni tarekat harus sempurna syariat terlebih dahulu, sudah terbiasa melakukan ibadah-ibadah wajib dengan senang hati barulah belajar ilmu tarekat, melanjutkan ke tahap lebih khusus dengan ibadah-ibadah khusus. Tapi karena sifat penyayang dari guru mursyid, maka Beliau menerima siapa saja yang ingin menekuni tarekat tanpa membeda-bedakan satu sama lain. Walaupun di awal belajar Guru dengan tegas mengatakan “Disini tidak memerlukan murid, kalau ingin belajar ikuti aturan yang ada”, ucapan Beliau itu untuk menguji tingkat keseriusan seorang murid.
Nasehat yang seringkali saya dengar dari Guru adalah, “Tambahi ilmu mu dan jaga syariat mu”, artinya seorang murid harus meng-upgrade ilmu-ilmu lain tentang apapun dan juga selalu menjaga syariat Islam dengan baik. Bahkan Beliau mengatakan “Sempurnakanlah ilmu mu agar engkau sempurna men-Tauhid-kan Tuhan”. Kenapa tidak semua orang yang belajar terakat itu bisa mencapai tahap makrifat bahkan gugur di tengah jalan, tidak jarang memushui tarekat

LEBIH DALAM TENTANG WASILAH DAN MURSYID 2


Dalam tulisan Lebih Dalam Tentang Mursyid dan Wasilah telah kita uraikan bahwa Guru Mursyid pada hakikatnya adalah nur (cahaya) dan pengertian nur disini adalah “irsyad” petunjuk kepada Allah SWT. Jadi definisi cahaya dalam hal ini adalah akibat balik dari sesuatu. Nur yang dimaksud disini bukan seperti cahaya yang kita lihat dengan panca indera lahir, melainkan nur yang relatif abstrak yang mempunyai kekuatan dan getaran tak terhingga. Dengan kekuatan nur itu manusia yang menempuh jalan spiritual di bawah bimbingan guru mursyid akan mencapai tingkat ma’rifat (kenal) dengan Allah Ta’ala. Dengan nur itu pula mereka dapat mengetahui hakikat dari sesuatu hal.
Sering muncul pertanyaan bagaimana supaya kehebatan nur (energi Ilahi) tersebut bisa membawa peranan dalam kehidupan manusia terutama dalam menghampirkan diri kepada Allah SWT?. Sebuah pertanyaan yang cukup baik. Nur itu harus dimasukkan ke dalam jiwa sampai ia meragasukma di dalamnya, bukan dimasukkan ke dalam akal atau pikiran. Kenapa? Alasan logisnya karena akal manusia bersifat lupa dan lalai dalam hidupnya.
Bila energy Ilahi tersebut masuk kemudian meragasukma di dalam jiwa, maka ia akan menjadi bagian dari jiwa atau sukma itu sendiri. Karena sukma mempunyai dimensi yang lebih tinggi dari pada akal dan pikiran. Bila nur itu dimasukkan ke dalam akal, jangankan bisa terbawa mati, di dalam tidur pun sudah pasti terlupakan. Akal termasuk katagori jasmani, maka ia tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau rahasia ketuhanan yang ada di alam mahahalus – alam metafisika. Derajat alam gaib dengan alam fisik terdapat perbedaan yang cukup besar.
Begitu pula meragasukmakan energi Ilahi di dalam diri, tentu tidak semudah yang dibayangkan, ada metodologinya. Metodologi itu ada dalam Tarekatullah yang haq dan harus melalui petunjuk seorang guru yang mursyid. Setelah itu barulah manusia dapat ber-tajalli dengan Tuhan, bukan hulul (menyatu diri). Mahatinggi Allah SWT dari menyatu dengan sesuatu yang selain dia.
Mengapa diperlukan petunjuk dari seorang guru mursyid? Jelas, karena guru mursyid adalah khalifah Rasul, sekaligus sebagai terompet Rasul, yang telah teruji secara historis dan dalam konteks ilmiah mewarisi nur/energy Ilahi langsung dari Rasulullah. Dengan nur itu maka rohaninya dapat berpengaruh seperti pencahayaan dari satu lampu ke berbagai lampu. Cahaya itulah yang membua tabir rahasia yang ditinggalkan tertutup oleh Rasulullah.
Para Nabi dan Imam dan Imam memang memiliki persepsi yang tinggi. Hanya mereka yang bisa melihat kemulyaan Allah. Itu satu keunggulan nyata yang diberikan Allah secara khusus kepada orang-orang pilihan-Nya. Orang pilihan Allah adalah manusia yang dilindungi dan dicintai-Nya, yang dicirikan secara khusus, serta ditunjuk untuk mewujudkan tindakan-tindakan-Nya. Mereka, secara istimewa dianugerahi bermacam-macam keajaiban (karamah), disucikan dari hawa nafsu, sehingga segenap pikirannya tertuju kepada Allah semata. Allah Ta’ala telah memuliakannya atas hamba-hamba yang lain.
Bukti kemulyaan itu oleh penganut ajaran sufi telah dikaji secara naqli dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tak heran jika kemudian guru mursyid diyakini sebagai perwakilan dari wujud Allah, hidupnya adalah pengganti dari hidup Allah, sifatnya adalah pengganti dari sifat Allah, kekuasaannya adalah pengganti kekuasaan Allah, kehendaknya adalah pengganti kehendak Allah, pendengarannya adalah pengganti pendengaran Allah, penglihatannya adalah pengganti dari perkataan Allah, dan ilmunya adalah pengganti dari ilmu Allah.
Keyakinan kaum Sufi tersebut cukup normatif sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis Nabi berikut :
Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka (QS. Al-Fath).
Wajah Allah di atas wajah mereka (Hadist)
Kalau mereka melihat Aku-lah matanya (Hadist Qudsi, HR. Bukhari)
Kalau mereka berjalan, Aku kakinya (Hadist Qudsi, HR. Bukhari)
Kalau mereka mengambil, Aku tangannya, (Hadist Qudsi, HR. Bukhari)
Kalau mereka digempur musuh, Aku lawannya, (Hadist Qudsi, HR. Bukhari)
Rahmat-Ku Aku titipkan padanya untuk ditaburkan pada ummat-Ku. (HR. Al Qudha’ie dari Abi Said).
Mereka man-syafaati seperti Rasul mensyafaati mensyafaati (HR. Ibnu Majjah).
Kalau mereka duduk, Aku temannya, (Hadist dalam Al-Atsar Ihya Ulumuddin).
Mereka yang (rohnya berisikan Nuurun Alaa Nur bersama-sama) sederetan duduknya dengan para Nabi. (QS. An-Nisa : 69).
Kalau namanya disebut, Ummat pun telah menyebut nama-Ku dan sebaliknya jika nama-Ku disebut ummat, telah turut disebut nama di dalamnya. (HR. Tabrani, Al Hakim dan Abu Naim).
Bumi dan langit-Ku tak berdaya menjangkau Aku, namun Aku telah dijangkau oleh Ruh/Hati hamba-Ku yang Ku-kasihi (yang Ruhnya berisikan Nurun Ala Nurin) (HR. Ahmad).
Kemudian bukti signifikan bahwa guru mursyid sebagai ulama pewaris Nabi (al ulama warasatul ambiya), terlihat dari jejaknya yang menapaki jejak Nabi sendiri. Mulai dari bentuk alamanya sampai pada soal rupanya. Keduanya memiliki rupa yang qadim dan juga azali. Hidupnya berada dalam dua alam sebagaimana di isyaratkan oleh Nabi dalam sabdanya :
“al-mu’minu hayyun fiad-darin” (Orang-orang mukmin itu hidup di dua alam).
Namun demikian, keduanya tetap memiliki perbedaan dan pembatas yang jelas. Misalnya dalam hal kenaikan dalam pencapaian spiritual, nabi-nabi terjadi secara menyeluruh, sementara para wali-wali hanya terjadi secara bathiah atau dengan rohani saja. Badan seorang nabi menyerupai hati dan roh seorang wali mursyid dalam kesucian dan kedekatan dengan Tuhan. Inilah satu keunggulan nyata. Bilamana seorang wali terkuasai perasaannya ia lepas dari dirinya melalui tangga rohani dan didekatkan kepada Tuhan. Semua bukti itu terbentuk dalam pikirannya dan ia memperoleh pengetahuan tentang bukti-bukti itu.
Sebenarnya persoalan ini telah Allah tunjukkan dalam peristiwa isra’ dan mi’rajnya Rasulullah, tapi jarang manusia yang mau mendalaminya. Rasulullah tidak akan sampai kehadirat Allah SWT tanpa energi Ilahi, nur Ilahi, wasilah Allah, atau yang dikiaskan sebagai Al-Buraq. Energi Ilahi mempunyai kecepatan dan kekuatan yang tak terhingga. Energi inilah yang ditanamkan oleh Allah dalam diri Rasulullah.
Demikian uraian singkat tentang Guru Mursyid dan insya Allah pembahasan ini nanti akan saya lanjutkan lagi. mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan manfaat untuk kita semua dan saya pribadi selalu bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya berkenan memperkenalkan kekasih-Nya kepada saya sehingga dengan bimbingan yang penuh kasih sayang dari kekasih-Nya tersebutlah yang membuat saya bisa memahami tentang Tuhan. Pembahasan tentang mursyid beserta dalil-dalilnya dan keutamaan mempunyai Guru Mursyid serta pendapat para ulama tentang keutamaan berguru sudah pernah saya tulis di sini

MAKRIFAT BUKAN TUJUAN AKHIR


“Awal beragama Makrifatullah” begitu kata baginda Rasul untuk mengingatkan ummatnya untuk fokus mencapai tahap makrifat kepada Allah sebagai syarat awal agar seseorang dinilai telah beragama. Makrifatullah dalam makna umum berarti mengenal atau mengetahui tentang Allah. Makrifat terbagi menjadi Makrifat Asma (nama), Makrifat af’al/fi’il (perbuatan) dan Makrifat Dzat (Memandang Dzat Allah).
Makrifat dengan nama Allah berarti kita mengenal tentang Allah lewat nama-nama-Nya, adalah 99 nama yang baik (asmaul husna) yang terdapat dalam al-Qur’an. Ar-Rahman dan ar-Rahim misalnya mengajarkan kita bahwa Allah adalah sosok yang mempunyai sifat pengasih dan penyayang. Al-‘Aziz, Maha Perkasa atau Maha Kuat, dengan nama itu tergambar dalam pikiran kita akan Tuhan yang Maha Kuat, sumber dari segala kekuatan. Dengan mengetahui nama tersebut akan membuat kita sadar bahwa di atas kita ada sosok yang jauh melebihi kemampuan kita. Dengan mengetahui nama-nama-Nya adalah salah satu cara kita mengenal-Nya.
Makrifat dengan af’al/fi’il atau sifat, ada 20 sifat Allah yang wajib diketahui oleh hamba-Nya. Kalam, atau berkata-kata akan mengajarkan kita bahwa Allah memiliki sifat berkata-kata, dengan itu memberikan keyakinan bahwa Allah memberikan petunjuk kepada seluruh manusia dengan perantaraan kata-kata-Nya. Kata-kata-Nya yang disampaikan kepada Nabi ditulis dalam bentuk kitab suci sedangkan kata-kata-Nya yang disampaikan kepada hati orang beriman akan memberikan petunjuk secara pribadi kepada orang tersebut dalam kehidupannya. Sifat Kalam Tuhan itu abadi, artinya tidak mungkin Tuhan hanya berkata-kata zaman dulu saja ketika Nabi ada tapi Dia akan terus berkata-kata sepanjang zaman, cuma diperlukan ketenangan jiwa dan hati yang bersih untuk bisa mendengarkan firman-Nya.
Makrifat Dzat, mengenal Dzat Allah, ini adalah puncak makrifat, mengenal dengan sebenar kenal. Dengan makrifat seorang hamba yang telah disucikan dan intensif berdzikir lewat hati sanubarinya, dapat melihat Tuhan Allah SWT. Para Sufi mengatakan, “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT. Makrifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang dilihatnya hanya Allah SWT. Yang dilihat orang arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT”
Kenapa awal beragama makrifat kepada Allah, karena jika tidak mengenal Allah maka tidak mungkin manusia bisa menyembah-Nya dan tidak mungkin bisa mencintai-Nya. Maka sangat penting bagi seluruh manusia untuk mencapai tahap makrifat agar ibadah-ibadah yang dilakukannya tidak sia-sia.
Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk mengorbankan anaknya lewat mimpi, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Kenapa Ibrahim melaksanakan perintah yang “aneh” tersebut karena dia sangat yakin yang memerintahkan adalah Allah. Kenapa sangat yakin yang datang dalam mimpinya adalah Allah, karena Nabi Ibrahim telah mencapai tahap makrifatullah, mengenal Dzat Allah SWT. Akal tidak mampu menguraikan tentang wujud Allah yang datang dalam mimpi Ibrahim, tasawuf dengan mudah menguraikannya. Uraian tentang makrifat dan pengalaman-pengalaman tentang makrifat hanya bisa dipahami oleh orang yang telah berada di alam makrifat pula.
Makrifat tidak di dapat lewat perenungan, lewat kajian-kajian atau bacaan-bacaan. Ribuan buku tasawuf tidak akan membawa seseorang mencapai makrifat. Al-Ghazali berkata, “Alat seorang sufi mendapatkan makrifat adalah qalbu, bukan panca indera atau akal. Pengetahuan yang diperoleh qalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf (makrifat bukan filsafat)”. Al-Ghazali memaknai makrifat sebagai Memandang Wajah Allah.
Setelah mencapai tahap makrifat seperti yang disebutkan oleh Rasulullah SAW, barulah seseorang bisa menerapkan segala ibadah yang dianjurkan oleh agama. Zunnun al-Mishri mengatakan bahwa makrifat mempunyai jangkauan moral yang nilai kemanusiaan seoptimalnya yang harus berhias ahklak Allah SWT. Pergaulan orang arif bila telah sampai ke tingkat ini bagaikan pergaulan dengan Allah SWT. Aisyah istri Nabi ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah menjawab bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an.
Hanya Allah yang mengetahui siapa dari hamba-Nya yang benar-benar mengenal-Nya, sampai ke tahap makrifat. Tapi tentu saja orang yang telah mengenal Allah sebagaimana disebutkan tadi maka Akhlaknya akan mengikuti akhlak Rasulullah SAW. Menurut zunnun adalah tiga tanda orang Arif (Orang yang telah mencapai tahap Makrifat) :
Cahaya Makrifat tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya,
Tidak mengakui secara bathiniah, ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriah (Hukum Syariat).
Nikmat Allah SWT yang banyak itu tidak mengiringnya untuk melanggar larangan Allah SWT.
Orang Arif dengan pengetahuannya yang luas, hakikat yang mendalam akan tetap menjaga amalan-amalan zahir yang di syariatkan oleh agama. Orang yang mengaku bermakrifat kemudian bertingkah aneh, meninggalkan kewajiban agama, berakhlak yang tercela akan diragukan tentang makrifatnya. Kehebatan dan kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya tidak dipakai untuk melanggar perintah Allah, melakukan perbuatan-perbuatan tercela, ini penjelasan dari ciri-ciri orang makrifat menurut Dzunnun al-Mishri.
Kesimpulan dari tulisan ini bahwa makrifatullah atau mengenal Allah adalah awal beragama, dengan mencapai makrifat maka segala ibadah akan bermakna karena kita mengenal siapa yang kita sembah. Kalau Makrifatullah adalah awal beragama, lalu apa akhir dari agama? Akhir dari beragama juga makrifatullah karena Makrifatullah adalah ruh dari agama.

BANGUN DARI MIMPI 1


“Manusia di dunia ini sesungguhnya sedang tidur. Manakala mati, mereka bangun”
Ali bin Abi Thalib
Tuhan memberikan akal kepada manusia agar manusia mampu berfikir secara baik tentang alam dan ciptaan Tuhan sehingga bisa memberikan manfaat kepada manusia. Dengan akal manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Akal manusia dengan kemampuan yang begitu luar biasa mampu menyerap dan mengolah informasi sehingga menghasilkan hal-hal yang luar biasa.
Walaupun mempunyai kemampuan yang hampir tak terbatas, akal manusia diberi batasan oleh Tuhan, hanya mampu memikirkan hal-hal selain Tuhan. Ketika berhubungan dengan Dzat Tuhan, maka akal akan mengalami kebuntuan, akal tidak mampu membahas apapun tentang dzat Tuhan, mengapa?
Tuhan menciptakan manusia terdiri dari 2 unsur yaitu jasmani dan rohani. Akal termasuk ke dalam unsur jasmani yang melekat dengan tubuh manusia. Akal hanya bisa bekerja ketika manusia sadar dan normal, ketika manusia tidak sadar maka akal tidak berfungsi sama sekali. Sebagai contoh sederhana, dalam keadaan tidur, manusia bodoh dengan professor sama-sama tidak sadar, tidak akan mampu menjawab pertanyaan apapun walaupun pertanyaan itu sangat sederhana. Orang bodoh dan professor dalam keadaan tidur ketika ditanya, “Berapa 1 +1”, keduanya tidak bisa menjawab.
Kalau dalam keadaan tidur saja tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana, bagaimana mungkin akan bisa menjawab pertanyaan setelah mengalami kematian. Ketika masuk ke dalam kubur dan datang malaikat menanyakan, “Siapa Tuhanmu?” bagaimana mungkin dia bisa menjawabnya kalau hanya mengandalkan akal.
Akal sekali lagi mempunyai dimensi terbatas, itulah sebabnya Tuhan melarang manusia memikirkan dzat Tuhan karena memang akal tidak akan mampu memikirkannya. Akal berada dalam dimensi dunia sedangkan Dzat Tuhan berada dalam dimensi tak terhingga. Akal termasuk baharu sedangkan Dzat Tuhan bersifat Qadim.
Karena manusia mempunyai dua unsur, jasmani dan rohani, maka di dalam beragama khususnya ber-Islam, kedua unsur ini harus disentuh, harus diajarkan agar manusia ber-Islam secara jasmani dan rohani. Untuk mengislamkan rohani kita tidak akan pernah kekurangan Guru, begitu banyak di dunia ini Guru yang mengajarkan Islam secara jasmani.
Islam yang diajarkan kepada jasmani itu sayangnya tidak menyentuh sama sekali kepada ruh manusia karena keduanya mempunyai dimensi yang berbeda. Untuk bisa meng-Islam-kan ruh, diperlukan ruhani yang dimensi lebih tinggi yaitu ruhani para Rasul dan Para Wali yang telah mencapai tahap kamil mukamil (suci lagi bisa mensucikan).
Untuk bisa meng-Islam-kan ruh dari manusia diperlukan sebuah metodologi atau cara atau dalam bahasa Arab disebut Tareqatullah. Dengan Tareqatullah atau popular dengan tarekat inilah ruh manusia bisa dicucikan, diajarkan cara menyebut nama Tuhan sehingga ruh menjadi Islam. Kalau ruh manusia tidak diajarkan cara menyebut nama Tuhan, maka selamanya ruh akan merana sejak di dunia sampai ke akhirat kelak.
Cara menyebut nama Tuhan, cara berkomunikasi dengan Tuhan harus dipelajari dan pengajarannya harus diselesaikan sebelum ajal menjemput. Di alam kubur dan alam setelahnya tidak ada lagi pelajaran itu. Kalau semasa hidup di duni tidak bisa berkomunikasi dengan Tuhan maka sampai di alam kubur dan alam selanjutnya tidak akan bisa berkomunikasi dengan Tuhan.
Kenapa hampir kebanyakan orang yang mengaku paham dengan agama ketika sampai kepada pembasahan tentang “Dzat Tuhan”, “Memadang wajah Tuhan” dan “Berbicara dengan Tuhan” mereka mundur secara teratur bahkan hal-hal seperti ini dianggap tabu, dengan dalih “Jangan kau pikirkan Dzat-Ku” akhirnya hal yang paling pokok ini terlupakan atau sengaja tidak dibahas. Jawabannya karena mereka hanya berbicara tentang agama secara Jasmani tanpa menyentuh ruhani sama sekali.

RABITHAH MURSYID


Pengertian Rabithah
Rabithah dalam pengertian bahasa(lugat) artinya bertali, berkait atau berhubungan. Sedangkan dalam pengertian istilah thareqat, rabithah adalah menghubungkan ruhaniah murid dengan ruhaniah guru dengan cara menghadirkan rupa / wajah guru mursyid atau syaikh ke hati sanubari murid ketika berdzikir atau beramal guna mendapatkan wasilah dalam rangka perjalanan murid menuju Allah atau terkabuknya do’a. Hal ini dilakukan karena pada ruhaniah Syekh Mursyid itu terdapat Arwahul Muqaddasah Rasulullah Saw atau Nur Muhammad. Syaikh Mursyid adalah Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah. Mereka adalah wasilah atau pengantar menuju Allah. Jadi tujuan merobith adalah memperoleh wasilah.
Seorang murid dengan sungguh-sungguh menuntut ilmu dari gurunya, dan seorang guru dengan tulus ikhlas memberikan pendidikan dan pengajaran kepada muridnya, hingga dengan demikian terjadilah hubungan yang harmonis antara keduanya. Murid yang mendapatkan ilmu pengetahuan dari gurunya dengan cara demikian akan memperoleh ilmu yang berkah dan bermanfaat. Persambungan antara mereka itu lazim disebut dengan rabithah.
Kalau rabithah antara murid dengan guru biasa adalah transfer of knowledge, yakni mentransfer ilmu pengetahuan, maka rabithah antara murid dengan guru mursyid adalah transfer of spiritual, yakni mentransfer masalah-masalah keruhanian. Di sinilah letak perbedaannya. Kalau transfer of knowledge tidak bisa sempurna tanpa guru, apalagi transfer of spiritual yang jauh lebih halus dan tinggi perkaranya, maka tidak akan bisa terjadi tanpa guru mursyid.
Dasar-dasar utamanya adalah penunjukan yang dilakukan oleh Tuhan lewat guru mursyid atau ilham dari Allah Swt Karena itu tidak semua orang bisa menjadi guru mursyid. Seorang mursyid adalah seorang yang ruhaninya sudah bertemu Allah dan berpangkat waliyan mursyida, yakni kekasih Allah yang layak menunjuki umat sesuai dengan hidayah Allah yang diterimanya. Hal iniseperti dijelaskan dalam surat al Kahfi ayat 17.
Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang Luas dalam gua itu. itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barang siapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS. al Kahfi : 17)

Jadi jelas fungsi guru mursyid adalah sebagai pembimbing ruhani, di samping itu juga sebagai orang tua yang harus dipatuhi segala perintahnya dan dijauhi segala yang dilarangnya. Dengan demikian seorang murid merasa takut manakala meninggalkan perintah agama dan atau melanggar larangan agama, karena waktu itu akan terbayanglah bagaimana marahnya wajah guru mursyid manakala dia berbuat demikian.
Hal yang demikian ini pulalah yang menyebabkan nabi Yusuf merasa takut dan enggan ketika hendak diajak berzina oleh Siti Zulaikha. Terbayanglah oleh nabi Yusuf as wajah ayahnya (nabi Ya’kub) atau wajah suami Zulaikha (Qithfir) manakala ayahnya atau suami Zulaikha mengetahui apa yang akan diperbuatnya.
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf : 24)

Dasar-Dasar Rabithah Mursyid
Dasar-dasar hukum yang digunakan sebagai dalil terhadap rabithah adalah firman Allah Swt.
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersikap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kamu kepada Allah Swt supaya kamu beruntung (sukses). (QS. Ali Imran : 200).

Kata warabithu dalam ayat ini adalah diambil arti hakikinya, lebih dalam dari sekedar makna lahiriahnya yaitu mengadakan penjagaan di pos-pos penting dalam situasi peperangan, agar musuh tidak menerobos. Kalau perang fisik, seseorang menjaga pertahanan wilayah dari serbuan musuh-musuh dari orang kafir, maka dalam perang metafisik, orang mengadakan rabithah di wilayah hati agar syetan tidak menyusup ke wilayah hati sanubari tersebut. Itulah yang menjadi dasar-dasar rabithah bagi para pakar tawasuf / thareqat. Menurut mereka rabithah mursyid adalah salah satu memperoleh wasilah menuju Allah. Firman Allah Swt.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah / jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihatlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. al Maidah : 35)

Menurut pendapat ahli thareqat, mafhum al-wasilah dalam ayat ini bersifat umum. Wasilah dapat diartikan dengan amal-amal kebajikan Berkumpul dan bergandengan dengan guru mursyid secara lahir atau batin termasuk amal yang baik dan terpuji. Berkumpul dan bergabung itulah oleh kalangan ahli thareqat disebut dengan rabithah mursyid. Jika diperintah mencari wasilah, maka rabithah adalah wasilah yang terbaik diantara jenis wasilah yang lain. Firman Allah
Katakanlah : jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)

Ayat di atas menurut kalangan thareqat, isyarat kepada rabithah, sebab “mengikut” itu menghendaki melihat yang diikuti. Dan melihat yang diikuti ada kalanya melihat tubuhnya secara nyata (konkret) dan ada kalanya melihatnya secar hayal (abstrak). Melihat dalam hayal itulah yang dimaksud dengan rabithah. Jika tidak demikian, tentu tidak dapat dinamakan mengikut. Allah Swt berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. at Taubah : 119)

Asy Syekh Ubaidillah Ahrar menafsirkan kebersamaan dengan orang-orang yang benar, yang diperintahkan oleh Allah Swt dalam ayat itu terbagi dua:
· Bersama-sama jasmaniah, yaitu semajelis, sehingga kita mendapatkan keberuntungan dari orang-orang yang shiddiq.
· Bersama-sama maknawi, yaitu bersama-sama ruhaniah yang diartikan dengan rabithah.

Asy Syekh Muhammad Amin al Kurdi menyatakan wajibnya seorang murid terus-menerus me-rabithah-kan ruhaniahnya kepada ruhaniah Syekh gurunya yang mursyid, guna mendapatkan karunia dari Allah Swt. Karunia yang didapati itu bukanlah karunia dari mursyid, sebab mursyid tidak memberi bekas. Yang memberi bekas sesungguhnya hanya Allah Swt, sebab di tangan Allah Swt sajalah seluruh perbendaharaan yang ada di langit dan di bumi, dan tidak ada yang dapat berbuat untuk men-tasaruf-kannya kecuali Allah Swt. Hanya saja Allah Swt men-tasaruf-kannya itu, melalui pintu-pintu atau corong-corong yang telah ditetapkan-Nya, antara lain melalui para kekasih-Nya, para wali-wali Allah Swt yang memberikan syafaat dengan izin-Nya (Amin al Kurdi: 1994, hlm. 448).
Adapun dalil sunah tentang rabithah antara lain tertera dibawah ini
Hadits Bukhari menyatakan:
أَنَّ اَبَا بَكْرِ الصِّدِّيْق رَضِىَ الله عَنْهُ شكا لِلنَّبِىِّ عَدَمَ انْفِكاَكِهِ. عَنْهُ حَتىَّ فِى الْخَلاَءِ
Bahwa Abu Bakar as Shiddik mengadukan halnya kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak pernah lekang (terpisah ruhaninya) dari Nabi Saw sampai ke dalam WC.

Sedangkan Sayyid Bakri berpendapat antara lain berbunyi sebagai berikut
وَيُضِمُّ أَيْضَا إِلىَ ذَلِكَ اسْتِمَضَارَشَيْخِهِ الْمُرْشِدِ لِيَكُوْنَ رَفِيْقَهُ فىِ السَّيِْر إِلىَ الله تَعَالَى
Dan menyertakan pula kepada (dzikir Allah Allah) itu, akan hadirnya Gurunya yang memberi petunjuk, agar supaya menjadi teman dalam perjalan menuju kepada Allah Ta’ala. (Sayyid al Bakri dalam kitab Kifayatul atqiya, hlm. 107).

Pendapat Para Imam Tasawuf Tentang Rabithah
a. Imam Sya’rani dalam Nafahatu Adabidz Dzikri mengatakan, “Dianjurkannya kepada orang banyak supaya mereka mengamalkan adab dzikir yang 20 perkara itu. Dinyatakan adab yang ke-4: hendaklah sejak permulaan dzikir, himmah syaikhnya terus-menerus berada dalam kalbunya. Ke-5: dia menganggap bahwa limpahan dari gurunya itu pada hakikatnya adalah pancaran dari Nabi Saw karena syaikhlah merupakan wasilah murid dengan Nabi Saw. Dihayalkan rupa guru di depan matanya, inilah maksud rabithah, tidak lebih.
b. Syaikh Tajuddin an Naqsyabandi dalam Risalah-nya, menyatakan bahwa apabila seseorang telah selesai dengan urusan dunianya, maka hendaklah ia mengambil wudhuk, lalu masuk ke tempat khalwatnya. Sesudah duduk, pertama-tama dia harus menghadirkan rupa guru.
c. Syaikh Abdul Ghani an Nablusi dalam komentarnya tentang Risalah Syaikh Tajuddin an Naqsyabandi itu menyatakan bahwa itulah cara yang paling sempurna, sebab syaikh adalah merupakan pintunya ke hadirat Allah dan wasilah kepada-Nya. seperti Firman Allah dalam surat at Taubah ayat 119 di atas. Firman Allah dibawah ini menunjukkan bahwa rabithah mursyid adalah termasuk dzikir kepada Allah Swt yang maha rahman. Dzikir demikian itu mampu mengusir syetan. Bilamana orang enggan melakukan demikian, (dzikir dengan rabithah) maka Allah akan menyertakan orang tersebut dengan syetan yang selalu membelokkannya ke jalan yang lurus. Tetapi anehnya orang tersebut merasa mendapatkan petunjuk. Rasanya jauh api dengan panggang.
Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al Qur’an), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syetan-syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS. az Zukhruf : 36 – 37)

d. Syaikh Ubaidullah al Ahrar menyatakan bahwa maksud surat at Taubah ayat 119, yang artinya : Wahai orang-orang mukmin takutlah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang benar. Di sini kita diperintahkan supaya berada bersama-sama dengan orang-orang yang benar, baik dari segi rupa maupun dari segi makna.
Namun demikian, walaupun rabithah merupakan faktor terpenting dalam thareqat, kalangan ulama di luar tasawuf masih menganggapnya sebagai bid’ah bahkan divonisnya sebagai perbuatan isyrak (menyerikatkan Allah) dengan guru atau syaikh. Dan permasalahan rabithah sampai kini masih tetap belum ada titik temu. Paham Wahabisme yang dijadikan ideologi Arab Saudi (sebagai negara Islam dan pusat peradaban Islam), sangat keras menentang rabithah, bahkan tidak hanya rabithah melainkan dzikir-dzikir dalam thareqat juga dianggap sebagai bid’ah.

HAKEKAT SAKIT SEORANG WALI ALLAH


Suatu hari aku berziarah kepada Guruku. Saat itu Beliau sedang terbaring di opname dirumah sakit. Bersyukur sekali dalam kedaan darurat aku di izinkan untuk langsung bertemu Beliau. Aku masih ingat saat itu aku menangis lama melihat Guruku yang selama ini gagah dan sehat terbaring lemah di kamar rumah sakit. Aku masuk kekamar dengan pelan agar tidak mengganggu istrahat Beliau. Beliau melirik ke arahku dan berkata:
“Kapan kau datang?”
“Baru 1 jam yang lalu Guru”
Kemudian Beliau menatap langit-langit kamar seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tidak sempat keluar dari mulut Beliau. Dalam hatiku berkata, bagaimana mungkin seorang wali Allah bisa sakit, padahal segala jenis penyakit sembuh berkat doa dan syafaat Beliau. Saat aku sedang mengucapkan itu dalam hati, kemudia Beliau menoleh kepadaku dan berkata:
“Sufi Muda, rohani Gurumu itu tidak pernah sakit karena dia berasal dari Yang Maha Sehat dan akan terus mengalirkan syafaat serta terus menerus menyalurkan rahmat dan karunia Allah lewat dadanya, akan tetapi fisik Gurumu akan tunduk kepada Firman Afaqi sesuai dengan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Salah satu sifat dari Nabi adalah HARUS dia seperti manusia biasa. Kalau Nabi terkena api harus dirasakan panas seperti layaknya manusia begitu juga kalau nabi berjalan di tengah malam akan merasakan dingin. Begitu juga berlaku kepada wali-Nya, akan tunduk kepada hukum alam ini. Sifat HARUS seperti manusia itu juga salah satu cara Tuhan menyembunyikan Kekasih-Nya dari pandangan dunia ini. Junjungan kita Nabi Muhammad SAW berani dilempari kotoran unta dikarenakan orang kafir terhijab oleh hijab Insani”.

Aku hanya diam di sudut ranjang, menatap mata Guru yang amat aku sayangi dan setiap pertemuan aku dengan Guruku selalu aku rasakan hal baru yang sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata. Benar sekali apa yang dikemukan oleh para sufi bahwa bertemu dengan Guru Mursyid itu adalah satu karunia Allah yang sangat besar. Saat menatap mata Beliau seakan-akan ruhani ini terbawa melayang langsung ke Alam Rabbani. Salah satu hadab bertemu dengan Guru adalah tidak diperkenankan kita banyak berbicara dan baiknya hanya mendengar dan ketika ditanya oleh Guru haruslah menjawabnya dengan bahasa yang sopan dan dalam hati terlebih dahulu harus memperbanyak Istikhfar, memohon ampun kepada-Nya agar dalam mengucapkan kata-kata kepada Guru nanti tidak disusupi oleh nafsu dan setan.
Dalam hatiku kembali timbul pertanyaan, bukankah Guru bisa berdoa kepada Allah agar disembuhkan dari penyakit ini? Sebagai Wali Allah tentu saja Beliau bisa mendengar suara hatiku, tiba-tiba guruku berkata, “Tidak seperti itu Sufimuda….”
“Pernahkah kau mendengar kisah tentang Nabi Ayyub?”
“Pernah Guru”
“Apa yang kau ketahui tentang Nabi Ayyub?”
“Nabi Ayyub adalah nabi yang paling banyak mengalami sakit, Guru” jawabku.
Kemudian Beliau dengan senyum berkata, “Nabi Ayyub, sakit-sakitan dia, kemudian dia berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah sembuhkanlah penyakitku ini’, kemudian Allah berfirman, ‘Apa kau ucapkan Ayyub?’ nabi Ayyyub kembali mengulang do’anya: ‘tolong sembuhkanlah penyakitku ini’ dengan marah Tuhan berkata kepada Nabi Ayyub: ‘Hai Ayyub, sekali lagi kau berdo’a seperti itu aku tampar engkau nanti’ Kemudian dengan polosnya nabi Ayyub bertanya kepada Allah: ‘Ya Allah, berarti engkau senang kalau aku sakit?’ dengan tegas Allah menjawab: ‘Ya, Aku senang kau sakit’. Setelah Nabi Ayyub tahu Tuhan senang kalau dia sakit maka diapun dengan senang menjalani sakitnya itu. Setiap dia mau ambil wudhuk dia pindahkan ulat yang ada di badannya dan setelah selesai beribadah kembali diambil ulat tadi diletakkan di badannya sambil berkata kepadda ulat, ‘hai ulat, kembali kau kesini, Tuhan senang aku sakit’. Begitulah yang dialami nabi Ayyub, maka Gurumu ada persamaan seperti itu”.
Sambil minum segelas air putih kembali Beliau berkata kepadaku, “Aku sudah berjanji kepada Tuhan agar terus memuja-Nya dan berdakwah, makanya setiap aku cerita tentang Tuhan maka badanku terasa enak”.
“Sufi Muda….”
“Saya Guru…”
“Suatu saat nanti kau pasti tahu kenapa aku sakit, silahkan baca dan renungi 2 ayat terakhir dari surat at-Taubah, disana kau menemukan jawabannya. Bacalah Laqadjaakum dengan pelan dan mesra jangan seperti burung beo yang tidak pernah tahu makna dari ucapannya”.
Kemudian Beliau membacakan surat at-Taubah sambil menangis, “Laqadjaakum Rasulun min anfusikum, azizun alaihi ma anittum, harisun alaikum bil mukminina raufur rahim….”
Aku merasakan dadaku bergemuruh dan berguncang hebat mendengar ayat yang Beliau bacakan. Serasa rontok dada ini, dan seluruh tubuh berguncang hebat, aku menangis dengan sejadi-jadinya. Apalagi Beliau membacakan arti ayat tersebut, “…. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin….”
Sungguh lama aku tenggelam dalam tangisan sambil menatap wajah Guruku yang mulia. Firman Allah yang dibacakan oleh kekasih Allah sangat berbeda dengan ayat Allah yang dibacakan oleh pada umumnya orang. Benar seperti yang dikemukan oleh Para Syekh Besar bahwa apabila Wali-Nya membacakan ayat-Nya pastilah Dia hadir menyertai bacaan Kekasih-Nya.
Aku memangis menyesali diri yang selama ini hanya menjadi beban Guru, hanya bisa meminta tapi belum bisa memberi, hanya bisa membebani belum bisa berbhakti, hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau peduli, hanya mengharapkan kasih sayang tanpa mau menyayangi.
“Sufi Muda….”
“Saya Guru…”
“Jangan pernah engkau patah semangat kalau melihat Gurumu seperti ini, seluruh dokter di dunia ini tidak akan bisa menyembuhkan sakitku ini. Tuhan ingin menunjukkan kebesaran-Nya. Dan Tuhan sekarang sedang bekerja ke arah sana. Yang kau lihat keramat dan gagah dalam nyata dan mimpimu itu bukanlah aku, tapi itu adalah pancarahan dari Nur Ilahi. Aku hanyalah seorang hamba yang tiada berdaya. Muridku….yang Hebat itu Tuhan saja”
Kemudian Beliau membacakan surat Al-Mujaadilah ayat 21: “Kataballahu La Aghlibanna anaa wa rusulii, innallahaa qawiyum ‘azii zun (Allah telah menetapkan, bahwa tiada kamus kalah bagi Ku dan rasul-rasul-Ku. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Gagah”.
Ketika aku berpamitan sambil mencium tangannya
Barulah aku tahu bahwa sakit seorang Wali itu bukan sakit biasa akan tetapi sakit karunia. Sakit menanggung beban dari orang-orang yang selalu bersamanya bahkan beban dunia ini. Seminggu kemudian Beliau sembuh, sehat wal afiat bahkan lebih sehat seperti sebelumnya. Terimakasih Tuhan atas berkenannya Engkau mengabulkan do’aku sehingga Guruku sehat kembali.
Ya Tuhan,
Berilah panjang umur dan kesehatan kepada Guruku agar beliau lebih lama lagi membimbing dan menuntun aku yang bodoh dan dungu ini ke jalan-Mu yang Maha lurus.
Ya Tuhan,
Andai masih ada karunia berupa kesenangan dunia yang kelak akan Engkau berikan sepanjang hidupku, berikanlah kesenangan itu kepada Guruku agar Beliau selalu bahagia dan sejahtera.
Ya Tuhan,
Jadikanlah aku orang yang selalu bisa merasakan apa yang dirasakan Guruku, senyumnya menjadi senyumku, deritanya menjadi deritaku, kepedihannya menjadi kepedihanku agar aku bisa mengerti makna dan tujuan hidup di dunia ini.
Ya Tuhan,
Jangan engkau memasukkan aku kedalam orang-orang yang merasa dekat kepada kekasih-Mu yang tanpa sadar justru lebih banyak menyakiti hatinya. Janganlah aku menyayangi kekasih-Mu seperti sayangnya anak kecil kepada seekor kuncing yang terus menerus didekap dalam pelukannya sehingga kucing itu sulit bernafas dan akhirnya mati. Jadikanlah rasa sayangku kepada Guruku sebagaimana Ia ingin disayang.
Ya Tuhan,
Ajari aku yang bodoh, lemah dan tiada berdaya ini untuk bisa mencintai kekasih-Mu sebagaimana ia ingin dicintai.
Ya Tuhan,
Izinkanlah aku bisa terus bersama kekasih-Mu dan bisa melayaninya dengan baik.
Ya Tuhan
Perkenankanlah doaku ini….