Laman

Selasa, 10 Maret 2015

Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani


Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Hal ini,
seperti yang dikatakan Ibnu Arabi, manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan madzaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman, "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (QS Al-Hijr: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakikatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).
Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali membagi jiwa pada; jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, dzatnya dan penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS Ar-Ra'd: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS Al-Qiyamah: 2)
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhai, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS Al-Fajr: 27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaan-Nya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS Asy-Syams: 7-8). Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.
Akal
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi—akal perolehan (akal mustafad)—ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (surga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut Al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan.
Hati Sukma (Qalb)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS Al-A'raaf: 179)
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakikat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat—suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah. Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dzulmani—hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dzulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS Asy-Syams: 8-9)
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah SWT.
Bagi para sufi, kata Al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadah, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dzulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dzulmani.

Mengutamakan Kepentingan Orang Lain Daripada Dirinya


Asy-Sya’rani
Di antara adab seorang murid hendaknya selalu mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan kesenangan nafsu. Para guru sufi telah sepakat, bahwa seorang murid apabila ia lebih suka mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri dan sanggup menerima kenyataan pahit akibat disakiti orang lain atau apa saja, tentu tingkatan spiritualnya akan lebih cepat naik daripada saudara-saudaranya, baik di dunia maupun di akhirat maupun kedua-duanya.
Tuan Guru Ali bin Wafa berkata: “Seseorang tidak akan bisa mulia di atas saudara-saudaranya kecuali bila ia sanggup mengutamakan mereka daripada dirinya sendiri, dan tidak mengikuti mereka dalam hal-hal yang mereka menganggapnya baik.” Ia juga pernah mengatakan: “Seorang murid juga tidak boleh terpengaruh dengan sesuatu (dunia) yang tidak didapatkan atau yang telah hilang. Dan bila ia masih terpengaruh sekalipun hanya serambut ketika ada pencuri masuk ke dalam rumah misalnya, kemudian menguras seluruh isi rumah, maka ia bohong masuk dalam tarekat. Sebab orang yang benar di dalam tarekat akan tetap lega dan lapang dada ketika ada sesuatu yang hilang atau tidak mendapatkan dunia, apalagi sampai terpengaruh.” — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Dan diantara adab seorang murid hendaknya menghindari semua orang yang ia lihat tidak melakukan amalan yang sama dengan amalannya dan tidak sesuai dengan ilmunya, agar watak dasarnya tidak mencuri dari apa yang biasa dilakukan orang tersebut. Sebab teman jelek akan lebih berbahaya daripada iblis, karena iblis ketika akan menggoda orang mukmin, maka si mukmin tahu, bahwa ia adalah musuh yang menyesatkan.
Apabila ia akan menuruti apa yang menjadi bisikan iblis, ia sadar dan tahu bahwa ia telah bermaksiat kepada Tuhannya Azza wa Jalla. Akhirnya ia segera bertobat dan dosa yang ia lakukan dan memperbanyak istighfar.
Sementara teman jelek tidak demikian, sebab ia akan mengelabui kebenaran dengan kebatilan kepada orang yang menuruti tujuan dan kesenangannya, dan hampir ia tidak akan pernah merasa bersalah atas dosa yang ia lakukan. Barangkali teman jahat akan berargumentasi dengan qadha’ dan qadar (ketentuan dari Allah) dan akan berdebat dengan argumentasi yang tidak benar. Maka barangsiapa berteman dengan orang seperti ini, ia akan sesat usahanya. Kaum sufi mengatakan, “Enam puluh kali tipu daya setan tidak akan sedahsyat apa yang dirusak oleh teman jahat dalam sekejap.”
Wahai saudaraku, maka jadilah anda orang yang cerdik dan paham, jangan berteman kecuali dengan orang yang anda lihat ia telah berbuat dan mengamalkan ilmunya. Hati-hatilah terhadap tipu daya kaum fakir sufi yang tidak bisa menjaga hal itu.
Tuan Guru Ibrahim al-Matbuli, apabila ada seorang murid hendak keluar dari pemondokan menuju ke jami’ al-Azhar untuk mencari ilmu maka ia akan berpesan kepada Si murid tersebut, “Apabila anda mau masuk ke al-Azhar maka tanyakan siapa ulamanya. Ulama yang semua orang memujinya sebagai orang yang wara’, zuhud, dan tidak banyak mondar-mandir ke para pembesar (penguasa) maka silakan anda belajar kepadanya. Jauhilah untuk belajar kepada orang yang tidak bisa menjaga hal-hal yang syubhat terutama yang haram dalam makanan maupun pakaiannya, sesungguhnya anda akan terus jadi seperti dia. Apabila anda belajar ilmu maka carilah jalan untuk mengamalkannya di tangan kaum sufi, sebab merekalah yang bisa memberikan jalan yang paling efektif. Dan apabila setelah itu ada orang ahli fikih bertanya kepada anda, ‘Apa yang anda dapatkan setelah anda bersahabat dengan kaum sufi?’ Maka jawablah, ‘Saya mendapatkan dan mereka bisa mengamalkan ilmu yang aku pelajari dari anda dengan lebih baik’.”

Kisah Menarik Asy-Syibli


Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Aku pernah mendengar Abu Abdillah bin Jabar berkata: Aku pernah mendatangi asy-Syibli di musim krisis pangan. Aku mengucapkansalam padanya. tatkala aku akan keluar dari rumahnya, ia mengantarku dan juga orang-orang yang bersamaku sembari mengataka, “Berangkatlah, aku akan selalu bersama kalian di manapun kalian berada, kalian berada dalam pemeliharaan dan tanggunganku.”
Aku katakan, bahwa dengan ucapan itu ia bermaksud, bahwa Allah Swt akan selalu bersama kalian di manapun kalian berada. Dia akan menanggung dan memelihara kalian. Kalian berada dalam pemeliharaan dan tanggungan-Nya.
Makna ucapan itu adalah, bahwa saat Ia mengatakan, ia melihat dirinya telah terhapus dengan tauhid murni dan hakikat penauhidan (tafrid) yang teIah menguasai hatinya. Seseorang yang sedang wajd maka tatkaIa ia mengatakan, “Aku” itu berusaha mengungkapkan wajd yang sedang ia alami dan menerjemahkan tentang kondisi spiritual yang sedang menguasai rahasia hatinya. Apabila Ia mengatakan, “Aku” maka Ia memberi isyarat pada hakikat sifat musyahadah-nya dan kedekatan dengan Tuannya yang sedang menguasai hatinya.
Aku juga pernah mendengar al-Hushri —rahimahullah— yang mengisahkan tentang asy-Syibli — rahimahullah— dimana ia pernah berkata, “Jika kehinaan diriku dibandingkan dengan kehinaan kaum Yahudi dan Nasrani maka kehinaanku akan Iebih hina daripada kehinaan mereka.”
Jika ada orang bcrtanya. “Kisah yang mana dari kisah-kisah tersebut yang tepat? Maka jawablah. “Kedua kisah itu benar. Hanya saja kondisi waktulah yang berbeda. Satunya berada dalam kejernihan musyahadah, sehingga ia mengungkapkan tentang wajd dan hakikatnya secara ikhlas yang benar-benar bersih dan kemurnian tauhid. Sedangkan yang satu berada dalam waktu yang dikembalikan pada sifatnya sendiri, ketidakmampuan manusia dan kerendahan anak cucu Adam, sehingga Ia berbicara sesuai dengan apa yang ditemukan dalam dirinya.
Sebagamana yang pernah dikatakan oleh Yahya bin Muadz ar-Razi: “Seorang arif jika mengingat Tuhannya maka akan berbangga. Tapi ketika ia mengingat dirinya maka ia akan merasa butuh dan hina.” Makna dari apa yang dikatakan ar-Razi ini terdapat dalam ilmu syariat.
Nabi bersabda: “Aku memiliki waktu bersama Allah yang tak ada sesuatu pun cukup bagiku selain Allah Azza wa Jalla. Dan aku adalah tuan anak cucu Adam. Ini bukanlah, kesombongan.”
Juga diwahyukan: “Janganlah kalian mengutamakan aku lebih dari Yunus bin Mata. Aku hanyalah anak seorang perempuan yang makan dendeng.” (H.r. Bukhari-MusIim dari Abu Hurairah dan Abu Dawud dari Ibnu Abbas).
Coba Anda perhatikan! Banyak antara dua Hadis yang bersebrangan dalam waktu dan kondisi yang berbeda! Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Dan kisah yang serupa dengan ini adalah apa yang dikisahkan dari asy-Syibli —rahimahullah— dimana ia pernah mengambil potongan roti dari tangan seseorang lalu ia makan. Kemudian ia berkata, “Sesungguhnya diri (nafsu)ku ini menuntut dariku sepotong roti, dan andaikata rahasia hatiku mau memperhatikan pada ‘Arasy dan Kursi pasti ia akan terbakar.” Ketika ia menuturkan rahasia hatinya memperhatikan ‘Arasy dan Kursi. Ia bermaksud bahwa dalam rahasia hatinya ia temukan pengaruh al-Wahdaniyyah dan al-Qidam. Sebab ‘Arasy dan Kursi adalah makhluk yang sebelumnya tidak ada kemudian diciptakan dan menjadi ada.
Dikisahkan dari asy-Syibli —rahimahullah— bahwa ia pernah ditanya tentang Abu Yazid al-Bisthami dan cerita yang dikisahkan dari Abu Yazid — sebagaimana yang telah kami sebutkan di muka — ditunjukkan kepadanya. Maka asy-Syibli berkata, “Andaikata Abu Yazid —rahimahullah— berada di sini, ia akan menyerah di tangan sebagian anak-anak kecil kami.” Kemudian ia berkata, “Andaikata ada orang yang paham dengan apa yang aku katakan, maka akan aku kencangkan ikat pinggangku.”
Aku katakana, bahwa ia telah mengisyaratkan apa yang pernah dikatakan al-Junaid, “Bahwa Abu Yazid —rahimahullah— dengan segala keagungan kondisi spiritual dan tinggi isyaratnya ia belum bisa keluar dari kondisi spiritual tingkat pemula. Aku juga tidak pernah mendengar satu kali ini pun yang menunjukkan bahwa ia sudaah sampai pada puncak kesempurnaan.”
Maknanya, bahwa orang-orang khusus yang bergelut dalam bidang ilmu ini, mereka seakan melihat bahwa masing-masing pendakian ruhani yang mereka capai adalah yang tertiniggi. Dan ini adalah kecemburuan al-Haq terhadap mereka, sehingga tak ada lagi di antara mereka cenderung kepada yang lain.
Tidaklah Anda perhatikan, bahwa Abu Yazid berbicara dengan bahasa dan ungkapan yang tidak mampu ditangkap oleh orang-orang sezaman dengannya.
Kemudian al-Junaid mengatakan. “Bahwa ia belum bisa keluar dari kondisi spiritual tingkat pemula. Dan aku juga tidak pernah mendengar satu kalimat pun yang menujukkan bahwa ia teelah sampai pada puncak kesempurnaan.”
Kemudian asy-Syibli mengatakan, “Andaikata Abu Yazid —rahimahullah— berada di sini, ia akan menyerah di tangan sehagian anak-anak kecil kami.” Yakni, ia akan mengambil pelajaran dari murid-murid yang ada pada zaman kami.
Dikisahkan dari sebagian Syekh yang pernah mengatakan, “Aku pernah tinggal bersama asy-Syibli selama dua puluh tahun. Dan aku tak pernah mendengarnya berbicara tentang tauhid. Ia selalu berbicara mengenai ahwal dan maqamat.”
Semua ini hanya sebagian kecil dari keagungan isyarat mereka dalam hakikat. Sebab hakikat tauhid tidak punya batas dan ujung. Dan masing-masing dari mereka telah tenggelam dalam lautan yang tak mungkin bisa dijelaskan batas dan tepinya dan tidak mungkin diketahui ujungnya. Sebagaimana difirmankan Allah: “Inilah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah memiliki karunia yang besar.” (Qs. al-Hadid: 21).

Syekh Maulana Malik Ibrahim


Jauh sebelum Maulana Ibrahim datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di Desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriah atau pada tahun 1082 M. Jadi, sebelum jaman Wali Songo, islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leran. Tetapi islam pada masa itu belum berkembang secara besar-besaran.
Maulana Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk setempat sebagai kakek Bantal itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419 M.
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagai rakyat Gresik sudah ada yang beragama islam akan tetapi masih banyak yang beragama Hindu. Bahkan ada yang tidak beragama sama-sekali.
Dalam dakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al Qur'an yaitu:
"Hendaknya engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125)
Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara di Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan penduduk nya beragama Hindu.
Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman orang-orang islam bercampur dengan kegiatan musyrik. Caranya, beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad Saw.
Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si kakek Bantal, penolong fakir miskin yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Keterangan yang tertulis di makamnya ialah sebagai berikut kuburan itu. "Inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para pangeran, sendi para sultan, dan menteri, penolong fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan Rahmat-Nya dengan keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga.
Telah wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 H."
Menurut literatur yang ada, belau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifat lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang,baik sesama muslim atau dengan nonmuslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepriabadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.
Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan islam secara ruwet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberi Rezeki, yaitu Allah Swt.
Di kalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta: kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang di dalam islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibbrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia memiliki derajat yang sama. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling taqwa kepadaNya.
Taqwa itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerakan hidup manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak, orang yang bertaqwa, sekalipun dia kasta Sudra bisa jadi lebih mulia dari pada mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana.
Mendengar keterangan itu, mereka yang bersalal dari kasta Sudra dan Waisy merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan hak nya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita.
Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain.
Dan untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara. Maka, beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik dan mengembleng para santri sebagai calon mubaligh.
Pendirian pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan masyarakat hindu yaitu para Bikhu dan pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Ini salah satu strategi para Wali yang cukup jitu: orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk pesantren yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring umat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan dari Pesantren Gresik, kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi pesantren tersebut berlangsung hingga jaman sekarang. Di mana para Ulama menggodog calon mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau, maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.
Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles, pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya; "Apakah yang dinamakan Allah itu?"
Beliau tidak menjawab Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala surga hambaNya yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya. Jawabannya cukup singkat dan jelas yaitu, "Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya."
Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama islam, melainkan juga memberikan pengarahan, agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengaliri lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang. Sebagaimana sabda Nabi bahwa kefakiran menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. inilah resep yang harus ditiru.
.
Tamu Dari Negeri Carmain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah sebagian dari wilayah Majapahit. kalau seluruh rakyat sudah memeluk islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.
Untuk menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama islam.
Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak prabu Brawijaya masuk agama islam. Pada tahun 1321 M Raja Cermain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama islam.
Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan negeri Carmain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak karena tidak ada gunanya masuk islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragama seperti itu hanya akan merusak keagungan agama islam.
Rombongan dari Negeri Carmain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu perbaikan kapal untuk berlayar pulang.
Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran banyak anggota rombongan dari Negeri Carmain yang diserang wabah penyakit. Banyak di antara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.
Kabar kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi sari kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke desa Leran. Brawijaya sang raja Majapahit itu memerintahkan kepada para punggawa kerajaan untuk mengali kubur dan memakamkan Dewi sari dengan upacara kebesaran. Di desa Leran itu Dewi Sri dikuburkan.
Setelah rombongan dari Negeri Carmain meniggalkan pantai Laren maka Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri di bawah kedaulatan Majapahit.
Penyerahan daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama islam itu tidak memberontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.
Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan suka rela. Sesuai dengan ajaran islam yang meganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang bukan muslim yang mau hidup berdampingan dengan aman dalam satu negara.
Demikian sekilas tenang Syekah Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap sebagai ayah dari Wali Songo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.

Perjumpaan Asy-Syibly dan Imam Junaid Al-baghdadi


Rasa cinta di dalam diri adalah sebuah anugerah yang di berikan sang kholiq kepada hambanya. Cinta kepada anak,istri,harta benda dan pangkat adalah sebuah keindahan yang ada di dunia ini, apabila manusia bisa meletakkan perhiasan-perhiasan [dunia seisinya] tepat pada porsinya maka semua perhiasan itu akan memberi cahaya bagi kehidupan. Sebaliknya bila penempatannya bukan pada porsinya, maka semua perhiasan itu sewaktu-waktu membawa bencana dan kehancuran.
Fiman-NYA : “ Dijadikan indah pada [pandangan] manusia KECINTAAN kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,perak,kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah semua PERHIASAN DUNIA, dan di sisi Allah-lah tempat kembali terbaik.” [ QS.Ali imran [3] : 14 ].
Dalam meletakkan cinta diperlukan kecerdasan ruhani, mereka yang memiliki kecerdasan ruhani memiliki prinsip yang menampilkan sosok dirinya sebagai insan yang berakhlaq, mereka tahu bagaimana meletakkan cinta. Para ahli TASAWUF yaitu ahli sufi [Arif-Billah] berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah dengan lugas mengatakan, “ Mencintai pemilik dan pemberi hiasan jauh lebih mulia dan jauh lebih berharga dibanding mencintai sekedar hiasan saja “. Ungkapan tersebut berlandaskan Firman Allah Swt :
قل متا ع الد نيا قليل والا خرة خير لمن اتقى ولا تظممو ن فتيلا انساء
“ Katakanlah olehmu [Hai Muhammad] : Hiasan dunia ini hanya sebentar [terlalu sedikit] dan [perhiasan Akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa “. [qs.An-Nisa’ [4] : 77 ]
Alkisah,seorang sufi dari PERSIA yang bernama Abu bakar bin Dulaf ibnu juhdar Asy-Syibly. Nama asy-syibli di nisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Beliau di lahirkan pada Tahun 247 H. Di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. karena kepandaian dan kedalaman ilmunya membuat karirnya menanjak pesat, ia menduduki beberapa jabatan
Penting selama bertahun – tahun. Antara lain : menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermaven. Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu bakar Asy-Syibly di lantik oleh Kholifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, ditengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk –batuk seraya mengusapkan jubah baru itu kehidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Kholifah. Dan Kholifahpun memecat langsung dan menghukumnya. Asy-Syibly pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa di berhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Kholifah dan berkata :
“ Wahai Kholifah, Engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan di perlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. Sang MahaRaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di samping CINTA dan PENGETAHUAN. Bagaimana DIA akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia ? “.
Sejak saat itu Abu bakar asy syibly meninggalkan karir dan jabatannya, dan ia ingin bertaubat. Dalam perjalan membersihkan hatinya ia bertemu dengan seorang ulama sufi yang bernama Junaid Al Baghdadi,
asy syibly berkata : “ ENGKAU DIKATAKAN SEBAGAI PENJUAL MUTIARA, MAKA BERILAH AKU SATU ATAU JUALLAH KEPADAKU SEBUTIR “.
Maka Junaid Al Baghdadi pu menjawab, “ JIKA KUJUAL KEPADAMU, ENGKAU TIDAK SANGGUP MEMBELINYA. JIKA KUBERIKAN KEPADAMU SECARA CUMA-CUMA, KARENA BEGITU MUDAH MENDAPATKANNYA ENGKAU TIDAK MENYADARI BETAPA TINGGI NILAINYA. LAKUKANLAH APA YANG AKU LAKUKAN, BENAMKANLAH DULU KEPALAMU DI LAUTAN, APABILA ENGKAU DAPAT MENUNGGU DENGAN SABAR, NISCAYA KAMU AKAN MENDAPAT MUTIARAMU SENDIRI. “
Lalu Asy-syibli berkata, “ lalu apa yang harus kulakukan sekarang ? ” ,
Imam Junaid Berkata : hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun [ untuk mengetahui nilai diri ] dan Mengemislah lalu sedekahkan uangnya selama setahun [ untuk membersihkan keangkuhan diri ] .“
Beberapa tahun telah berlalu dalam menjalani perintah sang Guru meskipun penuh dengan beribu-ribu kesulitan tapi ia jalani dengan penuh cinta [ikhlash] . akhirnya abu bakar asy-syibli menemukan mutiara di dalam dirinya. sehingga ia mengalami RASA CINTA yang teramat dalam di lubuk hatinya [ rindu kepada Allah ]. Suatu ketika disaksikan banyak orang, beliau berlari sambil membawa obor. Hendak kemana engkau wahai asy-syibli? , aku hendak membakar ka’bah, sehingga orang-orang dapat mengabdi kepada yang memiliki ka’bah dan akan aku BAKAR SURGA DAN NERAKA,sehingga manusia benar-benar ibadah hanya kepada Allah Swt [bukan yang lain-NYA]. Dalam keadaan MABUK CINTA yang dalam kepada Allah, ia selalu menyebut asma Alaah dan disetiap tempat yang ia temui, ia menuliskan lafadz Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata kepadanya,” Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan pencari sejati, carilah pemiliknya! “
Kata-kata itu begitu menyentak Asy-sybly, sehingga tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya RASA CINTA yang menguasainya hingga ia menceburkan dirinya ke sungai Tigris dan akhirnya gelombang sungai membawanya kembali ketepi. Kemudian ia menghempaskan tubuhnya kedalam api, namun api tersebut kehilangan daya untuk membakar. Sehingga tubuhnya utuh tak terbakar sedikitpun. Lalu ia mencari tempat dimana sekelompok singa berkumpul lalu ia berdiam diri supaya dimangsa oleh singa tersebut, tapi singa-singa itu malah berlari tunggang langgang menjahui dirinya. Kemudian tanpa ada rasa takut sedikitpun ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkeram dan menurunkannya ketanah dengan selamat. Kegelisahannya semakain memuncak beribu-ribu kali lipat, sehingga ia berteriak,” terkutuklahia, yang tidak di terima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pegunungan! “ lalu terdengar sebuah suara. “ Ia yang diterima oleh Allah, tidak di terima oleh yang lain [makhluk-NYA].
Syeikh Al-ghozali menuliskan dalam kitabnya “ Raudhah al-Tholibin wa Umdah al-Salikin “ bahwa Al – Wushul adalh tersibaknya keindahan Al Haq kepada hamba,sehingga membuatnya luruh di dalamNYA. Jika dia melihat pengetahuan yang di milikinya, yang tampak hanyalah Allah swt, dan dia melihat ‘Himmah’ [keinginan kuat]nya,tidak ada Himmah selainNYA. Maka secara totalitas dia sibuk dengan kesaksian [ al-Musyahadah] dan keinginan kuat [Himmah]. Dan sama sekali tidak pernah berpaling dari keduanya, sampai-sampai dia tidak memiliki kesempatan untuk membenahi lahiriyahnya dalam bentuk-bentuk ibadah atau tidak sempat melihat batinnya. Baginya segala sesuatu yang di kerjakannya tampak suci. Sebagian kaum sufi mengatakan :
وان طر فى موصول برء يته وان تبا عد عن مثواى مثوا ه
“ Sesungguhnya batas akhirku adalah dengan melihatNYA,sekalipun aksis [posisi]-NYA kian lama kian jauh dari aksis-ku.
Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an, firmanNYA :
قل ان كنتم تحبو ن الله فاتبعو نى يحببكم الله ويغفرلكم د نو بكم والله غفو ررحيم العمران
“ Katakanlah: “ jika kamu[benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku. niscayaAllah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” [ qs.Ali imran [3] : 31 ].
Imam Qusyairi mengatakan bahwa Mahabbah [cinta] adalah nikmat yang berupa kecintaan Allah kepada hambaNYA yang DIA kehendaki secara khusus. Apabila nikmat tersebut untuk semua hambaNYA secara umum maka di namakan rahmat.
GAMBARAN CINTA AHLI MAHABBAH
Raja Andalusia, Al-Hikam bin Hisyam bin Abdurrahman Ad-Dakhil, bersyair : karena cinta……. Ia menjadi hamba, padahal sebelumnya ia adalah raja. Kegirangan istana tiada lagi menyertai. Ia dipuncak gunung menyendiri sendiri pipi tertempel di tanah berdebu. Seakan bantal-bantal sutra untuk bertumpu. Begitulah kehinaan menimpa orang merdeka. Jika cinta melanda, ia laksana hamba sahaya.
Junaid al-baghdadi, mengartikan kata yang bernilai sufistik ini dengan masuknya sifat-sifat Zat yang di cintai mengganti apa yang ada di dalam jiwa sang pencinta, mendorong seorang pencinta untuk tidak mengingat selain Zat tersebut serta melupakan dan mencampakkan secara total sifat-sifat yang dulunya melekat pada dirinya.
Ibnu Arabi dalam puisi-puisi pemandu rindu mengisahkan manakala jiwa berpisah dengan raga, ia selalu bernostalgia dan rindu pada perpaduan itu, meskipun pada hakekatnya mereka berdua, namun tampak sebagai satu pribadi. Kerinduan itu tidak lain karena jiwa memperoleh pengetahuan dan apa saja yang ada dalam kehidupan melalui raga. Namun,karena sifat jiwa yang halus,lembut dan bersifat cahaya, maka tidak dapat di lihat oleh mata. Bila tidak karena rintihan raga, maka takkan pernah terasa kesaksian jiwa. Inilah gambaran jiwa ataupun keadaan hati.
Syeikh Ibnu Atho’illah bermunajat, “ Ya illahi, alam benda ini telah mendorong aku untuk pergi kepada-MU dan pengetahuanku terhadap kemurahan-MU itulah yang memberhentikan aku untuk berdiri di depan pintu-MU.
Rabi’ah al-adawiyah seorang sufi dari Bashrah ketika berziarah kemakam Rosulullah saw pernah mengatakan Maafkan aku ya Rosul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang
Lain,karena telah penuh cintaku hanya kepada Allah swt .“ tentang cinta itu sendiri Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal yang di cintainya [ bukan berarti Rabi’ah tidak cinta kepada Rosul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalh bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasulullah ].
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Saiyidina Husain [cucu Rosulullah saw] bertanya kepada ayahnya [saiyidina Ali], “ apakah engkau mencintai Allah ? Ali menjawab, “ ya”. Lalu Husain bertanya lagi, “apakah engkau mencintai kakek dari ibu?” Ali menjawab kembali,”ya”. Husain bertanya lagi, “ apakah engakau mencintai aku dan ibuku? Ali menjawab “ya”. Terakhir, Husain yang polos itu bertanya,” Ayahku,bagaimana Engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” kemudian saiyidina Ali menjelaskan,”Anakku, pertanyaanmu hebat sekali! Cintaku pada kakek dari ibumu, ibumu dan kamu sendiri adalah karena cinta kepada Allah swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya Husain jadi tersenyum ngerti.
Rumusan cinta Rabi’ah termaktub dalam do’anya, “ Ya Allah, jika aku menyembah-MU karena takut neraka maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahmu berharap surga, maka campakkanlah aku dari sana, tapi jika aku menyembah- MU karena Engkau semata, maka janganlah Engkau sembunyikan keindahan-MU yang abadi. “ dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman :
ومن الناس من يتخد من دو ن الله اندادا تحبو نهم كحب الله والدين امنو اشد حبا الله البقراه
“ Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah swt.[ hatinya tertutup untuk mencintai selain-NYA].” [qs. Al baqarah [2] : 165 ]
Demikianlah sekelumit sejarah para pecinta Allah swt yang perjalanannya begitu menyayat jiwa, penuh onak dan duri dalam setiap langkahnya tapi tidak menyurutkan keinginan besarnya untuk bertemu dengan-NYA. para KEKASIH ALLAH SWT jiwanya terjaga dari hal-hal yang dapat menyeret keimanannya, dengan ilmu pengetahuannya yang merasuk di dalam dada mengkristal bagaikan batu karang. Para KEKASIH Allah musuhnya tak terkira banyaknya dan sahabatnya hanya sedikit. Itulah SUNNATULLAH.
Cepat susul barisan mereka mumpung masih ada kesempatan, renungkanlah firman Allah swt di bawah ini :
قل ان كا ن ابااؤ كم وابنا ؤكم واخوا نكم وازوا جكم وعشيرتكم واموال اقتر فتموها وتجا رة تخشون كسا دها ومسكن ترضونها احب اليكم من الله ورسوله وجها د فى سبيله فتربصوا حتى ياء تي الله بامره والله لا يهدى القوم الفسقين اتوبه
“ katakanlah : jika bapak –bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan RosulNYA dari jihad di jalan NYA [ mencari keridhoan-NYA]. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNYA. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. “ [ qs. At-Taubah [9] : 24 ].
“ katakanlah : “ jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,saudara-saudaramu ,istri-istri kaum keluargamu , harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kuwatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rosul-NYA dari jihad di jalan-NYA [mencari keridhoan-NYA]. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-NYA. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. “ [qs. At-Taubah [9] : 24].

Kesempurnaan Konsep Takhalli, Tahalli dan Tajalli


Kesempurnaan Konsep Takhalli, Tahalli dan Tajalli Tasawuf adalah salah satu diantara khazanah tradisi dan warisan keilmuan islam yang sangat berharga. Tasawuuf merupakan konsepsi pengetahuan yang menekankan spiritualitas sebagai metode tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa Rosulullah saw.
Pada awalnya tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan perkataan Rosulullah saw yang sarat dengan dimensi sepiritualitas dan ketuhanan. Tasawuf tidak bisa di ketahui melalui metode-metode logis atau rasional. Pada zaman modern ini, tasawuf semakin menarik minat umat islam untuk mengamalkan ajaran tasawuf. Terutama ketika kemajuan zaman telah berdampak terhadap kekeringan jiwa manusia.
Adapun beberapa cara untuk merealisaikan dalam bertasawuf diantaranya : Takhalli (pengkosongan diri terhadap sifat-safat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan Tajalli (tersingkapnya tabir). Lebih jelasnya simak dalam pembasan dibawah ini .
A. TAKHALLI
Tkhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT.
Takhalli berarti mengkosongkan atau memersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat lahir dan batin. Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan tidak seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang begitu tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir Adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin dalam hal ini adalah hati, sehingga tidak mudah menerima pancaran nur Illahi, dan tersingkaplah tabir (hijab) , yang membatasi dirinya dengan tuhan, dengan jalan sebagai berikut :
a. Menghayati segala bentuk ibadah, sehingga pelaksananya tidak sekedar apa yang terlihat secara lahiriyyah, namun lebih dari itu, memahami makna hakikinya.
b. Riyadhoh (latiahan) dan mujahadah (perjuangan) yakni berjuang dan berlatih membersihkan diri dari kekangan hawa nafsu, dan mengendalikan serta tidak menuruti keinginan hawa nafsuny tersebut. Menurut Al-Ghozali, riyadoh dan mujahadah itu adalah latihan dan kesungguhan dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (shahwat) yang negativ dengan mengganti sifat yang positive.
c. Mencari waktu yang tepat untuk mengubah sifat buruk dan mempunyai daya tangkal terhadap kebiasaan buruk dan menggantikanya dengan kebiasaannya yang baik.
d. Mukhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya meninggalkn sifat-sifat yang jelek itu. Memohon pertolongan Allah dari godaan syaitan.
Jika dihubungkan pemikiran dan metode KH.Ahmad Rifa'i dengan konsep tasawuf masuk dalam kategori metode tahalli yaitu mengisi diri dari sifat-sifat yang terpuji. (mahmudah). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mustafa Zahri bahwa metode dan fase-fase yang harus dilalui untuk mencapai pengisian diri menuju jiwa yang sehat yaitu melalui takhalli ( membersihkan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji), dan tajalli (memperoleh kenyataan Tuhan) Penegasan Mustafa Zahri didukung pula oleh Amin Syukur yang menyatakan dalam tasawuf lewat amalan dan latihan kerohanian yang beratlah, maka hawa nafsu manusia akan dapat dikuasai sepenuhnya. Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang takhalli, tahalli dan tajalli.
Sejalan dengan itu Hanna Djumhanna Bastaman mengemukakan empat pola wawasan kesehatan mental dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut: pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis, kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri, ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi, keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian , Pemikiran Ahmad Rifa’i di atas masuk dalam kategori takhalli. Dengan demikian tampaklah bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit. Maka dari itu kita harus selalu berusaha menjauhkan atau mengkosongkan diri dari sifat-sifat kemkasiatan , sifat itu diantaranya :
1. Hubb al Dunya (Mencintai Dunia)
Hubb al-dunya adalah cinta pada dunia, sedangkan secara istilah adalah cinta pada dunia yang dianggap mulia dan tidak melihat pada akhirat yang nantinya akan sia-sia, Perilaku ini dianggap Ahmad Rifa’i sebagai suatu perbuatan yang tercela karena memandang dunia lebih mulia dibanding akhirat. Ia menekankan celaan terhadap dunia yang dapat membawa orang lupa akan akhirat. Dengan batasan ini maka ia masih memberikan peluang untuk menyisihkan pada dunia selama tidak menjadikan orang lupa akan akhirat.
2. Tamak
Pengertian tamak menurut Ahmad Rifa’i adalah hati yang rakus terhadap dunia sehingga tidak memperhitungkan halal dan haram yang mengakibatkan adanya dosa besar. Meskipun sifat ini dikemukakan dalam rangka takhalli, namun sebenarnya mengandung ajakan untuk menciptakan isolasi dengan kebudayaan kota sebagaimana ditampilkan oleh kekuasaan dan pejabat pribumi yang mengabdi untuk kepentingan pemerintah. Dalam kitabnya yang sarat dengan kritik yang ditujukan kepada masyarakat pribumi yang selalu mengabdikan pada pemerintah kolonial pada saat itu. Yang disebut itba al- hawa’ menurut Ahmad Rifa’i adalah menuruti hawa nafsu, sedangkan secara istilah adalah orang yang hatinya selalu mengikuti perbuatan buruk yang telah diharamkan oleh syariat. Pengertian tersebut dikemukakan dalam konteks mencela orang kafir di satu pihak dan orang munafik di satu pihak.
3. Ujub
Ujub artinya mengherankan dalam batin.Adapun makna istilah penjelasannya Yaitu memastikan kesentosaan badan Dari siksa akhirat keselamatannya. Secara bahasa ‘ujub adalah mengherankan dalam hati/batin. Sedangkan makna secara istilah adalah memastikan kesentosaan badan dari keselamatan siksa akhirat. Menurutnya ‘ujub yang sebenarnya adalah membanggakan diri atas hasil yang telah dicapai di dalam hatinya dan dengan angan-angan merasa telah sempurna baik dari segi ilmu maupun amalnya dan ketika ada seseorang tahu tentang ilmu dan amalnya maka ia tidak akan mengembalikan semua itu pada yang kuasa yakni telah memberikan nikmat tersebut, maka ia telah benar dikatakan’ujub.
5. Riya’
Yang dimaksud riya’ menurut Ahmad Rifa’i adalah memperlihatkan atas kebaikannya kepada manusia biasa. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ibadah dengan sengaja dalam hatinya yang bertujuan karena manusia (dunia) dan tidak beribadah semata-mata tertuju karena Allah. Dengan pengertian seperti ini beliau membatasi riya’ sebagai penyimpangan niat ibadah selain Allah.
6. Takabur
Pengertian takabur menurut Ahmad Rifa’i adalah sombong merasa tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan kebaikan atas dirinya dalam sifat-sifat baik atau keluhuran yang disebabkan karena banyaknya harta dan kepandaian. Inti perbuatan takabur dalam pengertian tersebut adalah merasa sombong karena harta dan kapandaian yang dimiliki seseorang.
7. Hasud
Jika penyakit hasud telah menyebar luas, dan setiap orang yang hasud mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang selamat dari keburukannya karena setiap orang pembuat tipu daya dan diperdaya. Ahmad Rifa’i mengartikan hasud adalah berharap akan nikmatnya tuhan yang ada pada orang Islam baik itu ilmu, ibadah maupun harta benda.
8. Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah memperdengarkan kepada oranglain. Sedangkan secara istilah adalah melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas karena Allah akan tetapi kemudian menuturkan kebaikannya kepada orang lain agar orang lain berbuat baik kepada dirinya. Dalam pembahasan ini beliau menekankan pada jalan yang harus ditempuh bagi seseorang muslim agar selalu mengerjakan sifatsifat terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat membawanya pada kerusakan pada amaliah lahir maupun batin. Beliau mengajak kepada kita unuk berperilaku dengan benar, baik secara lahir maupun batin.
B. TAHALLI
Tahalli berarti berhias. Maksutnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam atau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya. Tahalli adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi .
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang baik dapat dilalui, usah itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya, yaitu tahalli. Pada perakteknya pengisian jiwa dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongklan dari sifat-sifat buruk, tidaklah berarti bahwa jiwa harus dikosongkan terlbeih dahulu baru kemudian di isi . Akan tetapi, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, bersamaan dengan itu pula diisi dengan kebiasaan yang baik.
Pada dasarnya jiwa manusia bias di latih, dikuwasai, diubah, dan dibentuk seuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir yang sangat pentiang diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna antara lain adalah taubat, sabar, zuhud, twakal, cinta, makrifat, keridhoan, dan sebagainya.
Tahalli adalah berbias dengan sifat-siaft Allah. Akan tetapi, perhiasan paling sempurna dan paling murni bagi hamba adalah berhias dengan sifat-sifat pengambaan. Penghambaan adalah pengabdian penuh dan sempurna dan sama sekali tidak menampakan tanda-tanda keTuhanan (Rabbaniyyah). Hamba yang berhias (tahalli) dengan penghambaan itu menempati kekekalan dalam dirinya sendiri dan menjadi tiada dalam pengatahuan Allah.
Tahalli juga dapat diartiakan sebegai semedi atau mediatasi secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat akan keindahan wajah Tuhan. Tahalli merupakan segi fraksional yang dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi. Maka dari itu ada beberapa cara untuk menghiasi diri kita untuk memdekatkan diri pada Allah diantaranya : zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat.
1. Zuhud
Secara harfiah zuhud adalah bertapa di dalam dunia. Sedangkanmenurut istilah yaitu bersiap-siap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin Dalam menjelaskan kata ini Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek pengendalian hati daripada aspek perilaku yang harus ditampilkan Jika perkembangan zuhud pada fase yang paling awal ditandai dengan tindakan konkrit menjauhi kehidupan dunia sebagaimana yang diperlihatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah dan lainnya, maka dalam pemikiran Ahmad Rifa’i titik beratnya adalah pada pengendalian hati supaya tidak tergantung pada harta. Oleh karenanya Ahmad Rifa’i menekankan bahwa zuhud bukan berarti tidak ada harta tetapi tidak ada ketertarikan dengan harta.
2. Qona’ah
Secara harfiah qona’ah adalah hati yang tenang. Sedangkan menurut istilah adalah hati yang tenang memilih rihda Allah, mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhkan maksiat. Pengertian ini merupakan kelanjutan sikap zuhud yang tidak mau mengejar kehidupan dunia selain kebutuhan pokok Dalam menjalankan zuhud ia memberikan penekanan qona’ah itu sebagai suatu kondisi jiwa yang bernuansa pada aktivitas batin. Hal ini dapat dilihat lebih lanjut ketika ia mengemukakan pernyataan yang mendudukkan arti kaya pada proporsi yang lebih bersifat batini dengan ungkapannya. Dari syair KH.Ahmad Rifa'i sebagaima telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini tersimpul pengertian bahwa kekayaan bukan hanya berisi harta tetapi rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Atas dasar pengertian ini maka orang bisa merasa kaya meskipun secara lahiriah ia miskin
3. Sabar
Sabar secara harfiah bermakna menanggung penderitaan. Sedangkan menurut istilah menanggung penderitaan yang mencakup tiga half yaitu:
a. Menanggung penderitaan karena menjalankan ibadah yang sesungguhnya
b. Menanggung penderitaan karena taubat dan berusaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat baik lahir maupun batin Dengan pembatasan ruang lingkup pengertian sabar yang demikian ini, ia terlihat berusaha memberikan makna yang mempunyai cakupan menurut pengalaman subyektif dari para sufi. Di satu pihak sabar dikaitkan dengan pelaksanaan hukum Allah sebagaimana pendapat al-Khawwas yang menyatakan bahwa sabar adalah sikap teguh terhadap hukum-hukum dari Al-Quran dan As-Sunah. Pengertian ini sejalan dengan apa yang diberikan oleh al-Qusyairi yang menyatakan bahwa di antara bermacam-macam sabar adalah kesabaran terhadap perintah dan larangan-Nya. Di pihak lain sabar dikaitkan dengan musibah seperti pendapat Abu Muhammad al-Jarir yang menyatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi yang tidak berbeda antara mendapat nikmat dan mendapat cobaan. Kelanjutan dari pengertian sabar menurut Ahmad Rifa’i adalah menempatkan kesabaran secara proposional khususnnya pengertian ketiga. Di sini ia menekankan bahwa kesalahan terhadap penyimpangan agama (yang mengandung unsure keharaman) tidak diperlukan lagi.
4. Tawakal
Tawakal adalah pasrah kepada Allah terhadap seluruh pekerjaan, sedangkan secara istilah adalah pasrah kepada seluruh yang diwajibkan Allah dan menjauhi dari segala yang haram 15
5. Mujahadah
Arti harfiah dari mujahadah ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perbuatan sedangkan secara istilah adalah bersungguhsungguh sekuat tenaga dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, memerangi ajakan hawa nafsu dan berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir yang dilaknati 16 Dalam penjelasan selanjutnya, Ahmad Rifa’i lebih menekankan pada aspek kesungguhan dalam memerangi hawa nafsu dengan tujuan memperoleh jalan benar serta keberuntungan.
6. Ridha
Ridha berarti dengan senang hati, sedangkan menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridhamemiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti masalah perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain.
7. Syukur
Ahmad Rifa’i memjelaskan kata syukur yakni mengetahui akan segala nikmat Allah berupa nikmat keimanan dan ketaatan dengan jalan memuji Allah yang telah memberikan sandang dan pangan. Rasa terima kasih ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbakti kepada-Nya. Sejalan dengan pengertian di atas, bersyukur dapat dilakukan dengan tiga cara: pertama, mengetahui nikmat Allah berupa sahnya iman dan ibadah. Kedua, memuji lisannya dengan ucapan Alhamdulillah. Ketiga, melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan Allah. Cara bersyukur semacam ini sejalan dengan penjelasan al-Qusyairi mengatakan bahwa bersyukur dapat dilakukan melalui lisan anggota badan dan hati. Makna lain dari pengertian syukur menurut Ahmad Rifa’i adalah adanya prioritas pada dua unsur pokok yaitu keimanan dan ketaatan serta tercukupinya sandang dan pangan. Pandangan ini memiliki relevansinya dengan sifat terpuji lainnya seperti Qona’ah yang berupa ketenangan hati memilih ridha Allah dengan cara mencari harta dunia sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan tersebut sebatas terpenuhinya hal-hal yang dapat membantu ketaatan melaksanakan kewajiban dan menjauhkan diri dari kemaksiatan. Sekalipun menganjurkan sikap sederhana, tetapi tidak menganjurkan sikap fakir sebagaimana yang ada dalam tradisi sufi tradisional, Ahmad Rifa’i tidak menganjurkan untuk menganjurkan untuk menolak akan tetapi menolak ketergantungan kepada harta.
8. Ikhlas
Apa yang disebut ikhlas menurut Ahmad Rifa’i adalah membersihkan, sedangkan secara istilah ikhlas adalah membersihkan hati untuk Allah semata sehingga dalam beribadah tidak ada maksud lain kecuali kepada Allah. Segenap amal tidak akan diterima jika didasarkan oleh rasa ikhlas ini. Untuk mewujdkan keikhlasan dalam beribadah dituntut adanya dua rukun ikhlas; pertama, hati yang hanya bertujuan taat kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kedua, amal ibadahnya disahkan oleh peraturan fikih. Dalam memberikan penjelasan mengenai kata ikhlas ini Ahmad Rifa’i hendak membawa persoalan kepada situasi amaliah keagamaan kalangan yang memiliki pamrih kepada selain Allah dalam setiap amal perbuatannya. Ia mengaitkan orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dengan perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Penjelasan ini memiliki kemiripan dengan 17 tradisi tasawuf abad III Hijriah ketika para tokohnya semisal Hasan Basri yang menolak gaya hidup para penguasa yang dinilai dalam jalan yang salah. Pandangan di atas ini semakin memperjelas posisi Ahmad Rifa’I sebagai tokoh agama yang cukup keras terhadap penyimpangan yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan kolonial dan pembantu-pembantunya. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang dalam ibadahnya memiliki pamrih terhadap urusan dunia maka tidak akan selamat bahkan dimasukkan dalam kategori kafir.
C. TAJALLI
Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.
Tajalli bermakna pecerahan atau penyngkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tuanggal, Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.
Tajalli adalah tersingkapnya tirai penyekap dai alam gaib, atau proses mendapat penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu meditasi. Dalam sufisme, proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur gaib dalam hati seorang mediator disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan gaib yang merupakan anugrah dari Tuhan dan diluar adikuasa manusia.
Tajalli berarti Allah menyingkapkan diri-Nya kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri Tuhan tidak pernah berulang secara sama dan tidak pernah pula berakhir. Penyingkapan diri Tuhan itu berupa cahaya baatiniyah yang masuk ke hati. Apabila seseorang bisa melalui dua tahap tkhalli dan tajalli maka dia akan mencapai tahap yang ke tiga, yakni tajalli, yang berarti lenyap tau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi atau fana` segala sesuatu kecuali Allah, ketika tampak wajah Allah. Tajalli merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam diri manusia supaya Ia dapat disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi cahaya sehingga seorang yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan. Jika terjadi perbedaan yang dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak menandakan adanya perselisihan diantara guru sufi. Masing-masing manusia unik, oleh karena itu masing-masing tajalli juga unik. Sehingga tidak ada dua orang yang meraskan pengalaman tajalli yang sama. Tajalli melampaui kata-kata. Tajalli adalah ketakjupan. Al-Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan .
a. Tajalli Af`al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang, artinya segala aktivitasnya itu disertai qudratn-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya.
b. Tajalli Asma`, yaitu lenyapanya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Dalam tingkatan ini tidak ada yang dilihat kecuali hannya dzat Ash Shirfah (hakikat gerakan), bukan melihat asma`.
c. Tajalli sifat, yaitu menrimanya seorang hamba atas sifat-siafat ketuhanan, artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanapa hullul dzat-Nya.
d. Tajalli Zat, yaitu apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang mem-fana` kan dirinya maka bertempat padanya karunia ketuhanan yang bisa berupa sifat dan bisa pula berupa zat, disitulah terjadi ketunggalan yang sempurna. Dengan fana`nya hamba maka yang baqa` hanyalah Allah. Dalam pada itu hamba tekah berada dalam situasi ma siwalah yakni dalam wujud allah semata.
Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain adalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. Jalan yang ditempuh oleh para Sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa sesungguhnya tuhan itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, “Tidak ada tuhan (lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba, utusan, dan kekasih-Nya.”
Ibnu Arabi menyatkan bahwa tajalli Tuhan ada dua bentuk, yaitu tjalli ghaib atau tajalli dzati dan tajalli shuhudi. Al-Kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam , yaitu sebagai berikut :
a. Tajalli Zat, yaitu mukhasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya).
b. Tajalli sifat Adz-Dzat, yaitu tampaknya sifat-siafat zat Allah sebagai sumber atau tempat cahaya.
c. Tajalli Hukma Adz-Dzat, yaitu tampaknya hokum zat-Nya yaitu hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada didalamnya.
Pengertian hubungan makhluk dan Khalik disebut makrifat. Di sinilah letak perjalanan itu. Kalau sudah bisa menggapainya niscaya akan merasakan tajalli. Kalau sudah bisa merasakan tajalli akan takhalli, dan sebagainya sesuai kenaikan berzikir dalam makrifat. Tajalli itu artinya meraih kemuliaan di sisi Allah, atau keluhuran. Saat mencapai tingkatan itu, hati akan merasa sepi. Yaitu, sepi ing pamrih rame ing gawe. Namun yang sebenarnya, makna tajalli sangat luas. Ini bahasa tasawuf dalam tarekat. Kalau hati bisa meletakkan sepi selain Allah itu artinya akan menemukan satu takhalli. Yaitu satu kenikmatan, kelezatan, satu kemanisan karena bisa melepaskan semuanya selain Allah dan Rasul-Nya.

Bertemu Tuhan


Dan kami menembus kembali jalan sawah-sawah melalui jalur tengah. Bayangan kampung halaman terus memburu deru mobil kami. Wajah mamaku, adik dan kakakku, keponakan, tetangga dan para pasien, saudara-saudara dan paman serta bibik, terus membayang sepanjang jalan.
Tiba-tiba rasaku tergugah di tengah lamunan. Ya, seorang wanita suci yang selama ini menjadi pelabuhan hatiku terbayang, yang biasa selalu kupanggil Ummi, serasa menahan desah nafasku. Wajahnya yang sejuk seperti telaga, serasa membiarkan diriku untuk mengarungi kedalaman jiwanya.
Setiap tahun, sejak kami hijrah ke Jakarta, kami sekeluarga selalu menyempatkan sillaturrahim ke beberapa Kyai di Probolinggo. Pada guru-guruku dulu, terutama ke tempat Ummi. Seorang Syarifah, yang tinggal di Klaseman Probolinggo, yang terus membangkitkan jiwa-jiwa kami yang terkadang terbelenggu keletihan dunia. Ummi selalu menjadi inspirasi sepanjang perjuangan kami, mengingatkan, memberi obor ketika rasa mulai padam, dan kadang menjewer telinga hati kami. Demi cintanya pada keluarga kami.
“Beberapa hari lalu seminggu sebelum lebaran ini, saya bertemu Tuhan….” Katanya, dengan ekspresi serius yang sangat mengejutkan kami.
“Saya memang berdoa, Ya Tuhanku, Wahai Rabbku… Aku ingin bertemu denganMu… Bagaimana caranya aku menemuiMu…?” Katanya menirukan munajatnya semalam suntuk di sepuluh hari terakhir.
“Allah berbisik padaku, agar esok aku pergi naik becak. Nanti aku akan bisa menemuiNya…”
Esok hari akhirnya aku naik becak, kisah Ummi, berputar kesana kemari. Dengan nafas terengah-engah tukang becak itu terus mengayuhkan kakinya.
“Pak, sampean puasa?”
“Ya Bu…”
“Sehari dapat berapa, sampean ini?”
“Dua puluh ribu, Bu…”
“Kenapa masih mengayuh becak? Kan ini bulan puasa…?”
“Kalau tidak narik becak, keluarga tidak bisa lebaran Bu…”
Tesss, air mataku menetes deras, Ya Allah masih ada hambamu seperti ini. Berjuang dengan deras keringat dibakar matahari. Orang ini sungguh mulia, Tuhan…
“Bagaimana kalau Bapak berhenti narik becak sampai lebaran…”
“Ndak bisa Bu…Saya harus narik…”
“Mau ndak Bapak berhenti narik becak, nanti saya ganti hasil nariknya selama seminggu?”
“Wah sangat mau, maturnuwun sekali.”
Saya sodorkan uang tujuh ratus ribu rupiah. Dan tukang becak itu bersujud, bersyukur sembari menangis, atas kebahagiaannya.
“Ya Allah, terimakasih Tuhan… Engkau mau menemuiku. Aku sudah bertemu Engkau Tuhan… Aku menemuiMu dibalik desah nafas tukang becak itu… Terimakasih Tuhan….”
Ummi terdiam seketika, pandangannnya jauh menembus jantungku. Bibirnya tersenyum, seperti senyum ibundaku.
Aku jadi teringat pasien-pasienku. Rintihan dan keluhnya, telah memanggilku untuk menghampirinya. Ya, aku menemui mereka, karena ada Tuhan di sana, ada Allah dibalik deritanya. “Ya Allah, aku menemuiMu melalui jarum-jarum ini… Terimalah aku Tuhan…”
Tuhan pun tersenyum padaku. Aku membalas senyuman itu dengan airmata bahagia. Rasanya aku masih ingin terus menemuiNya dibalik jarum-jarum ini.

Puncak Kenikmatan Orang-Orang Arifin


Al-Ghazali
Perlu Anda ketahui, manakala dalam diri Anda dikehendaki rindu bertemu Allah, dan berhasrat untuk mengetahui keagunganNya; suatu kerinduan dan kecintaan yang lebih dibandingkan dengan hasrat seksual dan makan, maka Anda akan mendapatkan pengaruh surga kema’rifatan dan taman-tamannya. Lebih dari surga yang dijanjikan dengan hasrat-hasrat empiris.
Hasrat kema’rifatan seperti itu tercipta bagi orang-orang arif, dan bukan bagi Anda yang senantiasa berpikir pada hasrat fisik. Misalnya, Anda tercipta untuk berhasrat pada kedudukan atau pangkat. Namun hasrat seperti ini tidak ada dalam benak anak-anak kecil. Anak-anak hanya punya hasrat bermain belaka. Anda pun heran, terhadap pola pikir anak-anak kecil itu yang begitu asyik dengan permainan-permainannya. Yang sama sekali tiada pernah berhasrat pada kedudukan sebagaimana yang ada dalam benak Anda. Orang-orang arif pun heran terhadap diri Anda, karena keasyikan Anda pada hasrat kedudukan dan pangkat, sementara dunia dengan keanekaragamannya bagi orang-orang arif hanyalah permainan dan senda-gurau belaka.
Hasrat yang demikian memang diciptakan bagi orang-orang arif (kepada Allah) dengan orientasi puncak kenikmatannya pada ma’rifat itu sendiri menurut ukuran hasratnya. Hasrat tersebut juga tidak akan bertemu dengan hasrat empirik. Hasrat ma’rifat itu sendiri tidak pernah sirna dan membosankan. Bahkan semakin bertambah dan berlipat ganda, manakaIa kerinduan dan ma’rifat itu sendiri bertambah. Berbeda dengan sejumlah hasrat syahwat (seksual) yang biasanya muncul setelah anak menjadi dewasa. Kalaupun ada anak remaja yang tidak memiliki hasrat seksual, bisa jadi karena mereka masih di bawah umur atau mengalami impotensi.
Sementara orang-orang arif ketika diberi karunia hasrat ma‘rifat dan puncak kenikmatan memandang Keagungan Allah Swt. Maka, mereka senantiasa memandang keindahan hadirah (hadirat) Ketuhanan di surga yang seluas langit dan bumi. Bahkan lebih luas lagi. Yakni surga yang tinggi yang buah-buahnya begitu dekat dan senda-gurau kesenangannya adalah sifat-sifat dzat mereka, tidak pernah putus dan terhalangi. Karena memang tidak ada kesempitan sama sekali dalam dada orang-orang ma’rifat itu.

Pemurnian Hati Melalui Thariqat


Menurut Al-Qur’an, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati dan menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat sepotong daging yang apabila dalam keadaan tenang maka tenang pula seluruh bagian tubuh yang lain dan apabila dalam keadaan kotor maka kotor pula seluruh bagian tubuh yang lain, itulah hati.”
Hati seseorang memiliki satu wajah yang diarahkan ke alam spiritual dan satu wajah yang dihadapkan alam kehidupan jasmani. Hati mengandung kedua alam, jasmaniah dan rohaniah, dan menyebarkan sifat-sifat Ketuhanan yang diterimanya dari alam ruh.
Hati dalam mikrokosmos adalah bagaikan ‘Arsy dalam makrokosmos. Namun demikian, hati memiliki karakter-karakter dan kemuliaan tertentu yang tidak dimiliki ‘Arsy, yaitu bahwa hati menerima kemuliaan dari alam ruh, hati merupakan kesadaran daripadanya, sedangkan ‘Arsy tidak. Ini karena kemuliaan yang datang dari alam ruh ke hati, diterima dalam bentuk sifat-sifat, yaitu sifat-sifat kehidupan, pengetahuan dan akal sehingga hati dapat menenimanya, sebagaimana apabila matahari memberikan cahayanya, sifatnya, ke dalam sebuah rumah, rumah itu menjadi terang. Jadi, rumah diberi sifat matahari dalam bentuk cahaya yang terang. Sedangkan kasih sayang sampai di ‘Arsy berbentuk tindakan dan kekuatan, bukan sebagal sifat. Karena itu, ‘Arsy diam, sedangkan melalui hati maka pengaruh perbuatan dan kekuatan ‘Arsy akan mencapai makhluk. Setiap sesuatu ada, tetapi hidup tidak harus mewujudkan dirinya di dalamnya. Pengetahuan dan hikmah merupakan sifat Allah. Ini terjadi sebagaimana ketika matahari memancarkan sifat terangnya kepada sebuah gunung, maka gunung itu menjadi memiliki sifat terang yang berasal dan matahari. Sebaliknya, apabila perbuatan dan pengaruh itu disinarkan kepada batu rubi dan cornelian, batu-batu itu tidak diberi karakter oleh sifat terangnya matahari, tetapi melalui matahari batu-batu itu memunculkan sifat-sifat kerubian serta ke-cornelian-annya mereka sendiri. Selain itu, hati memiliki kepandaian, ketika dimurnikan melalui proses jalan Thariqat, yaitu ketika berada dalam tempat terbentuknya cinta, sebagaimana hati berperan sebagai tempat untuk pembentukan sifat spiritual. Apabila selama proses perkembangan, kesempurnaan dan perhatian kepada Allah, hati mencapai kesempurnaan, maka hati menjadi tempat perwujudan semua Sifat-Sifat Ketuhanan. Semua yang ada di alam semesta yang turun dari ‘Arsy tidak dapat menahan cahaya ketuhanan atau salah satu Sifat Allah. Seperti Gunung Sinai, ketika itu runtuh dan hancur.
Mengenai apakah hati itu, apa arti pemurnian hati, dan kapan hati mencapai kesempurnaan ke-hati-annya, ketahuilah bahwa hati memiliki bentuk jasmaniah, yaitu sebagai sepotong daging, tetapi tidak setiap orang memiliki realitasnya atau jiwa hati, sebagaimana diperlihatkan dalam ayat Al-Qur’an: “Sesungguhnya terdapat tanda-tanda peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati.”
Hati bisa suci ataupun kotor. Hati adalah suci apabila bersih, dan kotor apabila keruh. Hati adalah bersih apabila hasratnya sehat, keruh apabila hasratnya berpenyakit dan mengalami defisiensi.
Mata hati mengalami penyaksian (musyahadah) terhadap Kegaiban. Telinga hati mendengar ucapan dari Alam Gaib dan dari Allah. Penciuman hati mencium angin dari Alam Gaib, dan langit-langit hati merasakan kenikmatan kebajikan yang penuh kasih sayang, manisnya keimanan dan lezatnya hikmah. Indera perasaan hati adalah akal, yang dengannya hati mendapatkan keuntungan dari semua hal-hal yang dapat dipahami akal. Karena itu, pemurnian hati terletak dalam kesehatan dan perasaan dari inderanya. Ada perbedaan pendapat berkenaan dengan perlakuan terhadap hati. Beberapa orang bekera keras untuk mengoreksi dan mengubah temperamennya, menggantikan setiap karakter nafs yang tercela dengan karakter terpuji yang berlawanan dengannya. Misalnya, mereka telah mengubah sifat kikirnya menjadi sifat yang murah hati dengan cara menggantikannya dengan sifat yang Iebih mementingkan orang lain; dalam cara ini mereka telah mengubah kemarahan dengan toleransi, kesabaran dan menekan rasa marah, mengubah ketamakan dengan kesalehan, penolakan terhadap dunia, pengasingan diri dan pelepasan. Ini memerlukan waktu yang lama bahkan untuk mengubah satu sifat sekalipun, dan jika orang mengendurkan kontrolnya untuk sesaat, maka nafs akan mengambil alih sekali lagi. (“Nafs adalah seekor naga; siapa bilang dia telah mati?” — Rumi). Apabila seseorang beralih untuk bekerja pada sifat yang lain, maka sifat yang pertama tadi akan aktif kembali.
Pendekatan Sufi adalah berjuang memurnikan hati melalui pelepasan dari dunia (tajrid), pelepasan dari diri (tafrid) dan perhatian yeng terus-menerus kepada Allah. Apabila seorang murid, menurut kemampuannya, telah berhasiI terlepas dari bentuk kejasmanian dan mencapai pelepasan kerohaniannya, dalam proses pemurnian hati, maka dia sibuk dalam perawatan diri dan dzikir yang terus-menerus sehingga melalui upayanya, rasa kejasmaniahannya tidak lagi aktif, yang dengan itu menghilangkan pengaruh yang dibawa ke dalam hati oleh gangguan-gangguan rasa, karena kekeruhan dan ketertutupan hati yang disebabkan oleh ketertarikan terhadap rasa-rasa tadi.
Sekalipun gangguan rasa fisik telah hilang, gangguan godaan setan dan desakan nafs (hawajis) yang menyelubungi dan mcnghasut hati tetap ada. Seseorang hanya dapat menghilangkannya melalui dzikir yang terus-menerus dan penolakan terhadap pikiran-pikiran yang melayang-Iayang.
Melalui cahaya dzikir dan penolakan terhadap pikiran-pikiran yang melayang, hati menjadi terbebas dari hasutan nafs dan setan, menjadikan dirinya taat, dan menemukan kenikmatan (dzauq) dalam dzikir, dengan lidah dan mengerjakan dengan segenap diri. Manfaat dzikir adalah menghapus dan menghilangkan semua kekeruhan dan tabir yang menutup hati di mana setan dan nafs telah mengakar. Apabila kekeruhan dan tabir penutup telah berkurang, cahaya dzikir bersinar pada esensi hati yang di dalamnya tumbuh kekhawatiran dan rasa takut sebagaimana diperlihatkan dalam Al-Quran, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebutkan nama Allah gemetarlah hatinya.”
Sekali hati telah meneguk dzikir, kekerasannya menjadi hilang, dan kehalusan serta keluwesan akan terlihat padanya, sebagaimana ditunjukkan pada ayat, “Kemudian menjadi tenang tubuh dan hati mereka di waktu mengingat Allah.”
Jika dzikir telah dilakukan secara terus-menerus di dalam hati, hal ini akan mengendalikan wilayah hati, menolak semua yang kesadaran bukan terhadap Allah dan kasih sayang-Nya serta membuka kesadaran yang dalam (sirr) akan perenungan (muraqabah).
Sekali kekuatan dzikir telah menempati alam kehidupan hati, hati akan mendapat kedamaian dan perasaan dekat, yang membuatnya cemas akan hal yang lain, sebagaimana dijelaskan dalam ayat: “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati mereka menjadi tenteram.” Selama ingatan dan kecintaan akan makhluk tetap ada dalam hati, maka kekeruhan dan penyakit hati akan tetap ada. Seseorang harus menerapkan sarana “La ilaha ilallah” dan penolakan terhadap apa pun selain Allah untuk menghilangkan kekeruhan dan penyakit tadi, sampai hati menjadi siap menerima perwujudan Nama-nama Allah, dan mengenakan sifat-sifat darinya. Pada kondisi di mana tidak ada lagi perhatian selain kepada Allah, maka cahaya dzikir dan substansi Nama-nama Allah akan menggantikan semua yang lain.
Majdud-Din Baghdadi berkata:
Selama hati
sadar akan keburukan dan kebaikan di dunia, Dia tak akan dapat mengendalikan
keburukan dan kebaikan dunia.
Sampai saat tak ada satu hati
dan seribu perhatian;
Saat tak ada apa pun selain “Tiada tuhan selain Allah”
Pada saat itu, Sang Raja Cinta akan memberikan keagungan Kerajaan-Nya ke kota hati untuk menempati persimpangan jalan hati, ruh dan jasad. Dia memerintahkan kerinduan dalam cara yang sedemikian rupa sehingga nafs yang brutal terikat pada tali penderitaan. Dia mengikatkan jerat perjuangan pada lehernya dan menariknya ke dalam persemayaman hati, yang di bawah bendera kerajaan kasih sayang, dia melepaskan kepala hasrat nafs dengan pedang dzikir, menggantungnya pada pohon ketulusan. Setan, yang merupakan pengikut nafs, mendengar hal ini dan datang untuk menyaksikan pengadilan kerajaan. Mereka mengosongkan kota dan jasad dan meninggalkan wilayah ini untuk terakhir kali. Semua pelaku kejahatan dengan sifat-sifat tercela nafs mengarnbil pisau belati dan meletakkan kain kafan ketidakberdayaan serta tunduk dalam kehambaan, seraya berkata “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” Raja Kasih Sayang menyebabkan semua pelaku kejahatan ini menyesal dan menyelimuti mereka dengan pakaian kehambaan, mengarahkan mereka kepada perintah dan singgasana hati, karena mereka telah mencapai apa yang diinginkannya.
Apabila kota jasad dimurnikan dari huru-hara setan yang jahat dan hasutan perangai-perangai yang tercela, dan cermin hati telah dibersihkan dari kotoran sifat kebendaan, maka seseorang akan sampai di Ruang Yang Mahaindah dan Yang Tidak Dapat Ditembus, tempat terbitnya matahari keindahan Yang Maha Es, Pada batas ini hati dikendalikan oleh Sang Raja Cinta dan menteri akal adalah penjaga pintu hati. Kota hati dihiasi dengan ornamen-ornamen, mutiara dan permata Keyakinan, ketulusan, kepercayaan kepada Allah, kemurahan hati, kesopanan, kedermawanan, kebebasan, rasa malu, keberanian, ketajaman dan keanekaragaman sifat-sifat yang terpuji. Apa yang telah terjadi? Raja yang sebenarnya telah memasuki tempat pengasingan hati. Yang Maha Pengasih memperlihatkan keindahan-Nya sewaktu Dia muncul dari singgasana keagungan. Sekarang ucapan La ilaha mengosongkan ruang besar tempat bagi perangai-perangai terpuji, karena kecemburuan Allah akan meniadakan yang lain daripada Allah, Hati, adalah Pencinta, yang seperti Yakub menghuni rumah kesedihan dada sanubari, mendapatkan pandangannya disinari dengan keindahan Yusuf, yang mengubah rumah kesedihan ke dalam taman mawar melalui keindahan Yusuf. Hati berlalu dan kesedihan menuju ke kegembiraan, dan ujian ke keberuntungan, dan dari rasa sakit karena terpisahkan ke kemuliaan Penyatuan.
Pada maqam ini hati mencapai realitasnya dan kembali kepada kebersihan dan kemurniannya semula. Sifat-sifat nafs yang belum berubah selama masa perjuangan spiritual akan berubah melalui proses dzikir dan perenungan hati, seluruh perhatiannya hanya terpatri pada kehambaan.
Di sini, perintah-perintah yang tidak datang dari hati maupun dari ruh, serta perangai-perangai nafs tertentu tidak dapat diperintah untuk mematuhi atau tidak mematuhi. Agaknya, Sang Raja menjadi sesuatu seperti yang ditunjukkan dalam Al-Qur’an, “Dan tunduklah semua muka dengan rendah hati kepada Tuhan Yang Hidup Kekal dan senantiasa mengurus makhluk-Nya.” Sang Raja mengosongkan ruangan hati dari beban yang diberikan oleh yang selain Dia, membangun ruangan singgasana dari mereka yang terpilih, yang “Tidaklah bumi-Ku dan tidak juga langit-Ku mampu mendengar-Ku, melainkan hati hamba-Ku yang beriman yang mampu mendengarkan Aku.” Kemudian perintah Allah menguasai tubuh dan karakter pribadi seseorang, menurut ayat Al-Qur’an, “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya.” Tidak ada alat gerak atau karakter yang dapat melakukan apa pun melalui kehendaknya sendiri, ini hanyalah terjadi melalui penintah Allah yang dengannya seseorang melakukan tindakan, menurut hadits, “Aku menjadi pendengaran, penglihatan, Iidah dan tangan-tangan bagi hamba-hambaKu, yang dengannya dia mendengar, melihat, berbicara dan berbuat”.
Jadi pada maqam ini, hati menjadi tempat perwujudan Sifat-Sifat Allah. Karena sifat-sifat itu berupa dua jenis, yaitu sifat kemuliaan dan sifat kemurkaan, dan hati adalah tempat perwujudan keduanya, Allah akan memperlihatkannya kepada hati, yang dengan sendirinya senantiasa tunduk terhadap pengaruh keduanya. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah bersabda, “Hati orang yang beriman terletak antara dua jari Yang Maha Pernurah, Dia mengalihkannya sebagaimana yang Dia kehendaki.“ Inilah petunjuk ke-Maha-Penyayang-an, bukan petunjuk bagi Ketuhanan, karena hati merupakan tempat pembentukan Sifat-Sifat Ke-Maha-Penyayang-an itu.
Pembersihan hati melibatkan penanaman perangai-perangai dan karakter-karakter yang terpuji, yaitu bijaksana, sederhana, adil, berani, murah hati, dermawan, mulia, kesatria, anugerah, keimanan, kebajikan, persahabatan, suka memaafkan kesalahan, pemurah, kemanusiaan, pcngetahuan, rasa malu, kebahagiaan, pengawasan diri, kesalehan, ibadah, ketaatan dan sebagainya. Apabila hati telah dicirikan dengan perangai-perangai tersebut melalui dzikir La ilaha illallah, yang membersihkan kotoran dan debu-debu yang melekat serta sumbatan-sumbatan pada cermin hati, maka spiritualitas, keikhlasan, cahaya dan sinar-sinar yang menerangi akan terlihat.