Laman

Kamis, 23 Desember 2021

ZIKIR SAMPAI KE TUHAN

Zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu. "Man arafallaha kalla lisanuhu", siapa mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan, kelu lidahnya. (hadis).


Mulut kita berucap "Laa ilaaha illallah". Dari mana munculnya perkataan ini? Dari hati. "Laa ilaaha illalah" yang dari hati ini dari mana asalnya? Dari sirr hati. Yang dari sirr hati ini dari mana? Tentulah dari dalam sirr. Yang di dalam sirr itu siapa? Rahasia Allah.


Jadi kalau kita cermati, siapa yang sebenarnya berzikir itu?


Syariatnya   > kita berzikir


Hakikatnya  > kita menzikirkan Yang Punya Nama


Makrifatnya > Yang Punya Zikir Berzikir


Kalau belum tahu bahwa yang di dalam sirr ini berzikir, bagaimana Anda akan karam dalam zikir? Paling-paling Anda hanya dapat karam dalam sebutan zikir saja. Kalau Anda dapat yang di dalam sirr itu berzikir, tentu berjalanlah Anda dengan yang di dalam sirr itu kepada Allah. Inilah amal yang sampai ke Tuhan. Jadi, tidak akan mudah untuk karam di dalam sirr kalau kita tidak mendapati yang di dalam sirr itu berzikir.


Takrif Zikir [Pengenalan Jalan Amal sehingga Tetap pada Tujuan]


Kalau kita hendak berzikir, perlu dulu tentang takrif zikir atau tujuan zikir. Yang dikatakan tarikat itu jalan. Jalan menuju ke mana? Tentulah menuju kepada yang dimaksud. Yang dimaksud itulah tujuan zikir, yaitu Allah.


Kalau mulut berzikir menyebut laa ilaaha illallah, yang di dalam sirr itulah yang kekal kepada Allah. Karena munajatnya orang yang berzikir itu Ilaa Ilahu Anta maksudi wa makrifataka bi a'tinii mahabbata wa makrifataka, 'tidak ada yang kumaksud hanya Engkau ya Allah'.


Kalau sudah Allah yang kita maksud, untuk apa terpengaruh dengan yang terpandang-pandang dalam zikir. Kalau terpengaruh dengan yang terpandang-pandang ketika berzikir, berarti kita sudah menyimpang dari maksud semula karena mestinya munajat kita hanya pada Allah. Allah itu sudah pasti laysa kamitslihi syaiun. Apa pun yang terpandang-pandang itu bukan laysa kamitslihi syaiun. Biar surga sekali pun yang dipandangkan, itu tetap bukan yang laysa kamitlsihi syaiun. Orang yang tidak bermaksud kepada selain Allah tidak akan terpengaruh dengan itu.


Jadi dalam beramal ibadah apa saja, takrif (tujuan) itulah yang kita pegang. Bukan zikirnya yang kita pegang, takrifnya itu yang kita pegang.


Kalau sudah pada Allah saja takrif zikir, mestinya tidak mungkin ada orang berzikir sampai histeris, mabuk, atau bahkan pingsan karena Allah tidak bersifat zalim. Jangan sampai kamu banyak berzikir lalu malah timbul kelainan jiwa.


Munajat


Munajat itulah niat ikhlas orang yang berzikir. Tidak ada maksud kepada selain Allah. Kalau tidak paham tentang munajat dan takrif zikir, bisa-bisa dimabukkan oleh zikir. Asyik kepada yang bukan dimaksud semula. Kalau hal yang bukan Allah sudah masuk ke badan, inilah yang jadi penyakit.


Musyahadah


Zikir itu untuk mendapatkan musyahadah. Musyahadah untuk mendapat fana. Fana fillah itu untuk mendapatkan baqa billah. Kalau sudah baqa billah, mana ada fana lagi karena fana itu awal baqa.


Kalau sudah dapat baqa, mana ada fana lagi. Kalau sudah dapat fana, mana ada musyahadah lagi. Kalau sudah dapat musyahadah, mana ada zikir lagi? Inilah yang disampaikan di awal tulisan ini. Bahwa zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu.


Sebetulnya jalan yang sampai kepada Allah itu ada empat, yaitu


Syariat ← kenyataan yang di-ada-kan Allah. Berlaku pada anggota zahir, yaitu berupa perintah (amar)


dan larangan (nahi);


Tarikat ← jalan yang menyempurnakan syariat. Berlaku pada hati. Contoh praktiknya: mulut berkata "merah". Hati harus yakin bahwa barang yang disebut itu benar-benar merah. Inilah disebut menyempurnakan syariat.


Hakikat ← keyakinan kita kepada yang wajib dipercaya. Hanya satu, yaitu Allah. Berlaku pada sirr hati (nyawa).


Makrifat ← pengenalan yang sempurna tentang Allah. Bagaimana pengenalan yang sempurna pada Allah itu? Yaitu semua yang terpandang, terpikir, terasa, tersentuh, tercium, dan lain-lain itu bukan Allah. Karena orang yang sempurna mengenal Allah itu keyakinannya tetap. Bahwa Allah itu laysa kamitslihi syaiun.


Syariatnya, kita berzikir.


Makrifatnya, Rahasia Allah itulah yang berzikir atau yang di dalam sirr itulah yang berzikir.


Perkataan ini bukan hendak menjadikan kita adalah Allah atau setara dengan Alah, melainkan kita meyakinkan Zat Allah itulah Diri Allah, bukan kita adalah Allah.


Kesimpulan kata: Zat Allah itulah yang memuji Tuhannya.


Kalau kita sudah dapat jalan pengetahuan ini, dapatlah kita jalan musyahadah, muraqabah, dan jalan ahlul kasyaf.


Jalan musyahadah itu hanya kita mengetahui. Amalannya bukan pakai baca-baca lagi karena amalan batin itu pakai pandangan mata hati (syuhud matahati)


Jalan muraqabah itu adalah pandangan mata hati tidak lepas dari takrif. Seperti kucing yang mengintai tikus. Fokus tidak berpaling dari target.


Jalan ahlul kasyaf. Ini tidak cukup dengan paham saja, melainkan harus dengan bimbingan khusus. Seperti kita membimbing bayi sampai dia baligh.


Contoh praktik ahlul kasyaf:


Kita melihat tulisan. Sebenarnya yang kita lihat kertas putih, tetapi yang tampak tulisannya. Justru karena melihat kertas putih itulah kita bisa melihat tulisan. Coba andai kertas putih itu terbuka, masuklah ke kertas putih itu. Akan tampak semua tulisan. Ini baru mukadimah soal kasyaf.


Tips Praktik Zikir yang Mengesakan Allah: Sampai Kelu


Di awal tulisan tadi disebutkan "zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu". Nah, bagaimana cara praktiknya?


Katakanlah kita hendak berzikir dengan pujian "Subhanallah" sebanyak 5000x.


Belum sampai 2000x, mulut-lidah sudah letih. Lama-lama zikir pindah ke dalam hati.


Belum sampai 3000x, hati pun letih. Zikir pindah ke sirr hati.


Belum sampai 4000x, sirr hati terhenti sendiri lalu yang di dalam sirr yang berzikir. Itulah kelu. Itulah zikir berjalan sendiri.


Kalau zikir sudah berjalan sendiri, tidak bisa dihitung lagi. Tak terhingga jumlah pujiannya. Kamu berzikir pakai tasbih sampai pecah, tetap kalah jumlah hitungannya dengan zikir kaum arif billah.


Tapi, tidak akan bisa zikir berbunyi sendiri kalau Kamu tidak tahu memasang rukun qalbi (diam-tafakur hakekat) yang berlaku dalam segala bentuk ibadah dalam Islam. Berzikir-zikir tanpa "diam", tanpa takrif yang benar itulah yang membuat ahli zikir jadi menyimpang pola-pikir dan tingkah lakunya.


Ucapkanlah kalimah-kalimah zikir atau wirid itu tanpa terputus. Ucapkan secara bersambung dalam satu tarikan napas. Begitu napas habis, ulangi lagi ucapkan secara bersambung seperti sebelumnya.


contoh zikir yang benar mengesakan Allah: meski jumlah bacaannya banyak, Allah-nya tetap Satu.


"AllaaahuAllaaahuAllaahu"


contoh zikir yang lalai mengesakan Allah. Jumlah bacaannya banyak karena terputus-putus, jumlah Allah-nya juga ikut banyak.


"Allaaah. Allaah. Allaah."


Bisa jadi karena banyak yang membaca seperti cara terakhir itulah banyak orang yang setelah banyak berzikir malah jadi "tidak waras", atau malah pingsan, bahkan sampai kesurupan. Zikir itu ibadah. Mustahil ibadah itu merusak zahir-batin kalau teori dan praktiknya sesuai dengan Quran dan sunnah. Itu sebabnya zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu. Kalau banyak-banyak, banyak juga yang mau masuk ke badan kita lalu mengaku Tuhan. Inilah siasat Iblis-setan agar manusia-manusia saleh ahli zikir tidak lurus sampai ke Allah, melainkan kepada yang terpandang-pandang, terasa-rasa, terpikir-pikir, terbayang-bayang, dan lain-lain. Nauzubillah.

Semoga bermanfaat buat saudara-saudara ku (MUSLIM). Untuk di pahami dan dimaknai penjelasan di atas. Agar  bertambah ilmu nya.

TUGAS HATI

Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. [Q.S. Yunus:100]

Diberi Allah dua bola mata, tugasnya satu: untuk melihat. Diberi Allah dua daun telinga , tugasnya satu: untuk mendengar. Diberi Allah satu hati, tugasnya satu. Tugas hati untuk apa? Untuk berkekalan pada Allah.


Mengapa ada orang waktu mau mati hatinya bertugas pada anak-istri, harta, kebun, dan lainnya? Mengapa ada orang waktu mati hati bertugas pada yang bukan Tuhan? Susahlah mati orang itu karena asyik dengan makhluk saja. Jangan makhluk itu dijadikan berhala di dalam hati. Jangan dibiasakan hati asyik dengan hal-hal duniawi.


Asyikkanlah hati itu kepada Allah. Untuk membiasakan hati kekal dengan Allah, gunakanlah tafakur hakiki. Cara praktiknya: Rasakanlah dengan rasa betapa Maharuang itu diam dan kita merasakan di dalam Tubuh Maharuang. Rasakan kita di dalam Tubuh Yang Diam itu. Maharuang atau Tubuh Yang Diam itu adalah Tubuh Tuhan.


Inilah yang disebut Zahiru Rabbi wal bathinu abdi. Kita di dalam-Nya. Kita inilah wal bathinu abdi. Kita inilah di dalam Zahiru Rabbi. Kita bertubuh Kosong Maharuang.


Pakailah perasaan. Bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam shalat, bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam keseharian, bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam tidur. Pakailah tafakur hakiki ini.


Kalau kita shalat di Tubuh Maharuang: ADA TUHAN. Bukan dengan dicari-cari, dipikir-pikir, hanya diyakini saja: ADA TUHAN. Perasaan kita hendaklah meyakinkan adanya Tuhan itu. Apabila seseorang dalam shalat dapat merasakan bertubuh Tuhan, nikmatlah senikmat-nikmatnya shalat itu. Jangan mau cari khusyuk tawadhu saja, tetapi tidak dapat merasakan nikmat shalat. Lebih baik kita mempelajari cara untuk mendapatkan nikmat shalat. Karena beribadah shalat itu nikmat. Carilah jalan praktik untuk mendapatkan nikmat shalat itu. Carilah jalan praktik untuk dapat merasakan bertubuhkan Tuhan di dalam shalat.


Hati-hati dengan ulama dhal madhal; ulama yang sesat-menyesatkan. Yaitu ulama yang hanya pandai menyebut "Allah..Allah" saja, tetapi tidak merasakan Allah. Itulah ucapan palsu. Yaitu ulama yang berkata "Ibadah itu nikmat", tetapi tidak pernah merasakan nikmat ibadah. [Bagaimana bisa menerangkan umat cara praktik meraih nikmat itu?]. Yaitu ulama yang pandai menjelaskan jenis-jenis nafsu, tetapi tidak pernah sampai menerangkan tentang bahaya laten nafsu Firaun [nafsu ananiyah].


Para alim sufi, ke-aku-an mereka itu bukan menyebut "aku", melainkan merasakan "Aku"-nya Tuhan. Nafsu ananiyah itulah yang menghijab kita dengan Tuhan. Tawadhu itu pada Allah saja. Yang selain Allah itu makhluk. Perlu sadar. Sadar itu iman.


Kalau kita lihat Af`al-Nya, terasa esanya kita dengan Allah. Yang mana Af'al-Nya itu? Yang Diam. Sementara Sifat-Nya itu Yang Kosong; Asma-Nya itu Allah; Zat-Nya yang Meliputi alam Diri-Nya.


Kita sudah Mahaesa dengan Zat-Sifat-Asma-Af`al-Nya. Pergunakan tauhid Dzukiyah. Sebab pikiran/akal tidak bisa merasa. Hanya Rasa yang dapat merasa. Rasa, di dalam rasa ada rasa. Rasa itulah Rahasia. Rahasia yang bisa merasakan Maharuang itulah Tubuh hakiki kita. Praktikkan tauhid dzukiyah agar kita dapat merasakan esanya Tuhan dengan hamba; hamba dengan Tuhan.

ALAT MA'RIFAT

Perlu diketahui alat-alat untuk berhubungan dengan Tuhan.


"Wa khaliqu Adama 'ala surati Muhammad."


Dan Ku-jadikan Adam itu atas rupa Muhammad.


Jadi jasad kita ini atau tubuh kita ini adalah alat yg zahir atau alat syariah.


"Wa khuliqal insana 'ala surati Rahman."


Dan Ku-jadikan insan itu atas rupa Rahman.


Insan ini atas rupa Rahman. Insan yang rupa Rahman inilah bagian batin. Inilah alat yang di dalam [alat yg bermakrifat]. Alat makrifat inilah yang musti dihubungkan kepada Tuhan dengan mempergunakan Rasa: sampai merasakan betul-betul berhubungan dengan Tuhan. Inilah yang dikatakan zahir-batin shalat.


Merasa panas, merasa sejuk, pahit, manis, semua itu nama-nama mahluk. Jangan rasa itu dihubungkan ke makhluk. Hubungan Rasa itu tidak boleh ke makhluk, musti ke Tuhan. Ketuhanan itu hanya Allah dan Rasul. Inilah ketuhanan.


Hendaklah kita bisa memelihara jasad dan rasa. Banyak merasa sesuatu dan menyebut sesuatu itu akan menimbulkan cinta pada sesuatu. Bagaimana mau kenal Allah kalau masih ada nafsu. Nafsu yang selalu memperalat kita dengan Tuhan.


"Athi'ullah wa athi'urrasul." Di mana letaknya athi'ullah wa athi'urrasul itu? Gunakanlah Ushul Makrifat.


Kewalian sudah ada pada diri manusia. Mengapa manusia tidak mau mengambilnya? Karena tidak tahu. Guru-guru yang mengajar pun tidak ada pengalaman tajalli. 


ulama yang arif billah menyatakan bahwa dalam ibadah itu ada empat perkara muqaranah. Muqaranah ini berlaku di dalam [shalat] dari takbir ihram sampai dengan salam.


Keempat muqaranah yang dimaksud adalah


    muqaranah syahadat;

    muqaranah takbir ihram;

    muqaranah sakaratul maut;

    muqaranah wahdatul zat.

1. Muqaranah Syahadat


Yang disebut muqaranah syahadat itu perkataan "Laa af`alun illallah", artinya tiada perbuatan, hanya Perbuatan Allah juga yang Ada. Raib [fana, binasa] perbuatan makhluk. Tidak ada lagi perbuatan makhluk dari takbir sampai ihram. Apabila masih merasa ada perbuatan makhluk, batal muqaranahnya.


Itulah sebabnya di dalam takbir ihram, semua yang halal, haram hukumnya. Karena di dalam takbir ihram itu tidak ada lagi untuk merasakan ada perbuatan makhluk, baik berupa yang halal, maupun yang haram. Kalau yang ada sudah Perbuatan Allah, perlu apa lagi mengingat-ingat sesuatu?


Itulah sebabny, sebelum takbir ihram semua yang halal dihukumkan haram. Inilah yang dimaksud muqaranah syahadat: "Laa af`alun illallah". Tidak ada satu zarah pun perbuatan makhluk, hanya Perbuatan Allah yang Ada.


2. Muqaranah Takbir Ihram


Yakni sempurnanya takbir ihram dalam simpulan kata "Laa asma`un illallah." Tiada yang maujud segala nama, hanya Allah. Raiblah ruhani: segala rasa ruhani termasuk perasaan senang, indah, dan keinginan melihat-mengalami ini-itu, tidak ada lagi. Raib ruhani.


3. Muqaranah Sakaratul Maut


Yaitu fana sifat. "Laa maujudun illa shifatun illallah". Tiada yang maujud segala sifat, hanya Allah. Raiblah ruh. Yakni jenis yang mutlak. itulah Ruq Qudus. Kelihatanlah siapa yang raib ke Tuhan dan kekal dengan Tuhan, kalau bukan jenis yang mutlak.


Jadi, jasmani, ruhani, nurani, dan rabbani, semua raib bersama jenis yang mutlak. Sempurnalah. Akmallah dengan Tuhan. Selain dari jenis yang mutlak, nafi-lah. Tidak ada bersama-sama [tidak besertaan].


4. Muqaranah Wahdatul Zat


Lihatlah asalnya diri. Melihat asalnya diri. "Laa zatul illallah fil haqiqaati illallah."


Asal diri, terdahulu. Dan hendaklah dimatikan dirinya terlebih dahulu. Sabda Nabi Saw., "Mutu qabla Anta mutu." Matikan dirimu sebelum mati.


Seperti engkau berdiri di sajadah sebelum takbir ihram: matikanlah diri dulu.


"Laa af`alun illallah"


"Laa asma`un illallah."


"Laa maujudun illa shifatun illallah"


"Laa zatul illallah fil haqiqaati illallah."


Kemudian masukkanlah hakikat tauhid, "Laa maujudun illallah". Tidak ada wujud, hanya wujud Allah. Pandanglah, wujud siapa yang shalat itu? Kalau masih merasa wujud kamu, artinya belum mati. Kalau kamu sudah tahu Wujud Allah saja Ada, mau apa lagi tahu wujud-wujud baharu? Inilah shalat yang bersih dari syirik.


Wujud Allah = Zat Allah = Rahasia Allah = Diri Allah


Jadi shalat itu Diri Allah menyembah Allah. Karena yang Ada hanya Wujud Allah, tidak ada baharu. Jadi, yang dikehendaki makrifat dalam tauhid itu: shalat itu kehendak Allah dan yang shalat itu Rahasia Allah. Pandangan orang makrifat: Sudah Diri Allah Memuji Tuhannya.


Jadi praktik di dalam ibadah:


Matikan dulu diri kamu sebelum shalat. Karena apa? Karena di dalam shalat ini raib semua: mi'raj semua. Yang musti diucapkan dalam berdiri di atas sajadah sebelum takbir, yaitu keempat perkataan muqaranah. Kemudian baru masukkan hakikat tauhid. Setelah itu pandanglah.


Mematikan diri dalam shalat itu, bukan meniada-tiadakan diri, bukan mengosong-kosongkan diri, bukan membuang-buang diri, bukan juga merasa-rasakan diri tiada. Mematikan diri itu maksudnya: Kembalikanlah hak-hak Tuhan itu sebelum kamu mati.


"Laa af`alun illallah"     <=== tiada tubuh


"Laa asma`un illallah."  <=== tiada nyawa


"Laa maujudun illa shifatun illallah"      <=== tiada berkelakuan


"Laa zatul illallah fil haqiqaati illallah." <=== tiada diri


Inilah mematikan diri sebelum mati. Inilah shalat orang muntahi; shalat tingkat penghabisan.


Di dalam tasawuf amali ada penggolongan tingkat-tingkat amal seseorang, yaitu tingkat pertama sampai ke empat. Secara tauhid, kita kupas seperti ini.


    muftadi, orang yang beramal dengan i`tikad lillahi ta'ala [karena atau kepada Allah]. Orang ini masih berkutat dalam masalah kelengkapan syarat dan rukun untuk menghadap Allah. Masih bersifat dari dirinya kepada Allah.


    mubtadi, orang yang beramal dengan i`tikad minallahi ta`ala [dari Allah]. Orang ini memandang dari Allah-lah sehingga dirinya bisa beramal ibadah. Masih bersifat dari Allah kepada dirinya.


    mutawasit, orang yang beramal dengan i`tikad billahi ta`ala [dengan Allah]. Orang ini memandang dengan Allah-lah sehingga dirinya bisa beramal ibadah. Masih besertaan dirinya dengan Allah.


    muntahi, orang yang beramal dengan i`tikad lillahi ta`ala, minallahi ta`ala, dan billahi ta`ala sekaligus. Dipandangnya semua sehingga tidak dipandangnya dirinya ada, yang ada sudah Perbuatan, Kelakuan, Asma, dan Zat Allah semata. Tiada merasa ada diri lagi, sudah semuanya Allah semata.


Untuk sempurna mengetahui Allah, ketahuilah asal diri. Bukankah yang dijadikan Allah itu zat, sifat, asma, dan af`al. Ini yang perlu diketahui.


Kata Ibnu Abbas r.a., kepada Nabi Saw., dia bertanya:


"Yaa junjunganku, apa yang mula-mula dijadikan Allah Ta`ala?"


Sabda Nabi Muhammad Saw., 


"Innallaaha khalawa qablal asya`i nuurun nabiyyika."


Sesungguhnya Allah telah menjadikan yang mula-mula dari segala sesuatu ialah Cahaya Nabimu [Nur Muhammad]. Nyatalah, Nur Nabi itulah mula-mula dari sekalian alam.


Dan kata Abdul Wahab Syarani r.a. dari Nabi Muhammad Saw.:


"Innallaaha khalaqarruuhin nabiy Muhammad Shalallaahu `alaihi wasalam min zaatihi wa khalaqarruuhin alam."


Sesungguhnya Allah menjadikan ruh Nabi Muhammad Saw. dari Zat-Nya [Zat Allah] dan menjadikan ruh sekalian alam dari Nur Muhammad.


Sadarilah. Segala sesuatu jenis yang zahir [korporeal; jasadi] dari Nur Muhammad, sedangkan ruh-ruhnya dari Zat Allah. Pandanglah diri kita, jasad ini Nur Muhammad; ruh ini dari Zat Allah. Sifat dan zat itu satu [compact].


Contoh: 


Kalau ketan dengan ragi: satu, dinamailah tapai. 


Kalau Zat dan Sifat: satu, dinamai diri siapa diri kita ini? Tentulah Diri Allah.


Nur itu Sifat, Zat itu Rahasia. 


Zat itu hayyun se-hayyun-hayyun-nya. Maka yang hiduplah yang berkelakuan, mana mungkin yang mati [fana] yang berkelakuan.


Kalau kita sudah tahu bahwa Zat itu Wujud Allah; dan Wujud Allah itu Diri Allah, maka Rahasia, itulah Diri Allah. Kalau sudah paham ini, jangan lagi kamu sebut Diri Allah yang berkelakuan. Sebut dengan sebenar-benarnya: Allah yang berelakuan. Karena dalam hakikat tauhid: sudah tidak ada wujud baharu lagi. Apa pun yang kamu lihat, Wujud Allah yang Ada.


Wujud Allah itu Zat Allah; Zat Allah itu Diri Allah. 


Kalau sudah tahu Allah, tidak perlu lagi kamu mau sama dengan Allah atau mau jadi Allah. Kalau sudah Allah, ya tetap Allah. Allah tetap Allah; baharu tetap baharu. Mana mungkin baharu bisa jadi Allah atau Allah jadi baharu.


Jadi, diri manusia ini Diri Allah karena diri manusia ini Zat-Sifat. Jadi yang dikatakan shalat itu, Diri Allah memuji Tuhan-Nya. Kalau kesadaran ini kamu pegang terus, boleh kamu rasakan setiap tidur kamu mendapat hidayah

#wassalamu