Laman

Minggu, 30 Juni 2013

Jalan Menuju Hakikat

  “Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya” (Al-Hadits)



Kognisi Diri

Beberapa hal berikut ini yang perlu disebutkan dalam rangka kognisi diri:
Pertama: Dzat manusia terbentuk dari dua substansi: Substansi cahaya yang membentuk nafs dan substansi gelap yang membentuk jasad. Nafs, adalah hidup, berakal, bekerja dan aktif: sedangkan jasad, adalah mati, jahil, dan pasif.
Kedua: Kesempurnaan, keutamaan, dan kelebihan atas yang lain, dapat diperoleh manusia hanya dengan jalan pengetahuan dan pengamalan terhadap kemestiannya, bukan sesuatu yang lain.
Ketiga: Pengetahuan yang mengantarkan manusia untuk memperoleh keutamaan dan kesempurnaan serta dengan memilikinya akan menaikkan manusia dari kesejajaran hewan-hewan sampai derajat malaikat muqarrabin, bukanlah setiap ilmu (baca; sembarang ilmu). Betapa banyak ilmu dan pengetahuan yang menjadi karya ilmuan tapi hanya menyibukkan para pembacanya, sebab isi dan kandungannya tidak lebih hanya semacam ungkapan-ungkapan perkataan. Adapun ilmu dan makrifat yang bermanfaat di akhirat hanyalah ilmu dan makrifat yang ulama akhirat memberikan perhatian sangat besar terhadapnya, sementara ulama dunia membelakanginya, yakni pengetahuan dan makrifat terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, kitab-kitab suci-Nya, dan para Nabi-Nya (Insan Kamil). Juga pengetahuan terhadap hari kiamat (eskatologi), nafs manusia serta bagaimana nafs mengalami kesempurnaan dan kenaikannya -dari posisi kehewanan- mendapatkan kondisi fana sampai pada tataran malakut dan ruhani yang langgeng dan abadi.
Keempat: Kesempurnaan ilmu dan makrifat demikian ini tidak mungkin diperoleh kecuali dengan jalan riadah dan kesungguhan syar’i serta keilmuan dan menjaga syarat-syarat khusus. Dan kemungkinan untuk meraihnya terbuka lebar bagi setiap orang, namun karena hanya sedikit yang mengarunginya dengan sungguh-sungguh maka hanya sedikit orang yang berhasil menggapainya.
Untuk memahami ungkapan-ungkapan di atas dengan baik, kami menjelaskannya dalam bentuk suatu contoh:
Nafs (jiwa) manusia dalam mempersepsi topik-topik benar dan hakikat sesuatu, berposisi sebagai cermin yang berhadapan dengan gambaran-gambaran ma’lumât (hal-hal yang diketahui). Sementara sebab tak terlihatnya suatu gambaran dalam cermin, ada lima hal:
Cermin masih belum dalam bentuk sempurnanya, misalnya bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatannya sudah tersedia, tapi cermin masih belum dibuat.
Terkadang cermin telah jadi, tapi kotoran, karatan, dan debu mengenainya (menutupinya).
Dikarenakan kita tidak memposisikan cermin pada posisi dimana gambar (rupa) ingin disaksikan, misalnya obyek dan benda yang ingin disaksikan berada dibelakang cermin.
Antara cermin dan benda terdapat sesuatu –misalnya tirai- sebagai penghalang.
Kita tidak mengetahui secara pasti posisi dimana sesuatu yang menjadi obyek perhatian di arahkan, sehingga cermin kita letakkan ke arah tersebut.

Demikian juga seperti lima perkara ini tentang substansi nafs manusia, dimana ia memiliki kesiapan sebagai sebuah cermin bagi tajalli gambaran hakikat Hak Swt. Oleh karena itu, langkah mendasar yang dibutuhkan untuk mendapatkan ilmu dan makrifat Ilahiah adalah mengenal diri dan nafs kita terlebih dahulu. Bahwa nafs adalah suatu substansi cahaya, hidup, berakal, bekerja, aktif, dinamis, dan abadi. Dari dimensi-dimensi yang dimilikinya itu, ia memiliki pelbagai kesiapan untuk menyerap asma dan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: Takhallaqu Bi Akhlâqillah (Berakhlaklah dengan akhlak Allah). Namun tentunya dengan syarat ia harus memiliki kebersihan dan kesucian, sehingga dimensi-dimensi yang dimilikinya tersebut dapat bekerja dengan baik dan sempurna dalam berhadapan dengan cahaya-cahaya Ilahiah yang senantiasa terpancar di alam makro kosmos dan mikro kosmos.


Kemungkinan Musyhadah Alam Gaib

Tidak diragukan, para pembesar agama-agama –dalam hal ini para nabi As- dengan perbedaan tingkatan yang mereka miliki, mempunyai hubungan dengan alam metafisika (baca; alam gaib) dan memiliki informasi dan pengetahuan tentang perkara-perkara batini. Namun masalahnya adalah apakah maqam dan kedudukan ruhani ini hanya terkhusus bagi mereka? Apakah ia merupakan pemberian Tuhan yang hanya terbatas bagi mereka ataukah orang-orang lain yang mengikuti jalan ilmu, makrifat, dan amali mereka, juga berpeluang untuk menggapainya?
Dengan kata lain, apakah informasi dan pengetahuan terhadap perkara-perkara batini dan rahasi-rahasia gaib terbatas hanya bagi para nabi As dan orang-orang lain yang berada di alam materi ini tidak mampu mendapatkan jalan tersebut kecuali setelah mereka mati, ataukah maqam tersebut merupakan perkara iktisabi (maksudnya dapat diperoleh dengan berusaha dan berupaya) dan orang-orang lain juga berpeluang meraihnya? Tentunya jawaban kita dalam hal ini adalah bahwa orang-orang lain juga mampu mendapatkan jalan kepada rahasia-rahasia alam.
Salah satu argumennya adalah; hubungan alam materi (fisika) dengan alam metafisika, hubungan sebab dan akibat serta sempurna dan kurang. Dan kita menamakan hubungan ini dengan hubungan zhahir dan batin.
Sebagaimana kita alami bahwa zhahir secara daruri kita saksikan, sementara penyaksian zhahir tidak bisa kosong dari penyaksian batin, sebab keberadaan zhahir adalah gradasi keberadaan batin dan merupakan manifestasinya; karena itu, batin juga tersaksikan secara aktual ketika zhahir tersaksikan. Dan sebagaimana zhahir merupakan batasan dan manifestasi batin maka ketika manusia mengenyampingkan batasan ini dan bersungguh-sungguh (mujahadah) untuk mengabaikannya, tidak diragukan dia akan menyaksikan yang batin.
Dengan kata lain alam materi ini adalah akibat dari alam mitsal, yakni jika kita ingin dalam bentuk suatu tangga naik ke atas maka kita dari alam materi akan naik ke alam mitsal. Dan alam mitsal ini, sekarang juga bersama kita, ia maujud secara aktual saat ini. Oleh karena itu, hubungan alam zhahir dengan alam batin adalah hubungan akibat dengan sebab. Seperti konsepsi yang ada di akal manusia dengan tulisannya. Manusia, ketika sedang menulis, secara beruntun dia mengkonsepsi dan menuliskannya. Dan jika sedetik dia berhenti mengkonsepsi (sesuatu) maka dia juga akan berhenti menuliskan sesuatu.
Pada hakikatnya dalam konteks ini juga berlaku sistem sebab dan akibat. Zhahir yang disaksikan ini, ia sendiri keberadaannya tegak atas dasar batin. Dan meskipun pada dasarnya batin juga tersaksikan, tapi kita tidak melihatnya. Ketika kita menyaksikan zhahir, batin juga secara aktual tersaksikan oleh kita. Jika seseorang penglihatan batinnya terbuka maka tidak mungkin penyaksian zhahirnya tidak membawanya pada penyaksian batin; sebab wujud zhahir tidak lain merupakan bentuk dan gambaran dari wujud batin. Jadi zhahir itu adalah batin yang bertajalli dan memanifestasi. Karena itu, dengan penyaksian alam materi ini maka batin juga tersaksikan.
Zhahir adalah batasan batin. Pada hakikatnya alam batin terbatasi dengan alam zhahir. Jika seseorang mampu dengan mujahadah nafs memecahkan batasan ini dan tidak menghiraukannya maka dia niscaya akan menyaksikan batin dari alam ini.
Sebagaimana nafs mempunyai kesatuan dengan badan, maka di satu sisi nafs memandang dirinya adalah badan itu sendiri. Namun ketika badan dari jalan penginderaannya menyaksikan nafs maka dia menyangka dirinya terpisah dari nafs, dan ketika persangkaan ini mengambil bentuk maka nafs berhenti pada tataran badan dan melupakan tingkatannya yang tinggi. Tingkatan tinggi setiap orang adalah alam mitsal dan alam akalnya. Dan nafs, ketika melupakan suatu tingkatan dari tingkatan-tingkatannya maka dia akan melupakan juga kekhususan-kekhususan yang terkhususkan tingkatan tersebut dan alam yang terkhususkan untuknya; akan tetapi pada saat yang sama dia tetap menyaksikan inniyyah dan hakikat dirinya, yakni akunya. Penyaksian ini adalah daruri dan tidak dapat terpisahkan.
Oleh karena itu, dengan terputusnya aku dari badan maka tidak terdapat lagi tirai penghalang. Berasaskan ini, jika seseorang kembali kepada nafs dan hakikat dirinya dengan ilmu dan makrifat serta amal baik, niscaya hakikat nafs, tingkatan-tingkatannya, maujud-maujud dan rahasia-rahasia batin alam akan dia saksikan.
Jadi jelaslah bahwasanya manusia selain para nabi As dan maksumin As, juga mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan terhadap alam metafisika (alam gaib) ketika dia masih hidup di alam materi ini, yakni bukan hanya hakikat-hakikat yang tersembunyi dan rahasia itu baru mereka bisa saksikan setelah kematian natural dialaminya.


Musyahadah Batin Dalam Al-Qur’an dan Riwayat

Untuk mengakhirkan bahasan ini kami akan menukilkan sebagian dalil-dalil nakli yang mendukung pandangan tersebut di atas. Bukti dan dalil ini akan memberi kesaksian bahwa manusia mampu menyaksikan rahasia-rahasia dan batin alam sejak dalam kehidupannya di alam materi ini.
Ayat al-Qur’an menyebutkan: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dia adalah Hak. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi syahiid atas segala sesuatu? Ingatlah, sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. Fussilat [41]: 53-54) Sebagian mufassir seperti Allamah Thabathabai menafsirkan bahwa kata syahiid dalam ayat ini tidaklah bermakna syaahid, tetapi bermakna masyhuud, dengan qarinah bahwa dalam ayat ini disebutkan tentang Tuhan memperlihatkan tanda-tanda-Nya sehingga jelaslah Dia Hak Swt.
Dan ayat al-Qur’an: “Dan milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Maha luas, Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah[2]: 115)
Sebab Tuhan, Dialah yang awal dan akhir dan Dia pula yang zhahir dan batin maka ke mana pun maujud-maujud ini mengarahkan pandangnnya, yang mereka saksikan adalah wajah-Nya, apakah itu yang zhahir ataukah yang batin.
Terdapat sebuah riwayat dari Rasulullah Saw: bahwa beliau masuk masjid pada waktu subuh, di dalam mesjid beliau menyaksikan seorang pemuda kurus namun penuh cahaya di wajahnya duduk di salah satu sudut masjid. Rasulullah bertanya: Bagaimana kondisi anda pada subuh ini? Pemuda itu menjawab: Saya pada subuh ini dalam kondisi yakin kepada Allah Swt.


Bertanya Rasulullah tentang kondisi Zaid
Bagaimana pagi subuh ini kau lalui wahai sahabat sejati?
Berkata Aku hamba yang yakin
Bertanya mana bukti keyakinan yang menakjubkan itu?
Berkata aku menyaksikan makhluk-makhluk penghuni langit
Dan aku melihat dan menyaksikan Arasy dan para penghuninya.


Diriwayatkan bahwa Haris bin Malik berkata kepada Nabi Saw: “Ya Rasulullah, aku melihat neraka jahanam dan penghuninya dan aku melihat surga beserta penghuninya dan aku mendengar suara-suara mereka” (Ushul al-Kafi, Jld. 2, Bab Hakikat al-Iman wa al-Yaqin)
Imam Ali As dalam khutbahnya menta’birkan kelompok manusia seperti ini dengan ungkapannya: “Mereka ada di alam dunia ini, menyaksikan Surga seakan-akan mereka juga sedang ikut menikmati keindahannya”. (Nahjul Balagah, Khutbah 193)

Sungai Superpanjang dalam Tubuh Kita


Bayangkan, dalam tubuh kita terdapat sungai yang mengalir sepanjang 160 kilometer. Ya, sungai sepanjang itu adalah pembuluh darah tubuh kita. Hulu dan muaranya berada di satu tempat, yaitu Jantung.
Pembuluh darah ibarat saluran irigasi yang super canggih. Saluran yang mampu mengaliri seluruh sel-sel tubuh dengan darah. Mengirim oksigen dan gula sebagai bahan bakar sel, lalu mengambil sisa-sisa pembakaran sel untuk dibuang.

Berawal dari jantung, darah dipompa keluar jantung menuju pembuluh nadi. Darah yang penuh dengan oksigen. Darah lalu mengalir menuju cabang-cabang pembuluh nadi yang lebih kecil, ke seluruh organ-organ tubuh, tanpa terkecuali. Hingga berujung di pembuluh kapiler, saluran terakhir di mana darah langsung terhubung dengan sel. Di sinilah, terjadi pertukaran oksigen dengan karbondioksida.

Perjalanan dilanjutkan. Darah yang kotor dipenuhi karbondioksida ini, dialirkan lagi menuju jantung. Melalui pembuluh bilik yang terkecil, menuju pembuluh balik yang lebih besar, hingga berakhir di jantung. Lagi-lagi, jantung memompa darah kotor ke paru-paru. Di sinilah, karbondioksida dilepas, dan digantikan lagi dengan oksigen. Darah yang sudah bersih dan kaya oksigen, dikembalikan lagi ke jantung untuk dialirkan ke seluruh tubuh.

Jika seluruh pembuluh darah tubuh disambung menjadi satu, maka panjangnya mencapai 160 kilometer. Panjang yang bisa digunakan untuk mengelilingi bumi sebanyak 4 putaran.
Dan Jantung adalah pompa yang luar biasa. Organ sebesar kepalan tangan ini terus berdenyut, sejak manusia masih berwujud janin, dan baru berhenti saat ruh manusia dicabut. Jantung mampu berdenyut 70 kali setiap menit, atau 100.800 kali sehari semalam. Setiap denyutnya, jantung mampu memompa darah sebanyak 59 cc. Dari tiap denyut inilah, dalam sehari, seluruh darah dalam tubuh mampu berkeliling 1.000 putaran.

Subhanallah. Allah Ta’ala berfirman mengingatkan, “Fa bi ayyi ala’i rabbikuma tukadziban, duhai jin dan manusia, nikmat Rabbmu yang manakah yang kamu dustakan?”  dan juga firman-Nya, “Wa fi anfusikum afala tubshirun, dan pada dirimu sendiri, apakah engkau tidak memperhatikan?”
Sebuah renungan bagi kita tentunya; betapa besar nikmat kesehatan yang Allah limpahkan kepada kita….,

Teruntuk Istriku…,


Istriku…, engkau adalah satu dari sekian ujian yang harus aku lalui dengan bermalam-malam munajat, berbulan-bulan renungan, berpuluh-puluh doa, beribu-ribu aksara ….

            Maka, ketika kuputuskan untuk memilihmu…, hanya memilihmu dari sekian akhwat yang ada, itu berarti aku mengharap engkau mau menjadi parter hidupku, menjadi kakak bagi adik-adikku, adik bagi kakakku, menantu bagi orangtuaku. Itu berarti, aku mengharapmu mau menemaniku; mengisi dan mewarnai sisa hidupku, dalam suka-dukaku, berjuang bersama mengarungi bahtera hidup berumah tangga; melangkahkan kaki bersama untuk ikut andil membaktikan diri kita untuk umat ini, dengan melahirkan generasi-generasi yang akan memberatkan bumi ini dengan kalimat “Lâ ilâha illallâh”.

            Jatuhnya pilihanku kepadamu adalah buah dari kemantapan hati dari istikharah panjangku. “Ya Allah, jika dia baik bagiku, bagi dien, dunia dan akhiratku, maka takdirkanlah dia untukku; tautkanlah hatinya dengan hatiku, dekatkanlah, mudahkanlah kemudian berkahilah ya Rabb….” 

Maka, setelah mendapat kemantapan hati bahwa engkaulah tulang rusuk yang selama ini aku cari-cari, aku berani maju untuk mendapatkanmu. Bukan, sama sekali bukan karena apa-apa; bukan karena kecantikan, kedudukan sosial, apalagi harta yang menjadi sebab aku memilihmu. Aku memilihmu karena engkaulah jawaban dari istikharahku; Allah memberikan kemantapan hati bahwa engkaulah bidadariku, di dunia dan akhirat nanti –insyaAllah. Allah memberikan rasa suka dan cinta tanpa aku tahu sebab apa; karena aku sama sekali belum mengenalmu, bahkan bertemu pun tidak pernah, apalagi melihat wajahmu. Aku memberanikan diri taaruf dan menghitbahmu adalah karena, sekali lagi, aku mendapatkan kemantapan hati dengan jawaban istikharahku…., terlebih, setelah itu aku tahu bahwa pertanda engkau benar-benar jodohku adalah kemudahan dalam berproses, dan semakin mendekatkan diriku kepada Allah; aku mendapatkan keduanya…, dan aku takjub dengan skenario-Nya; bener-bener indah.

            Niatku menikah pun sudah aku tata; aku ingin melaksanakan perintah Allah, “wa ankihu l-ayâma minkum wa-shshâlihîna min ‘ibâdikum wa imâ’ikum, in yakûnû fuqarâ’a yughnihimullâhu min fadhlih, wallâhu wâsi’un ‘alîm” dan juga meneladani sunah Nabi kita, Muhammad Shallalallahu alaihi wa sallam, “Yâ ma’syara sy-syabâb, man-istathâ’a minkumu-lbâ’ah fa-lyatazawwaj” yaitu menikah, demi mencari ridha Allah, dan ingin menjaga iffah; menjaga mata dan apa yang ada di antara dua paha.

            Istriku…, ketika ijab qabul terlafazhkan, pada saat itu aku sedang mengambil perjanjian yang berat. Ketika itu Arsy ar Rahman berguncang karena perjanjian yang kuat dan berat itu; Allah menyebutnya mîtsâqan ghalîzhan, sama sebagaimana Dia mengambil perjanjian dari para Nabi; Nabi Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa serta nabi-nabi yang lainnya –‘alaihimush shalatu was salam–. Perjanjian itu berat karena aku mengambil-alih amanah dari pundak ayahmu ke pundakku.

            Saat itulah, kita sudah resmi menjadi suami-istri, dan kehidupan dalam hidup berumah tangga kita mulai…., maka mari bergandengan tangan untuk saling bersinergi, saling menutupi, saling melengkapi. Allah membahasakannya dengan kekata, “Hunna libâsun lakum wa antum libâsun lahunna, engkau adalah pakaian bagiku, dan aku pakaian bagimu”; saling menutupi, melindungi, menjaga, dan memberikan kehangatan-kesejukan-ketenangan-ketentraman.

            Aku sadar sesadar-sadarnya bahwa aku hanya lelaki biasa yang banyak kekurangannya; aku tidak sesantun Abu Bakar, setegas Umar, sedermawan Utsman, sebijaksana Ali apalagi semulia Nabi Muhammad –Shallallâhu ‘alaihi wa sallam; aku hanya lelaki akhir zaman yang mencintai mereka, dan berusaha meneladaninya…..,
            Maka, bila aku salah ingatkanlah, bila aku sedih hiburlah, bila aku gelisah tenangkanlah, bila aku marah redamkanlah, bila aku tidak memahami maumu maka beritahukanlah aku apa sebenarnya pintamu.…,
Aku hanya bisa menasehatkan sebagaimana nasehat seorang ibu kepada putri tercintanya yang akan hidup bersama suaminya; lelaki asing yang baru dikenalnya, “Kamu wajib untuk qona’ah, mendengar dan taat, menjaga diri dan tenang. Jagalah cintamu kepadanya, peliharalah harta bendanya. Bantulah pekerjaannya. Kerjakan apa yang menyenangkannya. Simpanlah rahasianya. Janganlah menentang perintahnya. Tutuplah cela dan aibnya. Cintailah dia ketika masih muda, dan juga ketika sudah tua. Jagalah lisanmu dan kokohkanlah keimananmu.”

Kalau toh engkau nanti merasakan lelah-letih dengan semua pekerjaan rumah, ingatlah kisah Asma’ binti Yazid bin Sakan Rahimahallah; duta para wanita yang mengadukan kegundahan mereka tentang kelebihan-kelebihan amalan yang hanya dikhususkan bagi lelaki saja, tidak kepada para wanita; baik tentang jihad, shalat jum’at dan mengantar jenazah. Asma’, shahabiyah yang dikenal ahli dalam berorasi itu mendatangi majlis Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasul Allah, sungguh, aku adalah utusan bagi semua wanita muslimah di belakangku. Seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan, dan berpendapat sebagaimana yang aku sampaikan. Sungguh, Allah mengutusmu kepada kaum lelaki dan kaum wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan kepada Rabbmu.” 

Kemudian Asma’ melanjutkan kalimat inti dari kegelisahan para wanita, dulu hingga kini, “Adapaun kami, para wanita, terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum lelaki, dan kami adalah tempat mereka menyalurkan syahwatnya. Kami pula yang mengandung anak-anak mereka, akan tetapi kaum lelaki mendapatkan keutamaan melebihi kami dengan shalat jum’at, mengantarkan jenazah, dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad, kami-lah yang menjaga harta mereka dan mendidik anak-anak mereka.”
Setelah mengutarakan itu semua, Asma’ kemudian bertanya, “Lantas, apakah kami, kaum wanita, juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat?”
Coba baca sekali lagi pertanyaan Asma’ yang begitu mengagumkan, “Lantas, apakah kami, kaum wanita, juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat?”
Rasulullah tersenyum, dan takjub dengan tanyanya; luar biasa indahnya. Pertanyaan luar biasa yang terlontar dari segenap kaum wanita karena ingin mendapatkan pahala berlimpah dari profesi ibu rumah tangga; menjaga dirinya, harta suaminya dan mendidik anak-anaknya.

Rasulullah pun bertanya kepada segenap shahabat yang mengelilingi majlisnya, “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan tentang agama dari seorang wanita yang lebih baik dari tanyanya?” semuanya menjawab, “Belum, belum pernah”

Beliau kemudian bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kepada para wanita yang berada di belakangmu; bahwa perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya, upayanya untuk mendapat keridhaan suaminya, dan ketundukkannya untuk senantiasa mentaati suami; itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum laki-laki.” Subhanallah. Jawaban yang sejuk dan indah. Mengobati semua kegundahan para wanita, yang iri dengan berbagai pahala yang diperoleh kaum lelaki. Inilah pahala yang akan diberikan kepada ibu rumah tangga yang membaktikan dirinya untuk taat kepada suaminya. Sekali lagi, bila engkau merasakan lelah-letih dengan semua pekerjaan rumah kita nanti, ingatlah kisah Asma’ ini; betapa mulianya berprofesi sebagai ibu rumah tangga…, karena sejatinya itulah jihad seorang istri yang sesungguhnya.

            Terakhir, pintaku kepadamu hanya satu; jadilah istri yang shalihah…., wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya –Mencintai Allah Ta’ala dan Rasulullah –Shallallâhu ‘alaihi wa salla di atas segala-galanya, menutup aurat, tidak berhias dan berperangai seperti wanita jahiliah, tidak bermusafir atau bersama dengan lelaki ajnabi kecuali ada bersama mahramnya,  sering membantu dalam kebenaran, kebajikan dan takwa, berbuat baik kepada orangtua, senantiasa bersedekah baik itu dalam keadaan susah ataupun senang, tidak berkhalwat dengan lelaki ajnabi, dan bersikap baik terhadap tetangga serta suaminya—, serta taat kepada suami –Memelihara kewajiban terhadap suami, senantiasa menyenangkan suami, menjaga kehormatan diri dan harta suaminya semasa suami tiada di rumah, tidak cemberut di hadapan suami, tidak menolak ajakan suami untuk tidur, tidak keluar tanpa izin suami, tidak meninggikan suara melebihi suara suami, tidak membantah suaminya dalam kebenaran, tidak menerima tamu yang dibenci suami dan senantiasa memelihara diri, kebersihan fisikal dan kecantikannya serta kebersihan rumahtangga-,  dan jadilah kupu-kupu tercantik yang hanya hinggap di hatiku, selamanya

yaa Salam

5 Syarat Sebelum Bermaksiat

Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham didatangi seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabiah. Ia meminta nasehat kepada dirinya agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya. Ia berkata, “Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya.”

Setelah merenung sejenah, Ibrahim berkata, “jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, maka aku tidak keberatan kau berbuat dosa.”
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar, Jahdar beratanya, “apa saja syarat-syarat ini, ya Aba Ishak?”


“Syarat pertama, jika kau melaksanakan perbuatan maksiat, maka janganlah kau memakan rizki Allah”, ucap Ibrahim.
Lelaki itu mengernyitkan dahinya lalu berkata, “lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rizki Allah?”
“Benar”, jawab Ibrahim tegas. “Bila kau telah mengetahuinya, masih pantaskah kau memakan rizki-Nya sementara kau terus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintah-Nya?”
“Baiklah…”, jawab lelaki itu tampak menyerah. “kemudian apa syarat yang kedua?”
“kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya”, kata Ibrahim lebih tegas lagi.

Syarat kedua ini membuat Jahdar lebih kaget lagi. “Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?”
“Benar Abdullah. Karena itu pikirkanlah baik-baik. Apakah kau masih pantas memakan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya sementara kau terus berbuat maksiat?”, tanya Ibrahim.

“Kau benar Aba Ishak”, ucap Jahdar kemudian. “Lalu apa syarat ketiga?”, tanyanya dengan penasaran.
“Kalau kau masih juga bermaksiat kepada Allah tetapi masih ingin memakan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat yang tersembunyi agar tidak terlihat oleh-Nya.”
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishak, nasehat macam apakah semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rizki-Nya, tinggal di buminya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya. Pantaskah kau melakukan semua itu?”, Tanya Ibrahim kepada lelaki yang masih tampak bengok itu. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabiah tidak berkutik dan membenarkannya.

“Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakana apa syarat yang keempat?”
“Jika malaikatul maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal shaleh.”
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukan selama ini. Ia kemudian berkata, “tidak mungkin…tidak mungkin seua itu kulakukan.”
“Ya abdallah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?”
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya sayarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasehat kepada lelaki itu.

“Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!”
Lelaki yang ada dihadapan Ibrahim bin Adham itu tampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasehatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal, ia berkata, “cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarkannya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah.”
Lelaki itu memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyuk.

Diambilkan dari Abu Nawas dan Terompah Ajaib

Bagaimana meraih kemulyaan

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary

“Rasa senangmu agar makhluk lain melihat keistimewaanmu, menunjukkan bahwa ubidiyahmu tidak benar.”
Bila seseorang memiliki keistemewaan dari Allah Swt, berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh yang banyak, atau pengalaman ruhani yang hebat, lalu ia secara diam-diam ingin diketahui keistemewaannya, maka dipastikan ubudiyah orang tersebut tidak benar.
Salah satu Sufi menegaskan, “Siapa yang senang jika amalnya dilihat manusia, maka ia adalah orang yang riya’, dan siapa yang senang jika pengalaman ruhaninya diketahui orang, maka ia adalah pendusta.”
Kondisi ini berlaku bagi para penempuh, namun untuk para ahli ma’rifat yang telah meraih hakikat dan musyahadah, maka tidak apa-apa jika ia tunjukkan amaliyahnya, menampakkan kebaikan ruhaninya, agar syukurnya benar-benar termanifestasi dan bias diteladani yang lain.
Namun bagi para penempuh ia akan mudah kagum pada diri sendiri, dan merasa cukup serta berakhir dengan takabur. Para pemula harus mewujudkan kefanaannya, hatinya lari dari pandangan makhluk menuju pandanganNya, menyembunyikan amal dan ihwal ruhaninya. Namun bila kefanaannya sempurna dan baqo’nya termaujud dalam hakikatnya, ia senantiasa bersama Allah Swt, maka biula Allah menghendaki untuk menampakkan ia tampakkan, jika Allah menghendaki menyembunyikan, ia sembunyikan. Ia sama sekali tidak berkait dengan soal tampak dan tersembunyi. Semua berkait dengan perintahNya belaka.
Ibnu Athaillah as-Sakandary meneruskan:
“Sembunyikan pandangan makhluk kepadamu dengan melihat pandangan Allah padamu, dan hilangkan penerimaan makhluk padamu, dengan melihat penerimaan Allah swt padamu.”
Maksudnya, jangan menginginkan pujian, diterima dan dihormati oleh manusia atas apa yang ada dalam diri anda, namun lebih konsentrasi kesenangan agar anda lebih diterima oleh Allah Swt.
Bagaimana pandangan makhluk kepadamu bisa merusak hatimu dengan Allah Swt, oleh karena itu rindumu dan rasa sukamu jangan pernah ada kecuali hanya demi pandangan Allah Swt padamu.
Apalagi jika anda berfikir agar citra anda naik di hadapan publik, nama anda agar dikenal, kemampuan anda disegani, ilmu anda dijadikan rujukan, amal anda dinilai besar, justru akan meracuni hatimu. Datangnya public dihadapanmu sebelum anda meraih kesempurnaan, akan melahirkan dampak psikologis yang membayakan hatimu, mulai dari rasa bangga, merasa lebih, terhormat, dan prestisius lain yang bisa merobek keutuhan hatimu kepada Allah Swt.
Sebagian sufi mengatakan, “Orang yang benar adalah yang tidak peduli, jikalau keluar  nilai lebih dari yang muncul dari hati para makhluk terhadap kebaikan hatinya, juga tidak suka jika ada seberat atom amalnya dilihat manusia, tidak benci jika amal buruknya dilihat orang lain, karena kebenciannya itu menunjukkan bahwa ia ingin punya nilai lebih di hadapan makhluk. Jelas itu bukan tergolongkan keikhlasan orang yang benar.”
 
Yaa ..Salam