Laman

Senin, 29 September 2014

Keutamaan Cinta Dalam Ibadah


Ibnu Qayyîm al-Jawziyyah menghimpun banyak ungkapan dari para sufi besar berkenaan dengan cinta dan prioritasnya dalam peribadatan yang benar:
• Junaid mengatakan:
Saya mendengar al-Harits al-Muhâsibi berkata, cinta itu terjadi apabila engkau merasa condong secara penuh terhadap sesuatu, dan kemudian engkau lebih menyukai hal tersebut melampaui dirimu, jiwamu dan milikmu sendiri, kemudian kerelaanmu atas hal itu sepenuh lahir dan batin, dan kemudian engkau mengetahui kelemahanmu dalam cintamu kepada-Nya.
• ‘Abd Allâh Ibn al-Mubarak
Barang siapa diberi sebagian dari cinta dan ia tidak diberi rasa kagum dengan jumlah yang sama, maka ia telah tertipu.
• Yahya Ibn al-Mu`adz al-Razi berkata:
Cinta seberat atom lebih aku sukai daripada tujuh puluh tahun ibadah tanpa cinta.

• Abu Bakrah al-Qaththani berkata:
Pada musim haji terjadi diskusi tentang cinta di kota Mekah dan para syekh berbicara tentang hal itu. Junaid adalah yang termuda usianya di antara mereka. Mereka berkata kepada Junaid, “Katakanlah apa yang engkau miliki, wahai orang Irak.” Ia menundukkan kepalanya penuh hormat dan kedua matanya penuh airmata, kemudian berkata, “Seorang hamba meninggalkan dirinya sendiri, tak putus mengingat Tuhannya, terus-menerus memenuhi tugas-tugasnya, memandang kepada-Nya dengan hatinya, hati yang terbakar oleh cahaya Keagungan-Nya, dan minumannya begitu jernih dari gelas cinta-Nya. Apabila ia berkata, itu karena Allah dan apabila ia berucap itu dari Allah, apabila ia berpindah itu karena perintah dari Allah dan apabila ia diam ia bersama Allah. Ia oleh Allah, ia untuk Allah dan ia bersama Allah (fa huwa billâhi wa lillâhi wa ma`allâhi).” Para syekh itu lantas menangis keras dan berkata, “Tidak ada lagi cinta di atas itu, semogalah Allah menguatkanmu, wahai Mahkota para Pengenal (Tâj al-`ârifîn–penj.)!”
• Junaid juga mengatakan:
Orang yang mengenal Allah tidaklah dianggap sebagai orang yang mengenal sampai ia menjadi seperti tanah; sama saja baginya apakah orang baik atau orang jahat yang menginjak-nginjaknya; atau seperti hujan, ia memberi tanpa membeda-bedakan, baik kepada mereka yang ia sukai atau pun tidak ia sukai.
• Sumnun mengatakan:
Para pecinta Allah memperoleh kemuliaan di dunia dan di akhirat. Nabi saw bersabda, “Manusia itu bersama orang yang dicintainya,” Mereka bersama Allah baik selagi di dunia atau pun di akhirat.
• Yahya Ibn Muadz juga mengatakan:
Bukanlah orang yang benar seseorang yang menganggap diri mencintai-Nya seraya melanggar larangan-larangan-Nya.
• Ia juga mengatakan:
Orang yang mengenal Allah akan meninggalkan kehidupan duniawi ini dan ia tidak pernah merasa cukup dengan dua hal: menangisi dirinya sendiri, dan menangisi kerinduannya kepada Tuhannya.
• Penempuh jalan penyucian diri lainnya mengatakan:
Pengenal Allah tidaklah dikatakan pengenal sehingga apabila kekayaan Sulaiman diberikan kepadanya, kekayaan itu tidak akan sekejappun membuatnya sibuk dengan selain Allah.

Al Hikam : Hakikat Cinta Kepada Allah


Mengenai hakikat cinta kepada Allah s.w.t. menurut pandangan hakikat hikmah Tauhid dan Tasawuf, sebagaimana telah diungkapkan oleh Maulana Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut:
"Orang yang begitu sangat cintanya bukanlah orang yang mengharapkan balasan sesuatu dari pihak yang dicintainya atau dia menuntut sesuatu maksud dari pihak yang ia cintai, karena orang yang begitu sangat cintanya itu ialah orang yang memberi buat anda, bukanlah orang yang begitu sangat cintanya itu merupakan orang dimana anda memberi buatnya."
Kalam Hikmah ini, sepintas lalu sulit juga menangkapnya, apabila tidak kita berikan penjelasan sebagai berikut:
Apabila cinta dapat dilukiskan melalui huruf, tulisan dan maksud-maksud tertentu, pada hakikatnya itu tidak dapat dikatakan cinta atau mahabbah. Karena cinta yang demikian, adalah cinta yang dapat dibuat, demi untuk sampai kepada tujuan yang dikehendaki. Karena itu, barangsiapa yang mencintai seseorang supaya seseorang itu memberikan sesuatu kepadanya atau menolak sesuatu yang tidak baik daripada yang mencintai, berarti orang yang mencintai itu adalah mencintai dirinya sendiri, bukan mencintai orang yang dicintai. Karena kalau bukanlah sesuatu yang dituju oleh dirinya sendiri tidak ada, maka pastilah dia tidak akan mencintai orang yang dicintainya itu.
Karena itulah, hakikat cinta pada orang yang mencintai, adalah memberikan keseluruhan yang ada pada dirinya demi untuk mendapatkan kerelaan daripada pihak yang dicintainya. Tanpa ada sesuatu yang ia ingin capai, berupa sesuatu yang sifatnya lahiriah dari pihak yang dia cintai. Sehingga tidak ada apa-apa lagi yang dimiliki olehnya, selain semuanya itu ia serahkan kepada pihak yang ia cintai. Atau boleh dikatakan, bahwa yang mencintai adalah dibunuh oleh kecintaannya itu, sehingga tidak ada tujuannya selain daripada kerelaan dari pihak yang dicintai. Misalnya saja seperti yang diungkapkan oleh pengarang Iqazul Himam fi Syarhil Hikam, tentang contoh seorang laki-laki mencintai seorang wanita. Laki-laki itu berkata: "Aku betul-betul cinta padamu." Wanita itu menjawab: "Betapa anda cinta kepada saya, padahal yang duduk di belakang anda itu adalah lebih baik."
Mendengar itu, si pria tadi memalingkan mukanya melihat wanita yang ada di belakangnya, maka setelah wanita itu melihat bahwa pria itu memalingkan mukanya melihat wanita yang ada dibelakangnya, dia berkata: "Anda ini adalah manusia yang tidak baik. Anda mengatakan begitu cinta kepadaku, tetapi anda palingkan muka anda melihat kepada selainku."
Itulah sebuah contoh dan apabila contoh ini kita kiaskan kepada hubungan cinta kita selaku hamba Allah kepada Tuhan Pencipta alam, Allah s.w.t., juga demikian. Kita mengatakan, kepada diri kita dan kepada orang lain, bahwa kita cinta kepada Allah, tetapi juga hati kita memalingkan cintanya kepada sesuatu yang selainNya, atau merasakan sesuatu selain Allah, yang mempengaruhi hati kita. Maka ini menunjukkan cinta kita kepada Allah tidak full, tetapi adalah tidak lebih daripada dakwaan semata-mata.
Selanjutnya Apabila kita begitu mencintai sesuatu, maka hendaklah jiwa raga kita itu, kita berikan buat sesuatu itu. Demikian pula, kecintaan seseorang kepada orang yang dia cintai, dia harus memberikan segala-galanya kepada pihak yang dia cintai. Dan bukanlah kebalikannya.
Demikianlah kecintaan kita kepada Allah s.w.t., tidak boleh dipalingkan kepada selainNya. Karena itu, apabila kita beribadah karena mengharapkan syurgaNya berarti kita mencintai Syurga. Dan bukan mencintai Allah. Sebab hakikat cinta kepada Allah, hanya tertuju semata-mata kepada Allah dan kita lupa kepada hal-hal yang lain selain dariNya. Apakah itu merupakan keuntungan kita berupa pahala dari Allah ataukah itu merupakan hajat-hajat kita kepadaNya.
Ada sebuah contoh kejadian, yang telah terjadi pada seorang Waliyullah bernama Ibrahim bin Adham. Beliau berkata: Pada suatu hari, saya bermohon kepada Allah, seraya saya mengucapkan "Wahai Tuhanku, jika Engkau telah memberikan kepada seseorang dari orang-orang yang cinta kepadaMu ketenteraman hati sebelum bertemu dengaMu, maka Engkau berikan pulalah kepadaku yang demikian. Karena hatiku susah sedemikian rupa, demi cintaku kepadaMu."
Ibrahim bin Adham meneruskan katanya: Setelah sering aku berdoa demikian aku bermimpi, seolah-olah aku diperintahkan Allah berdiri di hadapanNya, dan Dia 'berkata' kepadaku: Hai Ibrahim (bin Adham), tidaklah engkau bermalu kepadaKu, bahwa engkau memohon kepadaKu, supaya hatimu tenteram sebelum bertemu denganKu. Apakah begitu orang yang sangat rindu hatinya akan dapat tenteram, kalau tidak bertemu dengan yang dicintainya .
Apakah orang yang begitu cinta hatinya akan dapat tenang, tanpa bertemu dengan yang ia rindukan? Ibrahim (bin Adham) menjawab: "Wahai Tuhanku, aku bingung, dalam cinta terhadapMu. Maka aku tidak tahu, apa yang aku katakan, karena itu Engkau ampunkan dosaku, Engkau ajarlah aku ya Allah, apa yang seharusnya aku mesti katakan." Tuhan menjawab: Katakanlah olehmu:
"Wahai Tuhan, Engkau ridhailah aku dengan keputusan-keputusanMu, Engkau sabarlah aku atas cubaan-cubaanMu, Engkau ilhamkanlah kepadaku, untuk mensyukuri nikmat-nikmatMu."

Al Hikam : Hati Sumber Cahaya


Dalam tulisannya mengenai hati, Syaikh Ahmad Ibn'Athaillah mengatakan bahwa "Tempat terbitnya berbagai cahaya itu adalah hati dan rahasia-rahasianya".
Cahaya ilmu, cahaya ma'rifat dan cahaya tauhid tempat terbit dan memancarnya ada di dalam hati orang-orang yang ma'rifat dan di dalam rahasia-rahasia mereka (di dalam jiwa mereka). Cahaya-cahaya ini merupakan cahaya yang hakiki karena lebih kuat daya pancarnya daripada cahaya yang terpancar dari berbagai macam bintang.
Rasulullah saw. telah bersabda di dalam menceritakan firman Allah :
"Tidak akan memuat Aku bumi-Ku dan langit-Ku, dan bisa memuat Aku hati hamba-Ku yang beriman".
Sebagian orang-orang ma'rifat berkata : "Seandainya Allah menyingkap tempat terbit cahaya hati orang-orang yang menjadi kekasih-Nya, niscaya terlipatlah cahaya matahari dan bulan karena kuatnya cahaya hati mereka".
Asy Syadzili berkata : "Seandainya disingkap cahaya orang mukmin yang maksiat, pasti akan memenuhi seluruh langit dan bumi. Maka bagaimanakah perkiraanmu mengenai cahaya orang mukmin yang ta'at ?". Ketahuilah bahwa cahaya bulan dan matahari masih bisa terkena gerhana dan bisa terbenam. Akan tetapi cahaya hati kekasih Allah tidak mengenal adanya gerhana dan terbenam.Oleh sebab itu Syaikh Ahmad bin 'Athaillah selanjutnya berkata :
"Cahaya yang tersimpan di dalam hati sumbernya dari cahaya yang dating langsung dari berbagai gudang kegaiban".
Cahaya keyakinan yang tersimpan di dalam hati terus bertambah-tambah sinarnya yang bersumber dari cahaya yang datang dari perbendaharaan gaib.
Yaitu berupa cahaya sifat=sifat azali. Apabila Allah telah membuka sifat-sifatNya, maka bertambah-tambahlah cahaya itu yang dihasilkan dari hati para kekasih Allah. Yang demikian itu merupakan suatu petunjuk bahwa Allah telah memberi pertolongan kepada mereka.
Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata:
"Cahaya yang diperoleh dengan panca indera bisa membuka kepadamu akan semua keadaan yang terjadi (benda-benda di alam ini), sedang cahaya yang tersimpan di dalam hati bisa membuka kepadamu akan sifat-sifat Allah yang azali".
Cahaya itu ada dua macam, yaitu :
1. Cahaya yang diperoleh dengan panca indera dengan adanya sinar matahari. Maka cahaya ini bisa memperlihatkan barang-barang yang ada di alam raya dan bermacam-macam kedaan manusia. Cahaya ini bukan yang menjadi perhatian orang-orang ahli hakekat, melainkan hanya sebagai petunjuk adanya Allah Yang Maha Pencipta.
2. Cahaya yang tersimpan dalam hati yang disebut sebagai cahaya keyakinan. Cahaya inilah yang bisa membuka sifat-sifat Allah yang azali sehingga menjadi nyata dan terang. Dengan cahaya hati ini
benar-benar oarng menjadi ma'rifat kepada Allah.
Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :
"Terkadang hati terhenti bersama-sama dengan cahaya, sebagaimana terhalangnya nafsu sebab tebalnya benda-benda (syahwat)".
Penghalang hati untuk menuju kepada Allah itu ada dua macam, yaitu :
1. Nurani, yang berupa bermacam-macam ilmu dan ma'rifat. Apabila hati berhenti padanya dan cenderung kepadanya sehingga ilmu dan ma'rifat itu dijadikan pokok tujuannya, maka dia akan terhalang untuk menuju kepada Allah.
2. Zhulmani (kegelapan), yang berupa bermacam-macam keinginan nafsu dan kebiasaan-kebiasaanya. Karena hati masih terpengaruh oleh keinginan-keinginan nafsu inilah maka dia menjadi terhalang untuk
menuju kepada Allah.
Maka hati bisa terhalang oleh berbagai macam cahaya sebagaimana nafsu bias terhalang oleh berbagai kegelapan. Sedang Allah berda di belakang itu semua.
Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :
"Allah menutupi cahaya hati dengan bermacam-macam keadaan lahiriyah karena memuliakannya untuk (tidak) diberikan secara terang atau (khawatir) untuk dipanggil atasannya dengan lisan kemasyhuran".
Allah menutup hati para kekasih-Nya (para wali) sebagai rahmat-Nya kepada sekalian orang-orang yang beriman. Sebab jikalau rahasia kewalian itu terbuka kepada seseorang, pasti akan mewajibkan orang yang sudah terlahir kewaliannya.
---------------------------------------------------------------------
Syaikh Ahmad Ibn' Atahaillah dalam "Al-Hikam" Al -Ustadz Mahfudli Shaly

Sufi Road : Kesiapan Menerima Pancaran Cahaya


Datangnya anugerah itu menurut kadar kesiapan jiwa, sedangkan pancaran cahayaNya menurut kadar kebeningan rahasia jiwa.
Anugerah, berupa pahala dan ma’rifat serta yang lainnya, sesungguhnya terga tung kesiapan para hamba Allah. Rasulullah saw, bersabda:
“Allah swt berfirman di hari qiamat (kelak): “Masuklah kalian ke dalam syurga dengan rahmatKu dan saling menerima bagianlah kalian pada syurga itu melalui amal-amalmu.” Lalu Nabi saw, membaca firman Allah Ta’ala “Dan syurga yang kalian mewarisinya adalah dengan apa yang kalian amalkan.” (Az-Zukhruf: 72)
Adapan pancaran cahaya-cahayaNya berupa cahaya yaqin dan iman menurut kadar bersih dan beningnya hati dan rahasia hati. Beningnya rahasia hati diukur menurut kualitas wirid dan dzikir seseorang.
Dalam kitabnya Lathaiful Minan, Ibnu Athaillah as-Sakandary menegaskan, “Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala menanamkan cahaya tersembunyi dalam berbagai ragam taat. Siapa yang kehilangan taat satu macam ibadah saja dan terkaburkan dari keselarasan Ilahiyah satu macam saja, maka ia telah kehilangan nur menurut kadarnya masing-masing. Karenanya jangan mengabaikan sedikit pun atas ketaatan kalian. Jangan pula merasa cukup wirid anda, hanya karena anugerah yang tiba. Jangan pula rela pada nafsu anda, sebagaimana diklaim oleh mereka yang merasa dirinya telah meraih hakikat dalam ungkapannya, sedangkan hatinya kosong…”Jangan keblinger dengan Cahaya atau bentuk Cahaya sebagaimana tergambar dalam pengalaman mengenai Cahaya lahiriyah, baik yang berwarna warni atau satu warna. Cahaya batin sangat berhubungan erat dengan kebeningan batin, tidak ada rupa dan warna yang tercetak. Melainkan pancaran Cahaya keyakinan total kepadaNya.Perihal pancaran Cahaya ini, beberapa item pernah kita ungkap di edisi 2006, namun masih relevan untuk kita renungkan kembali, dan tertuang dalam kitab Al-Hikam:
“Bagaimana hati bisa cemerlang jika wajah semesta tercetak di hatinya? Bagaimana bisa berjalan menuju Allah sedangkan punggungnya dipenuhi beban syahwat-syahwatnya? Bagaimana berharap memasuki hadhirat Ilahi sedangkan ia belum bersuci dari jinabat kealpaannya? Atau bagaimana ia faham detil rahasia-rahasiaNya, sedangkan ia tidak taubat dari kelengahannya?”
Semesta kemakhlukan adalah awal dari hijab Cahaya, dan ikonnya ada pada nafsu syahwat dan kealpaannya.
“Siapa yang cemerlang di awal penempuhannya akan cemerlang pula di akhir perjalannya.” Kecemerlangan ruhani dengan niat suci bersama Allah dalam awal perjalanan hamba, adalah wujud pantulan Cahaya yang diterima hambaNya, karena yang bersama Allah awalnya akan bersama Allah di akhirnya.
“Orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menuju kepada Allah menggunakan petunjuk Cahaya Tawajuh (menghadap Allah) dan orang-orang yang sudah sampai kepada Allah, baginya mendapatkan Cahaya Muwajahah (limpahan Cahaya). Kelompok yang pertama demi meraih Cahaya, sedangkan yang kedua, justru Cahaya-cahaya itu bagiNya. Karena mereka hanya bagi Allah semata, bukan untuk lainNya. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Katakan, Allah” lalu tinggalkan mereka (selain Allah) terjun dalam permainan.” Itulah hubungan Cahaya dengan para penempuh dan para ‘arifun, begitu jauh berbeda.
“Cahaya adalah medan qalbu dan rahasia qalbu. Cahaya adalah pasukan qalbu, sebagaimana kegelapan adalah pasukan nafsu. Bila Allah hendak menolong hambaNya, maka Allah melimpahkan padanya pasukan-pasukan Cahaya, dan memutus lapisan kegelapan dan tipudaya.”
Wilayah Cahaya adalah qalbu, ruh dan sirr. Cahaya akan memancar sebagai instrument, wujud adalah hakikat yaqin yang memancar melalui instrumen pengetahuan yang dalam tentang Allah.
“Allah mencahayai alam lahiriyah melalui Cahaya-cahaya makhlukNya. Dan Allah mencahayai rahasia batin (sirr) melalui Cahaya-cahaya SifatNya. Karena itulah cahaya semesta lahiriyah bisa sirna, dan Cahaya qalbu dan sirr tidak pernah sirna.”
“Pencerahan Cahaya menurut kebeningan rahasia batin jiwa”.
“Sholat merupakan tempat munajat dan sumber penjernihan dimana medan-medan rahasia batin terbentang, dan di dalamnya Cahaya-cahaya memancarkan pencerahan.” Karena itu cita dan hasrat anda, hendaknya pada penegakan sholat, bukan wujud sholatnya.
“Apabila cahaya yaqin memancar padamu, pasti anda lebih dekat pada akhirat dibanding jarak anda menempuh akhirat itu sendiri. Dan bila anda tahu kebaikan dunia, pasti menampakkan gerhana kefanaan pada dunia itu sendiri.” Maksudnya, nuansa ukhrowi menjadi lapisan baju anda, yang melapisi Nuansa Ilahi. Segalanya terasa dekat tanpa jarak padamu.
“Tempat munculnya Cahaya adalah hati dan rahasia jiwa. Cahaya yang ditanamkan dalam hati adalah limpahan dari Cahaya yang menganugerah dari khazanah rahasia yang tersembunyi. Ada Cahaya yang tersingkapkan melalui makhluk-makhluk semesta, dan ada Cahaya yang tersingkapkan dari Sifat-sifatNya. Terkadang hati berjenak terhenti dengan Cahaya-cahaya, sebagaimana nafsu tertirai oleh alam kasar dunia.” Itulah ragam Cahaya, ada Cahaya muncul dari kemakhlukan ada pula Cahaya SifatNya. Tetapi, jangan sampai Cahaya jadi tujuan, agar tidak terhijabi hati kita dari Sang Pemberi Cahaya, sebagaimana terhijabinya nafsu oleh alam kasar dunia.
“Cahaya-cahaya rahasia jiwa ditutupi oleh Allah melalui wujud kasarnya alam semesta lahiriyah, demi mengagungkan Cahaya itu sendiri, sehingga Cahaya tidak terobralkan dalam wujud popularitas penampakan.” Itulah Cahaya yang melimpahi para ‘arifin, auliya’ dan para sufi, yang dikemas oleh cover tampilan manusia biasa. Sebagaimana Rasulullah saw, disebutkan , “Bukanlah Rasul itu melainkan manusia seperti kalian, makan sebagaimana kalian makan, minum sebagaimana kalian minum.” Ini semua untuk menjaga agar para hamba tidak berambisi popularitas, dan merasa bahwa Cahaya itu muncul karena upayanya.
“Cahaya-cahaya para Sufi mendahului wacananya. Ketika Cahaya muncul maka muncullah wacana” Para Sufi dan arifun berbicara dan berwacana, bukan karena aksioma logika, tetapi karena limpahan Cahaya, baru muncul menjadi mutiara kata. Sementara para Ulama, wacananya mendahului cahayanya.
“Ada Cahaya yang diizinkan untuk terbiaskan, ada pula Cahaya yang diizinkan masuk di dalam jiwa.” Ada Cahaya yang hanya sampai di lapis luar hati, tidak masuk ke dalam hati, sebagaimana orang yang menasehati tentang hakikat tetapi dia sendiri belum sampai ke sana. Ada Cahaya yang menghujam dalam jiwa, dan dada menjadi meluas, dengan ditandainya sikap merasa hampa pada negeri dunia penuh tipudaya, dan menuju negeri keabadian, serta menyiapkan diri menjemput maut.
“Janganlah anda menginginkan agar warid menetap terus menerus setelah Cahaya-cahayanya membias dan rahasia-rahasiaNya tersembunyi.” Itulah perilaku para pemula, biasanya ingin agar Cahaya-cahaya warid itu menetap terus menerus. Padahal suatu kebodohan tersendiri, karena penempuh akan lupa pada Sang Pencahaya.
“Sesungguhnya suasana keistemewaan itu ibarat pancaran matahari di siang hari yang muncul di cakrawala, tetapi Cahaya itu tidak dari cakrawala itu sendiri, dan kadang muncul dari matahari Sifat-sifatNya di malam wujudmu. Dan kadang hal itu tergenggam darimu lalu kembali pada batas-batas dirimu. Siang (Cahaya) bukanlah darimu untukmu. Tetapi limpahan anugerah padamu.”
“Cahaya-cahaya qalbu dan rahasia jiwa tidak diketahui melainkan di dalam keghaiban alam malakut. Sebagaimana Cahaya-cahaya langit tidak akan tampak melainkan dalam alam nyata semesta” Orang yang mampu memasuki alam malakut adalah yang dibukakan Cahaya-cahaya qalbu dan jiwanya. Begitu juga nuansa pencerahan Cahaya qalbu dan rahasia qalbu itu, merupakan rahasia tersembunyi di alam Malakut.
Dan lain sebagainya, yang menggambarkan soal pencahayaan ini. Karena berbagai ragam, bisa memberikan sentuhan Cahaya, apakah Cahaya qalbu, Cahaya ruh dan Cahaya Sirr yang memiliki karakteristik berbeda-beda dalam kondisi ruhani para hamba Allah

Sekuntum Mawar Hati


Penanya: Apa yang dimaksud dengan hati terbuka? Mengapa hati harus dibuka? Dan apa yang menyebabkan hati terbuka?
Bawa Muhaiyaddeen: Hanya ketika sekuntum mawar mengembang dan merekah, barulah keharumannya menyebar. Bukankah begitu? Sebelum merekah bisakah engkau merasakan keharuman mawarnya? Tidak, engkau tidak bisa. Bisakah engkau melihat keindahan mawarnya? Tidak bisa, ia hanyalah sebuah kuncup. Hanya tatkala mawarnya merekah barulah keindahan dan keharumannya terpancar.
Lubuk hati yang paling dalam, atau qolbu, adalah seperti sekuntum bunga mawar. Walaupun ia ada di sana, selama ia masih dalam keadaan kuncup, engkau tidak akan bisa merasakan keindahan mawarnya, warnanya atau keharumannya. Hanya ketika mawar qolbu merekah barulah engkau akan mengetahui kebahagiaan ketika mencium dan melihatnya. Pada saat itulah keindahan, keharuman, kebenaran dan keagungan qolbu diketahui. Hal-hal ini tidak bisa dilihat tatkala mawar masih dalam keadaan kuncup. Untuk itulah mengapa mawar qolbu tersebut harus dibuka. Ia harus merekah.
Sebuah taman mawar haruslah dikunci agar binatang tidak masuk dan merusaknya. Oleh sebab itu, kita harus membuka kuncinya, memasukinya dan merawatnya. Kita harus menyiram tanamannya, memberinya pupuk, dan menjaga mereka. Dengan hal yang sama, menggunakan kunci hikmah kebijaksanaan dari kebenaran, kita harus membuka taman mawar dari hati dan masuk ke dalamnya. Ketika di dalam, kita harus mengetahui apa yang dibutuhkan agar kuncup bisa merekah. Kita harus memberinya pupuk sifat-sifat Tuhan, tindakan Tuhan, perbuatan-Nya, kemulian-Nya, dan cinta-Nya. Dan kita harus menyiramnya dengan sifat-sifat Tuhan. Inilah hal-hal yang harus kita berikan kepada tanamannya.
Seiring kita melaksanakan tugas-tugas ini, suatu keindahan yang menakjubkan akan mulai merekah, dan kita akan mulai merasakan keharumannya. Itulah taman mawar dari hati. Dan Sang Penjaga dari taman ini adalah “Tuhanku!” Kita akan dapat melihat Penjaganya dan merasakan keindahan dan keharuman mawarnya di sana. Inilah mengapa kita harus membuat bunganya merekah. Inilah cara yang harus kita lakukan.

Sabtu, 20 September 2014

SUNGGUH HERAN..!


Sungguh heran..
Ada yg tdk mau sholat..
Padahal iblis diusir dari sorga krn tdk mau sujud 1x krn kesombongannya..
Lantas bgmn dgn org yg tdk mau sujud 34x dlm sehari dgn sombongnya..
Sungguh heran..
Ada org yg sombong dan sangat berbangga diri dgn segala yg ada pada dirinya..
Padahal kemarin dia adlah air mani dan esok pasti akan mati..
Sungguh heran..
Ada yg menutupi mobilnya krn takut lecet dan berdebu..
Tp membiarkan anak istrinya terbuka tanpa hijab..
Sungguh heran..
Ada yg pergi pagi pulang malam utk mengejar rizkinya..
Tp tdk pernah dtg ke 'rumah' Sang pemberi rizki utk berjamaah..
Sungguh heran..
Ada yg berjuang mati2an utk membangun rumah di dunia..
Tp ia lupa membangun rumah abadinya di akherat..
Sungguh heran..
Dia tau pasti jika dunia ini adlah jembatan menuju akherat..
Tp ia msh saja sibuk membangun istana di atas jembatan..
Ketahuilah saudaraku..
Sungguh engkau pasti mati..
Setelah itu rumahmu bukan lg milikmu..
Hartamu menjadi milik ahlimu..
Istrimu / suamimu akan nikah lagi...
Dan mrk akan mulai melupakanmu..
Kemudian mrk masing2 sibuk dgn kehidupannya..
Lantas engkau..
Apa yg skr terjadi dgnmu?
Apa yg tersisa dr milikmu?
Amalan apa yg telah engkau bawa menghadap Rabb-mu?
Biar kutebak..
Menyesal..??
Skrg mengharap dimasukkan surga..tanpa bekal??
Skrg berharap sangat dibebaskan dr hisab dan adzab..tanpa amal??
Bodoh..
Sungguh engkau telah TERLAMBAT..
Sungguh engkau telah TERTIPU..
Sungguh engkau telah BINASA..
"...Ingatlah, sesungguhnya mrk lah org2 yg bodoh, tetapi mrk tidak tahu." ﴾al-Baqarah, 13)
"(yaitu) org2 yg menjadikan agama mrk sebagai main2 dan senda gurau..DAN KEHIDUPAN DUNIA TELAH MENIPU MEREKA".
Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mrk sebagaimana mrk melupakan pertemuan mrk dgn hari ini, dan (sebagaimana) mrk selalu mengingkari ayat2 Kami." ﴾al A'raf, 51﴿
::Indahnya Islam,bagi kaum yg brfikir

HATI YANG MALU


Suatu hari, demikian dikisahkan, seorang lelaki mendatangi Imam Hambali (780-855). Ia lelaki yang banyak bergelimang maksiat. Tiba-tiba ia datang ke majelis pengajian Imam Hambali untuk menceritakan mimpinya.

Dalam mimpi itu, kata lelaki itu, ia merasa tengah berada dalam kerumunan manusia yang ada di hadapan Rasulullah SAW. Rasul tampak berada di tempat yang agak tinggi. Satu per satu, orang-orang mendatangi Rasul dan berkata, "Doakan saya ya Rasulullah." Rasul pun mendoakan orang-orang itu. "Akhirnya tinggal aku sendiri," kata lelaki yang menceritakan mimpinya itu. "Aku pun sangat ingin
mendatangi beliau, tapi aku malu atas berbagai maksiat yang telah kulakukan. Rasul lalu berkata,"Mengapa kau tidak datang kepadaku dan minta kudoakan?" "Wahai Rasulullah," kata lelaki itu, "Aku terhalang oleh rasa malu akibat perbuatan-perbuatan burukku di masa lalu." "Kalau engkau merasa terhalang oleh rasa malu, berdirilah dan mintalah agar aku mendoakanmu. Bukankah engkau tak pernah menghina para sahabatku," jawab Rasul dalam mimpi tersebut.

Itu hanya sebuah kisah kecil dari pergulatan panjang umat manusia meninggalkan kemaksiatan untuk hijrah ke bumi kebaikan. Perjumpaan serta dialog dengan Rasul pun hanya ada dalam mimpi, bukan dalam kenyataan. Mimpi bukanlah dasar yang kukuh untuk dijadikan pegangan, walau para pecinta sejati Rasulullah meyakini bahwa mimpi bertemu Rasulullah adalah sama dengan pertemuan yang sebenarnya, dan mimpi seperti itu hanya mungkin dialami oleh mereka yang mendapat syafaat.

Tapi Imam Hambali menghargai keterangan lelaki pendosa tersebut. Laki-laki itu punya rasa malu atas perbuatan-perbuatan buruknya. Rasa malu itu yang mencegahnya terperosok semakin dalam ke jurang kemaksiatan, dan malah mengangkatnya ke dataran kebaikan. Mimpi itu adalah jalan yang mengantarkannya menuju pertobatan dengan menemui Imam Hambali. Maka, Imam Hambali pun berkata pada lelaki itu untuk menyebarkan kisah tersebut agar memberi kemanfaatan pada orang-orang lain.

Di dalam perjalanan manusia sebagai hamba untuk mendekat pada Sang Kekasih, Allah Azza Wajalla, rasa malu baru merupakan tangga yang pertama. Masih sangat jauh dari perwujudan rasa cinta yang semestinya. Tapi, apa yang membuat kita dapat mencapai tangga ke-99 bila tangga pertama pun kita tak sanggup menapakinya? Bukankah kita tak melupakan petunjuk Rasulullah bahwa "Malu adalah sebagian dari iman."

Rasul sekalipun menggenggam rasa malu di hadapan Allah Sang Maha Penyayang. Setidaknya itu tercetus dalam kisah Mi'raj, saat Muhammad SAW menerima perintah secara langsung agar umatnya menegakkan salat. Konon, mula-mula Allah memerintahkan salat 50 kali dalam sehari. Rasulullah sempat menyanggupi, namun Rasul lain yang ditemui dalam perjalanan gaib tersebut mengingatkannya bahwa tugas itu terlalu berat bagi umat Muhammad.

Rasul pun meminta keringanan sehingga tugas diturunkan lima kali. Masih terlalu berat, Rasul meminta keringanan lagi. Demikian terus-menerus hingga kewajiban salat hanya lima kali sehari. Saat itu, Muhammad SAW diingatkan bahwa lima kali sehari masih terlampau berat. Namun, Rasul telah malu hati untuk kembali mengajukan keringanan pada Allah SWT.

Hanya Allah yang Mahatahu seberapa benar kisah tersebut, tapi kisah itu telah menunjukkan peran malu dalam kehidupan ruhaniah Rasul. Punyakah kita rasa malu karena mengabaikan salat? Malukah kita karena hanya punya sedikit tabungan kebaikan dalam kehidupan ini.

Allah menyaksikan setiap langkah kita. Maka semestinya kita malu berbuat hal yang mubazir, apalagi maksiat, di hadapan-Nya. Semestinya kita malu tak cukup beribadah kepada-Nya. Semestinya kita malu bila tidak berkerja keras menyelesaikan amanat-masing-masing.

Semestinya kita malu tidak mensyukuri nikmat, menuntut kenaikan gaji dengan mengumpat-umpat bukan dengan meningkatkan kualitas kerja sendiri. Semestinya kita malu bila menjadi atasan tak mampu mengangkat nasib bawahan, dan sebagai pemimpin gagal menyejahterakan rakyat yang kita pimpin. Lazimnya, kita hanya malu untuk urusan duniawi di hadapan manusia lain, bukan urusan kebaikan di hadapan Tuhan.

Tokoh sufi Rabi'ah Al-Adawiyah juga mengungkapkan rasa malunya. Suatu saat, ia ditanya mengapa tidak minta pertolongan materi dari sahabat-sahabatnya. Rabi'ah menjawab tenang. "Aku malu kalau harus minta materi pada Allah, padahal Dialah pemilik segala materi. Apakah aku harus minta materi pada orang yang jelas bukan pemilik materi itu."

Suatu doa acap dikumandangkan sebagai pujian di lingkungan pesantren. "Tuhanku, aku merasa tak pantas untuk mendapat surga-Mu. Tapi akupun tak sanggup menanggung azab neraka-Mu. Maka terimalah tobatku, maafkan segala dosaku. Sungguh Engkau adalah Pengampun Yang Maha Besar."

Rasa malu telah membuat seorang wali Allah memanjatkan doa itu. Tidakkah kita malu bila tak mengikuti jalan yang telah ditempuh Rasulullah dan para wali Allah untuk menuju ke haribaan-Nya.

YANG BERTASBIH


Sebagaimana padi adalah bukti biji bijian, pula ke kupu adalah bukti kepompong
Duhai Saki, sebagaimana arak adalah bukti e-angguran, pula mabuk adalah bukti kepayang
Demikian pula Pengingat, sang dzaakir, adalah bukti akan yang diingat
Dan IndahNya, lukisan alam mayapada, adalah bukti akan KeindahanNya

Cantiknya wujud adalah lautan keindahan tiada tara yang dilihat oleh hamba-hamba yang tenggelam dalam samudera IngatanNya akan diriNya sendiri. Maka, jelas dalam jiwa-jiwa mereka adalah nyanyian merdu alastu birobbikum. Apa yang mereka lihat? Samudera dalam sekendi air, bahkan segenap kehidupan dalam setetes air. Mentari dalam rembulan, bahkan Sang Maha Matahari Bersinar di dalam hati namun sejuk sekali. Kesucian Nya Yang Maha Suci dalam tasbih-tasbih, bahkan dalam desahan dan keluhan.

Kehidupan ini bagi Pengingat, adalah Nan Diingat
Keberadaan ini bagi Pecinta, adalah Nan Dicinta
Pengingat -lah nan Diingat, dan nan dingingat -lah pengingat
Sebagaimana Layla tampak bagi Majnun, walau di mata domba, dan
Majnun tampak bagi Layla walau dibalik domba

Bahwasanya orang yang senantiasa tenggelam dalam ingatan kepadaNya adalah diriNya sendiri, sebagaimana menurut Ibn ‘Arabi (q.s.) tentang makna man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa robbahu, barangsiapa mengenal bahwa dirinya adalah ketiadaan, dan tiada selain Dia, maka Ia telah mengenal TuhanNya, yakni Yang Maha Ada.
Dituliskan oleh kekasih orang-orang beriman di akhir zaman, Imam Ruhullah Al-Musawi Khomeini dalam al-aadab al-ma’nawiyyah li ash-sholah, Allah Ta’aala berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam (dalam al-Kafiy); Wahai Musa, jangan tinggalkan dzikir (kepada)-Ku dalam setiap perkara. Beliau juga mengutipkan sebuah hadits mulia dari Ash-Shodiq (‘alaihis-salaamu); Allah Ta’alaa berfirman ; Wahai Bani Adam, ingatlah Aku dalam dirimu, (niscaya) aku akan ingat dirimu di dalam diri-Ku. Juga dalam Al-Kaafiy yang mulia, Beliau ( Ash-Shadiq ‘alaihis-salaamu) bersabda; Adz-dzaakiru (Orang yang berdzikir) kepada Allah ‘Azza wa Jalla di tengah-tengah orang yang lupa bagaikan orang yang mati dari orang-orang yang berperang ( al-muhaaribiina al-ghoziina).
Yakni, pedzikir kepadaNya di kalangan orang-orang yang lalai, adalah orang yang telah mati sebelum mati, telah terbuka hijab baginya bahwa dirinya tiada, dan Yang Ada hanyalah Dia Semata. Man ‘arafa nafsahu, yakni barang siapa mengenal dirinya, bahwa dirinya adalah ketiadaan, dan Yang Ada hanyalah Dia, faqod ‘arafa robbahu, maka Dia Mengenal Tuhannya, dan mengenangNya setiap saat.
Mengenang KaruniaNya, KeIndahanNya, Samudera AmpunanNya, Bahari KenikmatanNya, Mentari RahmatNya, Kelembutan WujudNya dan IndahNya yang mengaliri seluruh alam dini dengan merah delima dan merah mutiara mata-mata perindu padaNya yang memerah, pula desah-desah rintihan persatuan padaNya yang melarik ke langit, serta gelinjang-gelinjang hati-hati pecintaNya yang bak ikan mas berenang-renang di samudera luas keberadaanNya.

Sungguh Ia adalah bukti atas diriNya sendiri
sebagaimana tiada bukti atas Wujud kecuali Wujud
Sungguh Ia adalah bukti atas benarNya sendiri
maka tiada Kebenaran, kecuali Ia menjadi penglihatanmu sendiri
orang buta menyangka ia melihat dengan matanya
orang ‘alim menyangka ia melihat dengan ilmunya
orang kasyaf menyangka ia melihat dengan bashirohnya
si faqir telah arif, Ia melihat dengan diriNya
aku-lah bukti akan dia
dan dia-lah bukti aku
karena aku dan dia tak perlu menyatu, kerna tak pernah mendua
kerna dia dan aku tak perlu bersatu, aku -lah dia -lah aku
oh, pemilik hati, kenali dengan cinta
oh, pemilik mantik, kenali dengan burhan
bahwa Dia Cantik, Cantik Sendiri
bahwa Dia Terang, Dengan Sendiri
wa allohu a’lam bi ash-showwab

MAKRIFAT

Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:

a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk pula secara terputus-putus.

Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.

TAUHID DAN MAKRIFAT

Menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara
mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman,

Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari (QS 13:15).

Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh
mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.

Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari [8] membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, berikut ini uraian untuk setiap tahapan ma’rifat tauhid dengan intepretasi pribadi, yaitu :
· Tauhid Af’al sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.
· Tauhid al-Asma adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim A’dham yang Mahaagung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.
· Tauhid As Sifat, adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.
· Tauhid az-Dzat berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid Az- Dzat menurut Syekh al-Banjari adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari memandangan dan musyahadah kaum arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan memandang dengan matakepala dan matahati bahwasanya tiada
yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata. Tauhid Af’al pada pengertian Syeikh al-Banjari akan banyak berbicara tentang kehendak Allah SWT yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih, dengan
pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu kontinuum ruang-waktu relatif. Tauhid Af’al adalah

Samudera Pengenalan, di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat Allah harus mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan menyucikan dirinya, menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya, mendekat

kepada-Nya untuk menauhidkan-Nya, beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya. Kalau saya proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas sebelumnya mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera Af’al inilah seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari dominasi nafs ammarah, menuju lawammah, menuju mulhammah, dan mencapai ketenangan dengan nafs muthmainnah.

Dalam Samudera Asma-asma, maka hijab-hijab tersingkap dengan masingmasing derajat dan keadaannya. Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin melathifahkan dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki medan ruh ilahiah-nya (dominasi qolbu oleh ruh yang mengenal Tuhan). Samudera Asma-asma adalah Samudera Munajat dan Permohonan, difirmankan oleh Allah SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang aik (al-Asma al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu (QS 7:180).” Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf dan raja, keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan ruhaniah lainnya.

Di tepian Samudera Asma-asma adalah lautan kerinduan yang berkilauan karena pendar-pendar cahaya rahmat dan kasih sayang Allah. Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan Cinta Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak gelombang yang menghalus dengan cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan ke dalam rahasia terdalam. Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki hamparan Samudera Kerahasiaan.

Tauhid as-Sifat adalah Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya sebagai makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari Lautan Kerinduan atau Lautan

Cinta Ilahi adalah penafian diri. Apa yang melekat pada semua makhluk adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang dipinjamkan dan akan dikembalikan kepada-Nya. Siapa yang kemudian menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi merahasiaan ilahiah didominasi kerahasiaan sirr dengan suluh cahaya kemurnian yang
menyemburat dari kemilau yang membutakan dari samudera yang paling rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari Tauhid Az-Dzat.

Di tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah Samudera
Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai tingkatan
ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu tingkatan tanpa
nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al sudah tidak ada.

Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya
dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri, “Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah
maqam Nabi Muhammad SAW, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungankebingunan
Ilahiah. Maqam dimana semua yang baru termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan dalam pengertian ruang dan waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula semua kebingungan, semua peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang menyaksikan dengan pra eksistensinya. Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan didalam-Nya. Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata. Maka, di Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang terdominasi rahasia yang paling rahasia (sirr al-asrar),

Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga, “Tidak ada yang serupa dengan-Mu.”
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diriMu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh DiaMu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh EngkauMu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera PemurnianMu,
biarkan aku memandangMu dengan cintaMu,
menjadi sekedar hambaMu dengan ridhaMu,
seperti Muhammad yang menjadi Abdullah KekasihMu.

Penguraian tauhid yang dilakukan oleh Syekh al-Banjari memang didasarkan
pada langkah-langkah penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena,
pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam
setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma-asma, Sifat-sifat dan
Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang
lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat Samudera
Tauhid tersebut. Hasil akhirnya , kalau tidak ada penyimpangan yang sangat
mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para sufi lainnya
yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan
Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan keimanan yang lebih
mantap sebagai hamba Allah.

Melihat Allah

Kata melihat disebut dengan berbagai versi dalam bahasa Arab, dan Al-Qur'an. Melihat berarti dengan mata kita. Sedangkan mata kita ada tiga. Mata kepala, mata analisa fikiran, mata hati.

Dalam konteks hubungan dengan "Melihat Allah" dan "Seakan-akan melihat Allah", maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin melihat Allah. "Musa as berkata: Ya Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu." Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu." (al-A'raf 143).

Ayat lain menyebutkan: "Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka lepaskanlah sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci." (Thaha 12)

Dan dia berkata, "Sesungguhnya aku akan menyaksikan Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya Aku bebas dari kemusyrikan kamu padaKu, melalui selain Dia."

Ayat lain menyebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."(Al-Baqarah 115)

"Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan." (Al-An'aam 79)

Nabi Musa as, gagal ketika hasratnya menggebu ingin melihat Allah, lalu Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu.". Dengan kata lain "Kamumu" atau "Akumu" tidak bisa melihatKu. Karena itu Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata, "Aku melihat Tuhanku dengan Mata Tuhanku." yang berarti bahwa hanya dengan Mata Ilahi saja kita bisa MelihatNya.

Dimaksud dengan "Mata Ilahi" adalah Mata Hati kita yang diberi hidayah dan 'inayah oleh Allah SWT untuk terbuka, dan senantiasa di sana hanya Wajah Allah yang tampak, sebagaimana dalam Al-Qur'an. Ibnu Athaillah menggambarkan secara bijak:

"Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh mendung-mendung duniawi semesta."

Karena itu soal "Menyaksikan Allah" hubungannya erat dengan tersingkapnya tirai hijab, yang menghalangi diri hamba dengan Allah, walaupun Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah.

Oleh sebab itu, dalam menggambarkan Musyahadah (penyaksian Ilahi) ini, Rasulullah menggunakan kata, "Seakan-akan", karena mata kepala kita dan mata nafsu kita, keakuan kita pasti tak mampu. Kata-kata "Seakan-akan" lebih dekat sebagai
bentuk kata untuk sebuah kesadaran jiwa dan kedekatan hati.Tetapi ketika Rasulullah bersabda, "Jika kamu tidak melihatNya, kamu harus yakin bahwa Dia melihatmu.". Rasul SAW tidak menyabdakan, "Seakan-akan melihatmu.".

Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus, menimbulkan
pantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya.

Kesadaran Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing. Ada yang menyadari dalam pandangan
tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat semesta makhlukNya.

Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Abu Yazid al-Bisthamy, "Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah SWT. Karena
sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk."

Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah.

Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu Athaillah dalam al-Hikam:

"Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat
ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.

Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah."

Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran:

Mufatahah: artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersamaNya.

Muwajahah, artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui dengan CahayaNya dan hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk
melihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.

Mujalasah, artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah
swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu."

Muhadatsah, maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia batin) dengan mengingatNya dan menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya bertumpuan. Inilah yang
disabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya."

Musyahadah, adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."

Muthala'ah, adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, ketaatan dan batin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul rahasiaNya karena keparipurnaanNya. Wallahu A'lam.

Maka Hadrat Ilahi, telah menjadi kehidupan hatinya, dimana mereka tenteram dan tinggal. Renungkan semua ini dengan hati yang suci.

Jumat, 19 September 2014

MAKRIFAT MENURUT SYEH ALBANJARI.

~~ Bismillahirrahmannirrahim.~~

Bag.1.

~~RISALAH MAKRIFAT: ~~

~~TAUHID DAN MAKRIFATULLAH.~~

Menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari,

siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua

makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus.

Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa.

Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis,

yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah.

Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah.
Allah SWT telah berfirman,

Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi,

baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa

(dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari
(QS 13:15).

Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka.

Lebih lanjut Syeikh

mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.

Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu.

Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran.

Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan.

Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib.

Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya

disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu.

Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.

Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari membagi tauhid dalam konteks makrifatullah

menjadi empat samudera makrifat,

berikut ini uraian untuk setiap tahapan ma’rifat tauhid dengan intepretasi pribadi, iaitu :

• Tauhid Af’al

sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.

• Tauhid al-Asma

adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim A’dham yang Mahaagung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.

• Tauhid As Sifat,

adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.

• Tauhid az-Dzat

berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid Az- Dzat menurut Syekh al-Banjari adalah

maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari memandangan dan musyahadah kaum arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan memandang dengan matakepala dan matahati bahwasanya tiada yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata.

Bersambung....

SYAIR CINTA RABIAH

I
Alangkah sedihnya perasaan dimabuk cinta
Hatinya menggelepar menahan dahaga rindu
Cinta digenggam walau apapun terjadi
Tatkala terputus, ia sambung seperti mula
Lika-liku cinta, terkadang bertemu surga
Menikmati pertemuan indah dan abadi
Tapi tak jarang bertemu neraka
Dalam pertarungan yang tiada berpantai
II
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk semua itu
III
Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu
Hingga tak ada satupun yang mengganguku dalam jumpa-Mu
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun berlalau
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku, Engkau terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mu
Inilah yang akan selalau ku lakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi kemanusian-Mu,
Andai Kau usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
IV
Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuh-Mu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku
V
Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku
VI
Alangkah buruknya,
Orang yang menyembah Allah
Lantaran mengharap surga
Dan ingin diselamatkan dari api neraka
Seandainya surga dan neraka tak ada
Apakah engkau tidak akan menyembah-Nya?
Aku menyembah Allah
Lantaran mengharap ridha-Nya
Nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya
Sudah cukup menggerakkan hatiku
Untuk menyembah-Mu
VII
Sulit menjelaskan apa hakikat cinta
Ia kerinduan dari gambaran perasaan
Hanya orang
yang merasakan dan mengetahui
Bagaimana mungkin
Engkau dapat menggambarkan
Sesuatu yang engkau sendiri bagai hilang
dari hadapan-Nya, walau ujudmu
Masih ada karena hatimu gembira yang
Membuat lidahmu kelu
VIII
Andai cintaku
Di sisimu sesuai dengan apa
Yang kulihat dalam mimpi
Berarti umurku telah terlewati
Tanpa sedikit pun memberi makna
IX
Tuhan, semua yang aku dengar
di alam raya ini, dari ciptaan-Mu
Kicauan burung, desiran dedaunan
Gemericik air pancuran
Senandung burung tekukur
Sepoian angin, gelegar guruh
Dan kilat yang berkejaran
Kini
Aku pahami sebagai pertanda
Atas keagungan-Mu
Sebagai saksi abadi, atas keesaan-Mu
dan
Sebagai kabar berita bagi manusia
Bahwa tak satu pun ada
Yang menandingi dan menyekutui-Mu
X
Bekalku memang masih sedikit
Sedang aku belum melihat tujuanku
Apakah aku meratapi nasibku
Karena bekalku yang masih kurang
Atau karena jauh di jalan yang ‘kan kutempuh
Apakah Engkau akan membakarku
O, tujuan hidupku
Di mana lagi tumpuan harapanku pada-Mu
Kepada siapa lagi aku mengadu?
XI
Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa dengan-Mu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakan
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki
XII
Ya Tuhan, lenganku telah patah
Aku merasa penderitaan yang hebat atas segala
yang telah menimpaku
Aku akan menghadapi segala penderitaan itu dengan sabar
Namun aku masih bertanya-tanya
Dan mencari-cari jawabannya
Apakah Engkau ridha akan aku
Ya, Ya Allah
O Tuhan, inilah yang selalu mengganggu langit pikiranku
XIII
Ya Allah
Aku berlindung pada Engkau
Dari hal-hal yang memalingkan aku dari Engkau
Dan dari setiap hambatan
Yang akan menghalangi Engkau
Dari aku
XIV
Ya Illahi Rabbi
Malam telah berlalu
Dan siang datang menghampiri
Oh andaikan malam selalu datang
Tentu aku akan bahagia
Demi keagungan-Mu
Walau Kau tolak aku mengetuk pintu-Mu
Aku akan tetap menanti di depannya
Karena hatiku telah terpaut pada-Mu
XV
Tuhanku
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan
Keikhlasan mencintai-Mu
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku
Selain berdzikir kepada-Mu

MISTERI AKAL

Terjemah Kitab Ghawr Al Umur, Syekh Al Hakim At Tirmidzi [205 H – 320H]
Makrifat adalah raja yang Allah beri kuasa atasnya. Da memberinya satu tempat yang paling mulia dan paling tinggi. Ia memiliki busana keindahan, busana kebesaran, busana kekuasaan, busana keagungan, busana kewibawaan, busana kedermawanan, busana kemuliaan, busana rahmat, busana kasih, busana jabarut dan busana malakut. Ia juga memakai mahkota uluhiyah yang cahayanya bersinar hingga mencapai Zat Pemilik Arsy’ Yang Maha Agung.
Ada kondisi tertentu pada makrifat yang tidak dapat diungkapkan kepada masyarakat awam karena khawatir akan masuknya berbagai bisikan dan fitnah ke dalam hati mereka. Namun yang jelas, ia merupakan ilmu yang menakjubkan dan agung.
Misteri Akal
Allah menciptakan akal dan cahaya kemuliaan. Dalam penulisannya, ia terdiri atas tiga huruf yaitu ‘ain, qaf, dan lam.
‘Ain memiliki lima makna yaitu : (1) ‘izzah yang berarti kemuliaan, (2) ‘azhamah yang bermakna keagungan, (3) ‘uluw yang berarti ketinggian, (4) ‘ilm yang bermakna pengetahuan, dan (5) ‘atha yang bermakna pemberian. Untuk diketahui, setiap huruf pasti memiliki misteri dan muatan tersendiri yang tidak dimiliki huruf lain. Jadi, ketika mengucap huruf ‘ain, maka itu berarti di dalamnya ada keagungan, kemuliaan, ketinggian, pengetahuan dan pemberian.
Selanjutnya, huruf Qaf memiliki lima makna. Ia berasal dari kata Qurbah yang bermakna kedekatan, Qawl yang bermakna ucapan, Qur’an yang bermakna Al Qur’an, Qawaam yang bermakna lurus, dan Qudrah yang bermakna kekuasaan.
Ketika mengucap ‘Aq, itu artinya sudah masuk di dalamnya huruf ‘Ain dan Qaf berikut berbagai maknanya. Lalu huruf Lam, yang berasal dari kata Luthf yang bermakna lembut atau halus. Kelembutan tersebut berasal dari sifat rahmat. Rahmat tersebut berasal dari sifat belas kasih. Sifat belas kasih tersebut berasal dari rasa sayang. Rasa sayang tersebut berasal dari rasa sayang. Rasa sayang tersebut berasal dari rasa rindu. Rasa rindu itulah yang berasal dari cinta.
Hubb yang bermakna cinta terdiri atas dua huruf, Haa’ dan Baa’. Huruf Haa’ berarti Hayaah yang bermakna kehidupan, Hayaa’ yang bermakna rasa malu, Hilm yang bermakna kesabaran, dan Hikmah yang bermakna kebijaksanaan. Jadi, ketika mengucap huruf Haa, itu berarti di dalamnya ada kehidupan, rasa malu, dan kebijaksanaan.
Adapun huruf Baa’ terambil dari kata Birr yang bermakna kebajikan dan Bahaa’ yang bermakna kemuliaan. Dengan Ha’ yang ada pada kata Al Hayaah (kehidupan), Dia menghidupkan jasadnya. Dengan Haa’ yang ada pada kata Al Hubb (cinta), Dia menghidupkan kalbunya hingga bisa mengenalNya. Lalu dengna Baa’ yang ada pada kata Al Birr (kebajikan), Dia memberinya berbagai kenikmatan dunia. Dengan Baa’ yang ada pada kata Al Bahaa’ (kemuliaan), Dia memuliakannya di hadapan para malaikat. Seperti yang sudah saya jelaskan, kata ‘Aql (akal) terdiri atas beberapa huruf. Kemudian dilihat dari sisi bentuknya, ia merupakan ciptaan terbaik dan terbagus. Busananya pun merupakan busana yang terbaik dan termulia.
Ia dihiasi dengan berbagai bentuk keesaan dan keagungan Tuhan, dibungkus dengan pakaian yang berasal dari cahaya kesempurnaan, cahaya keagungan, cahaya kebesaran, cahaya kebaikan dan cahaya kemuliaan.
Ketika telah selesai dicipta, Allah berkata padanya, “Kemarilah ! Kemarilah !” lalu Dia berkata, “Pergilah ! Pergilah !” Kemudian Dia berkata lagi padanya “Duduklah ! Duduklah ! Demi Zat-Ku yang mulia, Aku tidak pernah menciptakan sebuah makhluk yang lebih baik daripada dirimu, yang lebih indah daripada dirimu, yang lebih mulia daripada dirimu, dan lebih utama daripada dirimu. Aku menciptakanmu dari cahaya, mengisimu dengan cahaya, membungkusmu dengan cahaya, mendekatkanmu dengan cahaya, menguatkanmu dengan cahaya, serta menempatkanmu di sumber cahaya. Aku adalah cahaya (QS 24 : 35), makrifat-Ku adalah cahaya, serta kalam-Ku adalah cahaya. Kamu ini berasal dari cahayanya cahaya. Kamu adalah cahaya di atas cahaya. Aku berikan cahaya-Ku pada siapa saja yang Aku Kehendaki di antara hamba-Ku.”
Setelah itu Allah bertanya padanya, “Siapa Aku ?”. Akal menjawab, “Engkau adalah Allah yang tiada Tuhan selain-Mu.” Lalu Allah berkata padanya, “Berkatmu manusia bisa taat. Berkatmu, dia bisa bersyukur. Berkatmu pula, Aku memberi. Berkatmu pula, pahala bisa diberikan. Atas kalkulasimu, perhitungan amal bisa dilakukan.”
[Diriwayatkan oleh Ibn’ Asakir dari Abu Abdillah yang berasal dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a. yang menuturkan, “Aku mendengan Rasulullah SAW bersabda “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Kemudian Dia menciptakan akal dan berkata ‘Demi Zat-Ku yang mulia, Aku akan menyempurnakanmu pada orang yang Ku cintai dan Aku akan mengurangimu dari orang yang Ku benci.’”.”]
Pasukan Akal
Berikut ini adalah pasukan akal : ilmu, kesabaran, keyakinan, kebenaran, penglihatan, kecerdasan, pemahaman, kewibawaan, ketenangan, rasa malu, petunjuk, hafalan, kebersihan, ketajaman, ketakwaan, pemikiran, ingatan, ampunan, kebajikan, kasih sayang, kehalusan, kelembutan, kedermawanan, keagungan, pujian, sanjungan, rasa syukur, kekuasaan, kebesaran, kebanggaan, kemuliaan, ketawadu’an, ketundukan, kekusyukan, kepatuhan, kejujuran, kesalinghubungan, keikhlasan, niat, tekad, kesetiaan, keadilan, keselamatan, kelurusan, ihsan, kerinduan, kebijaksanaan, dan pengabdian.
Selanjutnya rasa cukup, ridha, hati-hati, pengaturan, pandangan, tawakal, penyerahan, kemenangan, pertolongan, ketulusan, kelapangan, pengampunan, penutupan, rasa senang, rasa takut, harap, cemas, penampakan, diam, cinta, perintah, larangan, kekokohan, penciptaan, kejelasan, otak, ilham, pengawasan, kecukupan, tobat, kembali, canda, bahagia, pelajaran, mawas diri, penyesalan, kepandaian, dan zuhud. Jadi, ada sekitar seratus pasukan akal.
Peran Pasukan Akal
Ilmu dan kesabaran adalah menteri akal. Keyakinan adalah panglima pasukan akal. Kebenaran adalah teman mereka yang terzalimi. Penglihatan adalah pembebasan. Kecerdasan adalah pasukan terdepan. Pemahaman adalah pemilik keteguhan. Ketenangan dan kewibawaan adalah panglima. Rasa malu merupakan pemilik rahasia. Keabaran adalah pemilik siasat. Kesadaran menjadi petunjuk. Hafalan dan penjagaan adalah pemilik simpanan.
Kesungguhan, ketakwaan dan sikap wara adalah pemilik khazanah. Pemikiran dan ingatan adalah pemilik makar. Ampunan dan kebajikan adalah pemilik kehormatan. Kasih sayang, kehalusan, kelembutan dan pengawasan adalah para pembantu hakim. Kedermawanan, keagungan, pemberian dan sikap pemurah adlaah penjaga harta. Pujian, ingatan, sanjungan, dan rasa syukur adalah pemberi bantuan. Kekuasaan, kebesaran, keagungan, kebanggaan, dan kemuliaan adalah para petarung. Sikap tawadhu’, khusyuk, tunduk adalah pasukan pejalan kaki. Kejujuran merupakan hakim. Kebenaran, keikhlasan, niat dan tekad merupakan pasukan yang maju bertarung. Kesetiaan adalah pasukan yang dipercaya. Keadilan menjadi penerang. Keselamatan dan kelurusan menjadi penunjuk jalan. Sikap ihsan adalah pembawa panji bendera.
Rasa rindu adalah pemilik bendera. Hikmah adalah pimpinan. Pengabdian, pelayanan, rasa cukup dan ridha’ adalah penyangga segala urusan. Sikap hati-hati adalah pengatur. Pendapat merupakan unsur yang melakukan musyawarah. Tawakal adalah penjaga benteng. Kemenangan dan pertolongan merupakan pasukan pemanah. Ketulusan dan kelapangan adalah para utusan. Rasa senang, takut, harap dan cemas adalah milik mereka yang bersyukur. Pengaturan dan diam adalah pasukan pengintai. Cinta adalah tempat berlabuh.
Perintah dan larangan, janji dan sumpah, keteguhan yang kokoh, penciptaan dan diam, adalah wakil. Ketajaman adalah pasukan terdepan. Otak merupakan pimpinan pasukan, sementara ilham menjadi utusan penguasa tertinggi. Pengawasan adalah intel. Senang dan gembira adalah permainan. Penglihatan menjadi mata-mata. Nasihat merupakan penyeru. Kepandaian dan kecerdasan adalah pelayan. Wara dan zuhud adalah penguji. Tobat adalah pasukan yang ada di depan.
Penyesalan adalah pasukan penjaga di belakang. Itulah gambaran pasukan berikut kondisinya, disertai para amir, pelayang, penunggang kuda, dan pasukan pejalan kakinya

SUCI BADAN SUCI QALBU

Rasulullah saw, bersabda:
“Apabila diantara kalian berangkat menuju sholat Jum’at hendaknya lebih dahulu mandi.” (H.r. Muslim) Hadits mulia ini mengandung rahasia munajat agung di baliknya. Karena seorang hamba ketika sholat bermunajat dan ber-musyahadah kepada Tuhannya apalagi di hari Jum’at, sungguh merupakan musyahadah paling agung.
Hakikat Mandi
Bermandi di sini merupakan metaphor untuk mandi qalbu dan badan dan seluruh anggota fisik yang merupakan anjuran syariat. Tentu saja di dalamnya ada rahasia dibalik rahasia bermandi. Setiap anjuran syariat senantiasa ada makna batin hakikat di dalamnya, sekaligus makna lahir, yang tak bisa dijangkau oleh akal. Menyerahkan sepenuhnya segala perkara kepada Allah Swt.
Anak-anak sekalian….Siapa yang memandang kebajikan aturan Allah Ta’ala, kelembutan dan keparipurnaan Kuasanya atas segalanya, berarti ia akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu berdiri dengan sendiriNya atas apa yang dilakukanNya, menggerakkan hambaNya dengan TanganNya, membolak-balik hati mereka menurut kehendakNya, kebahagiaan
dan kebinasaan mereka, karena aturan kehendakNya sudah mendahului, tak ada yang menolak rencanaNya dan tidak ada yangmengadili hukumNya.
Apabila hal itu benar-benar maujud, sang hamba akan bergantung penuh kepada Allah Ta’ala, menyerahkan sepenuh jiwanya dan teguh dengan pijakan rasa tak berdaya, hingga yang tersisa hanyalah “tiada daya dan kekuatan, tiada ikhtiar dan dan keterkaitan, tak ada upaya mengatur maupun bertanya.
Karena sesungguhnya riangnya di dunia dan di akhirat hanyalah bergantung kepada Allah Ta’ala. Dan susahnya dunia terletak pada ketergantungannya pada selain Allah Ta’ala, dan melihat daya dan kekuatannya pada diri sendiri. Ingatlah firman Allah Ta’ala kepada NabiNya ‘alaihishsolaatu was-salam:
“Katakan, “”Aku tidak punya kemampuan terhadap diriku, baik yang berguna maupun yang membahayakan, kecuali apa yang dikehendaki Allah.”
Begitu pula bagaimana Allah Ta’ala memberlakukan pada Nabi Musa as ketika sedang bingung, “Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku…” (Al-Maidah 25)
Dikatakan, mengenai firman Allah Ta’ala, kepada Nabi Musa as, ”Maka lepaskanlah kedua sandalmu…” maksudnya adalah lepaskanlah keluarga dan anakmu dan segala hal selain Allah Ta’ala, dari hatimu. Allah bertanya kepada Nabi Musa as, “Apa yang ada di tangan kananmu wahai Musa?” Maka Musa menjawab, “itulah tongkatku…” dimana Nabi Musa as, menyandarkan tongkat pada dirinya. Allah Ta’ala bertanya,
“Apa yang akan kau perbuat dengan tongkat itu?” Musa menjawab,
“Aku pakai sebagai pegangan.”
Maka Allah Swt, memerintahkan kepadanya, “Lemparkanlah wahai Musa!” Maka beliau melemparkan tongkat itu, tiba-tiba berubah menjadi ular yang melata.
Allah Ta’ala berfirman kepada Musa as, “Hai Musa! Apa yang kau katakan “ini sebagai pegangan” telah menjadi musuhmu, karena engkau telah berpegang pada selain DiriKu.
Lalu Nabi Musa as, kembali kepada Allah Ta’ala, dan ketika Allah mengetahui kembalinya Musa, “Allah Swt berfirman, ambillah tongkat itu dan jangan takut!”.
Sedangkan Allah Swt, berfirman kepada Nabi kita saw, “Katakan Muhammad, tiada yang menimpa kami kecuali yang sudah ditulis Allah
pada kami.”
Bergantung pada Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi: “Tak seorang hamba pun yang turun padanya cobaan, lalu bergantung pada makhluk bukan padaKu, melainkan Aku memtuskan anugerah-anugerah langit dari tangannya dan Aku bebankan masalahnya pada dirinya.”
Siapa yang mendapatkan cobaan lalu bergantung pasdaKu bukan pada makhlukKu, melainkan Aku berikan padaNya sebelum ia meminta kepadaKu, dan Aku mengijabahi sebelum ia mendoa kepadaKu.”
Sebuah riwayat sampai pada kami, bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung padaKu bukan pada makhlukKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, maka ketika langit sampai ketujuh hingga para penghuninya, dan bumi sampai lapis tujuh dan seluruh penghuninya sedang merekadaya padanya, melain Aku memberi jalan keluar padanya.”
“Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung pada makhlukKu bukan padaKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, kecuali Aku putus dirinya dari sebab-sebab yang menyelesaikannya, kemudian Aku tak peduli di lembah mana Aku binasakan Dia, dan Aku penuhi hatinya kesibukan, ambisi, angan-angan yang tak pernah sampai selama-salamanya.”
Dalam hadits dijelaskan, “Siapa yang bergantung kepada Allah dan memohon kepada Allah, maka manusia akan butuh kepadanya, dan dari lisannya terucapkan hikmah, serta ia dijadikan sebagai raja dunia akhirat. Sedangkan siapa yang bergantung kepada makhluk, bukan pada Allah Ta’ala, serta membebankan ketergantungan itu di hatinya, maka Allah Swt, menyiksanya, dan ia diputus dari sebab-sebab instrument dunia akhirat!”.
Dalam riwayat dikatakan, “Kosongkanlah dirimu dari kesusahan dunia semaksimalmu. Dan menghadaplah kepada Allah Ta’ala dengan hatimu, dan bergantunglah kepadaNya dalam segala urusanmu. Karena seorang hamba ketika menghadap kepada Allah Ta’ala dengan qalbunya,
Allah menghadapkan hati para hambaNya kepadaNya. Dan siapa yang bergantung kepada Allah, maka Allah Swt mencyukupi seluruh biayanya.”
Yahya bin Mu’adz ra ditanya, “Kapankah seseorang itu disebut bergantung kepada Allah Swt?”
“Ketika seseorang itu putus hatinya dari ketergantungan dengan segalanya, apakah ia punya maupun tidak, serta ia pun ridlo kepada Allah Ta’ala sebagai waki (tempat berserahnya),” jawabnya.
Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Tak ada satu pun hamba yang beribadah kepadaNya, dan tak seorang pun yang taqarrub, yang lebih utama bagiKu ketimbang bergantung dan pasrah padaKu.”
Amir bin Qais ra berkata kepada salah satu ‘arifin, “Doakan kepada Allah untukku.”
Sang arif berkata, “Anda benar-benar minta tolong kepada orang yang lebih lemah dibanding anda sendiri? Taatlah pada Allagh Ta’ala, bergant7unglah padaNya, maka Allah Ta’ala akan memberikan yang lebih besar ketimbang yang diminta oleh para pemohon.”
Dalam wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa as, disebutkan, “Bila engkau ingin menjadi pemimpin dunia, dan menjadi pangeran dalam pandangan yang luhur, maka pasrah totallah dirimu pada perintahKu dan ridlo atas hukumKu.”
Al-Fudhail bin Iyadh ra, mengatakan, “Aku sungguh malu untuk mengatakan kepada Allah, bahwa aku ini bergantung kepada Allah. Karena orang yang bergantung kepada Allah Ta’ala, ia tidak pernah takut kepada selainNya, tidak pernah berharap selain Dia, dan hatinya putus dari gantungan dunia akhirat”.
Ditafsirkan mengenai arti firman Allah Ta’ala, “Inna Lillah” artinya adalah kami sebagai hamba Allah dan perangkatNya, berada dalam bolak balik kehendakNya dan ketentuanNya, setrta gerak gerik hamba ada di TanganNya.
“Inna Ilaihi Rooji’un” kami ridlo kepadaNya, pasrah padaNya, bergantung denganNya dan pasrah total hanya kepadaNya.
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala, berfirman kepada Nabi Musa as, “Pergilah ke Fir’aun sesungguhnya ia telah ingkar!”
Lantas Nabi Musa as, menyela, “Oh Tuhanku, bagaimana dengan kambing-kambingku dan anak isteriku?”
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau engkau menemukanKu, maka manalagi yang akan engkau perbuat selain kepadaKu? Hai Musa! Berangkatlah, dan bergantunglah padaKu dan pasrah totallah hanya padaKu, serahkan urusanmu kepadaKu. Karena Aku jadikan harimau sebagai penggembala atas kambing-kambingmu dan para malaikat menjaga keluargamu.
Hai Musa ! Siapakah yang menyelamatkan dirimu dari Nil itu, hingga ditemukan oleh ibumu di sana? Siapakah yang mengembalikan dirimu pada bundamu setelah itu? Siapakah yang menyelamatkanmu dari musuhmu Fir’aun ketika engkau membunuh seseorang? Siapakah yang menyelamatkanmu dari Fir’aun ketika engkau melintasi sahara?”
Nabi Musa as, menjawab semuanya, “Engkau…Engkau….”
Ketahuilah siapa yang bergantung kepada selain Allah Swt, atau apa pun selain Allah maka orang itu terhinakan, keluar dari garis kehambaan. Karena batas kehambaan itu adalah: Menyerahkan upaya pilihannya kepada Sang Maha Perkasa.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Tuhanmulah Yang Mencipta Yang DikehendakiNya dan Memilihkan,
tak ada bagi mereka pilihan.”
“Apa yang dibuka oleh Allah kepada manusia dari rahmat, maka tak satu pun bias menghadangnya.”
“Dan jika Allah menghalanginya atas suatu bahaya, tak seorang pun bisa mencegahnya kecuali Dia.”
“Katakan, tak satu pun musibah yang menimpa kami melainkan Allah sudah menentukan bagi kami.”
“Dan siapa yang pasrah total kepada Allah, maka Dia mencukupinya.”
Ketahuilah bahwa ubudiyah itu terbangun atas sepuluh dasar:
Bergantung kepada Allah Ta’ala dalam segala hal,
Ridlo kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Kembali kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Butuh kepada Allah Ta’ala di dalam segalanya.
Mengembalikan hati kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Sabar bersama Allah dalam segalanya.
Memutuskan diri hanya kepada Allah dalam segala hal.
Istiqomah bersama Allah dalam segala hal.
Menyerahkan total kepada Allah Ta’ala dalam segala hal.
Pasrah segalanya dalam semua hal.

Senin, 15 September 2014

MANIFESTASI ROH 3


Ada sebuah kisah yang mengisahkan tentang tempat tinggal roh. Abu Bakar r.a. ditanya tentang ke mana roh itu pergi setelah ia keluar dari jasad. Maka Abu Bakar berkata : “Roh itu akan menuju ke tujuh tempat yakni : Roh para nabi ke surga Adnin, roh para ulama akhirat menuju ke surga Firdaus, roh mereka yang berbahagia menuju ke surga Illiyyina, roh para syuhada berterbangan seperti burung di surga sekehendak mereka, roh para mukmin yang berdosa akan tergantung di udara, tidak di bumi dan tidak dilangit sampai hari kiamat, roh anak-anak yang beriman akan berada di gunung dari minyak misik, dan roh orang-orang kafir akan berada dalam neraka Sijin, mereka disiksa beserta jasadnya sampai hari kiamat”.
Ikutan Setan
Sebagaimana uraian di atas wali mursyid merupakan teknokrat di bidang kerohanian. Syekh Abu Yazid Al-Bisthami berkata, “Barangsiapa menuntut ilmu tanpa Syekh (Guru Mursyid), maka setan lah sebagai Syekh (Guru Mursyid) nya”. Dalam sebuah hadist nabi bersabda: “Jadikanlah dirimu beserta Allah, jika engkau tidak bisa menjadikan kamu beserta Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang yang sudah beserta Allah”. Manusia yang sudah pasti beserta Allah tentu para Nabi dan para Auliya Allah.
Sekarang Nabi telah tiada secara zahir, tetapi rohnya tetap hidup bergandengan dengan Yang Maha Hidup (Allah SWT). Karena itu, manusia wajib mencari guru yang mursyid (ulama pewaris nabi) sebagai pengganti Rasul di muka bumi, sebagai juru selamat dunia dan akhirat. Karena rohani guru tersebut senantiasa bergandengan pula dengan rohani Rasulullah. Di situlah tempat bersandar diri bukan kepada ulama dunia yang kerap menjual ayat-ayat Tuhan. Ulama dunia malah diancam oleh Tuhandengan azab yang paling pedih.
Kembali ke soal roh, urusan roh memang tergolong urusan yang sangat pelik, maka jarang orang bisa memahaminya. Dekatnya jasmani misalnya dengan seorang guru mursyid, itu tidak berarti secara otomatis jiwa/roh kita pun ikut dekat. Bila si murid hendak berhubungan secara rohani dengan gurunya maka ia harus terlebih dahulu mensyucikan jiwa/rohnya. Menyucikannya bukan dengan air tetapi dengan dzikrullah secara sungguh-sungguh sesuai dengan petunjuk guru mursyid.

MANIFESTASI ROH 2


Jalan itu salah satunya adalah dengan terus menghubungkan diri rohaninya dengan diri rohani gurunya yang senantiasa bergendengan dengan arwah suci Rasulullah. “Faainlam takun maallahi fakun ma’aman ma’allahi faa innahu yuusi luka ilallahi (Barang siapa belum beserta Allah, besertalah dengan orang (rohnya) yang beserta Allah. (Roh)) orang itulah (yang rohnya berisi wasilah Allah) yang menghubungkan (roh) engkau (langsung) dengan Allah”.
Hakikat daripada roh ia tidak berjarak, asal elemen dan unsur yang ada di dalamnya sama. Sebab dua sifat yang berbeda tidak mungkin terdapat oada sesuatu dalam waktu yang bersamaan. Apabila rohani yang diikuti (pertama) memiliki Nuurun Alaa Nur dari Rasulullah, maka otomatis pula rohani yang berikutnya yang telah menggabungkan diri, juga memiliki Nuurun Alaa Nur. Sebagaimana benda cair dengan benda cair, gas dengan gas, semuanya dapat menyatu. Benda padat dengan benda padat ia tidak dapat menyatu karena memiliki unsur yang berbeda dan berjarak.
Salah Kaprah
Dalam persoalan roh, manusia sering terjadi salah kaprah. Karena roh dikatakan urusan Tuhan dan manusia hanya diberi pengetahuan sedikit tentang itu, “Quli’ rruuhu min amri rabbi” (Katakanlah ya Rasul, bahwa roh itu adalah urusan Tuhan), maka mayoritas manusia beranggapan bahwa hal itu tidak perlu lagi dipikirkan, semua urusan Tuhan.
Pandangan yang demikian sebetulnya merupakan reduksi, pengurangan dari ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an. Membuat orang semakin jauh untuk dapat mengenal Tuhannya. Bukankah sedikit menurut Tuhan berbeda dengan sedikit menurut ukuran manusia. Sedikit menurut Tuhan dalam soal roh, bukan manusia tidak perlu mengetahui, mengkaji, meneliti sedikit pun manifestasi daripada roh tersebut. Untuk apa Tuhan membicarakan persoalan roh kalau sedikit pun manifestasinya tidak bisa diketahui hamba-Nya.
Roh segala manusia, roh segala malaikat, roh segala jin, rohnya iblis, rohnya hewan, rohnya tumbuhan, dan segalanya itu benar urusan Tuhan. Akan tetapi, yang membersihkan dan menyucikan roh semua makhluk itu bukan lagi Tuhan tetapi masing-masing makhluk itu sendiri. “Ar waahinaa ajsaadinaa waajsaa dinaa arwaahinaa” (Roh kami adalah tubuh kami dan tubuh kami adalah roh kami).
Tuhan tidak akan menyucikan roh seseorang sebelum orang itu sendiri berusaha menyucikan rohnya sendiri (dirinya yang batin) dengan dzikrullah (dengan metode Tarekatullah). Karena seperti dikatakan di atas ucapan lidah yang zahir saja aja tidak akan tembus ke dalam roh yang berlainan dimensi dan substansinya. Itulah tujuan beribadah dalam rangka membersihkan jiwa/roh tersebut. Roh adalah cermin dari Dzat Allah, sebab Allah SWT tidak dzahir dengan Dzat-Nya melainkan dengan roh tersebut. Allah tampak pada semua makhluk yang lainnya hanya dengan sifat-Nya.
Allah tidak bersifat material (jasmani) tetapi bersifat spiritual (rohani). Oleh karena itu, untuk mencapainya harus melalui jalan rohani pula. Untuk kembali kepada Allah, jiwa/roh manusia harus dalam keadaan suci. Sebab tiap sesuatu yang memiliki sifat yang berbeda mustahil keduanya dapat menyatu. Sepotong magnet misalnya tidak akan pernah menyatu dengan sepotong kayu karena keduanya dipisahkan oleh ketidaksamaan elemen dan sifat yang terkandung didalamnya.
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha baik, tidak dapat menerima melainkan yang baik pula”. (HR. Muslim).
Oleh sebab itu, jalan yang ditempuh manusia yang ingin kembali kepada Allah adalah jalan penyucian roh, jiwa/nafsu. Sebab pada gilirannya nanti semua akan kembali kepada asal (pangkalnya) masing-masing. Jasmani dia akan kembali kepada asalnya yakni tanah, sedangkan jiwa/rohani akan kembali ke asalnya yakni Tuhan.
“Hai jiwa atau nafsu yang suci dan tenang kembalilah engkau kepada Tuhanmu dalam keadaan tenang”. (QS. Al-Fajr : 27-28).
Dalam ayat ini yang dipanggil adalah jiwa/nafsu yang suci dan tenang. Itu artinya hanya jiwa/roh yang suci dan tenang yang bisa kembali kepada Tuhan karena Tuhan sendiri Mahasuci.

MANIFESTASI ROH 1


Menurut sejumlah guru sufi, dari segi penciptaan, roh dan jasmani memiliki jarak hingga ribuan tahun. Eksistensi daripadanya terpisah dari akal serta pikiran, bahkan bertempat pada dimensi yang lebih tinggi dari akal, pikiran, mental, serta jasmani manusia. Roh tidak termasuk dalam unsur akal budi dan alam pikiran atau mental, tetapi menggunakan suatu unsur tersendiri, yang lebih tinggi kedudukannya. Roh adalah alat untuk dipakai menuju ke hadirat Allah SWT., sedangkan jasmani tidak karena sifatnya lebih kasar.
Dalam pandangan guru besar ilmu tasawuf/tarekat, YM. Prof. DR. H. S.S. Kadirun Yahya, M.A. M.Sc., roh manusia merupakan “zat” yang berasal dari karunia Allah, tidak berasal dari air, gas, atau tidak pula dari bumi. Roh dapat mengambil bentuk seperti rupa manusia, bila ia meliputi tubuh manusia itu sendiri. Seperti juga cahaya, air, atau gas mengambil bentuk dari bejana tempat di mana air atau gas itu dimasukkan. Roh ini berasal dari alam gaib/metafisika karena berasal dari anugerah Allah SWT., hingga tidak dapat dilihat dengan mata kepala, walaupun ia tidak bercerai-berai dengan jasmani manusia selama hayat dikandung badan.
Tetapi begitu dimasukkan sebagai jenazah ke bumi, tempat asal mulai jasmani itu jadi, maka sang roh bercerai daripadanya dan sang roh pun menyeberang kea lam baka. Maka mulailah sang roh harus mempertanggungjawabkan segala tidak tanduknya, segala gerak geriknya selama di dunia, selama ia diberikan alat jasmani serta akal yang komplit dengan segal organ/alat-alat tubuh yang sangat sempurna dan indah.
Sang Syekh mengibaratkan fungsi roh seperti computer. Roh bisa mendapatkan input dari alam gaib sebagai “wahyu” bila ia adalah seorang nabi, atau rasul, atau ilham bila ia adalah seorang manusia saleh dan taqwa. Tetapi selain getara wahyu/ilham yang positif, roh itu dapat pula dimasuki getaran-getaran yang berasal dari Iblis di alam gaib/metafisik. Input yang telah masuk ke dalam roh itu kemudian memprogram pula jasmani dan akal manusia.
Ini menurut sang Syekh yang perlu dipertanyakan pada diri masing-masing, apakah “program” yang diperintahkan roh kepada akal/pikiran manusia telah mengandung segala perintah Allah sepenuhnya, hingga manusia itu melaksanakan fitrah hidupnya dengan sebaik-baiknya? Apakah akal budi dan jasmani kita telah mengabdikan diri sepenuhnya dalam kehidupan untuk Allah SWT.? Apakah sempat pula roh itu tertipu oleh Iblis Laknatullah, yang juga merupakan suatu roh yang sangat pintar, sangat halus, dan hebat serta sangat sakti dan dahsyat, karena ia merupakan mantan malaikat yang termasuk sangat tinggi ilmunya? Tetapi sayang akibat menyeleweng Iblis itu kemudian menjadi musuh bubuyutan dari roh semua Bani Adam.
Di sinilah kata sang Syekh, letak kunci dari pada segala-galanya di alam jagad raya ini bagi hidup dan kehidupan manusia dari dunia hingga ke akhirat kelak. Karena manusia yang rohnya dikendalikan oleh Iblis, dia pasti akan merusak jagad raya ini!
Jika saja roh ini terisi dengan energy Ilahi maka akan jadi surgalah seluruh jagad raya ini, yang akan berkelanjutan terus bersambung sampai ke akhirat. Oleh karena itu, roh kita perlu sekali di isi dengan energy Ilahi. Untuk melaksanakan ini harus ada metode yang sesuai dengan hadist dan Qur’an dan sesuai pula dengan ilmu teknologi modern. Metode inilah yang dinamakan Tarekatullah.
Tak heran jika kemudian seorang murid senantiasa menempuh jalan tarekatullah. Mereka kerap menghubungkan rohaninya dengan rohani gurunya yang mursyid. Tujuannya agar mendapatkan Nuurun Alaa Nur, (cahaya di atas cahaya). Sekalipun misalnya jasad sang guru telah tiada (wafat) hal itu tetap bisa dilakukan. Bahkan justru lebih dapat diterima akal karea dengan tidak adanya jasad unsur manusianya lebih jernih dan bersih dari segala kotoran yang bersifat duniawi sehingga mempermudah proses hubungan itu.
Jika misalnya ada pada rohani guru mursyid sesuatu sentuhan dari muridnya, maka saat itu pula langsung sampai pada Allah, dan pada saat itu pula kembali dari Allah, melalui wasilah langsung pada si murid sebagai penyentuh tadi.
Para ahli tasawuf/tarekat adalah orang-orang yang mencari wujud tertinggi dan kepuasan spiritual dalam pengalaman personal bersatu dengan Tuhan. Mereka tidak menemukan kepuasan spiritual dengan sekedar mengikuti hukum syariat yang diturunkan Allah secara formal kepada manusia. Maka mereka terus mengejar melalui jalan spiritual agar memperoleh pengalaman personal dengan Allah SWT.

NAMA SYEKH ABDUL QODIR AL-JAIANI SEPERTI ISMUL 'ADHOM

Diriwayatkan di dalam Kitab Haqooiqul
Haqooiq: ada seorang perempuan menghadap
Syekh Abdul Qodir dan berkata:“Tuan saya ini
punya anak hanya satu-satunya, sekarang
tenggelam di lautan; adapun saya punya
keyakinan bahwa Tuan bisa mengembalikan
anak saya serta hidup. Syayyid Abdul Qodir
berkata: “benar..Silahkan saja kembali, anakmu
sudah ada dirumah”. dari situ (dengan petunjuk
Syekh Abdul Qodir) perempuan itu segera
kembali, ketika sampai dirumah, anaknya tidak
ada. Segera ia menghadap Syayyid Abdul Qodir
lagi sambil menangis dan menyatakan bahwa
anaknya tidak ada di rumah. Kata Syayyid
Abdul Qodir: “sekarang itu tentu sudah ada”.
perempuan itu segera kembali lagi kerumah dan
anaknya tetap belum ada. semakin jadi dan
memilukan tangisan perempuan itu kemudian
menghadap Syayyid Abdul Qodir dengan penuh
harap agar anaknya hidup lagi dan ada lagi.
kemudian Syayyid Abdul Qodir menundukan
kepala, setelah itu beliau berkata: “Sekarang
tidak salah lagi bahwa anakmu sudah ada”.
perempuan itu segera kembali lagi kerumah,
ketika sampai dirumah ternyata anaknya sudah
ada serta selamat.
Dari situ (Atas kejadian ini) Syayyid Abdul Qodir
munajat kepada Allah SWT. dan berkata: Saya
merasa malu dengn perempuan tadi sampai
tiga kali baru anaknya ada, mengapa terjadi
demikian dan apa hikmahnya diperlambat
sampai saya harus memikul malu dua kali.
Firman Allah SWT.: perkataanmu kepada
perempuan itu semuanya juga benar. Yang
pertama menyebutkan ada... itu benar, namun
malaikat baru mengumpulkan jiwa raganya yang
berserakan. Perkataanmu yang ke-dua juga
benar namun baru lengkap anggota tubuhnya
serta dihidupkan. Dan yang ketiga kalinya ketika
perempuan itu sudah sampai dirumah, anaknya
sudah diangkat dari lautan, dan didatangkan
kerumahnya.
Kemudian Syayyid Abdul Qodir qs. munajat lagi
dan berkata: Yaa Allah SWT. Engkau membuat
makhluk yang tak terhingga tidak mendapat
kesulitan, begitu pula di alam ba’asy
mengumpulkan jiwa raga makhluk yang sangat
banyak hanya sekajap nyata. Sedangkan dalam
masalah ini hanya seorang hamba, Ya..Allah
SWT. apa hikmahnya sampai lama sekali?.
Firman Allah SWT.: “Abdul Qodir engkau jangan
jadi sakit hati, sekarang silahkan segera minta,
ingin apa? Tentu Aku kabulkan. Terus Syayyid
Abdul Qodir bersujud dan berkata: Yaa Allah
SWT. Engkau Kholik (yang membuat)
sedangkan aku makhluk (yang dibuat) apapun
pemberian-Mu aku sangat bersyukur. Firman
Allah SWT.: siapapun yang melihatmu pada hari
Jum’at akan Aku jadikan wali dan bila engkau
melihat tanah tentu jadi emas. Kata Syayyid
Abdul Qodir. Ya.. Allah keduanya itu juga
kurang ada manfa’atnya bagiku setelah aku
mati, aku memohon yang lebih aggung dari itu
dan tetap manfaatnya setelah aku mati. Firman
Allah SWT. Namamu djadikan seperti nama
Kami dalam balasan atau ganjaran dan
kemanjuranya, siapa yang membaca namamu
pahalanya sama dengan membaca nama Kami.