Laman

Kamis, 27 Februari 2014

Sebelas Tanda Mencintai Nabi Muhammad SAW

Seseorang yang mengklaim bahwa dia mencintai seseorang akan lebih memilih yang dicintai dibanding semua orang, ia juga akan lebih memilih apa yang disukai oleh yang dicintainya, jika tidak demikian maka dia tidak akan bertindak sesuai yang dicintanya dan artinya cintanya juga tidak akan tulus. Tanda-tanda berikut ini akan menjadi jelas pada mereka yang benar-benar mencintai Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam.

Pertama : Tanda pertama cinta kepada Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah bahwa dia akan mengikuti contoh-contohnya, menerapkan cara Nabi saw dalam kata-kata, perbuatan, ketaatan kepada perintah-Nya, menghindari apa pun yang dilarang dan mengadopsi sikap Nabi saw pada saat diberi kemudahan, sukacita, kesulitan, dan penderitaan. Allah berfirman, "Katakanlah (Muhammad), 'Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad) dan Allah akan mencintaimu." [Al-Imran: 31]

Kedua : Tanda kedua adalah bahwa dia akan menyingkirkan keinginan sendiri dan nafsunya dengan mengikuti hukum yang didirikan dan didorong oleh Nabi SallAllah alaihi wa Sallam. Allah berfirman, "Kepada orang-orang sebelum mereka yang telah membuat tempat tinggal mereka di tempat tinggal (Kota Madinah), dan karena keimanannya mereka mengasihi orang yang telah beremigrasi ketempat mereka, mereka tidak menemukan irihati dan dengki dalam dada mereka untuk apa yang telah diberikan dan lebih memilih mereka atas diri mereka sendiri, meskipun mereka sendiri memiliki kebutuhan." [Al Hasyr: 9]

Ketiga : Tanda ketiga adalah bahwa kemarahan seseorang karena orang lain hanya demi mencari keridhaan Allah. Anas, putra Malik diberitahu oleh Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, "Anakku, jika Anda dapat menahan diri dari dendam di hati Anda dari pagi hingga sore, kemudian melakukannya." Dia kemudian menambahkan, "Anakku, yang merupakan bagian dari jalan kenabian bahwa barang siapa yang menghidupkan kembali cara saya dan mengasihi Aku, dan barangsiapa mencintaiku akan bersama dengan saya di surga." [Sunan Tirmidh, Kitab al-Ilm, Vol 4, Halaman 151]

Jika seseorang memiliki kualitas baik ini, maka dia memiliki cinta yang sempurna untuk Allah dan Rasul-Nya. Jika dia menjadi sedikit kurang dalam kualitas ini maka cintanya tidak sempurna. Bukti ini ditemukan dalam ungkapan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, ketika seseorang menghadapi hukuman karena mabuk. Sebagaimana orang itu akan menerima hukuman seorang pria mengutuk sang pelaku, dan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, "Jangan mengutuk dia. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya." [Sahih Bukhari, Kitab al-Hudud, Vol 3, Halaman 133]

Keempat : Tanda keempat adalah bahwa seseorang yang mencintai selalu menyebutkan nama Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, dalam kelimpahan - siapa mencintai sesuatu, terus-menerus pada lidahnya bersalawat kepada Nabi saw. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 32]

Kelima : Tanda kelima adalah kerinduan untuk bertemu Nabi SallAllahu Alaihi wa Sallam. Setiap kekasih rindu untuk bersama mereka yang tercinta. Ketika suku Asy'ariyah mendekati Madinah, mereka mendengar nyanyian, "Besok, kita akan bertemu dengan orang yang kita cintai, Muhammad saw dan para sahabatnya!" [Dalail an-Nabuwwah lil Baihaqi, Jilid 5, Halaman 351]

Keenam : Tanda keenam adalah bahwa setiap mengingat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, seseorang yang mencintainya akan ditemukan memuji dan menghormati setiap kali namanya disebutkan dan kemudian menampilkan kerendahan hatinya dan lebih merendahkan dirinya sendiri ketika ia mendengar namanya. Kami diberitahu oleh Isaac at-Tujibi bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, setiap kali para sahabat mendengar namanya disebutkan mereka menjadi lebih rendah hati, kulit mereka gemetar dan mereka menangis karena cinta. Adapun para pengikut lain dari Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, beberapa sahabat mengalami rasa cinta yang luar biasa sehingga meneriakkan salam kerinduan untuknya, sedangkan yang lain melakukannya karena rasa hormat dan penghargaan pada Rasulullah saw. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 33]

Ketujuh : Tanda ketujuh adalah ungkapan kasih yang diungkapkan untuk Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, dan para ahlul bayt (keturunan Nabi saw) dan sahabatnya - para Muhajirin dan bani Ansar sama besarnya demi kehormatan Nabi saw. Seseorang dengan tanda ini akan ditemukan memusuhi orang-orang yang membenci mereka.

Nabi saw berkata kepada umatnya sambil menunjuk cucunya Sayidina Al Hasan dan Al Husain, semoga Allah senang dengan mereka, Nabi Alaihi SallAllaho alaihi wa Sallam, berkata, "Ya Allah, aku mencintai mereka, maka cintailah mereka."

Sahih Bukhari, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 23
Sahih Muslim, Kitab al Fadhail, Vol 4, Halaman 1883
Sunan Tirmidzi, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 327

Al-Hasan mengatakan bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, juga mengatakan, "Ya Allah, aku mencintainya, dan cinta orang yang mencintainya." Dua cucunya, Nabi saw juga mengatakan, "Barangsiapa mencintai mereka, maka mencintai aku." Kemudian ia berkata. Barang siapa mencintaiku, maka dia mencintai Allah. Barang siapa yang membenci mereka membenci saya dan barangsiapa membenci saya artinya membenci Allah."

Muqaddam Sunan Ibn Maja, Vol 1, Page 51
Majma 'az-Zawaid, Vol 9, Halaman 180

Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, "Jangan membuat teman saya sebagai sasaran setelah kepergian ku! Barangsiapa mengasihi mereka, maka mengasihi mereka itu karena mereka mencintaiku, dan barang siapa membenci mereka, adalah juga kebencian mereka terhadap aku, Barangsiapa merugikan mereka, maka mereka merugikan aku. Barangsiapa yang melukai sahabatku dan keluargaku, seolah-olah itu adalah menyakitiku (Nabi saw) dan artinya juga Allah. Barang siapa menyaikiti Allah, maka mereka akan dibuang.

Sunan Tirmidzi, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 358
Musnad Ahmad, Vol 5, Halaman 54

Keluarga Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah berasal dari Sayidah Fathimah, semoga Allah senang dengan dia, "Dia adalah bagian dari diriku, barangsiapa yang membenci dia, maka mereka membenci saya."

Sahih al Bukhari, Kitab al Manaqib, Vol 5, Halaman 24
Sahih Muslim, Kitab Fadhail as-Sahaba, Vol 4, Halaman 1903

Nabi Muhammad SallAllahu alaihi wa Sallam, mengatakan kepada Sayidina Aisyah untuk mencintai Osama, putra Zaid karena dia mencintainya. [Sunan Tirmidzi, Kitab al-Manaqib, Vol 5, Halaman 342]

Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berbicara kepada Ansar, berkata, "Tanda iman adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah kebencian kepada mereka."

Sahih al Bukhari, Kitab al Manaqib, Vol 5, Page 27
Sahih al Bukhari, Kitab al Iman, Vol 1, Page 9
Sahih Muslim, Kitab al Iman, Vol, Halaman 85

Anak Omar mengatakan kepada kita bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata, "Barang siapa mencintai orang-orang Arab dan mengasihi mereka karena dia mencintaiku, dan barangsiapa membenci mereka, itu adalah karena kebencian mereka terhadap aku.." [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 34]

Faktanya adalah ketika seseorang mencintai yang lain, dia mencintai segala sesuatu yang dicintai orang itu, dan ini memang terjadi dengan para sahabat.

Ketika Anas melihat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, makan sepotong labu, ia berkata, "Dari hari itu maka akupun mencintai labu." [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 34]

Al-Hasan, cucu Nabi, semoga kedamaian Allah atas mereka, pergi dengan Jafar Salma dan memintanya untuk menyiapkan beberapa makanan Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, yang biasa digunakan untuk makan. [Shamail Tirmidzi, Halaman 155]

Omar pernah melihat Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, mengenakan sepasang sandal berwarna kuning, sehingga dia juga mengenakan sepasang sandal dengan warna yang sama.

Sahih al Bukhari, Kitab al-libas, Vol 7, Halaman 132
Sahih Muslim, Kitab al-Hajj, Vol 2, Halaman 844

Kedelapan : Tanda kedelapan, kebencian terhadap siapa saja yang membenci Allah dan Rasul-Nya. yaitu dengan membenci orang-orang yang menunjukkan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Orang beriman memiliki tanda ini menghindari semua yang menentang cara kenabian, dan bertentangan dengan orang-orang yang memperkenalkan inovasi dalam cara kenabian (yang bertentangan dengan semangat Islam) dan menemukan hukum yang memberatkan. Allah berkata, "Anda akan menemukan tidak ada umat yang beriman kepada Allah dan Hari Terakhir yang mencintai siapapun yang menentang Allah dan Rasul-Nya." [Al Mujadilah: 22]

Kesembilan : Tanda kesembilan ditemukan pada mereka yang mencintai Al-Qur'an yang dibawa oleh Nabi saw, dimana mereka dibimbing. Ketika ditanya tentang Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, Sayidah Aisyah, ra dia, berkata, "karakter Nabi adalah Al-Qur'an." Bagian dari cinta Al-Qur'an adalah mendengarkan bacaan, bertindak sesuai dengan itu, pemahaman itu, menjaga dalam batas-batas dan cinta cara Nabi Muhammad. [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 35]

Sahal, putra Abdullah berbicara tentang tanda ini mengatakan, "Tanda mencintai Allah adalah cinta Al-Qur'an Tanda mencintai Al-Qur'an adalah cinta Nabi.Tanda mencintai Nabi SallAllahu alaihi wa sallam, adalah cinta cara kenabiannya. Tanda mencintai cara kenabian adalah cinta akhirat. Tanda mencintai akhirat adalah membenci dunia ini. Tanda kebencian bagi dunia ini adalah bahwa Anda tidak mengumpulkan semua kecuali untuk sedikit saja sesuai ketentuan dan apa yang Anda butuhkan untuk tiba dengan selamat di akhirat." [Al Shifa bi Ta'reefi Huqooq al-Mustafa, Vol 2, Page 35]

Anak Mas'ud mengatakan, "Tidak ada yang perlu bertanya pada diri sendiri tentang apa pun, selain Al-Qur'an, jika ia mencintai Al Qur'an maka dia mencintai Allah dan Rasul-Nya" pujian dan damai besertanya. [Baihaqi fil Aadaab, Hal 522]

Kesepuluh : Tanda kesepuluh cinta untuk Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, adalah untuk mengasihani umatnya dengan menasihati mereka dengan baik, berjuang untuk kemajuan mereka dan menghapus segala sesuatu yang berbahaya dari jalan mereka dan dalam cara yang sama bahwa Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata "kasih sayanglah kepada orang yang beriman." [Al-Taubah : 128]

Kesebelas : Tanda kesebelas kasih yang sempurna ditemukan dalam membatasi siapa dirinya melalui penyangkalan diri, lebih memilih kemiskinan dari kenikmatan atraksi dunia. Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, berkata Abu Sa'id Al Khudri, "Kemiskinan akan datang kepada Anda yang mencintai saya, mengalir lebih cepat daripada banjir dari puncak gunung ke dasarnya." [Sunan Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Vol 4, Halaman 7]

Seorang pria datang kepada Nabi Alaihi wa Aalihi SallAllahi wa Sallam, dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku mencintaimu." Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam, memperingatkan, "Hati-hati dari apa yang Anda katakan." Pria itu mengulangi cintanya sampai tiga kali, dimana Nabi SallAllahu alaihi wa Sallam berkata kepadanya, "Jikalau kamu mengasihi ku maka persiapkan diri mu dengan cepat untuk kemiskinan." [Sunan Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Vol 4, Halaman 7]

Ya ALLAH SWT! Kami memohon kepadaMU untuk mengisi hati kita dengan Kasih yang benar dan besar dari sifat Karim yang terkasih, Habibullah. Kita tetap hidup pada Sunnah-nya dan memberkati kita dengan kematian pada Iman di Kota terkasih Nabi Terkasih saw dan kuburkan kami dengan Ahl al-Baqi 'asy-Syarif ... Aamin!

Gundul Pacul :


"Gundul gundul pacul-cul, gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar...

Tembang Jawa ini konon diciptakan tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yang dalam dan sangat mulia.

Gundul adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Jadi gundul adalah kehormatan tanpa mahkota.

Pacul adalah cangkul yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. jadi pacul adalah lambang kawula rendah, kebanyakan petani.

Gundul pacul artinya adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (4 yang lepas).

Kemuliaan seseorang tergantung 4 hal, yaitu bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.

Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
Mulut digunakan untuk berkata adil dan bijaksana.

Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya.

Gembelengan artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.

Gundul-gundul Pacul Cul artinya jika orang yang kepalanya sudah kehilangan 4 indera itu mengakibatkan GEMBELENGAN (= congkak/sombong).

Nyunggi-nyunggi Wakul Kul (menjunjung amanah rakyat) dengan GEMBELENGAN (= sombong hati), akhirnya WAKUL NGGLIMPANG (amanah jatuh tidak bisa dipertahankan) SEGANE DADI SAK LATAR (berantakan sia-sia, tidak bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat).

Murid yg rendah hati

Suatu ketika Imam Ghazali shalat jemaah dgn adiknya. Imam Ghazali menjadi Imam manakala adiknya menjdi makmum. Tiba-tiba semasa bersembahyang, adik Imam Ghazali mufarakah (keluar daripada menjadi makmum) dan bersembahyang sendirian.

Setelah selesai menunaikan sembahyang Imam Ghazali terus bertanya kepada adiknya:“Mengapa ketika bersembahyang engkau meninggalkan aku dan bersembahyang sendirian?”

Lantas adiknya menjawab; “Bagaimanakah aku hendak bersembahyang denganmu. Aku lihat tubuhmu penuh bersalut darah. Lantaran itulah aku bermufarakah dan sembahyang sendirian”.

Mendengar jawaban adiknya itu Imam Ghazali terus berfikir dan lantas teringat bahwasanya memang benar, pada ketika itu beliau sedang menulis tentang permasalahan haidh. Dan, memang benar juga, terdapat satu saat semasa beliau menunaikan sembahyang pemikiran beliau terbawa-bawa oleh apa yang sedang beliau tulis itu. Dan saat itu jugalah Allah zahirkan apa yang sedang beliau fikirkan itu ke mata adiknya sehingga adiknya melihat tubuh badannya dipenuhi dengan darah.Imam Ghazali terkejut lantas bertanya kepada adiknya;

“Bagaimanakah kamu berupaya untuk melihat hal yang ghaib? Beritahulah kepadaku dari siapa kamu belajar ilmu ini.” Adiknya kemudian menjawab; “Engkau tidak layak belajar dengannya. Engkau orang yang masyhur, sedangkan guruku ini orang biasa sahaja.”

Imam Ghazali terus mendesak sehingga akhirnya adik beliau bersetuju untuk membawanya berjumpa dengan gurunya itu.Di pasar, mereka mendatangi seorang penjual daging. Lalu adiknya memberitahu itulah guruku.

Imam Ghazali terus berkata kepada penjual daging; “Tuan, saya mohon untuk belajar ilmu dengan Tuan.” Penjual daging menggelengkan kepalanya lalu berkata; “Aku tidak ada ilmu untuk mengajar kamu.” Imam Ghazali merayu sekali lagi;

“Ajarlah saya. Ajarkanlah saya ilmu yang Tuan tidak ada itu.” Penjual daging tetap enggan menunaikan keinginan Imam Ghazali itu. Akhirnya Imam Ghazali berkata kepada penjual daging tersebut; “Ajarlah saya. Saya serahkan diri saya kepada Tuan seumpama mayat menyerahkan diri kepada si tukang mandi”.

Penjual Daging kemudian berkata; “Baiklah, tanggalkanlah jubah kebesaran kamu itu (jubah yang dipakai Imam Ghazali kerana beliau merupakan orang tertinggi di Universiti Nizamiyyah). Sapulah meja tempat aku memotong dan menjual daging ini dengan jubahmu itu.” Tanpa berlengah lagi Imam Ghazali terus menunaikan kehendak penjual daging tersebut tanpa sedikitpun merasa terkilan.

Setelah selesai, beliau berkata lagi kepada penjual daging; “Ajarkanlah aku ilmu.” Penjual daging kemudian berkata;”Baiklah, esok datanglah ke rumahku selepas Subuh.”Tepat selepas Subuh keesokan harinya Imam Ghazali sudah sedia menanti si penjual daging di hadapan rumah. Sebaik sahaja melihat Imam Ghazali beliau terus menyuruhnya memotong rumput di kawasan rumah. Imam Ghazali terus akur tanpa terdetik di dalam hatinya sedikitpun rasa terhina.

Selesai menyiapkan tugas yang dipinta oleh penjual daging, Imam Ghazali pun mendatangi beliau, lalu mengulangi kata-kata;”Ajarkanlah aku ilmu”. Penjual daging berkata; “Baiklah, esok datanglah ke rumahku selepas Subuh”.Sama seperti hari sebelumnya, sebaik-baik sahaja selepas Subuh Imam Ghazali sedia menunggu di hadapan rumah penjual daging. Melihatkan Imam Ghazali, penjual daging meminta pula beliau mencuci longkang di sekeliling rumahnya. Imam Ghazali tetap taat menuruti perintah penjual daging.

Setelah selesai, Imam Ghazali berkata kepada penjual daging;”Wahai Tuan, kerja yang Tuan suruh telah dilaksanakan. Ajarkanlah aku ilmu”. Penjual daging berkata lagi;”Baiklah, datanglah kembali selepas Subuh esok”.

Keesokan harinya hal yang sama juga berlaku. Kali ini penjual daging meminta Imam Ghazali menimba najis dari tandas beliau. Tugas yang ini juga dilaksanakan tanpa terselit sedikitpun perasaan terhina dalam hati Imam Ghazali.

Apabila selesai penjual daging tersebut berkata; “Segala ilmu yang kamu mahu telah kamu dapat. Pulanglah.”Dalam perjalanan pulang Imam Ghazali terkejut kerana mendapati pandangannya telah tersingkap dan beliau dapat melihat hal-hal yang ghaib.

Hikmah yang dapat diambil:

1. Kita melihat Imam Ghazali mengetahui tentang sesuatu ilmu terus saja beliau mencari dan mendatanginya serta berusaha untuk mendapatkannya tanpa berputus asa. Tidak pula beliau mengambil sikap menunggu ilmu itu mendatangi beliau.

2. Perkara lain yang boleh dipelajari ialah ketaatan Imam Ghazali terhadap arahan gurunya. Apabila diminta datang selepas Subuh, beliau menghadirkan diri tepat pada waktunya. Tatkala diminta membuat pelbagai perkara, beliau akur tanpa banyak bersoal jawab bahkan tidak terdetik pun di dalam hatinya perasaan musykil dan prasangka terhadap gurunya. Sikapnya yang tawaduk dan menyerahkan diri bulat-bulat seumpama mayat menyerah diri kepada si tukang mandi agar dapat dididik sepenuhnya oleh gurunya inilah yang mendorongnya untuk mentaati tiap perintah, membuat segala yang disuruh dan meninggalkan apa yang dilarang oleh gurunya.

3. Dalam mendidik, penjual daging tersebut menumpukan kepada mengikis sifat-sifat mazmumah seperti ego dan menanamkan sifat-sifat mahmudah seperti tawadhuk dalam diri anak muridnya. Sifat-sifat mazmumahlah sebenarnya yang menghijab ilmu yang ingin dialirkan daripada sampai ke hati. Manakala sifat mahmudah merupakan kunci kepada kefahaman ilmu. Apabila hati bersih, hati mudah menerima ilmu. Dan dengan hati yang bersih dari sifat mazmumah ini juga menjadikan hati itu semakin tenang dengan banyaknya ilmu dan bukannya semakin berserabut. Hasil daripada itu kita dapat lihat mengalirnya keberkatan ilmu dari gurunya itu kepada Imam Ghazali. Sehingga beliau berupaya menghasilkan tulisan yang agung, dapat menghafal lebih 100,000 hadith dan digelar Hujjatul Islam.

Malu Sama Cacing



Imam Al Ghazali
Ada kisah yang yang perlu kita renungkan, yaitu kisah Nabi Musa as. Suatu ketika Nabi Musa as duduk bersandar di sebuah pohon, tiba-tiba muncul dari dalam tanah seekor cacing merah. Saat itu Nabi Musa as langsung bergumam sendiri: “Buat apa Allah menciptakan seekor cacing merah yang menjijikan seperti ini.” Ternyata Allah mengijinkan pada cacing itu dapat berbicara hingga Nabi Musa as dapat mendengar ucapannya. Cacing berkata: “Wahai Nabi Allah aku diciptakan Allah agar aku dapat membaca Tasbih (Subhanallah, Walhamdulillah, Walaa ilaa ha illallah, Wallaahu Akbar) di siang hari 1000 kali dan membaca Shalawat (Allahumma Sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ‘aali Muhammad saw) kepada Nabi Muhammad SAW di malam hari 1000 kali.

Mendengar jawaban itu Nabi Musa as tertunduk malu dengan cacing yang kelihatannya menjijikan. Lalu beliau bertobat kepada Allah. Bagaimana dengan kita, sudahkan kita bertasbih dan membaca sholawat 1000 kali dalam sehari? apakah kita lebih mulia dari cacing atau lebih hina?

Jika belum kita dikalahkan oleh seekor cacing merah yang menjijikkan.

Mempermainkan Allah


Imam Al Ghazali
Manshur bin Amar berkata, “Saya mempunyai seorang kawan yang tak henti-hentinya melakukan maksiat. Suatu saat ia bertobat. Saya melihatnya banyak melakukan ibadah dan shalat tahajud. Beberapa hari saya kehilangan dia. Saya pergi untuk menjenguknya. Saat itu saya disambut oleh putrinya yang bertanya, “Mau menemui siapa?” “Mau ke si anu, “Jawab saya. Putri kawan saya mengizinkannya. Saya masuk ke dalam rumah dan saya lihat ternyata ia berbaring di ruangan tengah. Mukanya kelihatan hitam, matanya belalakan, dan bibirnya sangat keras. Saya berkata kepada dia-saat itu saya merasakan rasa takut terhadapnya, “Kawan, perbanyak mengucapkan kalimat la ilaha illallah!” Ia membuka kedua matanya dan melihat kepadaku dengan mata yang sangat merah lalu pingsan. Setelah siuman, saya berkata lagi kepadanya, “Kawan, perbanyaklah mengucapkan la ilaha illallah!” Saya mengucapkan kata tersebut sebanyak dua kali. Ia membuka kedua matanya lalu berkata, “Wahai manshur, saudaraku! Kalimat itu telah terhalang terucapkan olehku.”

Mendengar kata-kata dia saya spontan bertutur, “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali oleh Allah Yang Mahaluhur dan Mahaagung.” Kemudian saya berkata lagi kepadanya, “Kawan, di mana shalat, puasa, tahajud, dan ibadah malammu itu?” Ia menjawab, “Semua itu saya persembahkan bukan untuk Allah. Tobatku hanya pura-pura. Saya melakukan itu semua tiada lain kecuali supaya disebut-sebut oleh orang banyak sebagai orang saleh. Saya melakukan semua itu hanya untuk pamer kepada orang lain. Ketika sedang menyendiri, saya mengunci pintu, merumbaikan tirai rumah, dan saya meneguk minuman memabukkan. Saya menampakkan berbagai maksiat kepada Tuhanku. Saya melakukan hal tersebut sangat lama. Suatu saat saya tertimpa penyakit yang sangat berbahaya. Saya berkata kepada putriku, “Tolong ambilkan Al-Quran!” Setelah Al-Quran berada di tanganku, saya berkata, “Ya Allah, demi kebenaran Al-Quran yang agung ini, berikanlah kesembuhan kepadaku dan saya tidak akan melakukan dosa selamanya.” Allah pun memberikan kesembuhan kepadaku. Ketika telah sembuh, saya kembali lagi pada kebiasaanku, yaitu mabuk dan melahap kesenangan lainnya. Setan pun melupakan janji yang telah saya tuturkan kepada Tuhanku. Saya meneruskan kebiasaan berdosa. Tidak lama kemudian saya menderita sakit yang sangat parah dan hampir merenggut nyawa. Saya meminta kepada keluargaku untuk memindahkan saya ke ruang tengah sebagaimana kebiasaanku kalau sedang sakit. Kemudian saya meminta diambilkan Al-Quran, lalu saya membacanya kemudian mengangkatnya. Saya berdoa, “Ya Allah, demi kehormatan apa yang ada di dalam Al-Quran yang mulia ini, berupa kalam-Mu, saya meminta engkau memberikan kesembuhan kepadaku.” Allah pun saat itu mengabulkan doaku. Tidak beda dengan sebelimnya saya kembali menyantap maksiat. Tidak lama kemudian saya terkena penyakit ini. Saya meminta kepada keluargaku untuk dipindahkan (dari kamar) ke ruangan tengah sebagaimana engkau lihat sekarang. Saya meminta diambilkan Al- Quran untuk dibaca. Namun, aneh sekali, tidak ada satu huruf pun yang tampak di dalam lembaran Al-Quran tersebut. Saya tahu bahwa Allah SWT marah kepadaku. Lalu saya mengangkat kepala ke langit sambil berdoa, “Ya Allah, demi kehormatan Al-Quran ini, berikanlah kesembuhan kepadaku, wahai Dzat Penggenggam langit dan bumi. “Tiba-tiba saya mendengar suara tanpa jirim (hatif) yang berbentuk syair :

Engkau bertobat ketika sakit
Dan kembali kepada dosa ketika sehat
Sering sekali kesusahanmu
Berkali-kali engkau dijauhkan
Dari petaka yang menimpamu
Apakah engkau tidak khawatir
Kematian datang menemuimu
Padahal dirimu dalam dosa
Yang terus engkau lupakan

Manshur bin Amar berkata, “Demi Allah, tidaklah saya keluar dari rumahnya sehabis menjenguk, melainkan mataku penuh dengan berbagai pelajaran. Belum juga saya sampai ke pintu rumah, tiba-tiba saya mendapat kabar bahwa ia meningga

Kisah Seorang Hamba Yang Selalu Bertasbih di Zaman Nabi Musa


Sayyidina Musa (a) sedang dalam perjalanan ketika ia mendengar sebuah suara datang dari gunung, suaranya terdengar jelas, dan ia pun mendekati suara itu. Ia sampai pada sebuah gua dan melihat ke dalamnya, di sana ada seseorang yang sedang bertasbih, "Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menciptakan aku lebih mulia dari yang lainnya."

Dan Musa (a) melihat orang itu yang sedang bersujud, mendengarkan suaranya yang merdu. Ia terkejut ketika orang itu bangkit dari sujud, ternyata ia tidak mempunyai tangan dan kaki! Musa (a) terheran-heran, bagaimana ia bisa mengatakan itu? Bagaimana ia bisa makan? Lalu seekor rusa datang dan orang itu meminum susu darinya.

Musa (a) melihatnya dan berkata, "Sahabatku, engkau memuji Allah bahwa Dia telah memuliakanmu dengan tak terhingga, tetapi engkau tidak mempunyai tangan dan kaki!" Orang itu melihatnya dan berkata, "Yaa Musa (a), Allah memberiku yang terbaik yang dapat kau bayangkan!" "Apa itu?" "Dia menjadikan aku sebagai seorang Muslim!"

Kisah itu ada di dalam Taurat. Menjadi Muslim adalah suatu kehormatan, jangan merasa malu, kalian pergi jalan, ke universitas, berbanggalah bahwa kalian Muslim! Orang itu yang tidak mempunyai tangan dan kaki berkata, "Aku seorang Muslim!" lalu Musa (a) mengangkat tangannya, "Yaa Rabbi hamba itu membuatku kagum dengan imannya, berikanlah ia Surga!"

"Wahai Musa, apa yang kau minta telah diterima." Kemudian Allah mengirimkan hyenas untuk memakannya. "Kepada hamba-hamba-Ku yang tulus, Aku kirimkan ujian bagi mereka untuk mendapatkan Surga." Ujian ini adalah bahwa kita harus menegakkan Islam, berjuang untuk Nabi (s), pertama di antara diri kita, yaitu untuk mengetahui kebesaran Nabi kita (s). Apa yang dikatakan oleh Nabi (s)? "Aku telah diutus untuk menyempurnakan akhlakmu, untuk mendisiplinkanmu, untuk menyempurnakan perilakumu dan membuatmu menjadi orang yang lebih baik. Bukan hanya untuk shalat dan puasa."

Lupa Membaca Shalawat


Imam Al Ghazali
Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang lupa membaca shalawat kepada Rasulullah Saw. Lalu pada suatu malam ia bermimpi melihat Rasulullah Saw. tidak mau menoleh kepadanya, dia bertanya: “Ya Rasulullah, apakah Engkau marah kepadaku?”

Beliau Saw. menjawab: “Tidak.”

Dia bertanya lagi: “Lalu sebab apakah Engkau tidak memandang kepadaku?” Beliau Saw. menjawab: “Karena aku tidak mengenalmu.”

Laki-laki itu bertanya: “Bagaimana Engkau tidak mengenaliku, sedang aku adalah salah satu dari umatmu? Para ulama meriwayatkan bahwa sesungguhnya Engkau lebih mengenali umatmu dibanding seorang ibu mengenali anaknya?”

Rasulullah Saw. Menjawab: “Mereka benar, tetapi engkau tidak pernah mengingat aku dengan shalawat. Padahal kenalku dengan umatku adalah menurut kadar bacaan shalawat mereka kepadaku.”

Terbangunlah laki-laki itu dan mengharuskan dirinya untuk bershalawat kepada Rasulullah Saw. setiap hari 100 kali. Dia selalu melakukan itu hingga ia melihat kembali Rasululah Saw. dalam mimpinya. Dalam mimpinya tersebut Rasulullah Saw. Bersabda: “Sekarang aku mengenalmu dan akan memberi syafa’at kepadamu.” Yakni karena orang tersebut telah menjadi orang yang cinta kepada Rasulullah Saw. dengan memperbanyak shalawat kepada beliau.

Dialog Sufi Bersama Syaikh Mustafa Mas'ud Al Haqqani

Moh Yasir Alimi, PhD, mantan pengurus PCI NU Cabang Istimewa Australia dan New Zealand (2005-2009) berdialog tentang jalan kesufian dengan Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani. Sang syekh adalah khadim atau pelayan thariqat Naqsybandi Haqqani di Indonesia.

Syaikh Mustafa lahir di Jombang, 25 Januari 1947. Ia adalah ulama sufi Ahlusunnah Wal Jamaa’ah yang menempuh pendidikan di pesantren Darul ’Ulum Jombang, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Setelah itu, Syaikh Mustafa, yang kini membimbing 90 Zawiyyah Thariqat Naqsybandi Haqqani di Indonesia, melanjutkan studinya ke School of Oriental African Studies (SOAS) University of London, dan Studies Johann Wolfgang Goethe Universitat, Frankfurt Am Mainz, Jerman.

Sebelum mengabdikan 100 persen waktunya untuk dakwah, ia pernah menjadi peneliti di LP3ES, dosen STAN Jakarta, dosen Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dosen Universitas Kebangsaan Malaysia. Pernah juga ia bekerja di Kementerian Belia dan Sukan dan Kuala Lumpur HRDC Trainer Malaysia.

Tahun 1997, ia ditunjuk oleh Maulana Syaikh Nadzim Al Haqqani Ciprus dan Maulana Syaikh Hisyam Kabbani Ar Rabbani USA sebagai The Representatif of The Naqsybandi Sufi Order Indonesia.

Sejak saat itu, Syaikh Mustafa melepaskan profesinya dan mendedikasikan seluruh kehidupannya untuk dakwah berkeliling ke seluruh penjuru Indonesia membimbing umat agar mencintai Rasulullah.

Di bawah perintah dan bimbingan Maulana Syaikh Nadzim, metoda dakwah Syaikh Mustafa mengedepankan semangat mencintai Rasulullah SAW, perdamaian, toleransi, cinta, kasih sayang dan persaudaraan. Dialog Yasir dan sang Syaikh, ada yang ketemu langsung, adapula melalui sms, maka gaya bahasa bisa bermacam-macam, dari bahasa sms, percakapan dan bahasa gaul. Berikut ini bagian pertama dialog kesufian.

Syaikh, terangkan kepadaku apa hakekat thariqat?

Thariqat adalah suatu kebersamaan dengan syaikh, untuk melebur ego, ke dalam suasana adab agar hati yang bersangkutan bisa merasakan arti fana missal fi adhomatil akhirat. Bukan suntuk cuma dengan dunia saja. Thariqat juga tentang azimah, keterkaitan dengan Rasulullah, akhlaknya, sunnahnya, tentang adhomatil Quran; tentang kemaslahatan hidup; tentang iklim saling kecintaan terhadap sesama manusia; tentang barokah kesalehan; tentang pertalian antara hamba dengan Allah; tentang hudhur, tentang getar dalam hati kita akan kehadiran Allah. Inilah antara lain mutiara-mutiara Islam yang makin terasa hilang; maka temukanlah kembali mutiara itu melalui thariqat.

Bisa dijelaskan lagi Syaikh, tentang rasa cinta dan getar di dada itu?

Lihatlah kecintaan dan getar hati Abu Bakar. 1427 tahun yang lalu, ketika Rasulullah harus hijrah ke Madinah. Beliau mengajak Sayidina Abu Bakar, orang yang sangat dekat dengan Beliau untuk menjadi pendamping dalam perjalanan menuju ke Madinah.

Sayidina Abu Bakar dengan penuh adab yang bersungguh, kata kuncinya dengan "Penuh Adab yang Bersungguh", di ajak ke Madinah. Harusnya dari kediaman Beliau berjalannya adalah ke Utara, karena Madinah secara geografis terletak di Utara dari Mekah, tetapi Rasulullah berjalan menuju ke Tenggara. Sayyidina Abu Bakar boro-boro complain (mengeluh), criticizing, bertanya pun tidak, jare nang Madinah, lha kok ngidul, kenapa lewat Tenggara?

Itu cermin apa, Syaikh?

Itu cerminan dari Adab. Dengan penuh kecintaan, Sayyidina Abu Bakar yang lebih tua dari Rasulullah, yang punya kelayakan psikologis untuk mempertanyakan, untuk meminta kejelasan seperti yang barangkali terjadi dalam kehidupan kita sekarang yang menjadi ruh dari reformasi, segala hal dipertanyakan sehingga batasan antara adab dan tidak adab, luber, hilang.

Sayyidina Abu Bakar tidak bertanya, Beliau ikut saja apa yang dibuat oleh Rasulullah, karena di hati Beliau ada "cinta" dan “percaya" dan sesuatu yang tidak lagi perlu tawar-menawar. Rasulullah Al Amin, tidak pernah keluar dari lidah Beliau sesuatu yang tidak patut tidak dipercaya. Pribadinya penuh pancaran kecintaan. Mencintai dan sangat pantes dicintai. Pribadinya begitu rupa menimbulkan `desire', suatu kerinduan. Ini sebenarnya yang menjadi sangat penting untuk dijelaskan.

Nabi Muhammad berjalan. Sayidina Abu Bakar mengikuti. Ketika akan sampai, 8 km dari arah Masjidil Haram, baru Sayidina Abu Bakar sadar. "Ooo … Mau istirahat ke Gua Tsur, karena sudah mendekati Gunung Tsur. Ketika Rasulullah naik, Oooo…kesimpulan Sayidina Abu Bakar.” With no curiousity, tidak dengan rewel, tidak dengan mempertanyakan, memaklumi.

Pertama-tama, dalam Islam yang kita butuhkan bukan`ngerti' syariat, tapi cinta terhadap yang mengajarkannya dan Dzat Maha Suci yang menurunkannya. Tanpa kacamata tersebut, tanpa rasa cinta tersebut, kita tidak akan mengerti Islam. Islam hanya menjadi "The Matter of Transaction", tawar menawar. Itu tidak terjadi pada Abu Bakar. Begitu Rasulullah mau naik ke arah gua, di Jabal Tsur itu, maka kemudian Beliau (Abu Bakar) menarik kesimpulan, "Oooo … Rasulullah mau istirahat di Gua Tsur."

Beliau (Abu Bakar) mengerti sebagai orang gurun, tidak akan pernah ada lubang bebatuan di gunung, pasti ada ular berbisanya. Itu reason, pikiran digunakan sesudah ‘cinta’, sesudah tulus, sesudah bersedia untuk patuh. Itu namanya pikiran yang well enlighted, pikiran yang tercerahkan, bukan pikiran yang cluthak (tidak senonoh), yang bisa bertingkah macam-macam, menimbulkan problem.

Lantas, apa yang kemudian dilakukan Abu Bakar?

Beliau kemudian mendekati Rasulullah, kasih aku kesempatan masuk. Rasulullah dan Abu Bakar, interespecting, saling menghargai. Sayidina Abu Bakar masuk gua. Gua itu kecil kalau diisi 3. Barangkali sudah kruntelan di situ, kayak bako susur yang dijejel-jejelkan (dimasukkan) ke mulut. Sayidina Abu Bakar masuk, beliau cari, bener ada lubang di situ. Beliau buka sandalnya, ditaruhnya kaki kanannya di mulut lubang itu. Dengan cinta, Beliau korbankan kakinya untuk Rasulullah. Beliau tidak mau Rasulullah digigit ular.

Akhirnya kakinya dicatel (digigit) oleh ular. Kemudian Beliau bilang, “Silakan masuk Rasulullah dengan penuh cinta, dengan penuh pengorbanan dan husnudzon.” Rasul masuk dan berbaring dipaha Abu Bakar. Rupanya Rasulullah terkena angin sepoi-sepoi pagi. Beliau tertidur. Ketika Beliau tertidur, ketika itu pulalah Abu Bakar menahan bisa dari ular yang sudah mulai menjalar ke seluruh tubuh. Abu Bakar berkeringat, dan diriwiyatkan bahwa keringatnya sudah berisi darah. Tetesan keringat Abu Bakar mengenai Rasulullah.

Bagaimana respon Rasulullah, Syaikh?

"Nangis Sampean?” tanya Rasulullah.

"Tidak,” jawab Abu Bakar, “kakiku digigit ular."

There was something happen. Ditariknya kaki Abu Bakar dari lubang itu, maka kemudian Rasulullah berkata pada ular.

"Hai Tahu nggak Kamu? Jangankan daging, atau kulit Abu Bakar, rambut Abu Bakar pun haram Kamu makan?"

Dialog Rasulullah dengan Ular itu didengar pula oleh Abu Bakar as-Shidiq, berkat mukjizat Beliau.

"Ya aku ngerti Kamu, bahkan sejak ribuan tahun yang lalu ketika Allah mengatakan ‘Barang siapa memandang kekasih-Ku, Muhammad, fi ainil mahabbah atau dengan mata kecintaan. Aku anggap cukup untuk menggelar dia ke surga,” kata ular.

“Ya Rabb, beri aku kesempatan yang begitu cemerlang dan indah. “Aku (ular) ingin memandang wajah kekasih-Mu fi ainal mahabbah,” lanjut ular.

Apa kata Allah?

"Silakan pergi ke Jabal Tsur, tunggu disana, kekasihKu akan datang pada waktunya,’ jawab Allah.

“Ribuan tahun aku menunggu disini. Aku digodok oleh kerinduan untuk jumpa Engkau, Muhammad. Tapi sekarang ditutup oleh kaki Abu Bakar, maka kugigitlah dia. Aku tidak ada urusan dengan Abu Bakar, aku ingin ketemu Engkau, Wahai Muhammad."

Apa pesan dari cerita Sayidina Abu Bakar, Syaikh?

Rasa cinta Abu Bakar As-Shiddiq pelajaran yang sangat essential, bukan textual. Cerita tentang Islam seperti terdeskripsi dalam Al-Qur'an, dalam hadits, tidak dapat kita tangkap muatan sebenarnya yang ada di dalamnya bila tidak dengan hati, with no sense, with no heart.

Gaya hidup di dada Abu Bakar dalam bercinta, dalam berkerendahan hati, dalam berketulusan, dalam berkesediaan untuk patuh, dan untuk membuat pengkhidmatan, itu adalah rukun Islam yang tidak tertulis. Semua ini adalah muatan di dalam kehidupan Rasulullah.

Lihatlah kehidupan sekarang. Aku dan kamu setiap hari secara mauqut diberikan kesempatan untuk mengucapkan "Assalamu'alaika ya ayyuhan nabiyyu warahmatullah". Tapi with no sense, with no heart, belum sempat Rasulullah kita pindahkan ke perasaan, ke hati kita, belum sempat akhirat kita hadirkan ke dalam rasa kita Bagaimana aku dan kamu bisa menjadi `abid, bagaimana aku dan kamu menjadi shakir, bagaimana aku dan kamu menjadi muttaqiin dan seterusnya dan seterusnya. Itulah persoalan kita. Maha mulia Allah yang memberi kita rahmat dan taufiq, supaya kita semuanya berkhidmad.

Saya semakin paham maksud Syaikh. Thariqat adalah tentang azimah keterkaitan dengan Rasulullah. Terangkanlah lebih luas lagi kepadaku tentang hal ini agar kepala dan hati kami menjadi terang?

Azimah adalah lawan kata dari ruskhsah, yaitu keringanan, selanjutnya yang enteng, kemudian dalam praktek bisa jadi perilaku atau suasana hati yang ngentengin. Ini salah kaprah dalam ibadah. Bisakah tukmaninah dan khusuk dalam bobot enteng-enteng saja, cuma sekilas sambil lalu?

Di situ ada nada yang hilang dan menguap; sejenis kesungguhan, ikhlas, istiqamah, ihsan, hudlur, getar hati. Ini bisa didapatnya melalui thariqat. Nah Rasulullah adalah mainstream kehadiran kita terhadap kehadiran Allah, dalam aneka perspektif yang ada, akhlak, aqidah, syariat, ibadah, sastra. Bukan Al-Quran hadits sendiri.

Kemasannya musti azimah, jangan sampai cuma suplemen, asesoris, cuma seremoni apalagi dikontroversikan sebagai bid'ah, perlu rumusan paradigm yang benar-benar akurat. Di sini pentingya istighfar di thariqat: min kulli ma yukholiful azimah.

Jadi saat ini pun, kita semestinya senantiasa menjaga pertalian ruhani dan batin terhadap Rasulullah agar mendapatkan rahmat Allah.

Ya Yasir, berangkat dari aturan dalam tahiyat shalat, kita diniscayakan untuk direct communication dengan beliau, apakah telah cukup kadar esoteric dan kesungguhan dalam bersalaman kepada beliau? Di tharikat ini justru dijadikan urat nadi ibadah kita, bahkan hidup kita pada dasarnya dan secara menyeluruh bertumpu pada Rasulullah. Ini merujuk pada hadits Qudsi.

Hadits pertama, Ya Muhammad Aku berkenan untuk mencipta manusia, walau mereka suka seenak sendiri, Aku menjadikan mereka pilihan-Ku karena itu mereka Kuserahkan dan Kutitipkan kepadamu Muhammad, sentuhlah qalbu mereka olehmu agar tak ngaco-ngaco banget, kembalikan mereka kelak pada-Ku di akherat dalam keadaan fitri sebagaimana ketika Kuserahkan padamu”.

Hadits Qudsi kedua. Suatu ketika Rasulullah memampak sosok yang tak beliau kenali, padahal beliau paham semua orang, maka sabda beliau:

“Siapa kamu?”
“Aku Iblis” tukas orang asing itu.
“Lho kok ngaku biasanya kan kamu menipu?” Tanya Rasulullah.
“Aku diperintah Allah untuk datang kepadamu dan menjawab secara benar”.
“Ooo.. “siapa yang paling tak kamu sukai?” tanya Nabi.
“Kamu,” jawab iblis tegas.
“Kenapa,” tanya Rasulullah.
“Orang yang bersama Kamu tak dapat kugoda,” jawab iblis.

Banyak orang sulit memahami ini karena menganggap Rasulullah sudah mati, Syaikh?

Yang mati kita, bukan Rasulullah.[]

Berada di Maqam Cinta

Ketika saya mengatakan, “Ini Syekh saya,” maka beliau tetap Syekh saya walaupun beliau akan melumatkan saya di dalam mesin blender. Saya tidak akan mengubah cinta saya pada beliau. Jika cinta saya berubah, saya tidak akan mencapai maqam apa pun. Pikiran-pikiran buruk tentang Syekh akan semakin menarik kalian menjauh dari beliau. Beliau mampu mendeteksi hal itu di dalam hati kalian.

Ketika kalian mengakui mempunyai pikiran-pikiran buruk itu, maka lebih mudah bagi Syekh untuk membersihkannya. Namun sebaliknya, bila si murid berpura-pura di depan Syekhnya bahwa dia adalah murid yang super, bahwa dia mencintai Syekhnya, bahwa dia akan melaksanakan apa yang diminta Syekh, padahal hatinya berbicara sebaliknya, maka Syekh pun mengetahuinya!

Itulah sebabnya di dalam banyak tarekat, ketika Syekh menghijab dirinya sendiri dan berada di “dunia lain” beliau tidak menemukan seseorang yang mampu membawa amanatnya ketika beliau sedang absen. Walaupun ketika di hadapan beliau, mereka tampak sebagai murid yang hebat. Akhirnya, beliau pergi tanpa menunjuk seorang pun, sampai ada yang benar-benar muncul. Ketika murid andalan itu muncul, Syekh memberinya kekuatan.

Insya Allah, sebentar lagi murid itu akan muncul di antara kalian. Dia yang akan membawa amanat Syekh dan melanjutkan perjuangannya. Jika kalian pandai, kalian akan tahu siapakah orang itu. Dia adalah seorang yang rendah hati, tidak peduli dengan kehidupan materi ataupun ingin mencapai maqam tertentu dan tidak menonjolkan diri.

Sebuah lukisan Syekh Abdul Qadir Jailani QS yang terdapat di kediaman Abah Anom di Suryalaya. Seperti ketika seorang murid Sayyidina Abdul Qadir Jailani QS meninggal, dia dikunjungi 2 malaikat dan bertanya, “Siapa Tuhanmu?” Murid itu menjawab, ”Abdul Qadir Jailani QS.” Siapa Nabimu? Dijawab, “Abdul Qadir Jailani QS.” Apakah agamamu? Dijawab, “Abdul Qadir Jailani QS.” ‘Tempatmu di neraka! Ke mana lagi tempat yang cocok bila seluruh pertanyaan dijawab dengan Abdul Qadir Jailani QS.’

Seketika itu Sayyidina Abdul Qadir Jailani QS muncul dan mengatakan, “Siapa yang memberi kalian izin membawanya ke neraka? Dia telah menyebut namaku, paling tidak tanyalah dulu padaku! Aku tidak jauh, dia adalah muridku, jika mau menanyainya, tanyalah aku. Jangan memberi dia siksa kubur tanpa memberi kesempatan meminta dukungan. Hal ini sama dengan menghina aku, aku wakil Nabi Muhammad SAW!”

Kedua malaikat itu takut pada Syekh Abdul Qadir Jailani QS. Mereka tidak ingin kena pukulan lagi seperti yang pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar RA pada mereka. Ketika Sayyidina Umar RA, Khalifah kedua wafat, dua malaikat maut mendatangi beliau. “Siapa Tuhanmu?” Sayyidina Umar RA mempunyai watak yang keras, dan beliau diam saja ketika pertanyaan itu diajukan. “Apa agamamu?” Beliau tetap diam. “Apa kitabmu?” Tetap tidak ada jawaban. Akhirnya mereka harus membawa beliau menuju neraka.

Sayyidina Umar RA berkata, ”Aku tidak mendengar apa yang kau ucapkan, mendekatlah ke sini.” Mereka mendekat dan mengulang pertanyaan tadi. “Aku masih belum mendengar,… lebih dekat lagi!” Maka Malaikat Munkar AS mendekat dan bertanya lagi, ”Siapa Tuhanmu?” Sayyidina Umar RA segera mengepalkan tangan dan meninjunya tepat di mata Malaikat Munkar AS. Para awliya mengatakan bahwa Malaikat Munkar AS hanya memiliki satu mata saja, itu akibat dipukul oleh Sayyidina Umar RA.

Sayyidina Umar RA berkata, ”Aku baru saja tiba dengan jarak 10 yard, 2 menit dari makamku. Bagaimana mungkin aku lupa siapa Tuhanku dengan waktu sesingkat itu. Sedangkan kalian yang dikirim Allah SWT dari jarak ribuan dan ribuan tahun jauhnya mengaku tidak melupakan siapa Tuhan kalian? Terimalah pukulan keduaku ini!” Segera Malaikat Munkar AS lari menjauh dan Malaikat Nakir AS lari menyusulnya.

Maka kini kedua malaikat itu takut pada Syekh Abdul Qadir Jailani QS. Mereka kembali kepada Allah SWT, dan Allah SWT berfirman, “Dia adalah salah satu awliya-Ku. Tinggalkanlah dia.”

Allah SWT lalu memperpanjang hidup murid itu selama 37 tahun lagi. Mengapa? Karena cinta murid itu pada Syekhnya amat besar dan tidak mampu melihat apa pun kecuali Syekhnya. Itulah murid yang benar, mampu menjaga amanat.

Jika saya bertanya pada kalian sekarang, “Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa kitabmu?” Maka kalian pasti takut untuk menjawab ‘Syekhku!’ Karena itu syirik, kufur , tidak bisa diterima. Meskipun hal itu tidak bisa diterima, dan bahkan kita sadar bahwa kita harus menyembah Allah SWT, dan ketika kita mengatakan, “Allahu Akbar,” kita sedang menyembahnya, namun jika kalian berada dalam Maqam Cinta, maka cinta itu akan mengambil alih pikiran kalian. Pada saat itu kalian tidak bertanggung jawab atas apa yang kalian katakan dan tidak berdosa.

Saat ini kalian pada tingkatan menggunakan akal. Namun pada saat berada di maqam itu, di mana kalian tidak dapat menggunakan akal pikiran, maka kalian bisa mengatakannya dan hal itu tidak dicatat sebagai sebuah dosa. Seperti orang yang tidak waras, jika dia membunuh seseorang, maka kita tidak bisa mengajaknya bicara karena dia tidak menggunakan pikirannya.Tidak bisa ditindak secara hukum karena dia seperti seorang anak kecil, walaupun tindakannya berdasarkan niat sekalipun. Dia tidak bertanggung jawab, dia tidak menggunakan akal pikirannya.

Jika kalian mencapai Maqam Cinta sebagaimana yang telah dicapai para awliya, maka syirik tidak ada artinya. Inilah yang gagal dimengerti oleh para ulama terhadap keberadaan para wali. Ini adalah kesalahan yang dibuat para ulama dulu dan masih berlanjut sampai sekarang. Mereka mengatakan, “Syekh itu musyrik dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa diterima.” Karena Syekh itu tidak sedang berada di maqam yang biasa. Dia sedang berada di Maqam Cinta. (Mawlana Syeikh Hisyam Kabbani Ar Rabbani)

Kisah Insyafnya Ulama Wahabi



Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin–ulama Wahabi kontemporer yang sangat populer–mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, yang dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Tafsir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti manhaj pemikiran Wahhabi. Meskipun Syaikh Ibnu Sa’di, termasuk ulama Wahabi yang ekstrim, ia juga seorang ulama yang mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.

Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda Abuya al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjid al-Haram bersama halaqah pengajiannya. Sementara di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk. Sementara orang-orang di Masjidil Haram larut dalam ibadah shalat dan tawaf yang mereka lakukan. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram penuh dengan mendung yang menggelantung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan yang sangat lebat. Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan airnya dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut, dan kemudian mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.

Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Badui daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah SWT. Akhirnya para polisi pamong praja itu berkata kepada orang-orang Hijaz yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu,

“Jangan kalian lakukan wahai orang-orang musyrik. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik.”

Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera berhamburan menuju halaqah al-Imam al-Sayyid ‘Alwi al-Maliki al-Hasani dan menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk melakukannya. Akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Badui tersebut. Bahkan mereka berkata kepada para polisi baduwi itu,

“Kami tidak akan memperhatikan teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”

Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi Badui itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Badui, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil selendangnya dan bangkit menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi dan duduk di sebelahnya. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Dengan penuh sopan dan tata krama layaknya seorang ulama, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi:

“Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka’bah itu ada berkahnya?”

Sayyid ‘Alwi menjawab:

“Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”

Syaikh Ibnu Sa’di berkata:

“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Sayyid ‘Alwi menjawab:

“Karena Allah SWT berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:

وَنَزَّلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءًۭ مُّبَرَكًۭا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50:9).

Allah SWT juga berfirman mengenai Ka’bah:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍۢ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِى بِبَكَّةَ مُبَارَكًۭا وَهُدًۭى لِّلْعَلَمِينَ (٩٦
“Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3:96).

Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini.”

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi:

“Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini.”

Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di:

“Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi Badui itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan orang dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang yang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu, lalu ambillah air di situ di depan para polisi Badui itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.”

Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tingkah laku Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Badui itu pun pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.

Semoga Allah SWT merahmati Sayyidina al-Imam ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki al-Hasani. Amin.

Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.

Kisah Teladan Islami.

Pemuda yang haus Ilmu

"Ya Ghulam, maukah kau mendengar beberapa kalimat yang sangat berguna?" tanya Rasulullah suatu ketika pada seorang pemuda kecil. "Jagalah (ajaran-ajaran) Allah, niscaya kamu akan mendapatkan-Nya selalu menjagamu. Jagalah (larangan-larangan) Allah, maka kamu akan mendapati-Nya selalu dekat di hadapanmu."

Pemuda kecil itu termangu di depan Rasulullah. Ia memusatkan perhatian pada setiap patah kata yang keluar dari bibir manusia paling mulia itu. "Kenalilah Allah dalam sukamu, maka Allah akan mengenalimu dalam duka. Bila kamu meminta, mintalah kepada-Nya. Jika kamu butuh pertolongan, memohonlah kepada-Nya. Semua hal telah selesai ditulis."

Pemuda beruntung itu adalah Abdullah bin Abbas. Ibnu Abbas, begitu ia biasa dipanggil, dalam sehari itu ia menerima banyak ilmu. Bak kata pepatah, sekali dayung tiga empat pulau terlampaui, wejangan Rasulullah saat itu telah memenuhi rasa ingin tahunya. Pelajaran akidah, ilmu dan amal sekaligus ia terima dalam sekali pertemuan.

Keakraban dengan Rasulullah sejak kecil membuat Ibnu Abbas tumbuh menjadi seorang lelaki berkepribadian luar biasa. Keikhlasannya seluas padang pasir tempatnya tinggal. Keberanian dan gairah jihadnya sepanas sinar matahari gurun. Kasihnya seperti oase di tengah sahara.

Hidup bersama Rasulullah benar-benar telah membentuk karakter dan sifatnya. Suatu ketika, benaknya dipenuhi rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana cara Rasulullah shalat. Malam itu, ia sengaja menginap di rumah bibinya, Maimunah binti Al-Harits, istri Rasulullah.

Sepanjang malam ia berjaga, sampai terdengar olehnya Rasulullah bangun untuk menunaikan shalat. Ia segera mengambil air untuk bekal wudhu Rasulullah. Di tengah malam buta itu, betapa terkejutnya Rasulullah menemukan Abdullah bin Abbas masih terjaga dan menyediakan air wudhu untuknya.

Rasa bangga dan kagum menyatu dalam dada Rasulullah. Beliau menghampiri Ibnu Abbas, dan dengan lembut dielusnya kepala bocah belia itu. "Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu." Demikian doa Rasulullah.

Abdullah bin Abbas lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah. Saat Rasulullah wafat, ia masih sangat belia, 13 tahun umurnya. Semasa hidupnya, Rasulullah benar-benar akrab dengan mereka yang hampir seusia dengan Abdullah bin Abbas. Ada Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid dan sahabat-sahabat kecil lainnya.

Saat Rasulullah wafat, Ibnu Abbas benar-benar merasa kehilangan. Sosok yang menjadi panutannya, kini telah tiada. Walau demikian, ia tak mau berlama-lama tenggelam dalam kedukaan. Ibnu Abbas segera bangkit dari kedukaan. Meski Rasulullah telah berpulang, semangat jihad tak boleh berkurang. Maka ia pun mulai melakukan perburuan ilmu.

Didatanginya para sahabat senior. Ia bertanya pada mereka tentang apa saja yang perlu ditimbanya. Tak hanya itu, ia juga mengajak sahabat-sahabat yang seusia dengannya untuk belajar pula. Tapi sayang, tak banyak yang mengikuti jejak Ibnu Abbas. Mereka merasa tidak yakin, apakah para sahabat senior itu mau memerhatikan mereka yang masih anak-anak.

Walau demikian, Ibnu Abbas tak patah arang. Ia ketuk satu pintu dan berpindah ke pintu lain, dari rumah-rumah para sahabat Rasulullah. Tak jarang ia harus tidur di depan rumah mereka, karena para sahabat tengah istirahat. Namun betapa terkejutnya mereka begitu melihat Ibnu Abbas tidur di depan pintu rumah.

"Wahai keponakan Rasulullah, kenapa tidak kami saja yang menemuimu?" kata para sahabat yang menemukan Ibnu Abbas di depan rumah mereka.

"Tidak, akulah yang mesti mendatangi anda," jawabnya.

Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, hingga kelak ia benar-benar menjadi seorang pemuda dengan ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Karena tingginya dan tak berimbang dengan usianya, ada yang bertanya tentangnya. "Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini, wahai Ibnu Abbas?"

"Dengan lidah dan gemar bertanya, dengan akal yang suka berpikir," demikian jawabnya.

Karena ketinggian ilmunya itulah, ia kerap menjadi kawan dan lawan diskusi para sahabat senior. Umar bin Al-Kathab misalnya, selalu memanggil Ibnu Abbas untuk duduk bersama dalam sebuah musyawarah. Pendapat-pendapatnya selalu didengar karena keilmuannya. Sampai-sampai Amirul Mukminin kedua itu memberi julukan kepada Ibnu Abbas sebagai "pemuda tua".

Doa Rasulullah yang meminta kepada Allah agar menjadikan Ibnu Abbas sebagai seorang yang mengerti perkara agama telah terwujud kiranya. Ibnu Abbas adalah tempat bertanya karena kegemarannya bertanya. Ibnu Abbas tempat mencari ilmu karena kegemarannya terhadap ilmu.

Di usianya yang ke-71 tahun, Allah SWT memanggilnya. Saat itu umat Islam benar-benar kehilangan seorang dengan kemampuan dan pengetahuan yang luar biasa. "Hari ini telah wafat ulama umat," kata Abu Hurairah menggambarkan rasa kehilangannya.

111 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

Dihukum, Tapi Tak Merasa

Dihukum, Tapi Tak Merasa

Suatu ketika, Nabi Syuaib a.s. kedatangan seseorang tamu. Pria ini mengatakan “Tuhan telah menyaksikan semua dosa yang kulakukan. Namun, karena kemurahan-Nya, Ia masih juga belum menghukumku.”

Tuhan lalu berkata kepada Syuaib a.s., “Katakan kepada orang itu, ‘Engkau merasa Tuhan belum menghukummu padahal sebaliknya. Tuhan telah menghukum tetapi kau tak menyadarinya. Engkau berkelana di tengah rimba tanpa tujuan. Tangan dan kakimu terikat. Engkau tak lain hanyalah wajan yang penuh dengan karat. Semakin hari kau dibutakan dari hal-hal spiritual. Bila api mengenai wajan yang masih bersih, jelaganya terlihat seketika. Tapi, dengan wajan yang permukaannya amat hitam seperti milikmu, siapa yang mampu melihat betapa tebalnya jelaga itu?”

“Ketika kau berhenti mengingat-Nya, lapisan karat itu bergerak menuju jiwamu. Bila kau menulis di atas sehelai kertas, tulisan itu akan mudah terbaca. Namun bila kertas itu kau remas berulang kali, apa yang kau tulis akan sulit untuk kau baca. Tenggelamkan dirimu dalam larutan pembersih karat. Hapus jelaga itu seluruhnya!”

Setelah Syuaib a.s. mengutarakan semua ini, saat itu pula mawar bermekaran di hati pria itu. Tapi ia masih bertanya, “Aku masih ingin tahu satu tanda bahwa Dia benar-benar telah menghukumku.”

Sekali lagi Tuhan, melalui lidah Syuaib berkata, “Aku takkan menyingkap rahasiamu, tapi Aku akan tunjukkan hingga kau mengerti.”

“Dalam hidupmu kau telah banyak beramal saleh. Kau sering berpuasa dan shalat malam. Tapi, kau belum menikmati semua itu. Kau memiliki banyak buah, namun tak ada yang rasanya manis. Tanpa cita rasa dan benih kenikmatan, sebiji apel takkan tumbuh menjadi pohon yang penuh dengan buah. Begitu pula dengan ibadahmu, ibadah tanpa kenikmatan tak lebih dari sekadar khayalan …”

----Syaikh Al-Anqary dalam Munyatul Wa'izhin----

Allah berfimran : “Aku bersama orang-orang yang patah hati demi Aku.”

Hilangnya kemauanmu dengan kehendak-Nya,
ditandai dengan ketak-pernahan menentukan diri,
ketak-bertujuan,
ketak-butuhan,
karena tak satu
tujuan pun termiliki,
kecuali satu, yaitu Allah.

Maka, kehendak Allah mewujud dalam dirimu,
sehingga kala kehendak-Nya beraksi, maka
pasiflah organ-organ tubuh, hati pun tenang,
pikiran pun cerah, berserilah wajah dan
ruhanimu, dan kau atasi kebutuhan-kebutuhan
bendawi berkat berhubungan dengan Pencipta
segalanya.

Tangan Kekuasaan senantiasa
menggerakkanmu, lidah Keabadian selalu
menyeru namamu, Tuhan Semesta alam
mengajarmu, dan membusananimu dengan nur-
Nya dan busana ruhani, dan menempatkanmu
sejajar dengan para ahli hikmah yang telah
mendahuluimu.

Sesudah ini. Kau selalu berhasil menaklukan diri,
hingga tiada lagi pada dirimu kedirian, bagai
sebuah bejana yang hancur lebur, yang bersih
dari air, atau larutan.

Dan kau terjauhkan dari
segala gerak manusiawi, hingga ruhanimu
menolak segala sesuatu, kecuali kehendak Allah.

Pada maqam ini, keajaiban dan dialami
ternisbahkan kepadamu.

Hal-hal ini tampak
seolah-olah darimu, padahal, sebenarnya, dari
Allah.

Maka, kau diakui sebagai orang yang hatinya
telah tertundukkan, dan kediriannya telah
musnah, maka kau diilhami oleh kehendak Ilahi
dan dambaan-dambaan baru dalam kemaujuda
sehari-hari.

Mengenai mawam ini, Nabi Suci
saw. bersabda : “Tiga hal yang kusenangi dari
dunia – wewangian, wanita, dan shalat – yang
pada mereka tersejukkan mataku.”

Sungguh, hal-
hal dinisbahkan kepadanya, setelah hal-hal itu
sirna darinya, sebagaimana telah kami
isyaratkan.

Allah berfimran : “Aku bersama
orang-orang yang patah hati demi Aku.”

Allah Yang Mahatinggi takkan besertamu, sampai
kedirianmu sirna.

Dan bila kedirianmu telah
sirna, dan kau abaikan segala sesuatu, kecuali
Dia, maka Allah menyegar-bugarkanmu, dan
memberimu kekuatan baru, yang dengan itu, kau
berkehendak. Bila di dalam dirimu masih juga
terdapat noda terkecil pun, maka Allah
meremukkanmu lagi, hingga kau senantiasa patah
hati.

Dengan cara begini Ia terus menciptakan
kemauan baru di dalam dirimu, dan bila kedirian
masih maujud, maka Dia hancurkan lagi, sampai
akhir hayat dan bertemu (liqa) dengan Tuhan.

Inilah makna firman Allah : “Aku bersama orang-
orang yang putus asa demi aku.”

Dan makna
kata : “Kedirian masih maujud” ialah kemasih-
kukuhan dan kemasih-puasan dengan keinginan-
keinginan barumu.

SYIIR GUS DUR

Astaghfirullah robbal baroya...
Astaghfirullah minal khotoya...
Rabbiziqni ilman nafi’a...
Wa wafiqni amalan sholihan...

Yarosulalloh salammun’alaik…
Yaarofi’asaaniwaddaaroji…

‘atfatayaji rotall ‘aalami…
Yauhailaljuu diwaalkaromi… 2x

Ngawiti ingsun nglaras syi’iran
Kelawan muji maring pengeran
Kang paring rohmat lan kenikmatan
Rino wengine tanpo petungan... 2x

Kumulai menguntai syair
Dengan memuji pada Tuhan
Yang merahmati dan memberi nikmat
Siang malam tanpa hitungan

Duh bolo konco priyo wanito
Ojo mung ngaji syare’at bloko
Gur pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal samsoro... 2x

Duhai kawan laki-perempuan
Jangan hanya mengaji syariat belaka
Hanya pandai berdongeng, tulis dan baca
Kelak di belakang bakal sengsara

Akeh kang apal Qur’an haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke
Yen isih kotor ati akale... 2x

Banyak yang hafal Al-Qur’an dan haditsnya
Malah suka mengafirkan yang lainnya
Kafirnya sendiri tidak dipedulikan
Jika masih kotor hati dan akalnya

Gampang kabujuk nafsu angkoro
Ing pepaese gebyare ndunyo
Iri lan meri sugihe tonggo
Mulo atine peteng lan nistho... 2x

Mudah ketipu nafsu angkara
Pada rias gebyar dunia
Iri dan dengki harta tetangga
Karena hatinya gelap dan nista

Ayo sedulur jo nglaleake
Wajibe ngaji sak pranatane
Nggo ngandelake iman tauhite
Baguse sangu mulyo matine... 2x

Mari saudara, jangan lupakan
Kewajiban dengan semua aturannya
Demi menebalkan iman tauhidnya
Bajiknya bekal, hati nan mulia

Kang aran soleh bagus atine
Kerono mapan seri ngelmune
Laku thoriqot lan ma’rifate
Ugo hakekot manjing rasane... 2x

Disebut soleh karena bagus hatinya
Karena selaras dengan ilmunya
Menempuh thariqah dan ma’rifatnya
Juga hakikat merasuk jiwanya

Al- Quran qodim wahyu minulyo
Tanpo dinulis biso diwoco
Iku wejangan guru waskito
Den tancepake ing jero dodo... 2x

Al-Qur’an Qodim wahyu mulia
Tanpa ditulis bisa dibaca
Itulah nasehat dari guru waskita
Tancapkan di dalam dada

Kumantil ati lan pikiran
Mrasuk ing badan kabeh jeroan
Mu’jizat rosul dadi pedoman
Minongko dalan manjinge iman... 2x

Merasuk hati dan pikiran
Merasuk badan hingga ke dalam
Mu’jizat Rosul jadi pedoman
Sebagai jalan masuknya iman

Kelawan Alloh kang moho suci
Kudu rangkulan rino lan wengi
Ditirakati diriyadohi
Dzikir lan suluk jo nganti lali... 2x

Bersama Allah Yang Maha Suci
Harus pelukan siang dan malam
Dilakukan dengan tirakat riyadhoh
Dzikir dan suluk janganlah lupa

Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar narimo najan pas pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran... 2x

Hidupnya damai merasa aman
Sampai dirasa tandanya iman
Sabar dan menerima walau sederhana
Semua hanya takdir dari Pengeran

Ayo lawan konco dulur lan tonggo
Kang podho rukun ojo daksiyo
Iku sunnahe rasul kang mulyo
Nabi Muhammad panutan kita... 2x

Ayo kawan saudara dan tetangga
Yang sama rukun jangan musuhan
Itu Sunnah Rasul yang mulia
Nabi Muhammad Panutan kita

Ayo anglakoni sakabehane
Allah kang ngangkat drajate
Senajan ashor toto dhohire
Ananging mulyo maqom drajate... 2x

Yang bisa menjalankan semuanya
Allahlah yang mengangkat derajatnya
Walau rendah kelihatan tampaknya
Namun mulia maqom derajatnya

Lamun palastro ing pungkasane
Ora kesasar roh lan sukmane
Den gadang Allah swargo manggone
Utuh mayite ugo ulese

Jika di akhir hayatnya
Tak tersesat ruh dan jiwanya
Dihantar Allah syurga tempatnya
Utuh mayatnya dan kafannya

Yarosulalloh salammun’alaik…
Yaarofi’asaaniwaddaaroji…

‘atfatayaji rotall ‘aalami…
Yauhailaljuu diwaalkaromi… 2x

Al – Fatihah...

Upah Yang Sedikit Tapi Berkah


Seseorang datang kepada Imam Syafi'i mengadukan tentang kesempitan hidup yang ia alami. Dia memberi tahukan bahwa ia bekerja sebagai orang upahan bergaji 5 dirham. Dan gaji itu tidak mencukupinya.

Anehnya, Imam Syafi'i justru menyuruh dia tuk temui orang yang mengupahnya agar mengurangi gajinya jadi 4 dirham. Orang itu pergi melaksanakan perintah Imam Syafi'i sekalipun ia tidak paham maksud dari perintah itu.

Setelah berlalu beberapa lama orang itu datang lagi kepada Imam Syafi'i mengadukan tentang kehidupannya yang tidak ada kemajuan. Lalu Imam Syafi'i memerintahkannya tuk kembali menemui orang yang mengupahnya dan minta tuk mengurangi lagi gajinya jadi 3 dirham. Orang itupun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafi'i dengan perasaan sangat heran.

Setelah berlalu sekian hari orang itu kembali lagi menemui Imam Syafi'i dan berterima kasih atas nasehatnya. Ia menceritakan bahwa uang 3 dirham justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan hidupnya menjadi lapang. Ia menanyakan apa rahasia di balik itu semua?

Imam Syafi'i menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak dapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika tercambur dengannya.

Lalu Imam Syafi'i membacakan sebuah sya'ir:

جمع الحرام على الحلال ليكثره
دخل الحرام على الحلال فبعثره

Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya ia menjadi banyak.
Yang haram pun masuk ke dalam yang halal lalu ia merusaknya.