Laman

Senin, 04 Agustus 2014

Rukun kedua: Tingkah laku ruhani

Tingkah laku ruhani ini merupakan buah dari pengetahuan di atas. Yaitu, rasa syukur kepada Sang Pemberi nikmat yang disertai dengan ketundukan dan pengagungan.

Orang yang dihadiahi seekor kuda oleh seorang raja, rasa gembira muncul dari tiga hal. Pertama, gembira karena bisa memperoleh manfaat dari kuda tersebut. Kedua, gembira karena hal tersebut merupakan pertanda, bahwa sang raja sangat memperhatikannya. Dia akan diberi hadiah lebih besar lagi dari sekadar seekor kuda. Ketiga, bahwa agar kuda itu menjadi kendaraannya untuk menghadap raja dan mengabdi kepadanya.
Sasaran sikap pertama, bukanlah bentuk syukur. Itu sekadar rasa gembira terhadap nikmat, bukan rasa syukur terhadap sang pemberi nikmat. Sikap kedua, dikategorikan syukur, namun syukur yang lemah jika dibanding dengan sikap ketiga. Sasaran dengan sikap ketiga itu menunjukkan, bahwa syukur yang sempurna adalah, rasa syukur atas karunia atau dibukanya pintu nikmat oleh Allah. Bukan rasa syukur yang berupa kegembiraan terhadap nikmat, dan perspektif nikmat itu sendiri, yang terkadang malah melalaikan Allah swt. Tetapi dari sisi, bahwa nikmat itu merupakan perantara kepada-Nya, sebab dengan nikmat itulah kebaikan-kebaikan menjadi sempurna.

Tanda-tandanya adalah, dia tidak bersuka cita dengan segala macam nikmat yang dapat melupakan dirinya kepada Allah Swt, tapi justru bersedih karenanya. Ia justru bersuka cita karena adanya larangan-larangan Allah yang berupa kesibukan dengan urusan duniawi dan segala bentuk kenikmatannya. Inilah bentuk syukur yang paling sempurna.
Orang yang tidak bisa merealisasikan syukur dengan versi yang sempurna ini ia wajib bersyukur dengan versi kedua.
Sedangkan syukur dengan versi pertama, bukanlah syukur. Itu sekadar rasa gembira terhadap nikmat yangjatuh ke tangannya, bukan rasa syukur kepada Sang Pemberi nikmat.

Rukun ketiga: Amal
Artinya, dengan nikmat tersebut untuk mencintai-Nya, bukan durhaka kepada-Nya. Yang demikian ini, hanya dipahami orang yang mengenal hikmah Allah kepada seluruh makhluk-Nya. Mengapa Dia menciptakan segala sesuatu? Penjelasan tentang hal ini sangat panjang. Uraiannya penulis jelaskan dalam kitab Al-Ihya’. Antara lain, misalnya dia harus tahu, bahwa mata sendiri adalah nikmat dari Allah. Mensyukuri mata adalah menggunakannya untuk menelaah Kitab Allah, untuk mengkaji ilmu pengetahuan, melakukan studi dan riset tentang langit dan bumi, agar dia mampu menyerap pelajaran darinya dan mengagungkan Sang Penciptanya. Dia juga harus menutupi matanya dari segala bentuk aurat kaum Muslimin.
Kemudian menggunakan telinganya untuk menyimak peringatan dan segala hal yang bermanfaat di akhirat nanti, berpaling dari aktivitas mendengarkan kata-kata keji dan berlebihan.

Menggunakan lisan untuk berdzikir dan memuji Allah, sebagai rasa syukur tanpa keluhan. Sebab, orang yang ditanya tentang keadaannya, lalu mengeluh, maka dia itu tergolong pelaku maksiat. Karena dia mengadukan milik Sang Maha Raja kepada seorang budak hina yang tidak dapat berbuat apa pun. Sebaliknya, bila bersyukur, maka dia tergolong orang taat.
Mensyukuri hati, berarti menggunakannya untuk berpikir, bertafakur, dzikir, berma’rifat, merahasiakan kebaikan dari niat yang baik.
Demikian pula dengan tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh, seluruh harta-benda dan hal-hal lainnya yang tidak terbatas.

Syukur Sempurna
Yang mampu mencapai syukur sempurna adalah orang yang dilapangkan oleh Allah Swt. untuk menerima Islam, yang berarti juga ia mendapat cahaya dari Tuhannya. Ketika ia memandang segala yang ada, yang dilihat adalah hikmah, rahasia dan cinta kasih Allah kepada makhluk-Nya.
Bagi orang yang belum terbuka atau belum dibukakan rahasia-rahasia itu, harus mengikuti sunnah dan aturan-aturan syariat. Sebab, di balik semua itu terdapat rahasia-rahasia syukur.

Seyogyanya dia pun tahu, jika memandang kepada wanita yang bukan muhrim itu berarti dia tidak mensyukuri nikmat mata dan nikmat matahari. Sebab, seluruh nikmat, tidak bisa dilihat secara sempurna, kecuali dengan mata. Sedangkan melihat itu tidak akan terwujud tanpa mata dan cahaya matahari, sementara matahari hanya bisa sempurna dengan langit. Berarti dia tidak pula bersyukur atas nikmat Allah yang ada di langit dan di bumi.
Analogikan semua bentuk kemaksiatan dengan wacana tersebut. Karena maksiat itu sendiri terwujud, disebabkan adanya penciptaan langit dan bumi.
Ini adalah masalah yang dalam dan sangat luas, kami bahas dalam Bab “Syukur” pada kitab lhya’. Kami cukup memberikan satu contoh di sini: Allah menciptakan dinar dan dirham ibarat sebagai hakim dalam segala hubungan. Seluruh harga ditentukan dengan dinar dan dirham. Kalau tidak karenanya, seluruh hubungan sosial ekonomi terhalang. Bagaimana jadinya, membeli pakaian dengan minyak za’faran, dan binatang ternak dibeli dengan makanan? Dinar dan dirham, tidak memiliki hubungan, kecuali sebagai spirit harta-benda. Perspektif yang mengukur keduanya adalah fungsinya sebagai mata uang kontan. Orang yang menyimpan dirham dan dinar, seperti orang yang menahan seorang hakim Muslim, sehingga seluruh hukum terabaikan.
Orang yang menjadikan salah satu di antara dirham dan dinar sebagai milik pribadi, dia sama saja dengan mempekerjakan salah seorang hakim kaum Muslimin di bidang pertanian dan tekstil, yang bisa dilakukan oleh siapa saja, sehingga hukum menjadi tidak berlaku. Ini lebih parah lagi dibanding penahanan.

Barangsiapa membungakan dirham dan dinar, serta menjadikan sebagai sasaran perdagangannya dengan jalan menukar yang baik dengan yang jelek, itu sama halnya dengan orang yang memberi kesibukan seorang hakim sehingga lalai terhadap hukum. Kemudian ia jadikan sebagai bahan ejekan untuk dirinya, menyuruhnya untuk mengumpulkan kayu bakar, menyapu dan mengusahakan makanan pokok.
Itu semua merupakan tindakan lalim dan rekayasa terhadap hukum Allah Swt. atas makhluk dan hamba-hamba-Nya, serta merupakan tindakan memusuhi kecintaan kepada Allah Swt.

Siapa yang dibukakan cahaya mata hatinya, dia hanya tahu pada syariat verbal tanpa makna sebenarnya. Difirmankan kepadanya:
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘lnilah harta-bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (Q.s. At-Taubah: 34-35).

Ditegaskan pula, “Barangsiapa minum dengan menggunakan bejana dari emas atau perak, maka seakan-akan api neraka jahannam bergolak dalam perutnya.”, Firman-Nya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Q.s. Al-Baqarah: 275).

Orang-orang yang saleh hanya terpaku pada aturan-aturan syariat, tapi tidak mengetahui rahasia-rahasianya. Sedangkan orang-orang arifin, bila telah mengetahui sendiri rahasia-rahasia dan telah menyaksikan langsung bukti-bukti syariat, semakin bertambahlah cahayanya. Sementara orang-orang buta yang bodoh, hanya mengerti aturan-aturan syariat belaka, mereka terlepas dari seluruh rahasia. Mereka tidak seperti hamba-hamba yang takwa, dan tidak seperti orang-orang merdeka yang mulia. Merekalah yang oleh Allah difirmankan:
“... akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari pada-Ku ...“ (Q.s. As-Sajdah: 13).

Dan Allah Swt. berfirman:
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa jang diturunkan kepadamu dan Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Sesungguhnya menjadi ingatlah orang-orang yang memiliki lubuk hati.”
(Q.s. Ar-Ra’d: 19).

Allah Swt. juga berfirman:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulunya adalah orang yang melihat?’Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan’.” (Q.s. Thaha: 124-126).

Tanda-tanda kebesaran Allah Swt. dan hikmah-Nya terdapat pada makhluk-Nya. Hal ini telah disampaikan kepada manusia melalui lisan para Nabi shalawat dan salam semoga terlimpah kepada mereka— seperti yang dijelaskan dalam globalitas syariat, dari awal sampai akhir. Tidak satu pun dari aturan-aturan syariat, yang tidak mengandung rahasia, keistimewaan dan hikmah, yang bisa dimengerti oleh orang yang mengetahui, namun diingkari oleh orang yang tidak mengenalnya.

Penjelasan tentang masalah ini sangat panjang, silakan Anda membacanya dalam Bab “Syukur” di kitab Ihya’.
Syukur tidak akan sempurna, kecuali orang yang teguh demi Allah saja, mengerjakan apa pun demi Allah, bukan untukyang lain, cintanya hanya kepada Allah Swt. Selanjutnya kami uraikan prinsip ikhlas dan jujur.

Syukur

Al-Ghazali
Allah Swt. telah berfirman: ”Dan sedikit sekali dan hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Q.s. Saba’: 13), “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (Q.s. Ibrahim: 7).

Ketika bertahajjud Rasulullah Saw. menangis, lalu Aisyah r.a. bertanya, “Apa yang menyebabkan Rasulullah menangis, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang terdahulu dan yang akan datang?”

Rasulullah Saw. Menjawab, ”Apakah aku tidak akan menjadi hamba yang bersyukur?”
Rasulullah Saw juga bersabda, ”Pada hari Kiamat diserukan kepada orang-orang yang suka memuja Allah, agar bangun. Maka bangkitlah segolongan manusia, lalu ditegakkan sebuah panji bagi mereka, kemudian mereka masuk surga.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang suka memuji itu?” Beliau menjawab, “Mereka yang selalu bersyukur kepada Allah setiap saat.”
Sabdanya, “Pujian itu merupakan pakaian Yang Maha Pengasih.”

Maqam Syukur
Syukur termasuk maqam yang tinggi. Maqam syukur lebih tinggi dari sabar, khauf, zuhud dan maqam-maqam lainnya yang telah disinyalir sebelumnya. Sebab, maqam-maqam itu tidak diproyeksikan untuk diri sendiri, tapi untuk pihak lain. Sabar misalnya, ditujukan untuk menaklukkan hawa nafsu, khauf merupakan cambuk yang menggiring orang yang takut menuju maqam-maqam yang terpuji, dan zuhud merupakan sikap melepaskan diri dari ikatan-ikatan hubungan yang bisa melupakan Allah Swt. Sedangkan syukur itu dimaksudkan untuk diri sendiri, karenanya, ia tidak terputus di dalam surga. Sedangkan maqam-maqam lainnya, tobat, khauf, sabar dan zuhud tidak ada lagi di surga. Maqam-maqam itu telah terputus dan habis masa berlakunya. Beda dengan syukur, ia abadi di dalam surga. Itulah sebabnya Allah Swt. berfirman:
“Dan penutup doa mereka (penghuni surga) ialah, ‘Alhamdulillahi Rabbil Alaamiin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam)’.” (Q.s. Yunus: 10).

Anda akan mengetahui hal tersebut, jika Anda telah mengerti tentang hakikat syukur itu sendiri yang terdiri dari tiga rukun: Ilmu, tingkah laku dan amal.

Rukun pertama: Ilmu
Ilmu dalam konteks ini berarti mengetahui dan mengerti tentang nikmat dari Dzat Pemberi nikmat. Seluruh nikmat berasal dari Allah Swt, Dia-lah Yang Maha Tunggal. Seluruh perantaranya merupakan obyek yang ditundukkan. Pengetahuan dan pengertian semacam ini ada di belakang penyucian dari tauhid. Keduanya masuk dalam kategori syukur; bahkan tahap pertama dalam pengertian atau pengenalan iman adalah penyucian (taqdis).
Jika telah mengenal Dzat Yang Qudus, Anda telah tahu bahwa Yang Qudus itu tiada lain hanyalah Dzat Yang Esa, maka inilah yang disebut tauhid.
Kemudian, jika Anda telah mengerti bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini merupakan hal yang diciptakan dan bersumber dari Yang Maha Tunggal itu, dan seluruhnya merupakan nikmat dari-Nya, maka itulah yang disebut pujian (al-hamdu).

Dengan struktur sedemikian rupa, diisyaratkan dalam sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah), baginya sepuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah), baginya duapuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), maka baginya tigapuluh kebaikan.”

Yang demikian itu, karena penyucian dan pentauhidan, sekaligus masuk dalam lingkup pujian terhadap Allah Swt. Derajat-derajat itu dikriteriakan dengan pengetahuan tentang struktur tersebut. Sementara keutamaan gerak ucapan, bergantung pada titik tolak peluncurannya dan pengetahuan atau bergantung sejauhmana ucapan itu mampu memperbaharui akidah dalam kalbu. Sebab, mulut merupakan sarana untuk menafIkan kelalaian agar pengaruh kealpaan itu bisa musnah.

Jika Anda berkeyakinan, bahwa ada pihak lain selain Allah mempunyai peran dalam nikmat yang tercurah kepada Anda, maka pujian Anda tidak sah dan tidak benar, sehingga ma’rifat dan syukur Anda tidak sempurna.

Anda serupa dengan orang yang memperoleh hadiah dari raja. Orang itu melihat bahwa dalam pemberian hadiah tersebut terdapat campur tangan seorang menteri. Karena turut mempermudah dan mempercepat pemberian hadiah tersebut. Semua itu merupakan dualisme dalam nikmat. Ketika menerima nikmat itu, rasa gembira anda mendua; kepada si perantara dan kepada Sang Maha Pemberi.

Benar, jika Anda misalnya, melihat bahwa anugerah hadiah kepada Anda karena penandatanganan sang raja dengan penanya, maka pena itu jangan sampai mengurangi kadar syukur Anda. Sebab, Anda tahu bahwa pena tersebut tunduk dan ditundukkan oleh-Nya.
Jadi, pena tersebut tidak ikut campur tangan dan melakukan intervensi apa pun dalam nikmat. Sebab itu, janganlah kalbu Anda mendua, mengarahkan rasa gembira pada pena dan mengarahkan rasa syukur kepada sang raja. Karena itu pula, kadang-kadang tidak menoleh kepada bendahara dan wakilnya, yang dia tahu bahwa mereka berdua tunduk dan terpaksa memberi setelah adanya perintah. Keduanya tertundukkan atau tertaklukkan. Namun keduanya tidak berperan serta (turut campur tangan) dalam penganugerahan nikmat atau hadiah.

Begitu pula bila matahati seseorang telah terbuka. Ia tahu bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang ditundukkan dengan perintah Allah Swt, seperti halnya pena, kertas dan tinta ketika dibuat penandatanganan. Hati manusia adalah perbendaharaan ilmu Allah, kunci-kuncinya ada di tangan Allah Swt. Lalu Allah membuka perbendaharaan tersebut dengan menundukkan beberapa perantara yang pasti, hingga yakin bahwa kebaikan perbendaharaan itu terdapat dalam penyerahan, misalnya. Ketika demikian, penyerahan itu tidak bisa ditinggalkan. Karena itu, ia terdesak dan perlu memilih faktor-faktor ikhtiar tersebut, sebab tidak seorang pun memberi sesuatu kepada Anda, kecuali untuk tujuan pribadi, yaitu untuk suatu keuntungan tertentu di masa yang akan datang dan untuk mendapatkan pujian pada saat itu pula, atau tujuan-tujuan lainnya. Dan andaikata dia tidak tahu, bahwa keuntungan dirinya tiada bermanfaat bagi diri Anda, dia tidak akan memberi sesuatu kepada Anda. Jadi, dia itu bukanlah pemberi nikmat atau anugerah kepada Anda, sebab dengan pemberian itu ia mempunyai rencana dan usaha tersendiri bagi kepentingan dirinya. Pemberi nikmat yang sebenarnya kepada Anda itu adalah, yang mampu menundukkan seluruh faktor atau sebab kepadanya. Dia juga menyatakan pada dirinya, bahwa tujuannya bergantung pada penunaian dan pemberian nikmat.

Jika Anda telah paham dan mengerti tentang persoalan di atas, Andalah seorang yang bertauhid dan bersyukur, bahkan pemahaman dan pengertian semacam ini merupakan inti syukur.
Nabi Musa as. dalam munajat beliau pernah berkata, “Tuhanku, Engkau menciptakan Adam dengan tangan-Mu sendiri, kemudian Engkau kerjakan, Engkau kerjakan sendiri. Lalu jika demikian, bagaimana mensyukuri-Mu?”
Allah Swt. menjawab, “Dia cukup tahu bahwa hal itu berasal dari Ku, pengertiannya merupakan syukur (kepada-Ku).”

Kebutuhan Sabar


Kebutuhan akan sifat dan sikap sabar berlaku umum dalam segala hal. Karena segala peristiwa yang ditemui oleh seorang hamba dalam hidup ini, tidak lepas dari dua bentuk. Pertama, ia sepakat dengan hawa nafsunya. Kedua, bertentangan dan bertolak belakang dengan hawa nafsunya.

Jika ia mampu menyelaraskan dengan kesenangannya, seperti kesehatan, kesejahteraan, kekayaan, jabatan, kedudukan dan banyak anak. Betapa itu semua sangat membutuhkan sabar. Bila (seseorang) tidak mampu menahan hawa nafsunya, ia akan bersikap congkak bersenang-senang dan selalu mengikuti hawa nafsu; sehingga ia melupakan awal dan akhirnya, ujung dan pangkalnya. Karena itu, para sahabat —semoga Allah meridhai mereka— berkata, “Kami diuji dengan kesengsaraan, maka kami dapat bersabar. Kami juga diuji dengan kesenangan, lalu kami tidak mampu bersabar.”

Itulah sebabnya dinyatakan, “Setiap orang Mukmin mampu bersabar terhadap bencana yang menimpanya, namun tidak dapat bersabar atas kesenangan yang dianugerahkan kepadanya, kecuali orang yang benar (orang yang jujur).”

Bersabar terhadap kemewahan, artinya tidak cenderung kepadanya, dia sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan titipan baginya. Anugerah kebahagiaan itu mampu mengantarkannya pada (maqam) kedekatan kepada-Nya. Dia tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, dia memenuhi hak bersyukur atas nikmat. Untuk itu penjelasannya amat panjang.

Sedangkan sabar, yang bertentangan atau bertolak belakang dengan hawa nafsu ini terbagi menjadi empat macam:

Pertama: Sabar dalam taat.
Nafsu sering berpaling dari sebagian bentuk ketaatan, seperti rasa malas dalam salat, sifat kikir dalam zakat; dan rasa malas serta kikir secara bersamaan, dalam haji dan jihad. Bersabar dalam taat, merupakan suatu perbuatan yang sangat berat dan sulit.

Seorang yang taat membutuhkan kesabaran dalam tiga hal:
Mengawali ibadat dengan rasa ikhlas, bersabar dari kotoran-kotoran riya’, tipudaya setan dan tipudaya nafsu.

Ketika beramal, atau di tengah-tengah melaksanakan ibadat, diperlukan kesabaran. Agar tidak malas untuk mewujudkan segala rukun dan sunnah-sunnahnya. Dilaksanakan dengan tata aturan yang benar disertai dengan adab dan kehadiran hati serta membuang was-was.

Setelah melaksanakan ibadat, ia hendaknya bersabar untuk tidak menyebutkan dan menyebarluaskan amaliahnya, baik itu dengan niatan riya’ ataupun agar didengar orang lain (sum’ah).
Semua itu merupakan sikap yang sangat berat untuk mengalahkan nafsu.

Kedua: Sabar terhadap maksiat.
Rasulullah Saw. telah bersabda, “Seorang pejuang adalah orang yang memerangi hawa nafsunya, dan orang yang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan keburukan.”

Bersikap sabar terhadap maksiat lebih berat dan sulit lagi, apalagi terhadap maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan. Sebab, pasukan yang muncul untuk menghadapi dorongan-dorongan keagamaan di sini terdiri dari dua lapisan; pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan.

Bila keduanya dianggap sepele, maka yang dapat bersabar terhadap kebiasaan tersebut hanyalah orang yang berlaku benar (as-shiddiq). Maksiat lisan misalnya, mudah dan sepele, seperti ghibah, dusta, percekcokan, dan berbangga diri. Ini semua sangat membutuhkan ragam sabar yang paling tangguh.

Ketiga: Sabar terhadap hal yang tidak berkaitan dengan ikhtiar hamba, namun dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.

Seperti gangguan dari orang lain, baik itu dengan tangan atau lisan. Bersabar terhadap hal tersebut, dilakukan dengan tanpa membalas. Sikap tersebut kadang-kadang wajib dan terkadang juga sunnah.

Sebagian sahabat berkata, “Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain.”

Allah Swt. berfirman:
“Dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri,” (Q.s. Ibrahim: 12).

“janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah.” (Q.s. Al-Ahzab: 48).

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang sujud (salat).” (Q.s. Al-Hijr: 97-8).

Ke empat: Sabar terhadap peristiwa yang awal dan akhirnya, yang tidak masuk kategori ikhtiar.
Seperti halnya aneka ragam musibah, meninggalnya beberapa orang tercinta, musnahnya harta-benda, sakit dan penyakit, kehilangan sebagian anggota badan, dan berbagai petaka lainnya. Bersabar terhadap hal tersebut merupakan derajat yang tertinggi.

Ibnu Abbas berkata, “Sabar dalam Al-Qur’an terdiri dan tiga tingkatan (maqam): Bersabar dalam melakukan kewajiban-kewajiban, memiliki tiga ratus derajat; bersabar terhadap larangan-larangan Allah memiliki enam ratus derajat; dan bersabar terhadap musibah, ketika goncangan pertama, memiliki sembilan ratus derajat.”

Rasulullah Saw. bersabda, ”Allah Swt. berfirman, ‘Bila Aku memberi cobaan kepada hamba-Ku dengan suatu musibah, lalu dia bersabar dan tidak mengadukan kepada para penjenguknya, maka Aku menggantikan baginya daging yang lebih baik dari dagingnya, dan darah yang lebih baik dari darahnya. Jika Aku menyembuhkannya, Aku menggantinya dan dia pun tidak punya dosa, dan jika Aku mematikannya, maka dia berpulang ke rahmat-Ku’.”

Rasulullah Saw juga bersabda, ”Allah Swt. berfirman, Apabila Aku hadapkan kepada salah seorang hamba-Ku suatu musibah pada tubuhnya atau pada hartanya, atau pada anaknya. Kemudian dia menerimanya dengan kesabaran yang simpatik, baik, maka pada hari Kiamat Aku malu untuk menegakkan timbangan amal baginya atau untuk nembentangkan sebuah catatan untuknya’.”

Rasulullah saw. bersabda, “Menunggu kelapangan dengan sabar adalah ibadat.”

Sabdanya pula, “Di antara bentuk pengagungan Allah swt. dan pengenalan terhadap hak-Nya adalah, kalian tidak mengadukan sakit kalian dan tidak menyebutkan musibah yang menimpa diri kalian”

Anda telah paham, bahwa diri Anda membutuhkan kesabaran kapan saja. Dengan demikian, sabar itu adalah setengah dan iman, sedangkan setengahnya lagi berkaitan dengan amal perbuatan, yaitu syukur.

Rasulullah Saw. telah bersabda, “Iman itu terdiri dan dua bagian: Bagian pertama adalah sabar, bagian kedua adalah syukur”.

Sabar

Setiap orang Mukmin mampu bersabar terhadap bencana yang menimpanya, namun tidak dapat bersabar atas kesenangan yang dianugerahkan kepadanya, kecuali orang yang benar (orang yang jujur)

Allah Swt. berfirman:
“Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.s. Al-Anfal: 46)

Ada beberapa hal yang dikaruniakan untuk orang-orang yang sabar, dan tidak diberikan kepada selain mereka.
Allah Swt. berfirman:
“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.s. Al-Baqarah: 157).

“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dan apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.s. An-Nahl: 96).

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.” (Q.s. As-Sajdah: 24).

Firman Allah Swt, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.s. Az-Zumar: 10).

Allah Swt. menyebutkan kata “sabar” dalam Al-Qur’an lebih dari tujuh puluh tempat.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sabar itu separo dari iman.”
Rasulullah Saw. juga bersabda, “Di antara yang terbatas (paling sedikit) yang diberikan kepada kalian adalah keyakinan dan kesabaran yang kokoh. Barangsiapa mendapatkan bagian dari kedua hal tersebut, dia selalu memperhatikan bangun malam dan puasa siang.”

“Sabar merupakan salah satu simpanan dari simpanan-simpanan surga.”

Pada suatu kesempatan Nabi Muhammad Saw. ditanya tentang iman, beliau menjawab, “lman itu adalah sabar.”

Nabi Isa as. pernah bersabda, “Sungguh, kalian tidak akan mengetahui apa yang kalian senangi, kecuali dengan kesabaran kalian atas apa yang kalian benci.”

Esensi Sabar
Esensi sabar adalah, keteguhan yang mendorong hidup beragama, dalam menghadapi dorongan hawa nafsu. Itu adalah salah satu karakteristik manusia yang terkomposisi dari unsur malaikat dan unsur binatang. Binatang hanya dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsu birahi, sedangkan para malaikat tidaklah dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya.

Mereka bertasbih menyucikan Allah Swt. sepanjang siang dan malam tiada henti. Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan berebut untuk menguasainya. Salah satunya, pasukan Allah dan para malaikat-Nya, berupa akal pikiran berikut seluruh instrumennya. Yang kedua, dari pasukan setan, yaitu hawa nafsu dan seluruh instrumennya, setelah adanya informasi unsur pendorong agama dan akal. Sebab, pandangannya terpaku pada akibat-akibat sesudahnya.

Serangan dimulai dengan memerangi pasukan setan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, hingga dapat mengalahkannya, maka berarti telah mencapai tingkatan sabar. Sabar itu tidak akan pernah terwujud, kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut. Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit yang didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa nafunya, tidak akan menelan obat pahit tersebut, sebaliknya orang yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, ia mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh. Separo keimanan itu akan terpenuhi dengan kesabaran, karena itulah Rasulullah Saw. bersabda, “Sabar itu separo dan iman.”

Karena keimanan itu dikaitkan pada pengetahuan dan perbuatan sekaligus. Sedangkan seluruh amal perbuatan yang membentangkan dua sisi; preventif dan ekspresif penyucian dan penghiasan diri hanya bisa tuntas dan sempurna dengan kesabaran. Sebab sejumlah perbuatan iman selalu berhadapan dengan dorongan hawa nafsu. Karenanya, perbuatan iman tidak dapat sempurna, kecuali dengan peneguhan pendorong agama dalam menghadapi hawa nafsu. Itulah sebabnya, Rasulullah Saw. bersabda, “Puasa itu adalah separo dari kesabaran.”

Karena sabar itu kadang-kadang berhadapan dengan dorongan-dorongan hawa nafsu dan terkadang pula berhadapan dengan dorongan-dorongan amarah; sedangkan puasa berfungsi sebagai penghancur dan pemusnah hawa nafsu.

Derajat Kesabaran

Ditinjau dan kuat dan tidaknya, kesabaran itu terdiri atas tiga tingkatan:
Tingkatan tertinggi adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. Hal ini dicapai dengan kesabaran yang kontinyu dan mujahadah yang terus-menerus. Mereka itu termasuk dalam golongan yang disinyalir (dalam Al-Qur’an):

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,” (Q.s. Fushshilat: 30, Al-Ahqaf: 13).

Kepada golongan tersebut Sang Penyeru berseru:
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya.” (Q.s. Al-Fajr: 27-8).

Tingkatan terendah adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan tersisihnya dorongan agama. Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini, sehingga kalbu pun menyerah pada pasukan setan, Mereka yang demikian itu termasuk dalam golongan yang disinyalir oleh Al-Qur’an:
”Akan tetapi, telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari padaKu, ‘Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama’” (Q.s. As-Sajdah: 13).

Ada dua indikasi dalam hal ini, yaitu:
Pertama, seseorang selalu berkata, ”Aku sangat butuh dan rindu tobat, namun itu sangat menyulitkan bagiku. Karenanya, aku tidak bersikeras untuk tobat.”
Orang yang demikian adalah orang yang putus asa, dan dia adalah orang yang binasa.

Kedua, dalam dirinya tidak terdapat rasa rindu untuk tobat, namun ia berkata, “Allah Maha Mulia, Maha Dermawan lagi Maha Pengasih. Dia tidak butuh tobatku, sehingga surga yang luas itu tidak akan jadi sempit dan ampunan masih sangat luas bagiku.”

Orang yang demikian adalah orang yang patut dikasihani. Akal pikirannya menjadi tawanan hawa nafsunya, digunakan semata untuk menyiasati pengetrapan hawa nafsu, sehingga akal pikirannya menjadi seperti seorang Muslim yang dikepung dan ditawan oleh orang-orang kafir, mereka menghina dan mencemoohnya di kandang babi.

Dapat Anda bayangkan, bagaimana kira-kira nasib seorang budak bila diambil oleh anak tuannya yang paling keras, kemudian diserahkan kepada musuhnya yang paling bengis, hingga ia mencemooh dan menghinakan si budak tersebut?

Begitu pula keadaan dan nasib si alpa yang benar-benar lalai, karena mengabaikan Allah. Na’udzubillah dari situasi seperti itu!

Tingkatan pertengahan adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh melakukan penyerangan. Dalam peperangan itu, kemenangannya silih berganti. Adakalanya dia menang, tapi pada saat lain dia kalah. Inilah para mujahid yang disebut:

”(mereka) mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk...” (Q.s. At-Taubah: 102).

Indikasinya, dia mampu meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, namun tidak mampu mengalahkan hawa nafsu yang paling kuat. Mungkin, pada suatu saat ia mampu mengalahkan dan menang, tapi saat lain tiada berdaya dan kalah.

Dalam segala hal, ia sangat letih karena ketidakberdayaannya, terus melakukan perlawanan, untuk berjuang dan mengenyahkannya. Itulah sebenarnya yang merupakan jihad akbar atau perjuangan besar.

Sepanjang dia bertaqwa dan membenarkan adanya pahala terbaik (surga), maka Allah kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Dengan demikian, ia tidak mampu mengalahkan unsur kebinatangannya; kekuatan akal pikirannya tidak mampu melawan hawa nafsunya. Padahal ia telah didukung oleh akal pikiran, dan unsur kebinatangannya diharamkan.

Karena itulah, Allah Swt. berfirman, “Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.s. Al-A’raaf: 179).

KELEJATAN CINTA


Betapa indahnya semua itu bagi orang yang menyaksikannya dalam alam musyahadah, dan bukti-bukti yang pasti lagi memuaskan, bagaimana mungkin terbayang dia akan berpaling kepada selain Allah Swt, atau mencintai selain Allah Swt.?

Rasa lezat yang dialami oleh seorang yang ma’rifat kepada Allah di dunia, dengan menelaah dan menyaksikan langsung keindahan hadirat ketuhanan (al-hadharat ar-rububiyah), jauh lebih lezat dari segala bentuk kelezatan lainnya yang terdapat di dunia. Karena kelezatan itu sesuai dengan kadar selera (keinginan) dan kekuatan selera itu sesuai atau sepadan dengan yang diingini.
Sebagaimana makanan itu merupakan hal yang paling sesuai bagi tubuh, maka sesuatu yang paling sesuai bagi kalbu adalah ma’rifat. Sebab, ma’rifat merupakan santapan kalbu. Sedangkan yang paling memenuhi selera kalbu adalah ruh Rabbani, seperti yang difirmankan oleh Allah Swt, “Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku’.” (Q.s. Al-Isra’: 85).

Dan Allah Swt. berfirman, “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (Q.s. Al-Hijr: 29, Shad: 72).
Dalam ayat ini Allah menisbatkan ruh kepada Diri-Nya. Ruh semacam itu tidak dimiliki oleh binatang dan manusia yang penihalnya seperti binatang. Itu hanya khusus bagi para Nabi dan wali. Karena itulah, Allah Swt. berfirman:
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Q.s. Asy-Syura: 52).

Jadi, hal yang paling sesuai bagi ruh semacam ini adalah ma’rifat.Karena yang paling relevan bagi segala hal adalah karakteristiknya.

Karena itu, suara yang merdu tidak sepadan dengan penglihatan (mata), sebab bukan karakternya.
Karakter ruh manusia (ruhul insani) adalah ma’rifat tentang hakikat. Setiap apa pun yang diketahui hakikatnya itu lebih mulia, mengetahui hakikat, tentu lebih lezat rasanya. Dan tidak ada yang lebih mulia daripada mengenal (hakikat) Allah dan (kerajaan) alam semesta-Nya.
Mengenal Allah, mengenal sifat-sifat dan Dzat-Nya, keajaiban-keajaiban kerajaan jagat raya-Nya merupakan sesuatu terlezat bagi kalbu, karena kesenangan tersebut merupakan kesenangan paling lezat. Karena itu, diciptakan paling ujung setelah kesenangan lainnya.

Setiap kesenangan yang diciptakan kemudian, Iebih lezat rasanya daripada kesenangan yang diciptakan sebelumnya.

Kesenangan yang diciptakan pertama kali adalah selera nafsu makan, kemudian, karenanya, diciptakan nafsu seks. Maka nafsu makan ditinggalkan dan dianggap remeh, untuk memenuhi kepentingan nafsu seks. Selanjutnya diciptakan nafsu dan keinginan untuk berkuasa, untuk mendapatkan kehormatan atau jabatan, yang karenanya meremehkan nafsu seks dan nafsu makan. Lalu diciptakan keinginan atau nafsu ma’rifat (syahwatul ma’rfat) yang dapat mengatasi atau menguasai segala yang ada (alam semesta), sehingga meremehkan keinginan untuk dapat berkuasa dan mendapatkan kehormatan atau jabatan. Ini merupakan akhir yang sekaligus keinginan duniawi paling kuat.

Anak kecil tidak mengakui adanya nafsu seks. Dia terheran-heran terhadap orang yang membebani dirinya dengan beban harus memenuhi biaya pernikahan demi nafsu seks tersebut.

Jika telah mencapai nafsu seks, seseorang terus menekuninya tanpa lagi mengingat kehormatan, kedudukan dan kekuasaan; dan dia tidak ambil pusing terhadap kekuatannya dalam memenuhi nafsu seks. Demikian pula dengan orang yang kecanduan nafsu untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan, dia mengabaikan kelezatan ma’rifat, karena belum diciptakannya kesenangan setelah kesenangan berkuasa tersebut.

Nafsu dan ambisi untuk memperoleh kehormatan dapat berakhir pada sakitnya kalbu, hingga tidak dapat menerima keinginan ma’rifat terhadap Allah Swt, sebagaimana rasa tubuh orang yang sakit, merusak selera makannya hingga ia menemui ajalnya. Kadang-kadang nalurinya berbalik, sehingga ia menginginkan makan tanah dan sesuatu yang berbahaya lainnya. ini adalah awal kematian.
Demikian halnya dengan penyakit kalbu, bisa saja berakhir pada batas-batas tertentu yang bisa mengabaikan, membenci dan tidak mengakui ma’rifat; serta tidak mcngakui orang-orang yang tekun menuju ma’rifat. Sehingga yang diketahui dan dirasakannya sekadar kelezatan kekuasaan, makanan dan seksual. Dialah mayat yang tidak mau diobati. Tentang orang yang semacam mi disebut dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (Q.s. Al-Kahfi: 57).
Tentang mereka juga dinyatakan:
“(Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan dibangkitkan.” (Q.s.An-Nahl: 21).

Kelezatan Ma’rifat Wajah Allah Swt.
Sungguhpun rasa ma’rifat ini sangat lezat, tapi tidak bisa dibandingkan dengan kelezatan memandang wajah Allah Yang Maha Mulia nanti di akhirat. Hal itu tidak akan terbayangkan di dunia, karena suatu rahasia yang tidak mungkin tersingkap saat sekarang.

Tidak seyogyanya kata “memandang” di sini Anda pahami seperti orang awam dan para teolog (mutakallimun) memahaminya, yang butuh arah pasti untuk menentukan tolok ukur dan batasannya. Tentunya ini dari sudut pandang orang yang menekuni alam nyata, yang tidak melampaui benda-benda yang dapat diindera, yang merupakan sasaran indera kebinatangan.

Anda harus memahami, bahwa hadirat ketuhanan (al-hadharat arrububiyah), bentuk dan susunannya yang ajaib — berupa keindahan, keelokan, kebesaran, kemuliaan, keagungan dan keluhuran, yang merindu dalam kalbu seorang ahli ma’rifat, sebagaimana watak bentuk rupa alam inderawi, dalam indera Anda; walaupun Anda menutup mata, tapi Anda seakan-akan melihatnya. Jika membuka mata, Anda mendapatkan bentuk sesuatu yang diindera sama seperti bentuk rupa yang difantasikan sebelum dibukanya mata, tidak berbeda sama sekali. Hanya saja — dibandingkan dalam bentuk fantasi — bentuk rupa itu diindera dalam wujud yang sangat jelas.

Demikian pula seharusnya Anda tahu, bahwa mengindera sesuatu yang tidak masuk atau bukan obyek fantasi dan indera, ada dalam dua tingkatan kejelasan yang berbeda. Perumpamaan pertama dengan yang kedua identik dengan perumpamaan penglihatan pada fantasi. Yang kedua merupakan puncak tersingkapnya tirai (kasyf) , yang disebut penyaksian langsung (musyahadah) dan penglihatan langsung (ru’yah). Hanya saja ru‘yah itu tidak disebut ru‘yah karena ada pada mata, sebab bila diciptakan di atas dahi baru disebut ru’yah, akan tetapi itu merupakan puncak kasyf Sebagaimana terpejamnya pelupuk mata merupakan tirai bagi penglihatan mata. Maka kekeruhan nafsu merupakan tirai bagi puncak musyahadah. Karena itulah, Allah berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku.” (Q.s. Al-A’raaf: 143).

Dan firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata.” (Q.s. Al-An’am: 103).
Jika tirai (hijab) ini telah tersingkap nanti setelah mati, maka ma’rifat itu pasti berbalik menjadi musyahadah dengan sendirinya. Kadar musyahadah masing-masing orang bergantung pada kadar ma’rifatnya; karenanya, rasa lezat yang dialami para wali Allah Swt. itu lebih dibandingkan rasa lezat yang dirasakan atau dialami oleh yang lain. Allah Swt. tajalli dan tampak bagi Abu Bakar r.a. secara khusus dan tampak secara umum bagi manusia.

Demikian pula, yang melihat-Nya hanyalah orang-orang arif, sebab ma’rifat merupakan awal dari penglihatan, bahkan ma’rifat itulah yang dapat berubah menjadi musyahadah, seperti berubahnya fantasi menjadi penglihatan mata. Karena itu, Dia tidak butuh lawan banding. Rahasia tentang hal ini sangat panjang, silakan Anda merujuk dan membacanya pada Bab “Al-Mahabbah” dalam kitab Al-Ihya’.
Tentu saja jika penglihatan mata Anda kepada yang Anda senangi, dan bila Anda memandangnya dari sebuah tirai tipis pada saat awan kemerah-merahan, dan pada saat kalajengking dan lalat besar

menyibukkan dan menyengat dari balik pakaian Anda, maka penglihatan Anda jadi lemah.
Apabila secara tiba-tiba matahari terbit sekaligus, sehingga tirai tipis itu sirna, kemudian lalat dan kalajengking itu menyingkir, lalu bara cinta yang amat sangat itu menghunjam Anda, tentu rasa lezat yang amat sangat yang telah digapai saat ini tidak bisa dibandingkan dengan yang sebelumnya. Demikianlah, tidak ada yang bisa menyamai kelezatan pandangan mata, kecuali kelezatan ma’rifat, bahkan ma’rifat itu jauh lebih lezat dan pandangan mata. Tirai tipis itu adalah hati luar Anda, sedangkan kalajengking itu adalah kesibukan, kesedihan dan kecenderungan pada kehidupan dunia. Bara cinta yang amat sangat itu adalah rasa yang disebabkan oleh sirnanya kendala dan hal-hal yang menghambat dan menyulitkan. Pancaran matahari adalah kesiapan mata kalbu untuk menerima beban tajalli, yakni ketampakan yang sempurna. Dalam hidup ini, tidak mungkin mata kelelawar dapat menahan sinar matahari.

Bahwa kesenangan ma’rifatullah itu menjadi lemah karena berdesak-desakannya ragam keinginan. Sebenarnya ma’rifatullah itu tersembunyi, semata karena kilauan penampakan ma’rifat.
Suatu contoh adalah demikian, Anda tahu bahwa sesuatu yang paling jelas adalah benda-benda yang dapat diindera, diantaranya adalah yang dapat dilihat dengan penglihatan mata, juga cahaya yang menjadikan sesuatu jelas atau terang kepada Anda. Selanjutnya, jika matahari itu terbit terus-menerus tanpa terbenam dan tidak memiliki bayang-bayang, niscaya Anda tidak akan tahu wujud cahaya. Anda melihat warna-warna, maka yang Anda lihat hanyalah warna merah, hitam dan putih.
Jadi, cahaya dapat diketahui — dapat ditangkap oleh mata — bila matahari itu terbenam, atau terdapat tirai yang menghalanginya, sehingga tampaklah ada bayang-bayang, dan Anda akan tahu — dengan beraneka ragam situasinya karena gelap dan terang — bahwa cahaya itu suatu hal yang bila ditampakkan pada aneka warna, ia menjadi terlihat.

Apabila Allah itu diproyeksikan secara gaib, atau terbayang, cahaya-cahaya kekuasaan-Nya itu, ada tirai yang menghalangi segala sesuatu, tentu saja Anda mengetahui adanya kesenjangan yang mendesak pada ma’rifat. Namun seluruh yang ada, ketika sama-sama menyatakan penyaksian kemahatunggalan Sang Maha Pencipta tanpa beda, maka persoalannya menjadi tersembunyi, dikarenakan pancaran sinarnya yang sangat terang-benderang itu.

Andaikata tergambar lenyapnya cahaya-cahaya kekuasaan-Nya dan langit dan bumi, tentu semua itu (langit dan bumi) akan musnah. Pada saat itulah diketahui adanya kesenjangan yang menuntut terwujudnya ma’rifat terhadap kekuasaan dan Yang Kuasa.

Berikut ini adalah contoh lain, di balik contoh mi terdapat rahasia-rahasia, di dalamnya ada kekeliruan. Silakan Anda mencermatinya dengan sungguh-sungguh, barangkali mampu memahami rahasia-rahasianya. Anda jangan merasa kacau dan bingung pada posisi yang keliru, pada kekeliruan yang Anda dapatkan. Diantaranya adalah kekeliruan orang yang berkata, “Dia ada di setiap tempat. Namun setiap orang yang mencari-Nya ke suatu tempat atau ke sebuah arah, justru akan tersesat dan hina.” Puncak penglihatannya kembali pada tindakan-tindakan binatang yang dapat diindera, hanya saja tidak dapat melanipaui kondisi tubuh dan hal-hal yang terkait dengannya.

Derajat iman pertama adalah, kemampuan untuk melampauinya, di Situ manusia menjadi manusia, terlebih lagi apabila menjadi manusia Mukmin.

Cinta itu memiliki banyak indikasi, cukup panjang untuk mengalkulasikannya. Diantaranya adalah, mendahulukan perintah Allah daripada hawa nafsu, terwujudnya sikap takwa dengan wara’, menjaga aturan-aturan syariat.

Indikasi-indikasi lainnya adalah, rasa rindu untuk bertemu Allah, lepas dari rasa takut mati, kecuali dari segi memperlihatkan rasa rindu pada bertambahnya ma’rifat. Sebab, lezatnya rasa musyahadah bergantung pada kadar kesempurnaan ma’rifat, dimana ma’rifat merupakan permulaan atau awal dan musyahadah. Jadi, kadar musyahadah itu berbeda-beda bagi masing-masing orang sesuai dengan perbedaan kadar ma’rifatnya.

Indikasi lainnya adalah, ridha terhadap ketetapan Allah, dengan posisi yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Agar tidak terpedaya oleh bisikan yang mengganggu yang terlintas dalam dirinya, hingga ia mengira bahwa kesibukan itu merupakan esensi cinta kepada Allah Swt. Makna ridha merupakan makna yang sangat mulia.

Renungan Cinta


Lalu perhatikan, sesudah itu, bagaimana Anda tidak mengakui adanya cinta kepada Sang Maha Pencipta?
Jika mata batin Anda tidak mampu menangkap dan mencermati secara seksama terhadap kemuliaan dan kesempurnaan Sang Maha Pencipta dan tidak mampu mencintai-Nya dengan kecintaan yang amat sangat, maka Anda jangan sampai tidak mencintai pemberi nikmat dan yang berbuat baik kepada Anda! Anda jangan sekali-kali lebih rendah dari seekor anjing, sebab anjing itu mencintai tuannya yang selalu berbuat baik padanya!
Renungkan hal ini dalam kaitannya dengan jagat raya! Adakah seseorang yang berbuat baik kepada Anda, selain Allah?

Apakah nasib, rasa lezat, rasa senang menikmati sesuatu, dan kelahapan menikmati nikmat yang Anda miliki itu tidak lain hanyalah Allah yang menciptakannya, memulai dan menetapkannya, serta bukankah Dia yang menciptakan rasa berselera kepada nikmat-nikmat tersebut dan rasa nyaman menikmatinya?
Renungkan pula tentang organ tubuh Anda dan kehalusan ciptaan Allah Swt. atas diri Anda dengan organ-organ tersebut, agar Anda mencintai-Nya karena kebaikan-Nya kepada Anda!
Jika Anda tidak mampu mencintai Allah sebagaimana para malaikat mencintai-Nya karena kemahaindahan, kemahaagungan dan kemahasempurnaan-Nya, cukuplah Anda menjadi orang awam saja.
Uraian di atas merupakan perwujudan dari sabda Rasulullah Saw, “Cintailah Allah, karena Dia mengaruniakan nikmat kepada kalian, dan cintailah aku karena cinta kepada Allah Azza wa Jalla!”

Anda bagaikan seorang budak berparas kurang menarik dalam kondisi demikian, sebab budak yang berparas kurang menarik itu cinta dan bekerja untuk mendapatkan upah (imbalan); sudah barang tentu kadar bertambah dan berkurangnya cinta Anda bergantung pada bertambah dan berkurangnya kebaikan, dan ini merupakan ragam cinta yang amat lemah. Yang sempurna adalah, orang yang mencintai Allah karena keindahan dan kemahaterpujian sifat-sifat-Nya yang tidak mungkin dapat disamai dan tiada dua-Nya. Itulah sebabnya, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Daud as.:
“Bentuk kecintaan kepada-Ku yang paling baik adalah, orang yang menyembah-Ku tanpa pamrih, bukan karena untuk memperoleh pemberian; tapi memenuhi hak rububiyah itu sendiri.”
Dalam kitab Zabur dijelaskan, “Termasuk orang zalim adalah, orang yang menyembah-Ku karena surga atau neraka. Kalau Aku tidak menciptakan surga dan neraka, apakah Aku tidak pantas untuk ditaati?”
Suatu saat Nabi Isa as. melintasi sekelompok ahli ibadat, mereka telah ber-khalwat untuk melakukan ibadat. “Kami takut pada api neraka dan mengharapkan surga,” kata mereka.
“Anda sekalian takut pada makhluk dan Anda sekalian berharap padanya?” komentar Nabi Isa as.
Selanjutnya beliau melewati sekelompok ahli ibadat lainnya.
“Kami menyembah-Nya sebagai rasa cinta dan pengagungan karena kemahamuliaan-Nya.”
“Anda sekalian benar-benar para kekasih Allah, aku diperintahkan mukim bersama kalian,” kata Nabi Isa as.

Cinta Orang Arif
Orang yang kenal Allah (al-arf) hanya cinta kepada Allah Swt. semata.
Apabila mencintai selain Allah, dia mencintainya demi dan karena Allah Swt. Sebab, bisa terjadi seorang pecinta itu mencintai hamba orang yang dicintainya, mencintai kerabat, negara, pakaian, anak angkat, karya dan ciptaannya, serta setiap yang berasal darinya dan dikaitkan kepadanya.

Seluruh yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah Swt. Seluruh makhluk adalah hamba Allah. Jadi, mencintai seorang Rasul identik dengan mencintai-Nya, sebab beliau adalah seorang utusan yang dicintai-Nya dan sekaligus merupakan kekasih-Nya. Lalu, mengapa harus mencintai para sahabat? Karena mereka dicintai oleh Rasulullah Saw. dan mereka pun mencintai beliau. Mereka berkhidmat dan tekun mematuhi beliau.

Cinta atau suka terhadap makanan, karena dapat menguatkan tubuh yang dapat mengantarkan kepada orang yang dicintainya. Mencintai dunia, semata karena merupakan bekal menuju Sang Kekasih.

Ketika memandangi bunga-bunga, sungai-sungai, cahaya dan keindahan-keindahan dengan penuh cinta, karena semua itu adalah ciptaan Allah Swt. Semua itu (bunga-bunga, sungai-sungai, cahaya dan keindahan) merupakan tanda-tanda keindahan dan kemuliaan-Nya, serta mengingatkan akan sifat-sifat-Nya yang terpuji yang memang dicintai dan disayangi.

Jika mencintai orang yang berbuat baik kepada dirinya dan mencintai orang yang mengajarinya ilmu-ilmu agama, semata karena dia itu merupakan perantara antara dirinya dan yang dicintainya (Allah), yakni dalam menyampaikan ilmu dan hikmah-Nya kepada dirinya. Dia tahu bahwa Allah-lah yang menakdirkan sang guru mengajari dan membimbingnya, menyuruhnya untuk menginfakkan sebagian hartanya. Kalau tidak karena faktor-faktor yang mendorong sang guru untuk mengajari dan membimbingnya serta menyuruhnya untuk berinfak, tentu dia tidak melakukannya.

Orang yang paling banyak dan terbesar dalam berbuat baik terhadap diri kita adalah Rasulullah Saw. Milik Allah-lah segala keistimewaan, keutamaan dan anugerah dengan menciptakan dan mengutus beliau; sebagaimana difirmankan-Nya:

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah.” (Q.s. Al-Jumu’ah: 6).
Karena itu pula Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Q.s. Al-Qashash: 56).

Coba Anda renungkan Surat Al-Fath dan firman Allah Swt. berikut ini:
“Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (Q.s. An-Nashr: 2-3).

“Jika kalian menyaksikan banyak hamba Allah yang masuk ke dalam agama-Nya,“ sabda Rasul Saw, “maka ucapkanlah puja-puji kepada Allah, bukan memuji-mujiku!”. Itu adalah pengertian tasbih dengan memuji Tuhannya. Jika perhatian kalbu Anda terarah kepada diri dan usaha Anda, segeralah Anda meminta ampunan kepada-Nya agar Dia memberi ampunan dan tobat. Hendaklah Anda tahu, bahwa tidak ada sedikit pun campur tangan Anda dalam semua urusan.

Bertitik tolak dari hal inilah Umar bin Khaththab r.a. ketika melihat surat Khalid bin Walid kepada Abu Bakar r.a. setelah penaklukan kota Mekkah, (yang diantaranya berbunyi), “Dan Khalid, Sang Pedang Allah yang terhunus kepada orang-orang musyrik, kepada Abu Bakar, Amirul Mukminin.” Maka Umar r.a. berkata, “Karena pertolongan Allah kepada kaum Muslim, Khalid memandang dirinya dan menyebutnya dengan Si Pedang Allah yang terhunus kepada kaum musyrik.”

Andaikata dia mencermati kebenaran sebagaimana mestinya, niscaya dia tahu bahwa kemenangan itu bukan karena pedangnya. Namun Allah memiliki rahasia tersendiri dengan kemauan (iradat)Nya dengan memenangkan Islam.

Karena itu, Allah menolong Islam dengan satu getaran, yaitu getaran rasa takut yang diselinapkan ke dalam hati orang kafir sehingga dia terpukul mundur, sementara yang lain pun melihatnya, sehingga mereka mundur dan kekalahan pun tersebar luas. Khalid bin Walid dan yang semisal, melihat kemenangan Islam karena keberanian dan ketajaman pedangnya.

Sedang Umar r.a. dan orang-orang yang jujur dengan kebenaran (as-shiddiqin) serta para auliya’ mencermati hakikat persoalan yang sebenarnya. Beliau juga tahu bahwa Khalid bin Walid perlu mengucapkan istighfar dan bertasbih dengan memuji Tuhannya jika menyaksikan hal yang demikian itu, sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Saw.

Jadi, motivasi cinta (mahabbah) itu hanya dua: Pertama, ihsan. Kedua, puncak kemuliaan dan keindahan Allah yang berwujud kesempurnaan kemahamurahan, hikmah, ketinggian, kemahakuasaan dan kemahasucian Allah dari segala bentuk cacat dan kekurangan.

Tiada satu pun bentuk kebaikan dan perlakuan baik, kecuali bersumber dari-Nya. Tidak ada kemuliaan, keindahan dan kesucian kecuali milik-Nya. Seluruh kebaikan dan perilaku baik di alam semesta ini hanyalah satu di antara bentuk kemahamurahan-Nya, yang diarahkan kepada hamba-hamba-Nya dengan satu getaran, yang Dia ciptakan dalam kalbu seorang muhsin.

Seluruh keindahan, gambar yang bagus, bentuk-bentuk yang elok dan indah yang diindera oleh mata, pendengaran dan penciuman di alam jagat ini tidak lain merupakan salah satu pengaruh dari kekuasaan-Nya, itu merupakan sebagian dari nilai-nilai keindahan Diri-Nya.

Cinta


Al-Ghazali
Lalu perhatikan, sesudah itu, bagaimana Anda tidak mengakui adanya cinta kepada Sang Maha Pencipta? Jika mata batin Anda tidak mampu menangkap dan mencermati secara seksama terhadap kemuliaan dan kesempurnaan Sang Maha Pencipta dan tidak mampu mencintai-Nya dengan kecintaan yang amat sangat, maka Anda jangan sampai tidak mencintai pemberi nikmat dan yang berbuat baik kepada Anda!
Allah Swt. berfirman,
“Allah mencintainya dan mereka pun mencintai-Nya.” (Q.s. Al-Maidah: 54).
Dan firman-Nya pula:
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (Q.s. At-Taubah: 24).

Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari yang selainnya.” (H.r. Bukhari-Muslim).
Beliau juga bersabda,
“Cintailah Allah, karena Dia mengaruniakan nikmat kepada kalian, dan cintailah aku, karena cinta kepada Allah Azza wa Jalla!” (Al-Hadis).

Abu Bakar As-Shiddiq r.a. berkata, “Barangsiapa merasakan kemurnian cinta kepada Allah, hal itu mencegahnya untuk mencari kehidupan duniawi dan menjadikan dirinya meninggalkan seluruh manusia.”

Hasan Al-Bashri berkata, “Orang yang kenal Allah, pasti Allah mencintainya. Orang yang kenal dunia, ia pasti hidup zuhud di dalamnya. Seorang Mukmin tidak terkecoh kecuali dia lalai, bila bertafakur ia sedih dan pilu.”

Sebagian besar ahli kalam (mutakallimun) tidak mengakui adanya cinta kepada Allah. Mereka menginterpretasikannya dengan berkata, “Cinta Allah itu tidak ada artinya, kecuali dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Sebab, tiada sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia tidak menyerupai sesuatu, dan Dia itu tidak sepadan dengan naluri dan watak kita, bagaimana mungkin kita mencintai-Nya?Yang mungkin bagi kita adalah mencintai siapa yang sejenis dengan kita, yakni sesama manusia.”

Mereka terbelenggu oleh ketidaktahuan mereka atas esensi banyak hal. Persoalan ini telah kami singkap dalam Bab “AI-Mahabbah” pada kitab Al-Ihya’, silakan Anda merujuknya. Di sini kami batasi dengan ringkasan dan intisarinya saja.
Setiap yang lezat, enak, itu digandrungi, disenangi dan dicintai. Maksud dari kata “dicintai atau disenangi” adalah, jiwa cenderung kepadanya atau digandrungi oleh jiwa. Kecenderungan yang amat kuat disebut keasyikan cinta.

Maksud dan kata “dibenci” adalah, jiwa berpaling darinya, tidak menyenanginya, karena menjemukan dan menyakitkan. Rasa benci atau keberpalingan yang amat sangat, disebut dendam.
Segala sesuatu yang Anda rasakan dengan segenap indera dan perasaan bisa selaras dengan perasaan Anda, dan itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, yang bertentangan dengan indera, selera dan perasaan Anda, itu adalah sesuatu yang menyakitkan. Atau tidak sesuai, ataupun tidak bertentangan dengan indera, atau selera Anda, itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak pula menyakitkan. Setiap yang menyenangkan pasti disukai, artinya, jiwa yang terasang olehnya pasti cenderung dan menggandrunginya. Dan itu tidaklah mustahil.
Senang atau enak itu mengikuti indera, sedangkan indera itu terdiri dari dua macam: Indera lahir dan batin.

Indera lahir adalah pancaindera. Sudah barangtentu kelezatan mata itu adalah ketika melihat keindahan-keindahan, kelezatan yang dirasakan oleh telinga ketika mendengarkan alunan melodi yang indah, sedangkan kelezatan rasa dan penciuman adalah ketika merasakan makanan dan bau yang cocok. Sementara, kelezatan yang dirasakan oleh organ-organ tubuh lainnya, ketika mengenakan sesuatu yang halus lagi menyenangkan. Semua itu disenangi jiwa, atau jiwa itu gandrung kepadanya.
Indera batin adalah kehalusan (lathifah) yang terdapat di dalam kalbu; kadang-kadang disebut akal-budi, kadang-kadang disebut cahaya, dan terkadang pula disebut indera keenam.
Anda tidak perlu menilik dari kata-kata tersebut, sebab Anda akan mendapatkan kesulitan, tapi perhatikanlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini:

“Ada tiga perkara duniawi kalian yang disenangkan kepadaku (aku menyenanginya), yaitu: wewangian, wanita, dan hal yang paling menyenangkan bagiku, ketika salat.”

Anda tahu, bahwa pada wewangian dan wanita terdapat unsur untuk disentuh, dicium dan dipandang. Sedangkan apa yang terdapat dalam salat tidak dapat dirasakan atau diindera oleh pancaindera, tapi hanya dapat dirasakan atau diindera oleh indera keenam yang terdapat dalam kalbu. Apa yang dirasakan dalam salat tidak dapat diindera oleh orang yang tidak memiliki kalbu, sebab Allah Swt. itu tertutup antara seseorang dan kalbunya.

Orang yang merasakan kelezatan hanya terbatas dengan pancainderanya, dia itu adalah binatang, sebab binatang itu merasakan hanya dengan pancaindera semata, sementara keistimewaan manusia dan binatang adalah dibedakan dengan mata batin (al-bashiratul hatinah).

Kelezatan yang dirasakan oleh indera lahir terjadi pada bentuk keindahan lahiriah, sedangkan kelezatan yang dirasakan oleh indera batin (ruhani) terjadi pada bentuk keindahan ruhani (batin).

Adab Berdzikir


Berdzikir mempunyai adab-adab tertentu, baik sebagai penghantar, sesudah, atau ketika peiaksanaannya. Ada adab yang bersifat lahiriah dan ada pula yang bersifat batiniah.
Adab Pengantar
Sebelum meiaksanakan dzikir, sebaiknya sang salik terlebih dulu bertobat, membersihkan jiwa dengan riyadhoh (olah) rohani, melembutkan sirr (batin) dengan menjauhkan dan dengan kaitan hati dengan makhluk, memutuskan segaia penghaiang, memahami ilmu-ilmu agama, dan mempelajari syarat rukun dalam fardlu 'ain, mempertegas tujuan-tujuuan luhur sebagai spirit tahapan utamanya, yang bersifat syar'i. Ia juga harus memilih dzikir yang sesuai dengan kondisi batinnya.
Seteiah itu, barulah ia berdzikir dengan tekun dan terus menerus.
Di antara adab yang perlu diperhatikan yaitu hendaknya ia memakai pakaian yang halal, suci, dan wangi. Kesucian batin bisa terwujud dengan memakan makanan yang halal. Dzikir waiau pun bisa melenyapkan bagian-bagian yang berasal dari makanan haram, tetapi manakaia batinnya sudah kosong dari yang haram atau syubhat, maka dzikir tersebut akan lebih mencerahkan qalbu.
Namun, jika dalam batinnya masih terdapat sesuatu yang haram, ia terlebih dahulu akan dicuci dan dibersihkan oleh dzikir. Pada kondisi tersebut, fungsi dzikir sebagai penerang qalbu menjadi sifatnya lebih lemah. Ibarat air yang dipergunakan untuk mencuci sesuatu yang terkena najis, najisnya akan hilang. Tetapi, pada saat yang sama ia tak bisa membuat benda yang terkena najis tadi menjadi lebih bersih.
Oleh karena itu, sebaiknya ia dicuci uiang sehingga ketika benda yang dicuci itu teiah bersih dari najis, ia akan bertambah cemerlang dan bersinar ketimbang saat dicuci pertama kali. Demikian puia saat dzikir turun ke dalam qalbu. Kaiau qalbu tersebut geiap, dzikir akan membuatnya terang. Tetapi, kaiau qalbu tersebut sudah terang, dzikir akan membuatnya jauh lebih terang.
Adab Penyerta
Ketika dzikir dilaksanakan hendaknya disertai niat ikhlas. Majelis tempat dzikirnya diberi aroma wewangian untuk para maiaikat dan jin. Ketika duduk hendaknya bersila menghadap kibiat, biia berrdzikir sendirian. Tetapi, kaiau bersama-sama, hendaknya ia berdzikir dalam lingkungan majelis. Seianjutnya telapak tangannya diletakkan di atas paha dan matanya dipejamkan seraya terus menghadap ke depan.
Sebagian Ulama berpandangan, jika ia berada di bawah bimbingan seorang syekh (Mursyid), ia membayangkan sang syekh sedang berada di hadapannya. Sebab, ia adalah pendamping dan pembimbing dalam meniti jalan rohani. Selain itu, hendaknya qalbu dan dzikirnya itu dikaitkan dengan orientasi sang syekh disertai keyakinan bahwa semua itu bersambung dan bersumber dari Nabi saw. Sebab, syekhnya itu merupakan wakil Nabi saw.
(Namun sejumlah Ulama Thariqah Sufi melarang membayangkan wajah syeikh, karena apa pun seorang syeikh atau Mursyid kategorinya tetap makhluq. Di dalam Al-Qur'an disebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, maka disanalah Wajah Allah." Bukan wajah makhluk. Dikawatirkan pula, jika di akhir hayat seseorang, yang tercetak dalam bayangannya adalah wajah makhluk, para Ulama Sufi mempertanyakan, apakah ia secara hakiki husnul khotimah atau su'ul khotimah? Pent.)
Ketika membaca La Ilaaha Illalloh dengan penuh kekuatan disertai pengagungan. Ia naikkan kalimat tersebut dari atas pusar perut. Ialu, dengan membaca Laa Ilaaha hendaknya ia berniat melenyapkan segaia sesuatu seiain Allah swt, dari qalbu. Dan ketika membaca Illalloh, hendaknya ia menghujamkan ke arah jantung, agar Illalloh tertanam dalam qalbu, kemudian mengalirkan ke seluruh tubuh serta menghadirkan dzikir dalam qalbunya setiap saat.
Menurut sebagian Ulama mengatakan, "Pengulangan dzikir tidak benar, kecuali dengan refleksi makna, selain makna yang pertama."
Dan tingkatan dzikir yang minimal adalah setiap kali seseorang membaca Laa Ilaaha Illalloh, qalbunya harus bersih dari segala sesuatu selain Allah swt,. Jika masih ada, ia harus segera melenyapkannya. Jika ketika berdzikir qalbunya masih menoleh pada sesuatu selain Allah swt, berarti ia telah menempatkan berhala bagi dirinya.
Allah swt, berfirman, "Tahukah kamu orang yang mempertuhankan hawa nafsunya." (Q.S. al-Furqan: 43) `Janganiah kamu membuat Tuhan selain Allah ." (Q.S. al-Isra': 22). "Bukankah Aku teiah memerintahkan kepadamu wahai Bani Adam agar kamu tidak menyembah syetan." (Q.S. Yasin : 60).
Dalam hadits, Rasul saw juga bersabda, "Sungguh rugi hamba dinar dan sungguh rugi hamba dirham." Dinar dan dirham tidak disembah dengan cara rukuk dan sujud kepadanya, tetapi dengan adanya perhatian qalbu kepada keduanya.
La Ilaaha Illalloh, tidak benar diucapkan kecuali dengan penafian segala hal selain Allah dari diri dan qalbunya. Manakala dalam dirinya masih ada gambaran inderawi, walau seribu kali diucapkan, maka maknanya tidak membekas di qalbu.
Namun, bila qalbu tersebut telah kosong dari hal-hal seiain Allah swt, meskipun hanya membaca kata Allah, satu kali saja, ia akan menemukan kelezatan yang tak bisa diungkapkan.
Syeikh Abdurrahman al-Qana'y mengatakan, " Suatu kali aku mengucapkan La Ilaaha Illalloh , dan tak pernah kembali lagi padaku."
Di kalangan Bani Israel ada seorang budak hitam yang setiap kali ia membaca La Ilaaha Illalloh, tubuhnya dari kepala hingga kaki-berubah warna putih. Demikianlah, ketika seorang hamba mewujudkan kalimat La Ilaaha Illalloh, sebagai kondisi qalbunya, lisan tak bisa mengaksentuasikan.
Meskipun La Ilaaha Illalloh adalah segala muara oreintasi, ia adalah kunci pembuka hakikat qalbu, seiain akan mengangkat derajat para salik ke alam rahasia.
Ada yang memilih untuk membaca dzikir di atas dengan cara disambung sehingga seolah-olah menjadi satu kata tanpa tersusupi oleh sesuatu dari luar ataupun lintasan pikiran dengan maksud agar setan tak sempat masuk. Cara membaca dzikir seperti ini dipilih dengan melihat kondisi salik yang masih lemah dalam mendaki jaian spiritual akibat belum terbiasa. Seiain terutama karena ia masih tergolong pemula. Menurut para uiama, ini adaiah cara tercepat untuk membuka qalbu dan mendekatkan diri pada Allah swt,.
Menurut sebagian ulama, memanjangkan bacaan La Ilaaha Illalloh lebih baik dan lebih disukai. Karena, pada saat dipanjangkan, dalam benaknya muncul semua yang kontra Allah, kemudian, semua itu ditiadakan seraya diikuti dengan membaca Illalloh. Dengan demikian, cara ini lebih dekat kepada sikap ikhlas sebab ia tidak mengokohkian sifat Ilahiyah, yaitu walaupun dinafikan dengan Laa Ilaaha secara nyata, sesungguhnya ia telah menetapkan dengan "Illa" keadaannya, namun "Illa" itu sendiri merupakan cahaya yang ditanamkan dalam qalbu yang kemudian mencerahkannya.
Sebagian lagi berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, tidak membaca panjang lebih utama. Sebab, bisa jadi kematian datang di saat sedang membaca la ilaha (tidak ada tuhan), sebelum sampai pada kata Illalloh, (kecuali Allah swt,).
Sementara menurut yang iain, biia kalimat tersebut dibaca dengan tujuan untuk berpindah dari wiiayah kekufuran menuju iman, maka tidak membaca panjang lebih utama agar ia lebih cepat berpindah kepada iman. Namun, kalau ia berada dalam kondisi iman, membaca secara panjang lebih utama .
Adab berikut
Manakala sang salik terdiam dengan upaya menghadirkan qalbunya, karena bersinggungan dengan anugerah ruhani dibalik dzikir berupa kondisi ghaybah (kesirnaan diri) paska dzikir, yang juga disebut dengan "kelelapan", maka jika Allah swt, mengirim angin untuk menebar rahmat-Nya berupa hujan, Allah swt, juga mengirim angin dzikir untuk menebar rahmat-Nya yang mulia berupa sesuatu yang bisa menyuburkan qalbu dalam sesaat saja. Padahal, itu tak bisa dicapai meskipun lewat perjuangan ruhani dan riyadhoh tiga puluh tahun lamanya. Adab-adab ini harus dimiliki oleh seorang pedzikir yang dalam kondisi sadar dan bisa memilih.
Sedangkan bagi pedzikir yang kehilangan pilihan karena tidak sadar bersamaan dengan masuknya limpahan dzikir dan rahasia ke dalam dirinya, lisannya bisa jadi mengucapkan kata Allah, Allah, Allah atau Huw, Huw, Huw, Huw, atau La, La, La, atau Aa..Aa..Aa.. atau Ah, Ah, Ah, atau suara yang berbunyi. Adabnya adalah pasrah total pada anugerah Ilahi yang membuatnya tenang dan diam.
Semua adab di atas diperlukan oleh mereka yang akan melakukan dzikir lisan. Adapun dzikir qalbu tidak membutuhkan adab-adab tersebut.

Pesta Para Penempuh Jalan Sufi


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
”Datangnya kebutuhan yang mendesak, merupakan pestaraya para penempuh.”
AL-FAAQOH, adalah kebutuhan yang sangat mendesak, merupakan sifat substansial hamba. Karena itu disebutkan oleh Ibnu Ath-Thaillah sebaik-baik waktu adalah waktu dimana anda melihat wujud sifat butuh anda yang sangat mendesak itu. Sehingga anda melihat diri anda serba salah dan serba gagal. Karena dengan rasa butuh yang mendesak itulah anda memutuskan dari yang lain, dan mengembalikan diri anda kepada Allah azza wa-Jalla. Itulah sampai disebut sebagai pestanya para penempuh dan Ahlullah.
Kenapa disebut sebagai pesta? Karena ia menikmati buah dari Musyahadah kepadaNya. Dalam sebuah syair sufi disebutkan:
Esok hari raya, apa yang kau pakai?
Kukatakan, ”Hidangan seteguk cintaNya Fakir dan sabar adalah pakaianku Di bawahnya ada qalbu yang memandang Rasa butuh yang mendesak, Sungguh hari raya dan pertemuan Pakaian yang paling halus ketika engkau bertemu Sang kekasih di hari saling berziarah
Pada baju yang saling terpakai Tahun-tahun begitu lamban bagiku Bila engkau pergi wahai harapanku Sedang pesta raya tiba jika dirimu Selalu tampak di cermin dan mendengarku.
Ibnu Athaillah melanjutkan:
”Terkadang anda meraih anugerah yang bertambah ketika dalam rasa butuh yang mendesak, yang tidak anda jumpai ketika anda puasa dan sholat.”
Terkadang seseorang meraih anugerah luar biasa, berupa pengetahuan, ma’rifat dan hakikat, justru ketika berada dalam kondisi sangat terdesak kebutuhannya, sebab ketika itulah sifat ubudiyahnya muncul, sementara sifat klaim lewat-lewat pengakuan-pengakuannya mulai menjauh. Nafsu, dalam situasi sangat butuh itulah begitu dekat dengan Allah Azza wa-Jalla dan jauh dari kesombongannya.
Terkadang di bali sholat dan puasa sering muncul klaim dan pengakuan akan amalnya, dan pengakuan itu bisa merusak pahalanya, disebabkan wujud riya’ dibalik klaim tadi. Namun rasa butuh yang sangat mendesak membuat nafsu harus luluh di hadapan Tuhannya, ia ingin lebih menjauhi hal-hal yang tak berguna. Bahkan dalam kitab Lathaiful Minan, Ibnu Athaillah mengatakan:
”Dalam bencana dan situasi yang serba butuh ada rahasia kasih sayang yang tidak bisa dimengerti kecuali oleh orang yang memiliki mata hati. Tidakkah anda tahu, bahwa bencana itu mematikan hawa nafsu, meredakan dan mengeluarkan dari tuntutan seleranya, dan dibalik bencana itu ada rasa hina dina yang muncul, sedangkan pada rasa hina itulah pertolongan tiba.
”Sungguh, Allah benar-benar menolongmu di saat perang Badar, sedangkan saat itu kalian dalam keadaan hina dina.” (Ali Imran: 123)
”Rasa butuh itulah hamparan-hamparan bagi anugerah-anugerahNya.”
Abu Yazid al-Bizthamy Qs, mengatakan, “Kekayaan rahasia kami dipenuhi dengan khidmah, bila anda menginginkan, maka anda harus berikap hina dina dan penuh rasa butuh kepadaNya.”
Syeikh Abdul Qadir al-Jilany menambahkan, “Aku mendatangi semua pintu Allah Azza wa-Jalla, dan yang kudapati penuh sesak, namun ketika aku datangi Pintu hina dina dan rasa butuh, rasanya begitu sunyi. Ketika aku masuki memalui pintu tersebut, tiba-tiba aku sudah berada di paling depan mendahului kaum sufi dan aku tinggalkan mereka yang berdesak-desak memasuki pintu-pintuNya yang lain.”
Namun rasa butuh yang mendesak itu, tidak ada gunanya bagi pelakunya, kecuali dengan mewujudkan sikap kehambaan (ubudiyah). Dan hal tersebut berada dalam empat perkara:
Ridha pada realita, tanpa kontra dan menentang.
Menegakkan hak-hak ubudiyah itu melalui ibadah dan yang lainnya.
Lari dari tuntutan nafsu dan klaim-klaimnya, bahkan dari klaim manusia lainnya, dengan semangat penuh hanya bagi Allah Tra’ala.
Menghadap pada Allah Ta’ala dengan bersimpuh hati kepadaNya dan mewujudkan apa yang ada pada diri anda berupa rasa butuh dan sangat fakir kepadaNya.
Inilah yang tersirat dibalik ayat, berupa munajat Nabi Musa as, : ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash, 24).

Keindahan Batin


Barangkali Anda bertanya, “Apa yang dimaksud dengan bentuk keindahan ruhani?”
Jawabnya adalah persepsi saya tentang diri Anda. Yakni, bahwa dalam diri Anda tidak merasakan rasa cinta kepada para Nabi, kepada para ulama dan para sahabat. Anda pun tidak dapat membedakan antara raja yang adil, cerdik, berani, perkasa, mulia dan menyayangi rakyatnya, dengan raja yang zalim, bodoh, kikir dan keras.
Menurut persepsi saya, jika diceritakan kepada Anda tentang kejujuran Abu Bakar, kelihaian politik Umar, kedermawanan Utsman dan tentang keberanian Ali — semoga Allah meridhai mereka — niscaya Anda sendiri tidak akan mendapatkan rasa simpati, senang dan cinta kepada para Nabi, orang yang jujur, dan orang alim yang penuh dengan sifat-sifat mulia. Bagaimana mungkin Anda mengingkari hal ini?
Padahal di antara manusia ada yang mengikuti jejak pemimpin-pemimpin mazhabnya. Cinta mereka terhadap para pemimpinnya itu mendorong pengorbanan jiwa dan harta demi membela mereka (para pemimpin), dan rasa cinta mereka itu melampaui batas kecintaan yang amat sangat.
Anda sendiri tahu, bahwa kecintaan Anda kepada mereka bukan karena bentuk lahir mereka, bukan karena mereka rupawan, sebab Anda sendiri belum pernah melihat paras muka mereka. Walaupun Anda pernah melihatnya, tapi Anda barangkaIi tidak menganggapnya rupawan. Sungguhpun Anda menganggap baik, rupawan, padahal bentuk lahir mereka - sebagaimana Anda saksikan, jelek, misalnya — namun sifat-sifat luhur masih tetap ada, maka kecintaan kepada mereka pun tetap ada.
Ada tiga sifat penting yang akan Anda dapatkan setelah mengamati secara cermat terhadap orang yang Anda cinta setelah dirinci panjang-lebar, yang tidak mungkin termuat dalam buku ini — 1. Ilmu, 2. Kemampuan (kekuatan) dan 3. Bersih dan cela.
Tentang ilmu, maksudnya adalah ilmu mereka tentang Allah Swt, para malaikat, kitab-kitab dan para Rasul Allah, keajaiban-keajaiban alam semesta dan rahasia ajaran para Nabi-Nya.
Yang dimaksudkan dengan kemampuan adalah, kemampuan mereka menaklukkan hawa nafsu dan menggiringnya kejalan lurus, serta kemampuan melaksanakan ibadat dengan siasat dan strategi mereka sendiri, serta petunjuk pada kebenaran.
Tentang kebersihan dan cela adalah, seperti terbebasnya ruhani mereka dari kebodohan, sifat kikir, dengki dan akhlak-akhlak yang tercela. Juga integrasi ilmu yang sempurna dan kemampuan menaklukkan hawa nafsu dengan akhlak mulia pada diri mereka. Itu merupakan bentuk ruhani yang baik, suatu bentuk ruhani yang tidak dicapai atau dimiliki oleh binatang dan tidak dimiliki oleh orang yang serupa dengan binatang, yang hanya terbatas pada indera lahiriah.
Selanjutnya, jika Anda mencintai mereka karena sifat-sifat yang terpuji semacam ini, padahal Anda tahu bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah figur yang jauh lebih lengkap dari sifat-sifat yang mereka miliki, maka cinta Anda kepada beliau jauh lebih penting.
Berikutnya, silakan Anda alihkan perhatian kepada Dzat yang mengutus Nabi Muhammad Saw, Penciptanya dan Yang memberikan keistimewaan kepada beliau atas manusia dengan mengutusnya sebagai Rasul — tentu Anda akan tahu, bahwa diutusnya para Nabi oleh Allah, merupakan salah satu bentuk kebaikan dan ragam kebaikan-Nya. Kemudian, menisbatkan kemampuan, ilmu dan kesucian mereka pada Ilmu, Kekuasan dan Kemahasucian Allah, niscaya Anda akan tahu, bahwa tiada Yang Maha Suci selain Tuhan Yang Maha Esa, dan bahwa selain Dia tidak lepas dari cacat dan kekurangan, bahkan kehambaan (manusia kepada Allah Swt.) merupakan bentuk kekurangan terbesar yang dimiliki manusia dari ragam bentuk kekurangan lainnya. Kesempurnaan macam apa bagi orang yang tidak mampu tegak dengan sendirinya, tidak mampu menguasai dirinya, baik itu berupa mati dan hidupnya, rezeki dan ajalnya?
Ilmu macam apa yang dimiliki oleh orang yang kesulitan untuk mengetahui karakteristik batinnya, baik berupa wujud kesehatan ruhani dan sakitnya ruhani, bahkan dia tidak mengetahui seluruh organ ruhani berikut rincian dan ketentuan-ketentuan perwujudannya, ditambah lagi tentang alam semesta?
Silakan hal ini Anda bandingkan dan nisbatkan kepada ilmu azali yang meliputi seluruh yang ada, dari data-data yang tanpa batas jumlahnya sampai pada yang seberat atom yang terdapat di langit dan di muka bumi.
Bandingkan dan nisbatkan pula pada kekuasaan Sang Pencipta langit dan bumi, dimana tidak satu pun dari yang ada keluar dari genggaman kekuasaan-Nya, baik itu dalam hal wujud, eksistensi dan ketiadaannya.
Nisbatkan dan bandingkan pula kesucian makhluk dari aneka cacat dengan kequdusan-Nya, niscaya Anda tahu bahwa kesucian, kekuasaan dan ilmu hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa; kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki oleh selain Allah sekadar pemberianNya belaka.
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (Q.s. Al-Baqarah: 255).
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, melainkan sedikit.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Sekarang, mungkinkah Anda mengingkari bahwa sifat-sifat yang agung dan terpuji itu disenangi atau dicintai? Atau Anda tidak mengakui, bahwa yang memiliki sifat kemuliaan sempurna itu adalah Allah Swt.?
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, melainkan sedikit.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Sekarang, mungkinkah Anda mengingkari bahwa sifat-sifat yang agung dan terpuji itu disenangi atau dicintai? Atau Anda tidak mengakui, bahwa yang memiliki sifat kemuliaan sempurna itu adalah Allah Swt.?