Laman

Sabtu, 21 Juni 2014

FAFIRRU ILALLAH ( KEMBALI PADA ALLAH )

Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang,

Sebelumnya aku berterima kasih kepada sahabat-sahabat dan orang-orang terdekatku yang sering menenangkan dan menghibur dengan senyuman yang tulus. salam sayang dan do'aku selalu menyertai kalian, semoga Tuhan senantiasa memberkahi langkah kita di dalam apa pun itu.

“Yang disebut Tarekat adalah meneliti gerak hati. Supaya hatimu lega, lebih-lebih melahirkan rasa bahagia dan tentram, sehingga  membuatmu senantiasa merasa cukup. Karena ketentraman sangat berbeda dengan kelegaan hati. Lega hanya terjadi sesaat, yaitu ketika tercapai apa yang engkau inginkan saja. Adapun ketentraman sifatnya sama dengan tanaman, selama terus-menerus disirami, ia akan tumbuh subur. Namun jika dibiarkan saja, daun-daunnya menjadi layu dan kurus.” (Tembang Pangkur bait 1 dan 2)

Terkadang kita merasakan sesuatu  kekosongan dan keresahan  yang tak dapat dimengerti, mencari-cari apa yang kurang dan apa yang salah, belum lagi kita memikirkan ketakutan akan hal-hal yang belum terjadi, seperti contohnya ketidakpastian akan masa depan dan hal-hal lainnya. Apa, mengapa dan bagaimana ??? pertanyaan itulah yang selalu memusingkan kepala.
“Istirahatkan dirimu/fikiranmu daripada kerisauan mengatur kebutuhan duniamu, sebab apa yang sudah dijamin/diselesaikan oleh lainmu (Allah), tidak usah kau sibuk memikirkannya.” (Al-Hikam : 4)

Ingatlah  kewajiban kita sebagai manusia hanya berusaha dan berdo’a, tidak usah kau memusingkan masalah hasil akhirnya, tetap istiqomah (teguh pendirian) dan yakinlah man jadda wa jada (jika kau bersungguh-sungguh maka akan tercapailah citamu).
“Hambaku, ta’atilah semua perintah-Ku, dan jangan memberitahu kepada-Ku apa yang baik bagimu, (jangan mengajari pada-Ku apa yang menjadi hajad kebutuhanmu).” (Al-Hikam : 4)

Sebaiknya seorang hamba yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi mengakui kebodohan dirinya, sehingga tidak memilih sesuatu yang tampak baginya sepintas lalu baik, padahal ia tidak mengetahui bagaimana akibatnya, karena itu bila Tuhan yang Maha mengetahui lagi bijaksana memilihkan untuknya sesuatu, hendaknya rela dan menerima pilihan Tuhan yang Maha belas kasih lagi mengetahui dan bijaksana itu, walaupun pada lahirnya pahit dan pedih rasanya, namun itu yang terbaik baginya, karena itu bila ber’doa kemudian belum juga tercapai keinginannya janganlah patah harapan.
“. . . Allah telah menjamin menerima semua do’a dalam apa yang Ia kehendaki untukmu, bukan menurut kehendakmu dan pada waktu yang ditentukan-Nya, bukan pada waktu yang engkau tentukan.” (Al-Hikam : 6)

Segala sesuatu adalah ketidakpastian yang selalu menimbulkan kemungkinan-kemungkinan, oleh karena itu jangan pernah lelah untuk melakukan kebaikan apa pun, dan serahkanlah semua hasil kepada Tuhan yang Maha Mengetahui dan Bijaksana. Bersihkan hati, renungkan sejenak dan mulailah tersenyum dengan cinta-Nya.

“Iman adalah mutiara di dalam hati manusia, yang meyakini Allah Maha esa, Maha kuasa . . .
Tanpamu iman bagaimanalah merasa diri hamba pada-Nya . . .
Tanpamu iman bagaimanalah menjadi hamba Allah yang bertaqwa . . .
Iman tak dapat diwarisi, dari seorang ayah yang bertaqwa . . .
Ia tak dapat dijual beli, ia tiada ditepian pantai . . .
Walau apapun caranya jua, engkau mendaki gunung yang tinggi . . .
engkau berentas lautan api, namun tak dapat jua dimiliki . . .
Jika tidak kembali pada Allah . . .
Jika tidak kembali pada Allah . . .”  (Raihan – Iman Mutiara)

 “Ya Allah, hanya kasih sayang-Mu yang aku harapkan, maka janganlah Engkau serahkan urusanku pada diriku sendiri meskipun hanya sekejap mata, dan perbaikilah semua urusanku. Tidak ada Tuhan selain.” Engkau.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad).


Kisah Saidina ‘ALI


Suatu hari ketika ‘Ali sedang berada dalam pertempuran, pedang
musuhnya patah dan orangnya terjatuh. ‘Ali berdiri di atas
musuhnya itu, meletakkan pedangnya ke arah dada orang itu, dia
berkata, “Jika pedangmu berada di tanganmu, maka aku akan
lanjutkan pertempuran ini, tetapi karena pedangmu patah, maka
aku tidak boleh menyerangmu.”

“Kalau aku punya pedang saat ini, aku akan memutuskan
tangan-tanganmu dan kaki-kakimu,” orang itu berteriak balik.

“Baiklah kalau begitu,” jawab ‘Ali, dan dia menyerahkan
pedangnya ke tangan orang itu.

“Apa yang sedang kamu lakukan”, tanya orang itu kebingungan.
“Bukankah saya ini musuhmu?”

Ali memandang tepat di matanya dan berkata, “Kamu bersumpah
kalau memiliki sebuah pedang di tanganmu, maka kamu akan
membunuhku. Sekarang kamu telah memiliki pedangku, karena itu
majulah dan seranglah aku”. Tetapi orang itu tidak mampu.
“Itulah kebodohanmu dan kesombongan berkata-kata,” jelas ‘Ali.
“Di dalam agama Allah tidak ada perkelahian atau permusuhan
antara kamu dan aku. Kita bersaudara. Perang yang sebenarnya
adalah antara kebenaran dan kekurangan kebijakanmu. Yaitu
antara kebenaran dan dusta. Engkau dan aku sedang menyaksikan
pertempuran itu. Engkau adalah saudaraku. Jika aku menyakitimu
dalam keadaan seperti ini, maka aku harus
mempertanggungjawabkannya pada hari kiamat. Allah akan
mempertanyakan hal ini kepadaku.”

“Inikah cara Islam?” Orang itu bertanya.

“Ya,” jawab ‘Ali, “Ini adalah firman Allah, yang Mahakuasa,
dan Sang Unik.”

Dengan segera, orang itu bersujud di kaki ‘Ali dan memohon,
“Ajarkan aku syahadat.”

Dan ‘Ali pun mengajarkannya, “Tiada tuhan melainkan Allah.
Tiada yang ada selain Engkau, ya Allah.”

Hal yang sama terjadi pada pertempuran berikutnya. ‘Ali
menjatuhkan lawannya, meletakkan kakinya di atas dada orang
itu dan menempelkan pedangnya ke leher orang itu. Tetapi
sekali lagi dia tidak membunuh orang itu.

“Mengapa kamu tidak membunuh aku?” Orang itu berteriak dengan
marah. “Aku adalah musuhmu. Mengapa kamu hanya berdiri saja?,’
Dan dia meludahi muka ‘Ali.

Mulanya ‘Ali menjadi marah, tetapi kemudian dia mengangkat
kakinya dari dada orang itu dan menarik pedangnya. “Aku bukan
musuhmu”, Ali menjawab. “Musuh yang sebenarnya adalah
sifat-sifat buruk yang ada dalam diri kita. Engkau adalah
saudaraku, tetapi engkau meludahi mukaku. Ketika engkau
meludahi aku, aku menjadi marah dan keangkuhan datang
kepadaku. Jika aku membunuhmu dalam keadaan seperti itu, maka
aku akan menjadi seorang yang berdosa, seorang pembunuh. Aku
akan menjadi seperti semua orang yang kulawan. Perbuatan buruk
itu akan terekam atas namaku. Itulah sebabnya aku tidak
membunuhmu.”

“Kalau begitu tidak ada pertempuran antara kau dan aku?” orang
itu bertanya.

“Tidak. Pertempuran adalah antara kearifan dan kesombongan.
Antara kebenaran dan kepalsuan”. ‘Ali menjelaskan kepadanya.
“Meskipun engkau telah meludahiku, dan mendesakku untuk
membunuhmu, aku tak boleh.”

“Dari mana datangnya ketentuan semacam itu?”

“Itulah ketentuan Allah. Itulah Islam.”

Dengan segera orang itu tersungkur di kaki ‘Ali dan dia juga
diajari dua kalimat syahadat.

Suluk Malang Sumirang

Sunan Panggung dihukum oleh kraton Demak dengan dibakar hidup-hidup karena dianggap telah melanggar sarak dan menyebarkan ajaran sesat. Saat itu Sunan Panggung memang memimpin barisan oposisi yang selalu mengkritik kebijaksanaan Sultan Demak yang selalu didukung oleh para wali. Kraton Demak berdiri kokoh salah satunya karena sokongan cendekiawan yang tergabung dalam Dewan Wali Sanga. Kitab-kitab yang terbit pada jaman ini yaitu: 1) Suluk Sunan Bonang, 2) Suluk Sukarsa, 3) Suluk Malang Sumirang, 4) Koja-Kojahan, dan 5) Niti Sruti. Pengertian Wali Sanga dapat dipahami secara denotatif maupun konotatif. Dalam pengertian denotatif nama Wali Sanga berarti sejumlah guru besar atau ulama yang diberi tugas untuk dakwah dalam wilayah tertentu. Dalam pengertian konotatif bahwa seseorang yang mampu mengendalikan babahan hawa sanga (9 lubang pada diri manusia), maka dia akan memperoleh predikat kewalian yang mulia dan Selamat dunia akhirat.

Tanggab Sasmita Tanggap sasmita adalah responsif terhadap informasi simbolik. Orang yang tanggap sasmita mempunyai perasaan yang halus sehingga dirinya mudah menyesuaikan diri. Tanda-tanda yang bersifat semiotis memerlukan ketajaman perasaan untuk menangkap maknanya. Tinggi rendahnya kepemimpinan Jawa salah satunya ditandai dengan kemampuannya dalam mengolah isyarat alamiah. Bahkan untuk memberi instruksi pun kadang-kadang lebih mengena dengan pasemon atau perlambang. Semiotika Jawa mengandung makna yang menekankan pada perasaan. Ada ungkapan ing sasmita amrih lantip berarti supaya dapat menangkap arti simbolik dengan ketajaman batin.

Suluk Malang Sumirang adalahajaran Sunan panggung dari Kasultanan Demak. Ajaran ini berupa kritik atau sindiran kepadapara ahli Sariat. SelanjutnyaSunan Panggung dihukum denga cara dibakar sebab dianggep menyebarkab aliran sesat.

Berikut ini petikan Suluk Malang Sumirang :


PUPUH
DHANDHANGGULA

01

Malang sumirang amurang niti, anrang baya dènira mong gita, raryw anom akèh duduné, anggelar ujar luput, anrang baya tan wruh ing wisthi, angucap tan wruh ing trap, kaduk andalurung, pangucapé lalaluya, ambalasar dhahat amalangsengiti, tan kena winikalpa.

02

Andaluya kadadawan angling, tan apatut lan ujar ing sastra, lan murang dadalan gedhé, ambawur tatar-tutur, anut marga kang dèn-singkiri, anasar ambalasar, amegat kekuncung, tan ana ujar kerasa, liwang-liwung pangucapé burak barik, nulya kaya wong édan.

03

Idhep-idhepé kadya raryalit, tan angrasa dosa yèn dinosan, tan angricik tan angroncé, datan ahitang-hitung, batal karam tan dèn-singgahi, wus manjing abirawa, liwung tanpa tutur, anganggé sawenang-wenang, sampun kèrem makamé wong kupur kapir, tan ana dèn-sèntaha.

04

Angrusak sarak ujar sarèhing, acawengah lan ajar ing sastra, asuwala lan wong akèh, winangsitan andarung, kedah anut lampah tan yukti, mulané ambalasar, wus amanggé antuk, jatining apurohita, marminipun tan ana dèn-walangati, sakèhing pringgabaya.

05

Pangucapé wus tanpa kekering, oranana bayané kang wikan, dhateng kawula jatiné, tan ana bayanipun, anging tan wruh jatinirêki, pan jatining sarira, tan roro tetelu, kady angganing reringgitan, duk sang Panjy asusupan rahina wengi, kesah saking nagara.

06

Anêng Gegelang lumampah carmin, anukma aran dhalang Jaruman, dèn-pendhem kulabangsané, ndatan ana kang weruh, lamun Panji ingkang angringgit, baloboken ing rupa, pan jatine tan wruh, akèh ngarani dhadhalang, dhahat tan wruh yen sira putra ing Ke1ing, kang amindha dhadhalang.

07

Adoh kadohan tingalirêki, aparek reké tan kaparekan, yèn sang Panji rupané, dèn-senggèh baya dudu, lamun sira Panji angringgit, balokloken ing tingal, pan jatining kawruh, lir Wisnu kelayan Kresna, ora Wisnu anging Kresna Dwarawati, amumpuni nagara.

08

Wisésa Kresna jati tan sipi, kang pinujyêng jagad pramudita, tan ana wruh ing polahé, lir Kresna jati Wisnu, kang amanggih datan pinanggih, pan iya déning nyata, kajatenirêku, mulané lumbrah ing jagad, angestoken kawignyan sang Wisnumurti, nyatané arya Kresna.

09

Mangkana kang wus awas ing jati, oranana jatining pangéran, anging kawula jatiné, kang tan wruh kéngar korup, pan kabandhang idhepirêki, katimpur déning sastra, milu kapiluyu, ing wartaning wong akathah, pangèstiné dèn-senggèh wonten kakalih, kang murba kang wisésa.

10

Yèn ingsun masih ngucap kang lair, angur matiya duk lagi jabang, ora ngangka ora ngamé, akèh wong angrempelu, tata lapal kang dèn-rasani, sembayang lan puwasa, dèn-gunggung tan surud, den-senggèh anelamna, tambuh gawé awuwuh kadya raragi, akèh dadi brahala.

11

Pangrungunisun duk raré alit, nora selam déning wong sembayang, nora selam déning anggèn, tan selam déning saum, nora selam déning kulambi, tan selam déning dhestar, ing pangrungunisun, éwuh tegesé wong selam, nora selam déning anampik amilih, ing karam lawan kalal.

12

Kang wus prapta ing selamé singgih, kang wisésa tuwin adi mulya, sampun teka ing omahé, wulu salembar iku, brestha geseng tan ana kari, angganing anêng donya, kadya adedunung, lir sang Panji angumbara, sajatiné yèn mantuk ing gunung urip, mulya putrêng Jenggala.

13

Akèh wong korup déning sejati, sotaning wong dèrèng purohita, dèn-pisah-pisah jatiné, dèn-senggèh seos wujud, sajatiné kang dèn-rasani, umbang ing kapiran, tambuh kang den-temu, iku ora iki ilang, mider-mider jatiné kang dèn-ulati, tan wruh kang ingulatan.

14

Brahalane den-gendong den-indit malah kabotan dening daadapen mangke dereng wruh jatine dening wong tanga guru amungakĕn wartaning tulis kang ketang jatining lyan den-tutur anggalur den-turut kadya dadalan kajatene deweke nora kalingling lali pejah min-Wang.

15

Dosa gung alit kang den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-ucap iku wong anom kawruhe sembayang tan surud puwasane den ati-ati tan ayun kaselanan kalimput ing hukum kang sampun tekeng kasidan sembah puji puwasa tan den-wigati nora rasa-rinasan.

16

Sakeh ing doss tan den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-tulak wus liwang-liwung polahe tan andulu dinulu tan angrasa tan den-rasani tan amaran pinaran wus jatining suwung ing suwunge iku ana ing anane iku surasa sejati tan kĕna den-ucapna.

17

Dudu rasa kang kĕraseng lati dudu rasa rasaning pacuwan dudu rasa kang ginawe dudu rasa rasaning guyu dudu rasa rasaning lati dudu rasa rĕrasan rasaku amengku salir ing rasa surasa. mulya putreng Jènggala rasa jati kang kerasa jiwa jisim rasa mulya wisesa.

18

Kang wus tumeka ing rasa jati panĕmbahe da tanpa lawanan lir banyu mili pujine ing ĕnĕnge anebut ing unine iya amuji solahe raganira dadi pujinipun tĕkeng wulune salĕmbar ing osike tan sipi dadi pamuji pamuji dawakira.

19

Ingkang tan awas puniku pasti dadi kawulane kang wus awas tĕka ing sĕmbah pujine amung jatining wĕruh pamujine rahina wĕngi mantĕp paran kang awas ujar iku luput ananging aran tokidan lawan ujar kupur-kapir iku kaki aja masih rĕrasan.

20

Yen tan wruha ujar k„p„r-”pir pasti woog iku durung ~”„, maksih bakai pangawruhe pan kupur-kapir iku iya iku sampurna jati pan wèkas ing kasidan kupur-kapir iku iya sadat iya salat iya idĕp iya urip iya jati iku jatining salat.

21

Sun-marenana angedarneling sun-sapiye ta bok kadĕdawan mĕnawa mèdal cucude ajana milu-milu mapan iku ujar tan yakti pan mangkana ing lampah anrang baya iku rare anom ambĕlasar tanpa gawe gawene sok murmg niti anggung malang sumirang.

PUPUH

KINANTHI

01

Dosa gung alit tan dèn singgahi, ujar kupur kapir kang dèn ambah, wus liwung pasikepane, tan andulu dinulu, tan angrasa tan angrasani, wus tan ana pinaran, pan jatining suwung, ing suwunge iku ana, ing anane iku surasa sajati, wus tan ana rinasa.

02

Pan dudu rasa karasèng lathi, dudu rasane apa pa lawan, dudu rasa kang ginawe, dudu rasaning guyu, dudu rasa kang angrasani, rasa dudu rarasan, kang rasa amengku, sakèhing rasa karasa, rasa jati tan karasa jiwa jisim, rasa mulya wisesa.

03

Kang wus tumeka ing rasa jati, sembahyanging tan mawas nalika, luwir banyu mili jatine, tan ana jatinipun, mona muni turu atangi, saosiking sarira, pujine lumintu, rahina wengi tan pegat, puji iku rahina wengi sirèki, akèh dadi brahala.

04

Pengunguningsun duk lare cilik, nora Selam dening asembahyang, tan Selam dening pangangge,

tan Selam dening saum, nora Selam dening nastiti, tan Selam dening tapa, nora dening laku, tan Selam dening aksara, nora Selam yèn anut aksara iki, tininggal ora esah.

05

Selame ika kadi punendi, kang ingaranan Selam punika, dening punapa Selame, pan ing kapir iku, nora dening mangan bawi, yadyan asembahyanga, yèn durung aweruh, ing sejatining wong Selam, midera anglikasan amontang manting, jatine kapir kawak.

ORANG HEBAT HEHEHE......


Seorang laki-laki paruh baya, suatu ketika lewat di depan sebuah masjid. Kebetulan di dalam masjid, sedang dilangsungkan tabligh akbar. Seorang Ustad muda, nampak berada di atas mimbar. Dengan menggebu-gebu, Ia menyampaikan banyak hal, salah satunya tentang tema karomah.
”Banyak cerita, para kekasih Allah yang lantaran karomahnya, wali tadi bisa berjalan mengambang diatas air, ada juga yang bisa terbang ke awang-awang, nglempit bumi juga bisa, merekalah orang-orang hebat” tandas Ustadz muda.
Hadirin tampak terpaku mendengar setiap keterangan sang Ustadz. Mereka tak beranjak dari tempat duduknya hingga acara tabligh usai.
Dan setelah sekian menit berlalu, acara di masjid itupun ditutup. Sebelum mengucap salam, Ustadz muda berdoa dan hadirin pun mengamini.
Satu persatu hadirin pun mulai meninggalkan masjid. Berbeda dengan lelaki paruh baya yang sejak tadi berada di teras masjid. Ia bermaksud menunggu keluarnnya Ustad muda untuk sekedar mengajak berbicara.
Usai disalami oleh beberapa hadirin, Ustad muda pun bergegas untuk keluar dari masjid untuk pulang. Tapi tanpa dinyana, baru sampai di teras masjid, langkahnya tertahan oleh sapaan salam.
”Assalamu’alaikum Ustadz”
”Wa’alaikumussalam, masyaallah Kiai,” ustad muda terkejut. Ia tak menyangka Kiainya di pesantren bisa berada di tempat itu. Ia segera menyalami gurunya.
“Nak, nak,…. seorang yang bisa terbang itu biasa, wong burung saja bisa terbang. Seorang yang bisa berjalan diatas air itu biasa, karena ikan pun bisa melakukannya, bahkan menyelam di air pun ikan bisa. Apalagi seorang bisa nglempit bumi, itu tidaklah hebat, setan musuh orang beriman itu secepat kilat bisa melakukannya,” Sang Kiai langsung berbicara.
Ustad muda, yang ternyata santri pak Kiai ini pun segera mafhum dengan maksud pembicaraan Kiainya. Ia menunduk sadar telah melakukan kesalahan saat berbicara di atas podium tadi.
”Orang hebat di zaman ini, bukanlah orang yang bisa melakukan berbagai hal-hal diluar nalar kebiasaan, tapi orang yang saat memiliki atau bahkan berkelebihan harta, ketika harta itu raib dan hilang tanpa jejak, hatinya tak sedikit pun peduli, dan bahkan berkata “Alhamdulillah”, orang-orang inilah yang layak disandangi orang hebat karena mereka memiliki sifat zuhud,” jelas Pak Kiai.

RAHASIA TETAPLAH RAHASIA...

..
Saya bisa memahami perasaan orang-orang yang menentang tarekat, karena saya juga awalnya adalah orang yang sangat menentang tarekat, menentang dengan segudang dalil. Rasanya belum puas kalau belum menyampaikan dakwah kepada pengamal tarekat yang menurut saya adalah orang-orang bid’ah yang melakukan ibadah diluar apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sikap menentang itu berubah total setelah saya bertahun-tahun berguru kepada Masternya Tarekat, berguru kepada Guru Mursyid yang benar-benar ahli di bidang tarekat dan tasawuf, akhirnya saya menyadari betapa saya merasa pandai dan ahli padahal saya tidak memahami sama sekali tentang tarekat. Saya mendapat informasi tarekat dari orang-orang yang membenci tarekat, buku-buku yang memang dibuat agar tarekat dibenci oleh seluruh ummat Islam.
Tahun 2008 dan 2009 adalah tahun dimana saya begitu rajin memposting hal-hal yang berhubungan dengan tarekat baik tulisan sendiri maupun kutipan dari karya orang lain dan juga copy paste dari blog atau web lain. Dengan memposting info tentang tasawuf memberikan saya semangat dalam berguru, memperluas persahabatan dengan orang-orang yang mempunyai pemahanan yang sama.
Dikalangan pengamal tarekat sendiri tidak kurang kritik ditujukan kepada sufimuda. Sebagian menentang karena menganggap sufimuda dengan terang-terangan membuka hakikat yang selama ini menjadi rahasia dan dikawatirkan akan menimbulkan fitnah. Di kawatirkan orang awam yang salah mengartikan kata-kata hakikat dan akan menjadi senjata makan tuan. Lalu pertanyaan yang harus dijawab adalah apa sebenarnya hakikat? Apakah yang disampaikan lewat tulisan itu masih disebut hakikat atau itu hanya tulisan yang tidak ada hubungan sama sekali dengan hakikat.
Sebenarnya tidak ada larangan dalam Agama untuk menyampaikan sebuah ilmu asal cara menyampaikan bisa dimengerti oleh si penerima. Rasulullah saw memberikan nasehat, “Sampaikan sesuatu menurut kadar si penerima”. Sebenarnya apa yang saya tulis (saat ini sudah 300 tulisan) di sufimuda bukanlah hakikat apalagi makrifat. Saya hanya menulis sesuatu yang memang boleh di tulis dan disebarkan. Apa yang ditulis di dalam kitab-kitab tasawuf klasik jauh lebih mendalam dan berani bahkan akan dianggap aneh oleh orang-orang yang tidak pernah mendalami tasawuf sama sekali.
Setiap Guru Sufi memberikan aturan dan larangan yang berbeda kepada muridnya. Syekh Bahauddin Naqsyabandi semasa Beliau hidup melarang para murid untuk mencatat ucapan dan nasehat Beliau termasuk melarang murid-murid Beliau menulis riwayat hidup dan sejarah berguru Beliau. Beliau beranggapan biarlah ajaran-ajaran Beliau itu tersimpan di hati para murid dan kemudian diteruskan dihati kegenarasi selanjutnya tanpa dirusak oleh tulisan yang kadang kala berbeda dengan makna sebenarnya. Berbeda dengan Syekh Abdul Qadir Jailani, seluruh ucapan dan petuah Beliau secara harian ditulis oleh para murid dan kemudian dibukukan dengan tujuan agar apa yang beliau sampaikan bisa diterima oleh orang-orang yang tidak pernah berjumpa dengan Beliau. Kedua prinsip Syekh Besar tersebut menjadi dalil dan alasan yang sama-sama benar.
Guru saya melarang para muridnya menulis tentang kaji-kaji dalam tarekat mulai dari kaji dasar sampai dengan khalifah. Kenapa? Karena di kawatirkan dibaca oleh orang awam dan mempraktekkan tanpa Guru Mursyid yang membuat orang akan tersesat karena setan akan sangat mudah menyusup di setiap amalan yang di amalkan tanpa izin. Sementara Syekh lain termasuk Syekh Jalaluddin dengan terang-terangan menulis seluruh kaji dalam suluk dari Ismu Dzat sampai dengan Dzikir Tahlil dan beberapa kitab lain termasuk bahan referensi di Universitas menulis semua kaji-kaji dan amalan di dalam Tarekat. Syekh Muhammmad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Allam al-Ghuyub yang menjadi rujukan para pengamal Tarekat di seluruh dunia membahas secara luas tentang hadap dan tata cara suluk tetapi disana tidak ditulis jenis-jenis amalan karena di kawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak memiliki Mursyid.
Apa yang dialami oleh orang-orang yang telah tenggelam dalam Hakikat akan menjadi rahasia sepanjang hidupnya dan tetap akan menjadi rahasia selamanya sebab kalau diungkapkan maka itu bukan lagi sebuah rahasia. Menariknya ilmu hakikat adalah walaupun diungkapkan secara terang-terangan maka itu tetap menjadi sebuah rahasia bagi orang yang belum mencapai kesana. Al-Qur’an mengungkapkan secara terang-terangan bahkan sangat jelas membahas tentang hakikat Tuhan, tapi apakah semua orang yang membaca Al-Qur’an mencapai tahap makrifat? Jawabannya tidak karena Ayat-ayat Al-Qur’an penuh dengan symbol yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang telah terbuka hijabnya.
Begitu terang-terangan Rasulullah SAW lewat hadist Beliau menjelaskan tentang hakikat, bahkan sangat terang, tapi karena umumnya yang membaca tidak terbuka hijab, ucapan Nabi yang demikian terbuka malah ditasfirkan secara keliru oleh akal manusia yang memang tidak sampai pemahaman disana akhirnya rahasia tersebut tetap menjadi rahasia.
Beberapa ucapan sahabat yang menggambarkan betapa rahasianya Ilmu Hakikat itu antara lain ucapan Abu Hurairah, “…Apabila aku ceritakan niscaya Halal darahku”, apabila hakikat itu diceritakan dengan bahasa salah maka nyawa sebagai taruhan. Atau ucapan saidina Husaen ra, “Apabila aku jelaskan hakikat itu kepada kalian niscaya kalian akan menuduh aku sebagai penyembah berhala”. Orang yang telah mencapai kaji disana akan tersenyum membaca ucapan dari saidina Husein, dan andai hakikat itu dibuka di zaman sekarang pasti orang akan menuduh yang sama yaitu dianggap orang yang mengamalkan hakikat itu sebagai penyembah berhala.
Sungguh luar biasa Allah melindungi ilmu-ilmu berharga tersebut demikian rahasianya, ditempatkan di dalam qalbu para hamba-Nya sehingga tidak seorangpun bisa mengambilnya. Allah telah melindungi ilmu-ilmu berharga tersebut dengan hijab (penghalang) cahaya sehingga manusia tidak akan melihat karena begitu terangnya cahaya tersebut. Rahasia itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang telah bermandikan cahaya, larut dalam Dzat-Nya sehingga apa yang menjadi rahasia tidak lagi menjadi rahasia.
Apa yang saya sampaikan disini bukanlah hakikat, tapi tulisan-tulisan untuk memberikan semangat kepada kita semua untuk mencari kebenaran, mencari pembimbing yang menuntun dan membimbing kita semua kepada Allah. Dengan mendapat bimbingan kepada Allah sehingga kita tidak lagi tersesat dibelantara jalan tanpa arah dan dengan tenang kembali kepada asal kita masing-masing.
Rahasia tetaplah rahasia dan tetap akan menjadi rahasia sepanjang masa kecuali orang-orang yang telah berada dalam rahasia tersebut. Rahasia tersebut hanya bisa terbuka lewat Qalbu kepada Qalbu, ditransfer dengan teknik khusus yang diajarkan Rasulullah saw kepada para sahabat dan dari para sahabat kepada sekalian Guru Mursyid sampai saat sekarang ini. Rahasia itu tidak akan pernah bisa ditembus kecuali oleh orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT. Semoga Allah yang Maha Pemurah selalu berkenan membuka hijab-Nya sehingga kita bisa memandang keindahan wajah-Nya dari dunia sampai akhirat., Amin ya Rabbal ‘Alamin!