Laman

Minggu, 05 November 2017

Hakikat ajaran Islam :


1. Semua menjadi ada dan tercipta karena manifestasi Sang Cinta, Cinta pada diri-Nya.
2. Alam semesta tercipta karena Sang Cinta (Mahabbah), Tuhan, Cinta pada diri-Nya, sehingga manusia ada sebagai pancaran cahanya (mahluk yang sempurna) dan alam semesta adalah sarana bagi manusia untuk kembali kepada-Nya.
3. Untuk itu manusia mengadakan perjanjian dengan Sang Cinta, persaksian sumber awalnya, perjanjian primordialnya dengan Tuhan sebagai Kebenaran Sejati, Jalan Yang Lurus. Sebelum diciptakan untuk dilahirkan di muka bumi.(Alquran). Jadi hidup ini dimulai dengan janji atau niat, maka penuhilah janji itu.
Kekuatan perbuatan ada pada janji, lalu diikuti dengan kedisiplinan/kesabaran untuk memenuhinya. Karena janji itu adalah janji Tuhan, dengan kehendak-Nyalah kita bisa berjanji dan mengikat janji. Ingkar janji, berarti mengingkari kehendak Tuhan. Melawan Tuhan. Makanya, penuhilah janji-janji pribadi kita untuk diri sendiri dan janji-janji kita dengan sesama. Janganlah mudah untuk berjanji, apalagi berjanji untuk perbuatan buruk/jahat. Biarlah orang lain menyalahi janjinya, janganlah kita sedikitpun berniat untuk menyalahi janji. Penuhilah janji kita, kalau dia yang mengingkari maka sabarlah karena dialah yang menanggung resikonya. Kalaupun kita tidak bisa memenuhi janji pada waktunya, karena sesuatu yang sangat penting dan mendesak untuk kita membantu orang lain, maka berilah kabar, buatlah kesepahaman-saling pengertian-untuk kita saling berjanji lagi sebagai penebusnya.
Ingat, berurusan dengan sesama (manusia) dalam kebaikan lebih penting daripada urusan-urusan pribadi kita yang tidak ada hubungannya dengan orang lain. Berurusan dengan banyak orang lebih penting dan mendesak daripada hanya berurusan dengan orang-perorang. Jika kita sedang bekerja, lalu seseorang membutuhkan pertolongan kita secepatnya, maka bantulah, bukankah kita punya banyak waktu dan pandai membagi waktu untuk menyelesaikan pekerjaan kita setelah membantunya.
Bukankah kita semua bersaudara, berasal dari satu, Yang Maha Berkehendak. Berasal dari Tuhan dan sama-sama kita akan kembali kepada-Nya, karena Dialah belahan jiwa kita yang selalu bersuara kebenaran di dalam nurani kita, Maha Nyata dan Maha Gaib keberadaan-Nya di dalam batin kita. Maha Benar ada-Nya di dalam pikiran-pikiran positif kita. Maha Benar ada-Nya di dalam logika kasih sayang kita. Maha Benar ada-Nya di dalam prasangka baik kita. Maha Benar ada-Nya di dalam perbuatan-perbuatan kebajikan kita. Bukankah riwayat hadis mengatakan ”Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku, kepada-Ku.”
Itulah hidup di depan pintu kebenaran Sejati. Kesadaran diri hidup di depan Tuhan. Kehidupan penuh luapan cinta kepada-Nya (Mahabbah), karena Dialah Sang Cinta yang Tunggal, Yang Ganjil-Yang Satu. Dialah pada sifat Yang Satu, sifat Sang Cinta. Karena Cinta-Nya semua hidup, semua ada, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Jadilah pecinta untuk-Nya, mencintai semua ciptaan-Nya. Jadilah pejuang cinta-Nya, agar kita selalu dalam lindungan-Nya – selalu dalam Cinta-Nya. Itulah kekuatan kita yang Maha Dasyat untuk merubah hidup kita, paling bermanfaat bagi sesama, memakmurkan bumi. Itulah janji abadi kita-fitrah kita-dengan Dia. Karena kita adalah pancaran cahaya-Nya. Ada bukan karena tercipta, tapi karena pancaran cahaya-Nya-makhluk paling sempurna-jiwa kita. Kita perlu diciptakan dengan kehendak Cinta-Nya, karena kita akan lahir ke muka bumi-merealisasikan dan membuktikan janji kita-cinta kita semata kepada-Nya. Itulah tugas kita semua menjadi khalifah (wakilnya) di muka bumi.
Bukankah, sumber air adalah lautan samudra, namun kita tidak bisa meminumnya. Dengan proses alam semesta (mengikuti Hukum Tuhan) naik ke udara menjadi uap, menggumpal menjadi awan. Lalu turun menjadi hujan, air turun membasahi bumi, masuk ke dalam tanah kemudiaan bermuara di sumber-sumber mata air yang jernih. Siap untuk kita pakai dengan berbagai keperluan, siap untuk kita proses jadi air minum yang sehat/higenis. Setelah kita pakai lalu kita buang di saluran-saluran air untuk kembali ke lautan samudra. Itulah, perumpamaan yang nyata, ayat-ayat-Nya yang nyata untuk kita jadikan pelajaran/hikmah.
Itulah, hikmah mengapa kita terlahir di muka bumi dan mengapa alam semesta diciptakan. Karena, bumi yang kita pijak, alam semesta yang kita tempati adalah wadah atau tempat kita membersihkan-menyucikan jiwa-dengan jalan, sekali lagi, paling bermanfaat bagi sesama karena kita adalah pecinta-Pejuang Cinta-Nya di muka bumi untuk kembali kepada-Nya.
Itulah Kebenaran. Itulah Jalan Yang Lurus (Al-shirath al-mustaqim). Itulah, Hidup Sejati – Hidup pada Prinsip Kebenaran Sejati – Sang Cinta. Hidup menyatu-manunggal – karena sesungguhnya Dialah yang ada-tiada berakhir dan tiada berawal-abadi selamanya. Semua ciptaannya akan hancur lebur (fana), selain Dia hanya bayang-bayang belaka. Tapi, sekali lagi, kita – jiwa kita – adalah belahan jiwa-Nya, belahan jiwa kita.
Kita adalah Cinta-Nya, maka cintailah Dia semata, agar kita dengan-Nya saling merindukan. Agar jiwa kita dalam bimbingan-Nya untuk kembali menyatu dan hidup abadi/kekal bersama-Nya. Maha Gaib ini nyata dan jelas di mata kita. Lalu mengapa kita berbuat yang bukan-bukan, selalu membuat pilihan hidup dengan bersandar pada pikiran-pikiran negatif/buruk, berburuk sangka – curiga – prasangka buruk. Selalu mengeluh dan menyalahkan orang lain.
Itulah manusia yang ingkar kepada-Nya. Bukankah, kesalahan itu kalau dia memang yang berbuat buruk/jahat, maka orang itu pulalah yang mendapatkan balasan keburukannya. Apapun yang terjadi, berbuat baiklah karena kita sendiri yang akan menerima balasan kebajikan itu sendiri. Setialah pada janji kita, karena balasan kesetiaan itu hanya untuk kebaikan kita sendiri.
Keberuntungan dan petaka, kemudahan dan kesulitan itu sama saja, semua karena kita dan untuk kita sendiri. Sebabnya karena kita, dan akibatnya untuk kita sendiri. Sadarilah, selama nafas masih melekat – selama itu pula kita bersama Tuhan. Selama jiwa kita sadar akan kehadiran-Nya, maka selama itu kita bersama-Nya.
Apapun yang terjadi, apapun hasilnya bukan persoalan. Persoalannya, sudahkah kita berbuat untuk mencapai hasil. Berbuat untuk membuktikan janji-cinta kita. Apapun yang terjadi dan apapun hasilnya, tidak ada yang keliru dan tidak ada yang kebetulan. Semuanya kehendak-Nya karena kita sudah berbuat. Semuanya rencana-Nya dan kitalah memilih untuk mengadakannya dalam perbuatan kita.
Sungguh, Tuhan Maha Pemurah, Maha Pemberi, Maha Ikhlas, Maha Rida, Sang Cinta. Ikutilah jalan jejak Sang Cinta. Bagaimana besok dan apapun yang kita terima hari ini. Tetap tenang, damai dan bahagia. Sabar dan Tawakkal. Pandai dan cerdas bersyukur (memberi dengan ikhlas-tanpa pamrih). Karena Dialah yang Maha Tenang, Maha Bahagia, dan Maha Mendamaikan.
Sungguh, Dia hanya mau bertemu dengan hamba-Nya yang mempunyai jiwa yang tenang, bahagia, dan selalu berdamai dengan sesamanya dalam kebajikan. Bukankah, untuk tidur kita perlu menenangkan dan mengosongkan pikiran, maka kita pun perlu mati dalam ketenangan, agar jiwa kita kembali kepada-Nya. Yaitu, menempuh hidup kita penuh cinta hanya kepada-Nya. Cinta kita pada sesama karena buah cinta kita hanya kepada-Nya.
Kalau kita cinta dunia-penuh angan-angan, penuh hasrat, penuh keinginan dan kesenangan yang tidak bisa dikendalikan. Lalu menjadi orang pelit, kikir, sombong, tidak peduli pada orang yang lagi kesusahan – ego – suka menang dan mementingkan diri sendiri. Tidak peduli pada janji, tidak peduli pada sikap kemanusiaan, tidak peduli membangun persaudaraan dan tidak peduli membangun tali silaturrahmi. Maka, kita akan mati dalam kesusahan. Jiwa (Roh) kita akan sangat susah berpisah dengan raga kita. Kita dalam sakratul maut yang sangat genting, sangat tersiksa, malaikat akan kerja keras mencabut nyawa kita. Seperti tersiksanya kita waktu akan tidur, gelisah tidak bisa tidur, karena kita terlalu memikirkan masalah dunia yang kita hadapi.
Akhirnya, toh kita mati juga. Namun karena semasa hidup kita terlalu cinta apa-apa yang di dunia, maka kita mati untuk menjalani proses penyehatan jiwa untuk terlahir kembali – terlahir di dunia.
Sungguh, Tuhan Maha Pemurah dan Maha Pengampun memberi kesempatan kembali kepada hamba-Nya untuk memberi jalan pengampunan, penebusan dosa, penebusan karma dan penyucian diri kembali di muka bumi, agar dapat berjuang kembali untuk kembali kepada-Nya.
Siklus hidup-mati-hidup-mati, diciptakan Tuhan buat manusia sama dengan ketetapan Tuhan dengan alam tumbuhan. Contohnya biji mangga (mati), karena perlakuan manusia, maka biji itu bisa ditanam dan tumbuh kembali menjadi pohon mangga. Kemudian berbuah, buah yang rusak karena dimakan binatang atau dimakan manusia, maka tinggal bijinya. Pohonnya bisa mati, jika ditebang manusia. Tapi, bijinya bisa tumbuh kembali menjadi pohon, jika manusia mengusahakannya. Tapi, karena manusia yang berbuat tentu tergantung dari usahanya itu. Jadi biji mangga itu bisa hidup-mati-hidup mati karena perlakuan manusia.
Demikianlah pula kita manusia, hidup-mati-hidup-mati diciptakan Tuhan untuk manusia. Namun, karena Tuhan itu Maha Adil, maka kita terlahir kembali sesuai fitrah kita, dimana karma itu terjadi atau kita perbuat. Artinya tentu kita terlahir diperut ibu sesuai karma kita, tentu bukan perut ibu yang sama. Tetapi diperut ibu yang sesuai dengan buah karma kita. Buah karma kita atau amal perbuatan buruk dan baik yang membawa kita pada pilihan, kita akan dilahirkan di perut ibu siapa. Kalau buah karma kita A, maka kita akan lahir dari perut ibu A sesuai sifat gen ibu dan bapak yang A. Kemudian kita lahir sebagai bayi tentu dengan model A pula.
”Manusia dilahirkan sesuai fitrahnya.” (Hadis) inilah yang dimaksud oleh pengertian makna dari hadis ini.
Kata ”Fitrah” itu dari kata fa-tha-ra yang artinya menciptakan atau menjadikan. Jadi, manusia dilahirkan menurut ”fitrahnya”, artinya kata ”….nya = dalam fitrahnya” berarti manusia diciptakan atau dilahirkan kembali sesuai buah karmanya, sesuai keinginannya atau sesuai hasil perbuatan pada kehidupan di dunia sebelumnya, sebelum terlahir kembali melalui perut ibu.. Namun, dalam kehidupan kita, kita diingatkan oleh Tuhan untuk kembali ke fitrah kita (QS. Al-A’raf 7 : 172). Yaitu perjanjian kita, ”bahwa Engkaulah Tuhanku, persaksian ini bermakna ”Engkaulah tempat kembaliku”. Bukankah sebelum Alquran diturunkan, telah diturunkan wahyu dalam kitab ”kejadian” atau kitab ”perjanjian” yang diamanahkan kepada Nabi Isa,as. Bukankah dia juga Rasul kita. Orang Nasrani saat ini (Kristen) menyebutnya kitab ”injil’ perjanjian lama dan perjanjian baru.
Jadi, Tuhan menyeru kita ”kembali ke fitrah”, agar kita jangan berlarut-larut, tenggelam di dunia bersiklus hidup-mati-hidup-mati. Karena, jika itu tidak berakhir, maka kita akan hancur lebur dan tidak akan pernah selamat lagi, jika kiamat (pralaya) telah datang menimpa kita. Jadi, marilah bertekad kita rayakan hidup penuh cinta.
4. Agama diwahyukan dalam kitab melalui rasul-rasul-Nya sebagai pedoman/alat pembelajaran untuk mengabarkan tugas dan fungsi manusia (Misi), serta tujuan hidupnya (Visi).
5. Agama sebagai pedoman adalah untuk mengabari manusia untuk belajar pada pengalaman-pengalaman manusia terdahulu dan belajar dari ayat-ayat alam semesta (”perhatikanlah alamat-alamat dan dengan bintang mereka mendapat petunjuk” Q.S. 16 : 16) . Mengajari manusia bagaimana skill (kemampuan) yang harus dimiliki agar dapat menjalankan Misi dan Visinya di muka bumi.
6. Misi Manusia adalah; pada fungsi, adalah sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi. Pada tugasnya adalah memelihara dan memakmurkan bumi. Misi ini dibebankan kepada manusia karena manusia adalah mahluk ciptaan-Nya yang sempurna. Ditugasi untuk memakmurkan bumi, karena bumi adalah tempat atau jalan untuk kembali pada-Nya.
7. Visi Manusia adalah hidup bersama Tuhan, karena inilah ”Jalan Yang Lurus” untuk sampai pada tujuan hidup sejati manusia; yaitu kembali kepada-Nya. Kembali ketempat asalnya yang sejati pula. Air dari laut, maka akan kembali kelaut. Dari sebuah biji akan tumbuh menjadi pohon dan berbuah, setelah buahnya rusak atau karena dimakan, maka akan tinggal menjadi sebuah biji lagi.
8. Jadi hakikat manusia hidup adalah ”bermanfaat” bagi manusia dan lingkungan hidupnya (manusia dan alam). Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya (Hadis).
9. Agama diturunkan melalui tangan-tangan rasul-Nya, agar manusia mempunyai kekuatan dan kemampuan bagaimana cara-cara yang baik untuk banyak “bermanfaat” bagi sesamanya untuk sampai tujuan hidup yang sesungguhnya. Bukankah ajaran Islam adalah ajaran “bersyukur” (ajaran penuh pemberian/berkreasi dengan ikhlas). Memberi dengan pamrih adalah sikap perilaku yang tidak bersyukur. Tidak bersyukur disebut musyrik karena sikap “ego” tidak mau kalah, mau menang sendiri. Sedangkan “kafir” adalah orang-orang yang menghalang-halangi orang berbuat kebajikan atau bermanfaat bagi sesama. Kufur adalah orang yang menyesali hidupnya, prosesnya adalah menyesali apa yang menimpa dirinya. Semakin hamba-Ku bersyukur, maka semakin bertambah nikmat yang Kuberikan (Alquran). Nikmat yang paling puncak adalah hidup bersama Tuhan di alam Tuhan. Tentu sebelum itu kita harus hidup bersama Tuhan di dunia dulu baru bisa mencapai-Nya. Untuk kembali hidup bersama Tuhan di alam Tuhan.
10. Maka untuk berjumpa dengan-Nya untuk kembali kepada-Nya, dimana Dialah Yang Satu pada sifat Cinta. Cintailah Dia satu-satunya dalam hidup anda. Tidaklah beriman dari kalian semua hingga Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya. (Hadis) dan ( QS. 9 : 24 ). Sikap hidup inilah yang memberi daya kita untuk memiliki sifat pengasih, penyayang, pemurah, dan pemaaf, sehingga jadilah kita sebagai manusia yang pandai bersyukur, menciptakan kemakmuran dan kemaslahatan bersama. Itulah manusia yang paling bermanfaat bagi sesamanya.
Kalaupun itu cinta, maka cinta kita selain dari Dia, Tuhan, itu hanya buah yang kita dapat dari cinta kita hanya kepada-Nya semata. Kita wajib mencintai semua ciptaannya, karena atas kehendak-Nyalah semua ada, tercipta. Memusuhi, membenci ciptaan-Nya apalagi merusaknya itulah perbuatan Syirik. Itulah dalam Alquran yang disebut sebagai orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Jika seseorang berbuat jahat (zalim) sama kita, maka berilah balasan sekedar untuk menyadarkannya bahwa perbuatannya itu bisa merugikan dirinya sendiri. Jika dia tidak mau merubah sikap dan perilakunya, sabarlah menghadapinya-diam itu adalah emas-Tuhan bersama orang-orang yang sabar (Jadikan sabar dan salat sebagai penolongmu-Alquran). Dalam kesabaran itu, berilah tauladan. Berarti kita telah menyerahkan persoalan itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang berhak memberi balasan dan pemberi balasan yang baik.
Itulah salah satu proses hidup bersama Tuhan di dunia, sebuah proses untuk bertemu Tuhan di Muka Bumi-modal kita untuk bertemu dengan-Nya di akhirat-kembali kepada-Nya. Sekali lagi, mari kita sadari ! itulah ”Jalan Yang Lurus” ; jalan untuk kembali kepada-Nya.
Bukankah apa yang kita lakukan di BKM dan P2KP adalah salah satu “Jalan Yang Lurus” untuk kembali kepada-Nya seperti jalan-jalan lain (Profesi dan peran kita dimasyarakat) yang telah kita pilih dan jalani dalam hidup kita selama ini. Wallahualam..
Sesungguhnya, ”Jalan Yang Lurus” itu nyata di depan mata dan di dalam diri kita.
Diri kita dan apa yang kita dengar dan lihat adalah wajah-wajah Tuhan.
Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesamanya. (Hadis)
Karena sesama kita, seperti diri kita, lingkungan hidup kita, dan alam semesta adalah wajah-wajah Tuhan. Gambar Tuhan. Ada karena kehendak Tuhan. Itulah Kebenaran.
”Barang siapa mencintai pertemuan dengan Allah,
maka Allah pun mencintai pertemuan dengan Dia.
Barang siapa yang tidak mencintai pertemuan dengan Allah,
maka Dia pun tidak mencintai pertemuan dengan-Nya.”
(H.R. Bukhari)

Rahasia Syukur, Sabar, dan Istighfar

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:
1- Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk bersyukur. Syukur memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’. Ketiga rukun tersebut adalah: a- Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah. b-Mengucapkannya dengan lisan. c-Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang memberikannya.
Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi
2- Atau, boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah bersabar. Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal: a-Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah. b-Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah. c-Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ thd keputusan Allah.
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,
كل نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية.
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”
Mukhollad bin Al Husain mengatakan,
الشكر ترك المعاصي
“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”
Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: [1] mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan).
Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita dalam kondisi lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam kondisi sempit.
Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut selaras dengan keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe kedua, yang sering kali tidak selaras dengan keinginan yang bersangkutan.
Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa berwudhu di musim panas menggunakan air dingin; mempergauli isteri cantik yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah ibadah. Demikian pula berwudhu dengan sempurna dengan air dingin di musim dingin dan menafkahi anak-isteri saat kondisi ekonomi terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah tipe pertama dengan ibadah tipe kedua. Yang kedua jauh lebih bernilai dibandingkan yang pertama, karena itulah ibadah yang sesungguhnya, yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya.
Oleh sebab itu, Allah berjanji akan mencukupi hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
“Bukankah Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).
Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing hamba. Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus mengorbankan kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah berikan kepadanya. Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلًا
“(Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidakmemiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (QS. Al Isra’: 65).
Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah, baik dalam kondisi menyenangkan maupun menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang terjaga dari gangguan syaithan, alias syaithan tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada makarnya, kecuali saat hamba tersebut lengah saja.
Sebab bagaimana pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan selama dia adalah manusia. Ia pasti akan termakan bisikan syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang yang benar-benar merealisasikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh syaithan di saat dirinya lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa menolak gangguan tersebut… saat itulah dia termakan hasutan syaithan dan melakukan pelanggaran.
dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya:
3- Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif terhadapnya di kemudian hari. Ibnul Qayyim lantas menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila ALlah menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal shalih). Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.
Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.
Demikian kurang lebih penuturan beliau dalam mukaddimah kitab tadi, semoga kita terinspirasi dengan tulisan yang bersahaja ini.

Qalbu Sang A’rif

Anak-anak sekalian…. Ketahuilah bahwa qalbu kaum ‘arifin adalah perbendaharaan Allah Ta’ala di muka bumi.
RahasiaNya dititipkan di dalamnya, kelembutan-kelembutan hikmahNya, hakikat cintaNYa, cahaya ilmuNya dan ayat-ayat ma’rifatNya, yang tak bisa dilihat sekalipun oleh Malaikat Muqorrobun, dan para nabi dan Rasul, dan siapa pun juga, tanpa seizin Allah Swt.
Sudah selayaknya bagi sang ‘arif mengenal baik dan buruknya, senantiasa istiqomah dalam amaliyahnya, mengenal untung dan ruginya, menjaga dari rekadaya musuh-musuhnya, dan memohon pertolongan kepada Allah Swt, secara total.
Jangan sampai meninggalkan sesuatu di hatinya selain Allah Robbul Izzah. Karena Allah Ta’ala manakala memandang qalbu hambaNya, lalu disana ada selain Dia, Allah Ta’ala membenci dan menghinakannya dan ia akan diserahkan pada musuhNya.
Amaliyah qalbu murni semata bagi Allah Ta’ala, sedang amaliyah rukun banyak ragamnya. Sedangkan amaliyah qalbu itu diterima tanpa gerak-gerik rukun, sedangkan amaliyah rukun tidak diterima tanpa amaliyah qalbu, dan tidak meraih pahala.
Bila seorang hamba mengabaikan amaliyah qalbunya, sedangkan dalam amaliyah rukun ia sempurna, ia hanya dinilai sempurnanya rukun tetapi bukan qalbunya. Namun jika amaliah qalbunya sempurna sedangkan amaliah rukunnya tidak, maka ia dihukumi ketidaksempurnaan rukunnya dengan kesempurnaan amaliah qalbunya.
Suatu hari Nabi Musa as, berjalan diantara Bani Israil menggunakan pakaian lap dan menaburi kepalanya dengan debu, sementara airmatanya menetes terus di pipinya. Lalu Nabi Musa as, menangis kasihan melihat keadaan mereka. Beliau bermunajat, “Oh Tuhanku, kenapa tidak Engkau sayangi hambaMu? Bukankah Engkau Tahu keadaan mereka?”
Allah pun menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as, “Hai Musa! Lihatlah, apakah perbendaharaanku melimpah, bukankah Aku Maha Penyayang? Jangan begitu. Namun Aku lebih tahu apa yang ada di hati mereka. Mereka berdoa kepadaKu dengan hati yang kosong dariKu, semata-mata condong pada dunia.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as, sedang berjalan berjumpa dengan seorang yang sujud di atas batu selama 300 tahun. Ia menangis dan air matanya menetes memenuhi sebuah wadah. Nabi Musa as, turut menangis karena kasihan padanya. “Oh Tuhanku, tidakkah Engkau kasihan padanya?”
Allah Swt, menjawab, “Aku memang tidak kasihan padanya.”
“Kenapa begitu Oh Tuhanku?”
“Karena qalbunya lebih senang pada selain Aku. Ia masih punya jubah yang disayang untuk menupi rasa panas dan dingin!” Jawab Allah Ta’ala.
Nabi Saw, bersabda, “Seorang hamba tidak akan pernah teguh amaliahnya sehingga qalbunya teguh, dan qalbunya tidak akan teguh sampai ucapannya teguh.” Bila qalbu hilang, ia kehilangan Rabbnya.
Nabi Saw, bersabda:
“Ingatlah sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging, manakala ia baik, maka seluruh jasad baik. Dan apabila ia buruk, buruk pula seluruh jasadnya. Ingatlah bahwa itu adalah qalbu.”
Allah Swt, berfirman kepada Nabi Musa as, “Hai Musa! Katakan kepada Bani Israel, jangan sampai mereka masuk ke dalam rumahKu kecuali dengan hati yang bersih, dan mata yang khusyu’, dengan badan yang bersih dan niat yang benar.”
Yahya bin Mu’adz ra, mengatakan, “Qalbu orang beriman itu adalah gumpalan yang berlobang, isinya adalah mutiara Robbani, di sekitarnya adalah taman Fardaniyah (penunggalan Ilahi), di bawahnya ada hamparan pencahayaan. Dan Allah Ta’ala memandangnya setiap saat dengan rahmat dan kasih sayangNya, dan menghadang apa pun yang membuatnya lalai antara hamba dan DiriNya.”
Allah Ta’ala berfirman: “Dan siapakah yang lebih menepati janjinya dibanding Allah?”
Dikatakan, bahwa kinerja qalbu itu sangat pelik, namun pengukuhan qalbu itu lebih berat lagi.
Ditanyakan kepada sebagian ahli ma’rifat, “Seorang hamba yang kehilangan qalbunya, kapan bakal menemukannya kembali?”
Dijawab, “Bila dalam qalbu itu turun Kebenaran Allah.” Masih ditanya, “Kapan turunnya?” Dijawab, “Makanala ia ia pergi meninggalkan selain Allah Ta’ala.”
Amaliah Qalbu itu berkisar 10 tangga:
• Al-Khatharat (intuisi terdalam)
• Ungkapan nafsu
• Hasrat
• Tafakur
• Kehendak
• Ridho
• Ikhtiar
• Niat
• Tekad
• Meraih tujuan hingga mencapai amaliah dzohir.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika mendapatkan intusi terdalam, ia berada di tangga Shiddiqin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan ucapan nafsu, maka ia berada di tangga Muqorrobin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berada dalam hasratnya, maka ia termasuk dalam tangga Awwabin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan tafakurnya, maka ia berada di tangga Mukhlishin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan cita-cita, maka ia berada 
di tangga Muridin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan ikhtiar maka ia berada 
di tangga Muttaqin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan niat, maka ia berada di tangga Zahidin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan Tekadnya, maka ia berada di tangga Munibin.
Maka, siapa yang teguh bagi Allah Swt, lalu menjaga kinerja amal qalbu ketika berhadapan dengan amaliah dzohir maka ia berada di tangga ‘Abidin dalam kalangan Muwahhidin.
Ishaq bin Ibrahim ra, mengatakan, “Bila hatimu bisa kembali kepada Allah Ta’ala sejenak saja, itu lebih baik dibanding segala hal yang dicahayai terbitnya matahari. Tak seorang pun yang bersih hatinya dari kotoran syahwat, dan membersihkan dari debu-debu kealpaan, serta menjernihkan dari keburaman penyimpangan, melainkan Allah Swt, akan menampakkan semuanya secara total.”
Bakr bin Abdullah ra, menafsiri ayat, “Dan ia datang dengan qalbu yang kembali”.
maksudnya yang berjalan dimuka bumi dengan fisiknya, sedangkan hatinya bergantung terus kepada Allah Ta’ala.
Abu Abdullah ra, ditanya, “Apakah Qalbun Salim itu?”
Beliau menjawab: “Qalbu yang putus dari kaitan-kaitan dunia, dipenuhi cinta kepada Tuhan, tidak mengeluh karena bencana, dan tidak terhalangi tirai perlindungan dan ketaqwaan.”
Disebutkan, “Siapa yang antara dirinya dengan Allah ta’ala tidak memiliki amaliah rahasia batin, maka ia tergolong buruk, walaupun kelihatannya baik. Dan siapa yang tidak melihat dunia dan akhirat adanya Kekuasaan Allah Ta’ala yang berjalan dan cepatnya takdir itu, ia tidak akan meraih amaliah qalbu.”
Abu Said al-Kharraz ra, mengatakan, “Ketahuilah bahwa alamiah qalbu adalah memperbaharui rahasia batin untuk menyendiri bersama Allah Ta’ala, dan mengaktifkan qalbu untuk menjaga dzikirnya sepanjang waktu disertai ruhani yang benar tanpa berpaling pada waktu dan kondisi ruhaninya itu sendiri.”
Abu Darda’ ra, berkata, “Allah mempunyai hamba-hamba, dimana qalbunya terbang kepada Allah Ta’ala karena rindunya, yang kecepatannya tidak bisa dilawan oleh kilat yang cepat sekalipun.”
Nabi Saw, bersabda, “Bukan karena banyaknya sholat Abu Bakr yang mendahului derajat kalian, juga bukan karena puasa, namun karena kebersamannya dengan Allah dan sejuk dalam qalbunya.”
Allah Ta’ala tidak menolak yang sedikit karena jumlah sedikitnya, juga tidak menerima yang banyak karena jumlah banyaknya. Namun Allah menerimanya dari kalangan orang yang taqwa (dengan ketaqwaannya).
Disebutkan, “Tidak benar maqom seseorang manakala masih ada gantungan qalbunya pada maqom itu. Namun orang yang benar adalah orang yang qalbunya bergantung kepada Sang Pemiliki Maqom belaka, hingga ia tidak melihat selain Allah Ta’ala ketika melihat Allah Ta’ala.”
Dikatakan, “Manakala amaliyah mengarah pada qalbu, seluruh badan istirahat.” Disebutkan pula, “Tidak akan ada aktivitas amal qalbu, kecuali bagi orang yang qalbunya bening, tidak lupa, sehat dan tidak luka, memandang tanpa cacat, sendiri tanpa kontra, mencari tanpa memburu, dekat tanpa asing, berakal sehat tanpa alpa, samawi tanpa semesta fisik, bersifat Arsy dan tanpa belantara.”
Penyendirian Qalbu hanya bagi Allah Ta’ala.
Tsabit an-Nasaj ra mengatakan, “Aku membaca Al-Qur’an bertahun-tahun penuh dengan rasa takut, namun aku tidak menemukan qalbuku. Lalu aku membacanya dengan penuh harapan, aku pun tidak menemukan qalbu. Lantas ketika aku membaca dengan qalbu yang sendiri dari segala hal selain Allah Ta’ala, pada saat itulah aku menemukan qalbuku. Dan ketika aku melihatnya, aku pun melihat adanya Wilayah Keagungan, Kebesaran Yang Agung dan Martabat yang Luhur.”
Allah Ta’ala berfirman dalam sebagian kitabNya: “Qalbu-qalbu itu di TanganKu, Cinta ada di Rahasia perbendaharanKu. Kalau bukan karena CintaKu pada hambaKu, pastilah hambaKu tak mampu mencintaiKu. Dan kalaulah bukan karena DzikirKu di zaman azali kepada hambaKu, ia tak bakal mampu berdzikir kepadaKu. Kalaulah bukan karena kehendakKu padanya di zaman Qadim dahulu, hambaKu tak akan bisa berkehendak padaKu.”
Dikatakan, “Seorang ‘arif sedang melihat seorang yang mengitari masjid, “Lalu ditanya, “Apa-apaan ini? Apa yang anda cari?”.
Ia menjawab, “Aku lagi mencari tempat yang sunyi untuk sholatku…” Sang ‘arif berkata, “Sunyikan hatimu dari segala hal selain Allah, dan sholatlah dimana pun anda berada semau anda.”
Disebutkan, “Menurut kadar menghadapmu kepada Allah Ta’ala, maka kedekatan qalbu terukur. Dan Allah Ta’ala tidak menampakkan di qalbu orang sang hamba, yang masih ada penglihatan selain Dia, melainkan justru Allah menyiksanya dan dibebankan kepada si hamba itu.” Yahya bin Mu’adz ra, berkata, “Qalbu ketika diletakkan di dunia, ia merana. Ketika diletakkan di akhirat ia hendak pergi. Ketika diletakkan di sisi Allah Swt, ia merasa baik.”
Dikatakan, “Dunia itu roboh, dan ada yang lebih roboh lagi, yaitu qalbu yang meramaikan dunia. Akhirat itu negeri keramaian, dan lebih ramai lagi adalah qalbu yang meraihnya.”
Disebutkan, “Jarak-jarak dunia bisa ditempuh dengan langkah kaki, sedangkan jarak-jarak akhirat hanya bisa ditempuh 
dengan qalbu.” Dikatakan, “Robohnya nafsu karena ramainya qalbu, dan ramainya nafsu merobohkan qalbu.”
Diantara pemilik qalbu sejati ditanya, “Kenapa anda tidak bicara?” Ia menjawab, “Qalbuku bicara.” Ditanya, “Dengan siapa?” , ia jawab, “Dengan Yang membolak-balik qalbu.

RUPAKU ADALAH RUPA TUHAN

Bertanya imam Ali kepada nabi : "YA RASUL, JIKA YG MENYEMBAH ITU TUBUH SERTA NYAWA DAN YG DISEMBAH ITU SIFAT KETUHANAN, JIKA DEMIKIAN SIFAT KETUHAN ITUKAH ALLAH,?"
---------------------------------
Jawab nabi : "YA ALI KETAHUILAH OLEHMU, ADAPUN ALLAH ITU HANYA SEBUAH NAMA ADANYA"
---------------------------------
Ali bertanya lagi : "JIKA SESEORANG ITU MENYEMBAH NAMA SAJA, APAKAH HUKUMNYA ORANG ITU?"
---------------------------------
Jawan nabi : "JIKA IA MENYEMBAH NAMA SAJA TIADA DENGAN ILMUNYA, SESAT SEMATA-MATA HUKUMNYA ORANG ITU"
---------------------------------
Ali bertanya : "YA RASUL BAGAIMANA PAHAMNYA MENGATAKAN ORANG ITU SESAT?"
---------------------------------
Jawab nabi : "BARANG SIAPA MENYEMBAH NAMA TIADA DENGAN MAKNA MAKA SESUNGGUHNYA IA TELAH KAFIR DAN LAGI BARANG SIAPA MENYEMBAH AKAN MAKNA MAKA SESUNGGUHNYA IA TELAH MUNAFIK DAN BARANG SIAPA MENYEMBAH AKAN NAMA DAN MAKNA MAKA SESUNGGUHNYA IA TELAH SYIRIK DAN BARANG SIAPA MENYEMBAH AKAN MAKNA DENGAN HAKIKAT DAN MARIFAT MAKA ITULAH MUKMIN YG SEBENARNYA DAN LAGI BARANG SIAPA MENINGGALKAN NAMA DAN MAKNA MAKA YAITULAH MARIFAT DARIPADA SEGALA MARIFAT ADANYA"
---------------------------------
Ali bertanya lagi : "YA RASUL BAGAIMANAKAH PAHAMNYA MENYEMBAH NAMA DAN HAKIKAT MARIFAT ITU? DAN BAGAIMANAKAH PAHAMNYA MENINGGALKAN NAMA DENGAN MAKNA ITU? HAMBA TIADA PAHAM YA JUNJUNGANKU"
---------------------------------
Sabda nabi : "KETAHUILAH OLEHMU YA ALI, JIKA AKU KHABARKAN KEPADAMU NISCAYA SEMPURNALAH SEKALIAN MUKMIN, ISLAM SEMUANYA"
---------------------------------
Ali kembali bertanya : "YA JUNJUNGANKU, KHABARKANLAH RAHASIA ITU KEPADA HAMBA"
---------------------------------
Sabda nabi : "YA ALI, BARANG SIAPA YANG MELIHATKU, IA MELIHAT AL HAQ" (shahih bukhari, kitab ta'bir halaman 72)
---------------------------------
Sabda nabi dalam hadist Qudsi : "MARRALHABBA FAQADRAL HAQ" Artinya sesungguhnya siapa yg melihat muka atau rupa, itulah wujud yg sebenarnya
---------------------------------
Wahai tuan...tiada gunanya engkau banyak cerita BAB ilmu ketuhanan ini pada kaum SYARIAT, dia pasti akan mendustakan engkau, dan mengatakan bahwa engkau itu BAHLOL, karna kaum SYARIAT itu adalah kaum yg MUNAFIK, sabda nabi : "ORANG MUNAFIK ADALAH ORANG YANG BANYAK MENCELA, DAN MERASA DIRINYA LEBIH BAIK DIBANDINGKAN SAUDARANYA" (HR. Tirmidzi)
---------------------------------
"Kaum SYARIAT itu merasa bisa tapi tidak bisa merasa, merasa sempurna tapi tidak sempurna merasa, merasa paling taat ibadah tapi tidak tahu kalau hakikatnya dia BODOH".

*NAFSU TERSEMBUNYI..*


Beberapa pakar sejarah Islam meriwayatkan sebuah kisah menarik, kisah Imam Ahmad bin Miskin, seorang ulama abad ke-3 dari kota Basrah, Iraq. Beliau bercerita:
Aku pernah diuji dengan kemiskinan pada tahun 219 Hijriyah.
Saat itu, aku sama sekali tidak memiliki apapun, sementara aku harus menafkahi seorang isteri dan seorang anak.
Lilitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-hari kami.
Maka aku bertekad untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Akupun berjalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku.
Bertemulah aku dengan sahabatku Abu Nashr dan kuceritakan keadaanku. Lantas, dia malah memberiku 2 lembar roti isi manisan dan berkata: “Berikan makanan ini kepada keluargamu.”
Di tengah perjalanan pulang,
aku berselisihan dengan seorang wanita faqir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku.
Dengan nada yang sayu dia memohon:
“Wahai Tuan, anak yatim ini belum makan, tak terdaya terlalu lama menahan rasa lapar yang melilit diri.
Tolong beri dia sesuatu yang boleh dia makan.
Semoga Allah Ta'ala merahmati Tuan.”
Sementara itu, si anak menatapku tekun dengan tatapan yang takkan kulupakan sepanjang hayat.
Tatapan matanya menghanyutkan fikiranku dalam khayalan ukhrawi, seolah-olah syurga turun ke bumi, menawarkan dirinya kepada siapapun yang ingin meminangnya, dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini.
Tanpa ragu sedetikpun, kuserahkan semua yang ada ditanganku. “Ambillah, beri dia makan”, kataku pada si ibu.
Demi Allah, padahal waktu itu tak sesen pun dinar atau dirham kumiliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat memerlukan makanan itu.
Spontan, si ibu tak dapat membendung air matanya(menangis) dan si kecilpun tersenyum indah bak purnama.
Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah kakiku,
sementara beban hidup terus bergelutan dipikiranku.
Sejenak, kusandarkan tubuh ini di sebuah dinding, sambil terus memikirkan rencanaku menjual rumah.
Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Abu Nashr dengan kegirangan mendatangiku.
“Hei, Abu Muhammad...!
Kenapa kau duduk duduk di sini sementara limpahan harta sedang memenuhi rumahmu?”, tanyanya.
"Masyaallah....!”,
jawabku terkejut.
“Dari mana datangnya?”
“Tadi ada lelaki datang dari Khurasan.
Dia bertanya-tanya tentang ayahmu atau siapapun yang punya hubungan kerabat dengannya.
Dia membawa berduyun-duyun kenderaan barang penuh berisi harta,” ujarnya.
“Jadi?”, tanyaku kehairanan.
“Dia itu dahulu saudagar kaya di Basrah ini. Kawan ayahmu,dulu ayahmu pernah memberikan kepadanya harta yang telah
ia kumpulkan selama 30 tahun.
Lantas dia rugi besar dan bangkrap.
Semua hartanya musnah, termasuk harta ayahmu.Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan.
Di sana, keadaan ekonominya beransur-ansur baik.
Bisnesnya meningkat jaya.
Kesulitan hidupnya perlahan-lahan pergi,
berganti dengan limpahan kekayaan.
Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu.
Maka sekarang, dia datang membawa seluruh harta hasil keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berniaga dan ingin berikan semuanya kepadamu,
berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya.”
Ahmad bin Miskin melanjutkan ceritanya:
“Kalimah puji dan syukur kepada Allah Ta'ala meluncur dari lisanku.
Sebagai bentuk syukur.
Segera kucari wanita faqir dan anaknya tadi.
Aku menyantuni dan menanggung hidup mereka seumur hidup.
Aku pun terjun di dunia perniagaan seraya menyibukkan diri dengan kegiatan sosial, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal solih.
Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah tanpa berkurang.
Tanpa sedar, aku merasa TAKJUB dengan amal solihku.
Aku MERASA, telah MENGUKIR lembaran catatan malaikat dengan hiasan AMAL KEBAIKAN. Ada semacam HARAPAN PASTI dalam diri, bahawa namaku mungkin telah TERTULIS di sisi Allah Ta'ala dalam daftar orang orang SOLIH.
Suatu malam, aku tidur dan bermimpi.
Aku lihat, diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat.
Aku juga lihat, manusia bagaikan berombak lautan.
Aku juga lihat, badan mereka membesar.
Dosa-dosa pada hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memikul dosa-dosa itu masing-masing di punggungnya.
Bahkan aku melihat, ada seorang pendosa yang memikul di punggungnya beban besar seukuran kota Basrah,
isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal yang menghinakan.
Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku untuk perhitungan amal.
Seluruh amal burukku diletakkan di salah satu sisi timbangan,
sedangkan amal baikku di sisi timbangan yang lain.
Ternyata, amal burukku jauh lebih berat daripada amal baikku..!
Tapi ternyata, perhitungan belum selesai.
Mereka mulai meletakkn satu persatu berbagai jenis amal baik yang pernah kulakukan.
Namun alangkah ruginya aku.
Ternyata dibalik semua amal itu terdapat "NAFSU TERSEMBUNYI".
Nafsu tersembunyi itu adalah riya', ingin dipuji, merasa bangga dengan amal solih.
Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tidak ada satupun amalku yang terlepas dari nafsu-nafsu itu.Aku putus asa.
Aku yakin aku akan binasa.
Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari seksa neraka.
Tiba-tiba, aku mendengar suara,
“Masihkah orang ini punya amal baik?”
“Masih...”,
jawab suara lain. “Masih berbaki ini.”
Aku pun menjadi tidak tentu, amal baik apakah gerangan yang masih berbaki?
Aku berusaha melihatnya.
Ternyata, itu HANYALAH dua LEMBAR ROTI isi manisan yang pernah kusedekahkan kepada wanita fakir dan anaknya.
Habis sudah harapanku...
Sekarang aku benar benar yakin akan binasa sebinasanya.
Bagaimana mungkin dua lembar roti ini menyelamatkanku,
sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah dan itu tidak berguna sedikit pun.
Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan.
Segera 2 lembar roti itu diletakkan di timbanganku.
Tak kusangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak
turun sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun sehingga lebih berat sedikit dibandingkan timbangan keburukkanku.
Tak sampai disitu, tenyata masih ada lagi amal baikku.
Iaitu berupa AIR MATA wanita faqir itu yang mengalir saat aku berikan sedekah.
Air mata tak terbendung yang mengalir kala tersentuh akan kebaikanku. Aku, yang kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya dibanding keluargaku.
Sungguh tak terbayang, saat air mata itu diletakkan, ternyata timbangan baikku semakin turun dan terus memberat.
Hingga akhirnya aku mendengar suatu suara berkata,
“Orang ini selamat dari seksa neraka...!
Masih adakah terselit dalam hati kita nafsu ingin dilihat hebat oleh orang lain pada ibadah dan amal-amal kita..????!!!
*Payahnya IKHLAS*😭😭
Allahuakbar!!!aku bermohon kehadrat Allah Tuhan Pemilik Hari Pembalasan agar diriku,keturunanku juga sahabat²ku semua dijauhkan dari sifat dan juga amal dari Nafsu Yang Tersembunyi.
Sumber tazkirah telah kupetik dari kitab"KISAH TAULADAN"
"Ar-Rafi’i dalam Qalam (2/153-160)".
semoga bersama kita beroleh manfaat.
Selamat beramal dan beristiqomah
Semoga kita amalkan dan sampaikan kpd orang lain...
IKHLASKAN DIRI KERANA ALLAHswt..
*Pesan Pada Hati**NAFSU TERSEMBUNYI..*
Beberapa pakar sejarah Islam meriwayatkan sebuah kisah menarik, kisah Imam Ahmad bin Miskin, seorang ulama abad ke-3 dari kota Basrah, Iraq. Beliau bercerita:
Aku pernah diuji dengan kemiskinan pada tahun 219 Hijriyah.
Saat itu, aku sama sekali tidak memiliki apapun, sementara aku harus menafkahi seorang isteri dan seorang anak.
Lilitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-hari kami.
Maka aku bertekad untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Akupun berjalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku.
Bertemulah aku dengan sahabatku Abu Nashr dan kuceritakan keadaanku. Lantas, dia malah memberiku 2 lembar roti isi manisan dan berkata: “Berikan makanan ini kepada keluargamu.”
Di tengah perjalanan pulang,
aku berselisihan dengan seorang wanita faqir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku.
Dengan nada yang sayu dia memohon:
“Wahai Tuan, anak yatim ini belum makan, tak terdaya terlalu lama menahan rasa lapar yang melilit diri.
Tolong beri dia sesuatu yang boleh dia makan.
Semoga Allah Ta'ala merahmati Tuan.”
Sementara itu, si anak menatapku tekun dengan tatapan yang takkan kulupakan sepanjang hayat.
Tatapan matanya menghanyutkan fikiranku dalam khayalan ukhrawi, seolah-olah syurga turun ke bumi, menawarkan dirinya kepada siapapun yang ingin meminangnya, dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini.
Tanpa ragu sedetikpun, kuserahkan semua yang ada ditanganku. “Ambillah, beri dia makan”, kataku pada si ibu.
Demi Allah, padahal waktu itu tak sesen pun dinar atau dirham kumiliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat memerlukan makanan itu.
Spontan, si ibu tak dapat membendung air matanya(menangis) dan si kecilpun tersenyum indah bak purnama.
Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah kakiku,
sementara beban hidup terus bergelutan dipikiranku.
Sejenak, kusandarkan tubuh ini di sebuah dinding, sambil terus memikirkan rencanaku menjual rumah.
Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Abu Nashr dengan kegirangan mendatangiku.
“Hei, Abu Muhammad...!
Kenapa kau duduk duduk di sini sementara limpahan harta sedang memenuhi rumahmu?”, tanyanya.
"Masyaallah....!”,
jawabku terkejut.
“Dari mana datangnya?”
“Tadi ada lelaki datang dari Khurasan.
Dia bertanya-tanya tentang ayahmu atau siapapun yang punya hubungan kerabat dengannya.
Dia membawa berduyun-duyun kenderaan barang penuh berisi harta,” ujarnya.
“Jadi?”, tanyaku kehairanan.
“Dia itu dahulu saudagar kaya di Basrah ini. Kawan ayahmu,dulu ayahmu pernah memberikan kepadanya harta yang telah
ia kumpulkan selama 30 tahun.
Lantas dia rugi besar dan bangkrap.
Semua hartanya musnah, termasuk harta ayahmu.Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan.
Di sana, keadaan ekonominya beransur-ansur baik.
Bisnesnya meningkat jaya.
Kesulitan hidupnya perlahan-lahan pergi,
berganti dengan limpahan kekayaan.
Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu.
Maka sekarang, dia datang membawa seluruh harta hasil keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berniaga dan ingin berikan semuanya kepadamu,
berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya.”
Ahmad bin Miskin melanjutkan ceritanya:
“Kalimah puji dan syukur kepada Allah Ta'ala meluncur dari lisanku.
Sebagai bentuk syukur.
Segera kucari wanita faqir dan anaknya tadi.
Aku menyantuni dan menanggung hidup mereka seumur hidup.
Aku pun terjun di dunia perniagaan seraya menyibukkan diri dengan kegiatan sosial, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal solih.
Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah tanpa berkurang.
Tanpa sedar, aku merasa TAKJUB dengan amal solihku.
Aku MERASA, telah MENGUKIR lembaran catatan malaikat dengan hiasan AMAL KEBAIKAN. Ada semacam HARAPAN PASTI dalam diri, bahawa namaku mungkin telah TERTULIS di sisi Allah Ta'ala dalam daftar orang orang SOLIH.
Suatu malam, aku tidur dan bermimpi.
Aku lihat, diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat.
Aku juga lihat, manusia bagaikan berombak lautan.
Aku juga lihat, badan mereka membesar.
Dosa-dosa pada hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memikul dosa-dosa itu masing-masing di punggungnya.
Bahkan aku melihat, ada seorang pendosa yang memikul di punggungnya beban besar seukuran kota Basrah,
isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal yang menghinakan.
Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku untuk perhitungan amal.
Seluruh amal burukku diletakkan di salah satu sisi timbangan,
sedangkan amal baikku di sisi timbangan yang lain.
Ternyata, amal burukku jauh lebih berat daripada amal baikku..!
Tapi ternyata, perhitungan belum selesai.
Mereka mulai meletakkn satu persatu berbagai jenis amal baik yang pernah kulakukan.
Namun alangkah ruginya aku.
Ternyata dibalik semua amal itu terdapat "NAFSU TERSEMBUNYI".
Nafsu tersembunyi itu adalah riya', ingin dipuji, merasa bangga dengan amal solih.
Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tidak ada satupun amalku yang terlepas dari nafsu-nafsu itu.Aku putus asa.
Aku yakin aku akan binasa.
Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari seksa neraka.
Tiba-tiba, aku mendengar suara,
“Masihkah orang ini punya amal baik?”
“Masih...”,
jawab suara lain. “Masih berbaki ini.”
Aku pun menjadi tidak tentu, amal baik apakah gerangan yang masih berbaki?
Aku berusaha melihatnya.
Ternyata, itu HANYALAH dua LEMBAR ROTI isi manisan yang pernah kusedekahkan kepada wanita fakir dan anaknya.
Habis sudah harapanku...
Sekarang aku benar benar yakin akan binasa sebinasanya.
Bagaimana mungkin dua lembar roti ini menyelamatkanku,
sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah dan itu tidak berguna sedikit pun.
Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan.
Segera 2 lembar roti itu diletakkan di timbanganku.
Tak kusangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak
turun sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun sehingga lebih berat sedikit dibandingkan timbangan keburukkanku.
Tak sampai disitu, tenyata masih ada lagi amal baikku.
Iaitu berupa AIR MATA wanita faqir itu yang mengalir saat aku berikan sedekah.
Air mata tak terbendung yang mengalir kala tersentuh akan kebaikanku. Aku, yang kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya dibanding keluargaku.
Sungguh tak terbayang, saat air mata itu diletakkan, ternyata timbangan baikku semakin turun dan terus memberat.
Hingga akhirnya aku mendengar suatu suara berkata,
“Orang ini selamat dari seksa neraka...!
Masih adakah terselit dalam hati kita nafsu ingin dilihat hebat oleh orang lain pada ibadah dan amal-amal kita..????!!!
*Payahnya IKHLAS*😭😭
Allahuakbar!!!aku bermohon kehadrat Allah Pemilik Hari Pembalasan agar diriku,keturunanku juga sahabat²ku semua dijauhkan dari sifat dan juga amal dari Nafsu Yang Tersembunyi.
Sumber tazkirah telah kupetik dari kitab"KISAH TAULADAN"
"Ar-Rafi’i dalam Qalam (2/153-160)".
semoga bersama kita beroleh manfaat.
Selamat beramal dan beristiqomah
Semoga kita amalkan dan sampaikan kpd orang lain...
IKHLASKAN DIRI KERANA ALLAHswt..
*Pesan Pada Hati*