Laman

Rabu, 17 Juli 2013

PERJALANAN HAMBA ALLAH Abu Bakar Ash-Shiddiq II

Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, dia memerintahkan Umar untuk mengurusi urusan haji kaum muslimin. Barulah pada tahun berikutnya Abu Bakar menunaikan haji. Sedangkan untuk ibadah umrah, beliau lakukan pada bulan Rajab tahun 12 H. Dia memasuki kota Makkah sekitar waktu dhuha dan langsung menuju rumahnya. Pada waktu itu, Abu Quhafah -ayah beliau- sedang duduk di depan pintu rumahnya. Dia ditemani oleh beberapa orang pemuda yang sedang berbincang-bincang dengannya. Lalu dikatakan kepada Abu Quhafah, “Ini putramu (telah datang)!”

Maka, Abu Quhafah berdiri dari tempatnya. Abu Bakar bergegas menyuruh untanya untuk bersimpuh. Dia turun dari untanya ketika unta itu belum sempat bersimpuh dengan sempurna sambil berkata, “Wahai ayahku, janganlah Anda berdiri!” Lalu Abu Bakar memeluk Abu Quhafah dan mengecup keningnya. Tentu saja Abu Quhafah menangis sebagai luapan rasa bahagia dengan kedatangan putranya tersebut.

Setelah itu, datanglah beberapa tokoh kota Makkah seperti Attab bin Usaid, Suhail bin Amru, Ikrimah bin Abi Jahal, dan Al Harits bin Hisyam. Mereka semua mengucapkan salam kepada Abu Bakar, “Assalaamu'alaika, wahai khalifah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam!” Mereka semua menjabat tangan Abu Bakar. Lalu Abu Quhafah berkata, “Wahai Atiq (julukan untuk Abu Bakar), mereka itu adalah orang-orang (yang baik). Oleh karena itu, jalinlah persahabatan yang baik dengan mereka!” Abu Bakar berkata, “Wahai ayahku, tidak ada daya dan kekuatan kecuali hanya dengan pertolongan Allah. Aku telah diberi beban yang sangat berat, tentu saja aku tidak akan memiliki kekuatan untuk menanggungnya kecuali hanya dengan pertolongan Allah.” Lalu Abu Bakar berkata, “Apakah ada orang yang akan mengadukan sebuah perbuatan zhalim?” Ternyata tidak ada seorang pun yang datang kepada Abu Bakar untuk melaporkan sebuah kezhaliman. Semua orang malah menyanjung pemimpin mereka tersebut.

Beberapa Khutbah dan Petuah Abu Bakar
Dari Hisyam bin Urwah, 23) dari ayahnya, dia berkata: Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, dia berkhutbah di hadapan khalayak. Dia mengucapkan kalimat pujian dan sanjungan kepada Allah sebagai Dzat yang memang layak untuk menerimanya. Setelah itu dia berkata, “Amma ba'du, wahai sekalian manusia, aku telah (dipilih) untuk menangani urusan kalian semua. Namun bukan berarti aku adalah orang yang paling baik di antara kalian. Akan tetapi Allah telah menurunkan Al Qur'an dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan beberapa ajaran Sunnah. Dialah yang mengajarkan hal itu kepada kita. Ketahuilah, sesungguhnya kepandaian yang paling tinggi tingkatannya adalah dengan bertakwa, dan kedunguan yang paling tinggi tingkatannya adalah dengan melakukan hal-hal yang aniaya! Sesungguhnya orang yang paling kuat di antara kalian adalah orang yang lemah di mataku, sehingga aku akan mengambil haknya untuk (kebahagian hidup)nya. Sebaliknya, orang yang paling lemah di antara kalian adalah orang yang kuat di mataku, sehingga aku akan memberikan hak untuknya. Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku hanyalah seorang yang diikuti dan bukan orang yang akan membuat bid'ah. Jika aku memang berbuat baik, maka tolonglah aku! Jika aku menyimpang, maka luruskanlah aku!”

Dari Abdullah bin 'Akim, dia berkata: Abu Bakar telah berkhutbah di hadapan kita semua sebagai berikut, 'amma ba'du, sesungguhnya aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah dan menuji-Nya sebagai Dzat yang memang layak mendapatkan pujian. Hendaklah kalian memadukan antara perasaan harap dan cemas. Hendaklah kalian juga memohon kepada Allah dengan sangat serius. Sesungguhnya Allah telah memuji Zakaria dan keluarganya melalui firman-Nya, 'Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami'. (QS.Al Anbiyaa'(21):90)

Ketahuilah wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya Allah telah menggadaikan jiwa kalian dengan hak-Nya. Dia akan menagih hal itu dengan janji kalian. Ternyata di antara kalian ada yang lebih memilih untuk membeli sesuatu yang sedikit lagi fana dengan sesuatu yang banyak lagi kekal. Ini adalah kitab Allah yang ada di tengah-tengah kalian. Keajaibannya tidak akan pernahpadam. Oleh karena itu, percayailah firman-Nya, berikanlah nasehat dengan kandungan kitab itu, serta carilah pelita penerang dengannya pada hari kiamat nanti! Sesungguhnya kalian diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia telah mewakilkan kalian pada malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan. Mereka akan mengetahui semua tindak tanduk kalian.

Masa Sakit dan Wafatnya Abu Bakar
Dari Ibnu Hisyam,bahwa Abu Bakar dan Al Harits bin Kaladah pernah memakan makanan yang bernama harirah, yang dihadiahkan kepada Abu Bakar. Lalu Al Harits berkata kepada Abu Bakar, “Angkatlah (tanganmu), wahai khalifah Rasulullah! Demi Allah, sesungguhnya dalam makanan itu terdapat racun. Aku dan dirimu akan mati pada hari yang sama.” Lalu Abu Bakar mengangkat tangannya (untuk menyudahi makannya). Ternyata, keduanya sama-sama jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dunia (pada hari yang sama pula), tepatnya di penghujung tahun.” 24)

Dari Abdurrahman bin Abdillah bin Sabith, dia berkata: Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq mengalami sakaratul maut,maka dia memanggil Umar. Lalu Abu Bakar berkata, “Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai Umar! Ketahuilah, sesungguhnya Allah memiliki sebuah amalan yang dikerjakan pada siang hari sehingga tidak akan diterima apabila dikerjakan pada malam hari. Begitu juga sebaliknya, Allah memiliki amalan yang dikerjakan pada malam hari sehingga tidak akan diterima apabila dikerjakan pada siang hari. Allah tidak akan menerima amalan sunah sampai kefardhuan-Nya ditunaikan terlebih dahulu. Bobot neraca seseorang akan berat pada hari kiamat hanya dengan cara mengikuti hal-hal yang benar ketika di dunia. Sesuatu yang benar akan menjadi berat apabila diletakkan di atas neraca timbangan amal. Namun bobot neraca akan ringan apabila ditumpuki kabatilan.

Sesungguhnya Allah Ta'ala mengingat para penghuni surga melalui amal baik mereka dan upaya mereka menjauhi keburukan. Jika aku mengingat para ahli surga, maka aku sangat khawatir kalau tidak termasuk dalam golongan mereka. Sesungguhnya Allah juga akan mengingat penduduk neraka melalui amal perbuatan buruk mereka. Jika aku telah mengingat para penghuni neraka, maka sesungguhnya aku berharap tidak termasuk golongan mereka. Hendaklah seorang senantiasa merasa harap cemas. Janganlah dia hanya berangan-angan mengenai Allah (tanpa beramal apapun). Hendakalah dia juga tidak putus asa terhadap rahmat Allah. Jika kamu memelihara wasiatku ini, maka tidak ada sebuah perkara gaib yang paling kamu sukai melebihi kematian. Sebab, dia pasti akan mendatangimu. Jika kamu sampai menyia-nyiakan wasiatku, maka tidak ada perkara gaib yang paling kamu benci melebihi kematian, dan kamu tidak akan bisa mengelak darinya.” 25)

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata: Ketika Abu Bakar jatuh sakit yang akhirnya menyebabkannya meninggal dunia, maka dia berkata, “Periksalah harta milikku, apa yang masih lebih semenjak aku menjabat sebagai khalifah! Kalau memang ada hartaku yang lebih, maka kirimkanlah kepada khalifah yang akan menjabat setelah aku!” Maka kami memeriksa harta miliknya. Ternyata kami menemukan seorang hamba yang biasa mengasuh anaknya dan seekor hewan tunggangan yang dipergunakan untuk menyiram kebunnya. Maka kami menyerahkan kedua harta itu kepada Umar.

Aisyah berkata, “Aku diberi kabar oleh kakekku bahwa Umar menangis (ketika menerima harta tersebut). Lalu Umar berkata, 'Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Abu Bakar. Dia telah memberikan contoh yang sangat sulit bagi para penggantinya'.”

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata: Ketika sedang mengalami sakaratul maut, Abu Bakar duduk sambil mengucapkan kalimat syahadat. Kemudian dia berkata, “amma ba'du, wahai putriku, sesungguhnya orang yang paling aku sukai kekayaannya sepeninggalku adalah dirimu. Sesungguhnya orang yag paling mulia kefakirannya sepeninggalku adalah dirimu. Aku telah meninggalkan untukmu buah kurma sebanyak dua puluh wasaq. Demi Allah, aku ingin kamu mengumpulkannya! Sesungguhnya harta itu juga menjadi milik dua saudara laki-laki dan dua orang saudara perempuanmu.”

Aisyah berkata, “Aku berkata, 'Ini memang dua saudara laki-lakiku. Lalu, siapakah saudara perempuanku (selain Asma')?' Abu Bakar menjawab, 'Anak yang ada di dalam kandungan Kharijah, karena aku menduganya akan terlahir sebagai anak perempuan'.”

Di dalam sebuah riwayat disebutkan dengan menggunakan redaksi, “Telah terlintas dalam hatiku bahwa anak itu akan terlahir sebagai anak perempuan.” Lalu terbukti lahirlah anak perempuan, yakni Ummu Kultsum. 26) Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata: Ketika sakit Abu Bakar semakin parah, maka dia berkata, “Ini hari apa?” Kami menjawab, “Hari Senin.” Abu Bakar berkata lagi, “Sesungguhnya aku berharap aku meninggal dunia maksimal pada malam ini.”

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Di atas tubuh Abu Bakar ada pakaian yang terdapat bekas parfum dari bahan misik. Maka Abu Bakar berkata, 'Jika aku meninggal dunia nanti, basuhlah pakaianku ini kemudian gabung dengan dua kain baru yang lain. Kafanilah tubuhku dengan ketiga kain tersebut!' Maka kami berkata, 'Apakah tidak lebih baik kita menyediakan tiga lembar kain yang baru semua?' Abu Bakar menjawab, 'Tidak, karena pakaian yang lama akan terkena nanah yang mengalir di badan (kalau jenazahku sudah dimakamkan nanti)'. Ternyata Abu Bakar meninggal pada mala Selasa.” (HR. Bukhari) 27)

Menurut para ulama ahli sejarah, Abu Bakar radhiyallahu 'anhu meninggal dunia pada malam Selasa, tepatnya antara waktu maghrib dan isya pada tanggal 8 Jumadil Awal 13 H. Usia beliau ketika meninggal dunia adalah 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma' binti Umais, istri beliau. Maka, Asma' memandikan jenazahnya kemudian dikebumikan di samping makam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Umar menshalati jenazahnya di antara makam Nabi dan mimbar. Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman, Umar, Utsman, dan Thalhah bin Ubaidillah. 28)

1) Dari Urwah bin Az-Zubair,dia berkata, “Nama Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka'ab A. Riwayat yang berasal dari Aisyah bahwa dia pernah ditanya,”Mengapa Abu Bakar diberi nama Atiq (orang yang dibebaskan)?” Dia menjawab, “Karena Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sa sallam telah melihatnya, “Lalu beliau (bersabda,”Haadza 'atiiqullaahi minan-nar (artinya: ini adalah orang yang dibebaskan Allah dari Neraka).”
B. Nama Atiq adalah nama yang diberikan oleh ibu beliau. Pendapat ini dikemukakan oleh Musa bin Thalhah
C. Atiq (artinya:sesuatu yang sangat menakjubkan). Dinamakan seperti itu karena wajah beliau sangat tampan. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Laitsi bin Sa'ad. Ibnu Qutaibah berkata, Nabi Shallallohu 'alaihi wa sa sallam memberi julukan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq dengannama Atiq dilatarbelakangi ketampanan wajahnya. Bahkan Nabi Shallallohu 'alaihi wa sa sallam juga memberinya gelar Ash-Shiddiq. Rasulullah sendiri pernah bersabda,' sepeninggalku nanti akan ada 12 kekhilafahan. Abu Bakar Ash-Shiddiq akan memerintah dalam waktu yang tidak begitu lama.' ((Hadits ini berkualitas hasan dan diriwayatkan oleh Abul Qasim Al baghawi. Hadits ini juga telah dianggap hasan oleh Al Hafizh As-Suyuthi. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani(I/12,142) dalam kitab Al Ausath. Al Haitsami berkata, “Di dalam rangkaian sanad hadits ini terdapat perawi yang bernama Mathlab bin Syu'aib.” Ibnu Adi berkata, “Aku tidak pernah melihatnya meriwayatkan hadits mungkar kecuali hanya pada hadits ini.” Sedang-kan perawi yang lainnya termasuk orang-orang yang tsiqah. Lihat kitab Al Majma'(V/178), juga kitab Al Kamil karya Ibnu Adi (IV/1542)
2) Keterangan ini berasal dari hakim bin Sa'ad, dia berkata, “Aku telah mendengar Ali bersumpah dengan nama Allah bahwa Dia menurunkan dari langit nama Ash-Shiddiq untuk Abu Bakar.” Al Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan para perawi yang tsiqah.” Lihat kitab Al Majma'(IX/41).
3) Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, dia berkata, “Aku bertanya kepada Anas mengenai daun pacar yang dikenakan Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sa sallam. Maka dia berkata, “sesungguhnya Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sa sallam tidak memiliki uban dikepalanya kecuali hanya sedikit. Berbeda dengan Abu Bakar dan Umar yang memiliki banyak uban sehingga keduanya mewarnai rambutnya dengan daun pacar atau daun katam. Setelah Fathu makkah, Abu Bakar pernah datang dengan ayahnya, yakni Abu Quhafah, untuk menghadap Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sa sallam. Dia mempersilakan ayahnya untuk duduk dihadapan beliau. Maka, Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sa sallam bersabda kepada Abu bakar, 'Andai kamu mempersilakan orangtuamu untuk duduk dirumahnya, pasti aku akan datang kepadanya sebagai bentuk penghormatanku kepada Abu Bakar'. Akhirnya Abu Quhafah memeluk agama Islam, sedangkan rambut kepala dang jenggotnya sudah putih semua seperti bunga tsaghamah yang berwarna putih. Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sa sallam bersabda,'Ubahlah warna rambut itu dan hindarilah pewarna hitam!' Al Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya'la dan Al Bazzar. Ujung hadits ini juga disebutkan dalam kitab As-shahih. Sedangkan para perawi Ahmad merupakan orang-orang yang telah meriwayatkan hadits shahih.” Lihat kitab Al Majma'(V/159-160).
4) Diriwayatkan dari Muawiyah, dia berkata, “Aku bersama ayahku berkunjung kerumah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lalu aku melihat Asma' berdiri dihadapan beliau, sedangkan rambut Abu Bakar sudah putih semua. Aku benar-benar melihat Abu Bakar sebagai seorang yang telah beruban dan berperawakan kurus. Dia menaikanku dan ayahku keatas dua ekor kuda. Kemudian kami pamit kepadanya, dan diapun mempersilakan kami untuk pergi.” Al Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan para perawi yang biasa meriwayatkan didalam kitab Ash-Shahih.”Lihat Al majma'(IX/4shallallahu 'alaihi wa sallam2
5) Al Hafizh berkata, “Jumhur ulama sepakat bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama kali memeluk agama Islam dari kalangan laki-laki dewasa.” Lihat Fathul Bari (VII/207) Ibnu Asakir meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang baik dari Muhammad bin Sa'ad bin Abi Waqash, bahwa dia berkata kepada ayahnya,”Apakah Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan orang yang pertama kali masuk Islam diantara kalian?” Sa'ad menjawab, “Tidak, akan tetapi ada sekitar lima orang yang memeluk Islam lebih dahulu dibandingkan dia. Hanya saja dia memang orang yang kualitas Islamnya paling bagus diantara kita.” Ibnu Katsir berkata, “Yang jelas, anggota keluarga Rasulullah adalah orang-orang yang memeluk Islam lebih awal dibandingkan orang lain. Mereka itu adalah istri beliau Khadijah, hamba sahaya beliau yang bernama Zaid, istri Zaid yang bernama Ummu Aiman, kemudian Ali dan Waraqah.
6) Menurutku, hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitasamah dengan kualitas sanad yang shahih dari Zaid bin Arqam, dia berkata, “Orang yang pertamakali mengerjakan shalat bersama Nabi Shallallohu 'alaihi wa sa sallam adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Ath-Thabrani juga menyebutkan riwayat yang telah disebutkan oleh penulis diatas. Hanya saja kualitas hadits tersebut tergolong sangat dha'if. Di dalam rangkaian sanad-nya terdapat Al Haitsam binAdi. Dia adalah perawi yang matruk, shallallahu 'alaihi wa sallamsebagaimana disebutkan oleh Al Haitsami dalam kitab Al Majma'(IX/43).
7) Menurutku (muhaqiq), kisah ini sebetulnya berasal dari Imam Bukhari yang disebutkan di dalam kitab Shahihnya (3856). Sedangkan redaksi cerita yang disebutkan oleh Imam Ibnu Jauzi diatas bersumber dari riwayat Abu Ya'la dengan kualitas sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana di katakan oleh Al Hafizh di dalam kitab Al Fath (VII/207). Al Hafizh telah memberitakan komentar tentang kisah ini di dalam kitab Fathul Bari sebagai berikut: Abu Ya'la dan Al Bazzar meriwayatkan dengan kualitas sanad yang shahih dari sahabat Anas radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Orang-orang Quraisy sempat memukul Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sekali sehingga beliau sampai tidak sadarkan diri.” Lalu Abu Bakar berdiri sembari menyeru, “Sungguh celaka kalian semua. Apakah kalian akan membunuh seoraung laki-laki yang telah mengatakan 'Tuhanku adalah Allah'?” Lalu orang-orang meninggalkan Rasulullah dan ganti menghampiri Abu Bakar. Riwayat ini tergolong riwayat marasilush-shahabah (riwayat mursal yang dikemukakan oleh sahabat).
8) Hadits ini berkualitas shahih dan diriwayatkan oleh Abu Daud (1678) dari riwayat Ahmad bin Shalih dan Utsman bin Abi Syaibah. Tirmidzi juga menyebutkan hadits ini di dalam kitab Al Manaqib (3675) dari Harun bin Abdillah. Ketiga perawi hadits ini mendapatkan riwayat hadits ini dari Abu Nu'aim Al Fadhl bin Dakin, dari Hisyam bin Sa'ad. Sedangkan Tirmidzi sendiri telah berkata, “Hadits ini berkualitas hasan shahih.”
9) Diriwayatkan dari Urwah, dia berkata, “Abu Bakar telah memerdekakan tujuh orang yang disiksa karena telah beriman kepada Allah. Di antaranya adalah Bilal dan Amir bin Fuhairah.” Al Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani. Sedangkan para perawi hadits ini sampai dengan mata rantai. Urwah adalah orang-orang yang meriwayatkan di dalam kitab Ash-Shahih.” Lihat kitab Al Majma' (IX/50). Menurutku, hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.
10) Imam As-Suyuthi berkata di dalam kitab Al Awwaliyat: Di antara keutamaan yang dimiliki Abu Bakar adalah ia orang yang pertama kali memeluk agama Islam, orang yang pertama kali mengkodifikasikan Al Qur'an, orang yang pertama kali menamakan lembaran Al Qur'an dengan istilah mushaf dengan disertai dalil atas hal tersebut, dan sebagai orang yang pertama kali disebut dengan khalifah. Ahmad meriwayatkan dari Abu Bakar bin Abi Mulaikah, dia berkata, “Abu Bakar pernah ditanya, 'Wahai khalifatullah (wakil Allah)!' Maka Abu Bakar radhiyallahu 'anhu berkata, 'Aku adalah khalifatun-Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (wakil Nabi), dan aku ridha terhadap beliau'.”
11) Lihat dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam (I/250
12) Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (466, 3654) dan Muslim (Fadha'ilush-Shahabah/2) pada bab “Min Fadha'ili Abi Bakrinish-Shiddiq radhiyallahu 'anhu (keutamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq)”.
13) Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (3142, 4321).
14) Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (684) dan Muslim (Ash-Shalah/shalat, 102) pada bab “Taqdimul Jama'ah Man Yushalli Bihim Idza Ta'akhkhar al Imamu wa lam Yakhaafu Mafsadatan bit-Taqdim”.
15) Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (713) dan Muslim (Ash-Shalah/95) pada bab “Istikhlaful Imaami Innamaa 'Uridha Lahu 'Udzrun min Maradhin wa Safarin wa Ghairihimaa Man Yushallii bin-Naas wa Anna Man Shallaa Khalfa Imaamin Jaalisin Li'aj-zihi 'Anil Qiyaam Lazimahul Qiyaami Idzaa Qadara 'Alaihi wa Naskhul Qu'uudi Khalfal Qaa'id fi Haqqi Man Qadara 'Alal Qiyaam”.
16) Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (II/253), Tirmidzi (3661), Ibnu Majah (94), Ibnu Hibban (2161), Ath-Thahawi di dalam Musykilul Atsar (II/230-231), Ibnu Abi Ashim dalam kitab As-Sunnah (II/577), dan Ath-Thahawi dalam kitab Syarhu Ma'a-nil Atsar (IV/158). Hadits ini juga dianggap shahih oleh Syaikh Al Albani. Lihat kitab Musykila-tul Faqr (13).
17) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (3659).
18) Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (3671).
19) menurutku, ini merupakan ungkapan yang mencerminkan sikap tawadhu yang sangat tinggi.
20) Menurutku, hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad, dari Ibnu Sirin. Dia berkata, “Tidak ada seseorang yang lebih tahu tentang sesuatu yang tidak dia ketahui (status kehalalannya) melebihi Abu Bakar. Tidak ada seorang pun setelah Abu Bakar yang lebih takut terhadap sesuatu yang tidak dia ketahui (status kehalalannya) melebihi Umar. Sesungguhnya apabila terjadi suatu permasalahan yang menimpa Abu Bakar, lalu dia tidak menjumpai dalilnya di dalam Al Qur'an maupun Sunnah, maka dia akan berkata,'Aku akan berijtihad melalui rasioku. Jika memang hasilnya benar, maka hal itu berasal dari Allah. Namun jika ternyata salah, maka hal itu berasal dari pribadiku, dan aku pun memohon ampun kepada Allah'.”
21) Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad. Kisah dalam hadits ini sebenarnya telah disebutkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Ash-Shahih (3667) dari riwayat Aisyah radhiyallahu 'anha -istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam- bahwa nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah meninggal dunia sedangkan Abu Bakar berada di daerah Sunh. (Menurut Ismail, Sunh adalah kawasan dataran tinggi) Lalu Umar berdiri sambil berkata, “Demi Allah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meninggal dunia.” Umar juga berkata, “Demi Allah, yang terlintas dalam benakku pada waktu itu bahwa Rasulullah diutus oleh Allah untuk memotong tangan dan kaki orang-orang (kafir sampai habis).”
22) Menurutku, Ibnu Asakir meriwayatkan keterangan ini dari Aniah. Dia berkata, “Abu Bakar berada di tengah-tengah kita selama setahun sebelum diangkat sebagai khalifah, dan setahun setelah beliau menjabat sebagai khalifah. Ketika itu kaunm perempuan desa itu datang dengan membawa kambing mereka kepada Abu Bakar, sebab Abu Bakar menerima jasa memerahkan susu kambing.”
23) Menurutku, ucapan Abu Bakar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Sa'ad dan Al Khathib pada riwayat milik Malik yang berasal dari Urwah. Malik berkata, “Tidak ada seorang pun yang diangkat jadi imam, kecuali dia harus memenuhi persyaratan ini. Maksudnya, persyaratan yang telah disebutkan oleh Abu Bakar radhiyallahu 'anhu di dalam pidato pengukuhannya.”
24) kualitas sanad hadits ini shahih. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hakim (III/64) dari Ibnu syihab, juga dengan kualitas sanad yang shahih. Bahkan, Al Hafizh As-Suyuthi juga mengakui keshahihannya. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa'ad di dalam kitab Thabaqatnya dengan kualitas sanad yang shahih.
25) Menurutku, Abdurrahman bin Abdillah bin Sabith adalah seorang perawi yang tsiqah. Dia menilai hadits tersebut mursal dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al Hafizh di dalam kitab At-Tahdzib (III/364).
26) Hadits diriwayatkan oleh Imam Malik.
27) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
28) Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar berdiskusi mengenai hari kelahiran keduanya di sampingku. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata lebih tua dibanding Abu Bakar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia dalam usia 63 tahun. Abu Bakar masih hidup dua tahun setengah sepeninggal Rasulullah.” Al Haitsami berkata, “di dalam kitab shahihnya disebutkan bahwa beliau meninggal pada usia 63 tahun.” Keterangan seperti ini juga disebutkan oleh Ath-Thabari dengan sanad yang berkualitas hasan. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia dalam usia 65 tahun, sedangkan Abu Bakar tidak jauh berbeda dengan usia Rasulullah.

Wassalam

PERJALANAN HAMBA ALLAH Abu Bakar Ash-Shiddiq I

Abu Bakar Ash-Shiddiq
Nama dan Nasab Abu Bakar
Nama lengkap Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka'ab bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai. Sedangkan nama ibu beliau adalah Ummul Khair Salma binti Shakhr bin Akir, yang meninggal dunia sebagai seorang muslimah.1)

Ali bin Abi Thalib bersumpah dengan nama Allah bahwa Allah-lah yang telah menurunkan dari langit nama Ash-Shiddiq untuk Abu Bakar.2)

Sifat-sifat Abu Bakar
Diriwayatkan dari Anas radhiyallohu 'anhu, dia berkata: “Abu Bakar adalah orang yang suka memakai daun pacar dan daun katam untuk mewarnai rambutnya.”3)

Dari Qais bin Abi Hazim dia berkata, “Aku bersama-sama dengan ayahku berkunjung kerumah Abu Bakar. Dia adalah seorang yang berperawakan kurus, tidak terlalu banyak daging dipipinya, dan berambut putih.”4))

Pemeluk Islam Pertama
Hassan bin Tsabit, Ibnu Abbas, Asma' binti Abi Bakar, dan Ibrahim An-Nakha'i berkata, ” Orang yang pertama kali memeluk agama Islam adalah Abu Bakar.”5)

Yusuf bin Ya'kub bin Al Majasyun berkata, “Aku masih sempat menjumpai kehidupan ayahku dan beberapa orang syaikhku. Mereka itu adalah Muhammad bin Al Munkadir, Rabi'ah bin Abi Abdirrahman, Shalih bin Kaisan, Sa'ad bin Ibrahim, dan Utsman bin Muhammad al Akhnasi. Mereka semua tidak meragukan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang pertamakali memeluk agama Islam.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallohu 'Anhuma bahwa dia berkata, “Orang yang pertama kali mengerjakan Shalat adalah Abu Bakar radiyallohu 'anhu.”6)

Diriwayatkan dari Ibrahim, dia berkata, “Orang yang pertama kali mengerjakan shalat (dari kalangan umat Muhammad) adalah Abu Bakar.”

Putra-Putri Abu Bakar
Diantara putra-putri Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Abdullah dan Asma' yang mendapatkan julukan Dzatun-Nithaqain. Ibu dari kedua anak ini adalah Qutailah. Anak Abu Bakar yang lainnya adalah Abdurrahman dan Aisyah, keduanya berasal dari ibu yang bernama Ummu Ruman. Kemudian anak beliau yang lain lagi adalah Muhammad. Ibu anak ini bernama Asma' bin Umais.

Anak Abu Bakar lainnya adalah Ummu Kultsum. Ibu dari putrinya yang satu ini adalah Habibah binti Kharijah bin Zaid. Ceritanya, ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq hijrah ke Madinah, beliau singgah di rumah Kharijah. Lalu beliau menikah dengan putrinya yang bernama Habibah tersebut.

Mengenai Abdullah, dia sempat ikut serta pada perang Tha'if. Sedangkan Asma', dia dinikahi oleh Az Zubair dan sempat melahirkan beberapa putra. Namun kemudian Az Zubair menceraikannya. Dia terus hidup bersama putranya yang bernama Abdullah sampuai akhirnya putranya tersebut terbunuh. Asma' sendiri meninggal dalam usia 100 tahun.

Adapun Abdurrahman, dia sempat ikut perang Badar bersama-sama orang musyrik. Namun kemudian dia memeluk agama Islam. Berbeda lagi dengan Muhammad, dia termasuk ahli ibadah dari kalangan orang-orang Quraisy. Hanya saja dia memberikan pertolongan kepada Utsman pada hari kekhalifahannya dikudeta. Diapun telah di angkat oleh Ali bin Abi Thalib sebagai penguasa di Mesir. Hanya saja akhirnya dia di bunuh oleh orang-orang Mu'awiyah di negeri tersebut. Sedangkan Ummi Kultsum, dia dinikahi oleh Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu 'anhu.

Perilaku Baik Abu Bakar
Diriwayatkan dari Asma' binti abu bakar, dia berkata: Ada orang minta tolong datang kepada Abu Bakar. lalu dikatakan kepada Abu bakar, “Tolonglah sahabatmu itu! (Maksudnya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).” Maka, Abu Bakar keluar dari sisi kami. Sesungguhnya ketika itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki empat buah rambut yang dijalin. Maka, Abu Bakar masuk ke dalam Masjidil Haram sambil berkata, “Celaka kalian semua…Apakah kalian membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu.” (Qs. Ghaafir (40):28)

Maka orang-orang kafir Quraisy meninggalkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menghampiri Abu Bakar. Namun, setelah itu Abu Bakar kembali kepada kita tanpa memegang sedikit pun jalinan rambut milik Rasulullah. Yang dia lakukan hanyalah membawa Rasulullah sambil berkata, “Maha Tinggi Engkau, wahai Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Mulia.”7)

Abu Ya'la juga meriwayatkan dengan kualitas sanad yang hasan dengan redaksi yang cukup panjang. Riwayat itu berasal dari Asma' binti Abu Bakar bahwa orang-orang telah berkata kepadanya, “Perlakuan sadis apa yang pernah kamu lihat dilakukan orang-orang musyrik terhadap diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?”

Lalu disebutkan riwayat yang mirip dengan redaksi Abu Ishaq di atas sebagai berikut: Lalu ada orang yang meminta tolong datang menghampiri Abu Bakar. Orang itu berkata, “Tolonglah sahabatmu!” Asma' berkata, “Lalu Abu Bakar beranjak meninggalkan kita. Sedangkan Rasulullah sendiri waktu itu memiliki empat jalinan rambut. Abu Bakar pun berkata, “Celakalah kalian semua. Apakah kalian akan membunuhnya?' Abu Bakar sama sekali tidak menyentuh keempat jalinan rambut Rasulullah sampai akhirnya dia membawanya pulang.”

Kisah tentang Abu Bakar ini memiliki beberapa penguat yang lain. Di antaranya yang berasal dari Al Bazzar dari riwayat Muhammad bin Ali, dari ayahnya bahwa dia telah berkhutbah sebagai berikut, “Siapakah orang yang paling berani?” Orang-orang menjawab, “Kamu.” Ali-yang tidak lain ayah Muhammad-berkata, “Kalau aku, maka tidak pernah berduel dengan seorang pun kecuali aku yang akan jadi pemenangnya. Akan tetapi orang yang paling pemberani adalah Abu Bakar. Aku pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah dianiaya oleh orang-orang kafir Quraisy. Beberapa orang telah menyakiti dan menzhalimi beliau. Orang-orang Quraisy berkata kepada Rasulullah, “Apakah kamu akan menggantikan beberapa Tuhan yang ada hanya menjadi satu Tuhan saja?' Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kita yang menerima ajakan beliau (untuk memeluk Islam) kecuali hanya Abu Bakar. Tetapi, tetap saja ada orang yang berusaha menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Maka Abu Bakar berkata, “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki yang berkata, 'Tuhanku adalah Allah?'”

Kemudian Ali menangis sambil berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah di hadapan kalian, apakah orang mukmin pada masa Fir'aun lebih utama di bandingkan dengan Abu Bakar?” Maka semua orang terdiam. Ali kembali berkata, “Demi Allah, itulah waktu paling baik yang dimiliki oleh Abu Bakar. Orang mukmin pada masa Fir'aun adalah orang yang menyembunyikan keimanannya. Sedangkan lelaki ini (Abu Bakar) adalah orang yang mengumumkan keimanannya.

Dari Anas radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Pada waktu malam di dalam gua, Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku yang masuk terlebih dahulu sebelum Anda. Jika memang ada seekor ular atau hewan penyengat yang lain, maka dia akan menyengatku terlebih dahulu sebelum menyengat Anda. Rasulullah bersabda, “Kalau begitu masuklah!” Maka, Abu Bakar masuk sambil menutup setiap lubang yang dilihatnya. Dia menutup lubang-lubang itu dengan sobekan pakaiannya. Abu Bakar terus melakukan hal itu sampai dia menyobek seluruh bajunya.

Anas berkata, “Namun ternyata masih ada satu lubang yang tersisa. Maka, Abu Bakar menyumbat lubang itu dengan tumitnya. Barulah setelah itu Abu Bakar mempersilahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk masuk. Pada keesokan harinya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, 'Dimana bajumu wahai Abu Bakar?' Abu Bakar memberituhukan apa yang telah dia perbuat semalam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya sembari berdoa, 'Ya Allah, jadikanlah Abu Bakar berada di derajatku pada hari kiamat nanti'. Lalu Allah 'Azza wa Jalla memberikan wahyu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Sesungguhnya Allah Ta'ala akan mengabulkan permohonanmu itu'.”

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk bershadaqah. Kebetulan pada waktu itu aku memiliki harta untuk di shadaqahkan. Maka aku pun berkata, “Pada hari ini aku akan berusaha manandingi amal Abu Bakar.” Aku menshadaqahkan separuh harta milikku. Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku, 'Apakah kamu tidak menyisakan untuk keluargamu?' Aku menjawab, 'Masih ada separuhnya lagi'. Ternyata Abu Bakar menshadaqahkan seluruh harta miliknya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, 'Apakah kamu tidak menyisakan harta untuk keluargamu?' Abu Bakar menjawab, 'Aku tinggalkan Allah dan Rasul-Nya bagi mereka semua'. Maka aku berkata, 'Aku selamanya tidak akan pernah bisa menyaingimu dalam suatu apa pun'.”8)

Dari Qais radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Abu Bakar radhiyallahu 'anhu telah memerdekakan Bilal dengan cara membelinya (dari tuannya). Ketika itu Bilal sedang disiksa dengan cara ditindih batu. Abu Bakar membelinya dengan emas sebanyak 5 uqiyah. Maka orang-orang berkata kepada Abu Bakar, “Seandainya kamu tidak menyepakati harga itu dan hanya menawar seharga satu uqiyah emas, pasti kami akan menjual Bilal kepadamu.” Abu Bakar balik menjawab, “Seandainya kalian menjualnya seharga 100 uqiyah, pasti aku pun akan memerdekakannya.”9)

Keutamaan dan Perjalanan Hidup Abu Bakar
Para ulama ahli sejarah menyebutkan bahwa Abu Bakar ikut perang Badar bersama-sama dengan Rasulullah dan juga ikut pada peperangan yang lain. Dia tidak pernah absen dalam setiap peperangan. Pada waktu perang Uhud, tepatnya ketika orang-orang Islam sudah mulai terdesak, Abu Bakar masih setia di barisan peperangan. Abu Bakar juga telah dipercaya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memegang panji kebesaran umat Islam pada waktu perang Tabuk.

Ketika Abu Bakar memeluk agama Islam, dia memiliki uang sebasar 40.000 Dirham. Uang itulah yang dia gunakan untuk memerdekakan para hamba sahaya yang disiksa tuannya karena memeluk agama Allah. Uang itu juga digunakan untuk memperkuat perjuangan kaum muslimin. Beliaulah orang yang pertama kali mengkodifikasikan kitab suci Al Qur'an. Abu Bakar senantiasa menjauhkan dirinya dari segala jenis minuman keras, baik pada masa jahiliyah maupun masa Islam. Beliau juga orang yang pertama kali muntah karena menjauhkan dirinya dari sesuatu yang bersifat syubhat. 10)

Di antara keutamaan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu yang lainnnya adalah, ia orang pertama yang diangkat sebagai khalifah dan ayahandanya masih hidup. Ia juga khalifah yang pertama kali digaji oleh rakyatnya. Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata, “Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, dia pun berkata, 'Kaumku telah mengetahui bahwa mata pencaharianku masih mampu mencukupi kebutuhan keluargaku. Namun aku disibukkan menangani urusan kaum muslimin. Oleh karena itu, keluarga Abu Bakar akan makan dari harta (gaji) ini dan Abu Bakar sendiri akan menangani urusan kaum muslimin'.”

Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari Atha' bin As Sa'id, dia berkata, “Ketika Abu Bakar telah dibai'at untuk menjadi khalifah, maka pada suatu pagi beliau pergi dengan membawa kain dagangannya menuju pasar. Umar berkata, 'Kamu hendak pergi kemana?' Abu Bakar menjawab, “Mau ke pasar'. Umar berkata, 'Apa yang akan kamu kerjakan sedangkan kamu ditugaskan untuk menangani urusan kaum muslimin?' Abu Bakar menjawab, 'Lalu dari mana aku akan menafkahi keluargaku?' Umar berkata, 'Pergilah kamu (bersamaku) agar Abu Ubaidah mengalokasikan uang gaji untukmu'. Maka Abu Bakar dan Umar menjumpai Abu Ubaidah sehingga Abu Ubaidah pun berkata, 'Aku menetapkan gaji untukmu berupa bahan makanan yang standar bagi seorang laki-laki dari kalangan Muhajirin, yakni bukan makanan orang paling kaya dan juga bukan makanan orang yang paling miskin, serta pakaian pada musim dingin dan panas. Jika pakaian itu telah usang, maka kembalikanlah pakaian itu dan kamu bisa mengambil pakaian yang lain lagi'. Umar dan Abu Ubaidah juga memberi jatah Abu Bakar berupa setengah daging kambing dalam seharinya dan keperluan lainnya yang dipakai di kepala dan badan.”

Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari Maimun, dia berkata, “Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, maka orang-orang memberikan uang sebanyak 2000 kepadanya. Abu Bakar berkata, 'Tambahlah untukku, karena sesungguhnya aku memiliki banyak keluarga dan kamu telah membuatku tidak bisa lagi berdagang'. Maka orang-orang menambahkan lagi sebanyak 500.”

Ath-Thabrani meriwatkan di dalam kitab musnad-nya dari Al Hassan bin Ali bin Abi Thalib, dia berkata, “Ketika Abu Bakar hendak meninggal dunia, dia berkata, 'Wahai Aisyah, coba periksa unta perahan yang air susunya biasa kita konsumsi, wadah dari kulit unta yang biasa kita pergunakan untuk wadah air, dan kain beludru yang kita manfaatkan ketika kita masih dipercaya untuk mengurusi kaum muslimin. Jika aku nanti meninggal dunia, maka kembalikan benda itu semua kepada Umar!' Ketika Abu Bakar meninggal dunia maka Aisyah mengembalikan semua barang itu kepada Umar. Maka Umar pun berkata, 'Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu, wahai Abu Bakar! Kamu sungguh-sungguh memberikan contoh yang sangat sulit bagi generasi setelahmu'.”

Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dari Abu Bakar bin Hafsh, dia berkata, “Ketika Abu Bakar radhiyallahu 'anhu mengalami sakaratul maut, dia berkata kepada Aisyah radhiyallahu 'anha, 'Wahai putriku, sesungguhnya kita telah mengurusi kaum muslimin dan kita tidak makan satu Dinar atau satu Dirham pun (harta Mereka). Akan tetapi, kita mengkonsumsi makanan kasar mereka di dalam perut kita ini, kita mengenakan pakaian kasar milik mereka di tubuh kita ini, dan kita juga tidak mendapatkan harta rampasan perang kaum muslimin sedikit pun kecuali hanya seorang hamba sahaya dari Abisinia, unta perahan, dan pakaian beludru yang telah usang ini. Oleh karena itu, jika aku mati nanti, maka kembalikanlah semua ini kepada Umar!'”

Di antara keutamaan lainnya yang dimiliki Abu Bakar adalah, ia orang yang pertama kali memiliki ide membuat Baitul Mal (badan untuk menyimpan harta). Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari Sahal bin Abu Khaitsamah dan beberapa perawi yang lain bahwa Abu Bakar radhiyallahu 'anhu memiliki Baitul Mal yang berada di daerah Sunh. Namun Baitul Mal tersebut tidak dijaga oleh seorang pun. Maka ada orang yang berkata kepada beliau, “Tidakkah Anda menyuruh seseorang untuk menjaganya?” Abu Bakar menjawab, “Tempat itu sudah dikunci.”

Abu Bakar telah menshadaqahkan seluruh harta yang ada dalam rumah itu sampai habis. Ketika pindah ke Madinah, Abu Bakar juga mengalihkan Baitul Mal tersebut. Dia menjadikan rumahnya sebagai Baitul Mal. Maka, dia pun menghimpun sejumlah harta kemudiaan dibagi-bagikan kepada orang-orang fakir. Dia membagikan harta itu secara adil. Abu Bakar juga telah membeli unta, kuda, dan senjata untuk disumbangkan sebagai peralatan perang di jalan Allah. Beliau telah membeli sejumlah kain sutra untuk dibagi-bagikan kepada penduduk Madinah.

Ketika beliau meninggal dunia dan jenazahnya telah dikebumikan, maka Umar memanggil beberapa orang kepercayaannya. Dia mengajak mereka untuk masuk ke dalam Baitul Mal milik Abu Bakar. Di antara orang yang diajak masuk ke dalam tempat itu adalah Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. Ternyata mereka tidak menjumpai sesuatu pun di dalam tempat itu, sekali pun hanya sekeping dinar maupun dirham.

Menurutku berdasarkan keterangan ini, maka pendapat Ibnu Al Askari di dalam kitab Al Awaa'il menjadi tersanggah. Dia telah mengatakan bahwa orang yang pertama kali memiliki ide membuat Baitul Mal adalah Umar bin Khaththab. Bahkan, dia juga mengatakan bahwa di masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maupun di masa Abu Bakar radhiyallahu 'anhu belum pernah ada Baitul Mal.

Aku telah memaparkan masalah ini di dalam kitab karanganku. Namun aku juga menjumpai Ibnu Al Askari meralat pendapatnya itu di dalam kitab karangannya yang lain sebagai berikut, “Sesungguhnya orang yang pertama kali mencetuskan ide Baitul Mal adalah Abu Ubaidah bin Al Jarrah pada masa kekhilafahan Abu Bakar.”

Di antara keutamaan Abu Bakar Ash Shiddiq yang lainnya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Al Hakim sebagai berikut, “Julukan yang pertama kali muncul dalam Islam adalah julukan yang diberikan kepada Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Beliau dijuluki dengan sebutan 'Atiq (orang yang terbebas dari api neraka).”

Muhammad bin Ishaq menyebutkan bahwa dari 10 0rang yang pertama kali masuk Islam, ada 5 orang yang menyatakan keislamannya di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu. Mereka itu adalah Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu 'anhum.11)).

Dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan orang-orang sebagai berikut, “Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla telah memberikan pilihan kepada seorang hamba untuk (hidup di alam) dunia atau berada di sisi-Nya. (Maksudnya adalah meninggal dunia). Ternyata hamba itu lebih memilih untuk tinggal di sisi-Nya.” Lalu Abu Bakar radhiyallahu 'anhu menangis. Tentu saja kami merasa heran dengan tangisan Abu Bakar yang disebabkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengabarkan tentang seorang hamba yang telah disuruh memilih oleh Allah. Ternyata, hamba yang disuruh untuk memilih dua hal itu adalah Rasulullah sendiri. Abu Bakar memang orang yang paling memahami maksud sabda Rasulullah tersebut. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling tulus menjalin persahabatan denganku dan yang paling dermawan mendermakan hartanya untuk (perjuangan)ku adalah Abu Bakar. Seandainya aku mengangkat seorang Khalil (kekasih) selain Tuhanku 'Azza wa Jalla, pasti aku telah mengangkat Abu Bakar (sebagai Khalil). Akan tetapi persaudaraan dan saling mencintai dalam ikatan Islam (jauh lebih baik). Tidak ada di dalam masjid sebuah pintu kecuali telah ditutup, kecuali hanya pintu Abu Bakar saja (yang masih terbuka).” (Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pintu Abu Bakar saja yang terbuka adalah restu Rasulullah agar dia menjadi khalifah setelah beliau–penerj.) (HR. Bukhari-Muslim dalam kitab Shahihain)12)

Dari Abu Darda' radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku duduk di samping Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba Abu Bakar datang sambil memegang ujung pakaiannya sehingga kedua lututnya sampai terlihat. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Adapun sahabat kalian (yang sedang datang kemari ini), maka dia telah bertengkar (dengan seseorang).” Lalu Abu Bakar mengucapkan salam kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya telah terjadi diskusi antara diriku dengan Ibnu Khaththab (Umar)! Memang aku terburu-buru marah kepadanya, namun aku menyesali kejadian tersebut sehingga aku meminta maaf kepadanya. Akan tetapi, dia enggan memaafkan kesalahanku. Oleh karena itu, aku pergi menghadapmu.” Rasulullah bersabda, “Allah akan mengampunimu, wahai Abu Bakar.” Rasulullah mengucapkan kalimat ini sebanyak tiga kali.

Ternyata Umar menyesali perbuatannya sehingga dia berkunjung ke rumah Abu Bakar. Dia pun berkata, “Abu bakar telah berbuat salah (kepadaku).” Namun orang-orang berkata, “Tidak.” Akhirnya Umar datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia mengucapkan salam kepada beliau. Namun raut wajah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terlihat berubah karena marah. Hal itu semakin membuat Abu Bakar merasa kasihan kepada Umar. Akhirnya Abu Bakar berlutut (di hadapan Rasulullah) sambil berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, aku malah merasa semakin berbuat zhalim (kepada Umar)!” Abu Bakar mengucapkan kalimat itu sebanyak dua kali.

Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian semua. Namun kalian malah berkata, 'Kamu adalah pendusta'. Berbeda dengan Abu Bakar yang membenarkan (ajaranku). Dia telah membantuku dengan jiwa dan harta bendanya. Apakah kalian akan meninggalkan aku (dengan meninggalkan) sahabatku?” Rasulullah mengucapkan kalimat itu sebanyak dua kali. Sejak itulah Abu Bakar tidak pernah disakiti (oleh seorang pun dari kaum Muslimin. (HR. Bukhari)

Dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Kami pergi berperang bersama-sama dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada waktu perang Hunain. Ketika kami telah berjumpa dengan pihak musuh, maka kaum muslimin mulai terdesak. Aku melihat ada seorang laki-laki dari kaum musyrik akan menghabisi nyawa seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin. Aku langsung berputar untuk mendatanginya dari arah belakang. Aku mengayunkan pedangku ke tengkuk lelaki musyrik tersebut. Ternyata, dia malah berbalik ke hadapanku sambil merangkulku dengan sangat kuat. Aku mencium aroma kematian dari tubuhnya. Sampai Akhirnya dia meninggal dunia dan melepaskan rangkulannya dari tubuhku. Aku akhirnya menghampiri Umar bin Khaththab sembari berkata, 'Bagaimana kondisi orang-orang?' Umar menjawab, “Berada dalam pertolongan Allah.”

Setelah itu, orang-orang pulang. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam duduk sambil bersabda, “Barangsiapa berhasil membunuh seseorang, hendaklah dia mendatangkan bukti sehingga dia bisa memiliki harta orang yang dia bunuh.” Aku pun berdiri sambil berkata, “Siapa yang mau menjadi saksi untukku?” Kemudian aku duduk dan Rasulullah kembali bersada, “Barangsiapa yang berhasil membunuh seseorang, hendaklah dia mendatangkan bukti sehingga dia bisa memiliki harta orang yang dia bunuh.” Aku pun kembali berdiri sambil berkata, “Siapa yang mau menjadi saksi untukku?” aku kembali duduk (karena masih tidak ada orang yang mau menjadi saksi untukku).

Rasulullah menyabdakan kalimat serupa untuk yang ketiga kalinya. Maka ada seorang laki-laki berkata, “Dia berkata jujur, wahai Rasulullah! Harta rampasan perang orang itu berada padaku. Maka, relakanlah harta miliknya itu agar menjadi milikku. “Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Tidak, demi Allah! Tidak ada salah seorang dari singa Allah yang ikut berperang di jalan Allah dan Rasul-Nya lalu dia memberikan harta rampasan perangnya kepadamu. “Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Abu Bakar berkata benar. Berikanlah harta rampasan perang itu kepadanya!” Akhirnya aku menjual baju perang (milik orang musyrik tersebut) kemudian uang hasil penjualannya aku belikan sebuah kebun buah di daerah kabilah Bani Salamah. Itulah harta pertama yang aku miliki dalam Islam. 13) Hadits ini mengandung keterangan bahwa Abu Bakar telah mengeluarkan fatwa di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki Abu Bakar.

Dari Sahal bin Sa'ad, dia berkata: Pernah terjadi peperangan di Bani Amru bin Auf. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar peristiwa tersebut. Beliau mengunjungi mereka setelah waktu zhuhur. Tujuan beliau datang adalah untuk mendamaikan mereka. Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal jika waktu shalat (Ashar) telah tiba dan aku juga belum datang, maka perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat bagi orang-orang.” Ketika waktu shalat (Ashar) telah tiba, seperti biasa Bilal mengumandangkan iqamah shalat. Lalu dia memerintahkan Abu Bakar (untuk mengimami shalat). Maka Abu Bakar menjadi imam shalat bagi mereka. Ternyata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang setelah Abu Bakar memulai shalatnya.

Ketika orang-orang melihat Rasulullah datang, mereka menepuk tangan (untuk memberi tanda kepada Abu Bakar). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang dengan membelah barisan shalat orang-orang sampai akhirnya berdiri di belakang Abu Bakar. (Perawi berkata, “jika telah memulai shalatnya maka Abu Bakar tidak akan lagi menoleh). Ketika Abu Bakar mendengar suara tepukan tangan yang tiada kunjung berhenti, maka dia pun akhirnya menoleh. Dia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah berada di belakangnya. Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan tangannya, “Teruskanlah!” Maka Abu Bakar tetap berdiri di tempatnya sambil membaca tahmid kepada Allah karena hal itu. Setelah itu Abu Bakar berjalan mundur secara perlahan-lahan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami orang-orang mengerjakan shalat.

Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam usai menunaikan shalat, beliau bersabda, “Wahai Abu Bakar apa yang menghalangimu (untuk meneruskan shalat) ketika aku memberimu isyarat terus?” Abu Bakar menjawab, “Tidak pantas Ibnu Abi Quhafah mengimami Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah bersabda kepada orang-orang, “Jika terjadi sesuatu di tengah shalat kalian, maka hendaklah orang-orang lelaki membaca tasbih dan orang-orang perempuan menepuk tangan.” (HR. Bukhari-Muslim dalam kitab Shahihain)14)

Dari Aisyah radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Ketika sakit Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sudah semakin parah, Bilal (seperti biasanya) mengumandangkan adzan shalat. Maka beliau bersabda, “Perintahkanlah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat bagi orang-orang!”

Aisyah berkata, “Maka aku pun berkata, 'Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang lelaki yang mudah menangis. Sesungguhnya ketika dia berdiri untuk menggantikanmu, maka orang-orang tidak akan bisa mendengar suaranya (dengan jelas). Seandainya saja Anda memerintahkan Umar'. Rasulullah bersabda,'Perintahlah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat bagi orang-orang!'”

Aisah berkata, “Maka aku berkata kepada Hafshah, “coba berbicaralah kepada Rasulullah, 'Abu Bakar adalah orang yang mudah sekali menangis. Sesungguhnya ketika dia berdiri menggantikan posisimu, maka orang-orang tidak akan bisa mendengar suaranya. Andai saja Anda memerintahkan Umar'. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda lagi, 'Sungguh kalian ini seperti para perempuan Yusuf (dalam hal suka membantah). Perintahkanlah Abu Bakar agar menjadi imam shalat bagi orang-orang!'”

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Maka, mereka memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat. Ketika Abu Bakar mulai menunaikan ibadah shalat, ternyata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merasa kalau sakitnya sedikit berkurang. Beliau berdiri dengan dibantu oleh dua orang laki-laki yang menuntun beliau, sedangkan kedua kaki Rasulullah sendiri pada waktu itu berjalan tertatih-tatih. Sampai akhirnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid. Ketika Abu Bakar mendengar gerak perlahan Rasulullah, maka dia langsung bergerak mundur. Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberinya isyarat, 'Tetaplah berdiri seperti semula!' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terus berjalan sehingga duduk di samping kiri Abu Bakar, sedangkan Abu Bakar tetap dalam posisi berdiri. Abu Bakar mengikuti shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan orang-orang mengikuti shalat Abu Bakar.” (HR. Bukhari-Muslim dalam kitab Shahihain)15)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sama sekali tidak ada harta yang memberi manfaat bagiku, sebagaimana manfaat harta milik Abu Bakar.” Lalu Abu Bakar menangis sambil berkata, “Bukankah memang diri dan hartaku hanya milikmu, wahai Rasulullah?” (HR. Ahmad)16)

Dari Muhammad bin Jubair bin Muth'im, dari ayahnya, dia berkata: Ada seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu beliau memerintahnya untuk kembali datang menjumpai beliau. Namun wanita itu berkata, “Bagaimana jika aku kembali nanti aku tidak menjumpai Anda?” Sepertinya maksud wanita itu adalah, bagaimana kalau beliau telah wafat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu tidak menjumpai aku, maka datanglah kamu kepada Abu Bakar!” (HR.Bukhari)17)

Dari Abu Raja' Al Atharidi, dia berkata: Aku memasuki kota Madinah. Lalu Aku melihat orang-orang sedang berkumpul. Aku juga melihat seorang laki-laki sedang mengecup kepala seorang laki-laki yang lain. Dia juga berkata, “Aku adalah tebusan untukmu. Seandainya bukan karena Anda, pasti kami semua telah binasa.” Maka aku berkata, “Siapakah orang yang mengecup dan siapakah orang yang dikecup keningnya itu?” Orang-orang pun menjawab, “Itu adalah Umar yang telah mengecup kening Abu Bakar ketika telah memerangi ahlur-riddah (orang-orang yang murtad). Sebab, mereka itu adalah orang-orang yang enggan membayar zakat sampai akhirnya mereka dipaksa untuk membayarnya.”

Dari Muhammad bin Al Hanafiyah, daia berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku, “siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Ali menjawab, “kemudian Umar.” Sebenarnya aku khawatir kalau ayahku akan menyebutkan nama Utsman. Maka aku berkata, “Kemudian Anda.” Namun dia malah berkata, “Ayahmu ini hanyalah salah seorang lelaki dari kalangan kaum muslimin.” (HR.Bukhari)18)

Dari Abu Sarihah, dia berkata: Aku pernah mendengar Ali radhiytallahu 'anhuberkata di atas mimbar, “Ingatlah, sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat pandai memelihara hati (dari hal-hal yang buruk).”19)

Dari Za'id bin Arqam radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Abu Bakar Ash Shiddiq memiliki seorang hamba sahaya yang berkhianat kepadanya. Pada suatu malam, hamba sahaya itu datang dengan membawa makanan. Maka, Abu Bakar menelan sesuap dari makanan yang dibawa hamba sahaya tersebut. Setelah itu hamba sahaya itu berkata, “Mengapa kamu setiap malam bertanya kepadaku dan pada malam hari ini tidak melontarkan sebuah pertanyaan?” Abu Bakar menjawab, “Hal itu disebabkan karena aku merasa sangat lapar. Dari manakah kamu mendapatkan makanan ini?” Hamba sahaya itu berkata, “Aku pernah melewati sekelompok orang jahiliyyah, maka aku membacakan mantera kepada mereka sehingga mereka menjanjikan aku (untuk memberi sesuatu). Pada hari inilah, ketika aku melewati mereka lagi, ternyata mereka memiliki sebuah acara pernikahan. Akhirnya, mereka memberiku makanan.” Abu Bakar berkata, “Celaka kamu ini, hampir saja kamu membuatku binasa (karena makanan yang tidak halal tersebut)!”

Maka, Abu Bakar memasukkan tangannya ke dalam kerongkongannya dan dia pun mulai akan muntah. Namun sesuap makanan itu tidak juga mau keluar dari kerongkongannya. Maka dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya makanan itu tidak akan keluar kecuali dengan bantuan air.” Abu Bakar minta diambilkan air dalam sebuah wadah. Dia pun meminum air tersebut sampai akhirnya berhasil memuntahkan makanan itu. Dikatakan lagi kepada Abu Bakar, “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu. Apakah semua ini gara-gara sesuap makanan itu?” Abu Bakar berkata, “Seandainya makanan itu tidak keluar kecuali dengan jiwaku, maka aku pasti akan mengeluarkannya juga. Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Setiap jasad yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih berhak baginya.' Oleh karena itu, aku merasa khawatir kalau ada sesuatu yang haram tumbuh di dalam jasadku dari sesuap makanan itu.” (Bukhari meriwayatkan ujung hadits ini dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha)

Dari Hisyam, dari Muhammad, dia berkata, “Orang dari kalangan umat ini yang paling memiliki kecemburuan besar terhadap agama setelah Nabinya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.”

Dari Muhammad bin Sirin, dia berkata, “Tidak ada seorang pun yang takut terhadap (larangan) yang dia telah ketahui setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melebihi Abu Bakar.”20)

Dari Qais, dia berkata: Aku telah melihat Abu Bakar memegang ujung lidahnya sembari berkata, “Inilah yang menggiringku ke tempat sumber air (kelak di hari kiamat).”

Kekhilafahan Abu Bakar
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Umar bin Khaththab telah berkata, “Diantara berita yang beredar di tengah-tengah kami pada hari wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Ali dan Az-Zubair berada di rumah Fathimah, sedangkan para sahabat kalangan Anshar sedang berada di Saqifah Bani Sa'idah. Berbeda dengan para sahabat kalangan Muhajirin yang pada waktu itu berkumpul di sekitar Abu Bakar. Maka aku (Umar) berkata kepadanya, 'Wahai Abu Bakar, mari beranjak bersama kami menuju saudara-saudara kita dari kalangan Anshar!'

Akhirnya kami semua bertolak sampai akhirnya bertemu dengan dua orang lelaki shalih. Keduanya memberitahu kami tentang apa yang sedang dikerjakan orang-orang. Keduanya berkata, 'Wahai orang-orang Muhajirin, kalian semua hendak pergi kemana?' Aku menjawab, 'Kami hendak mengunjungi saudara-saudara kami dari kalangan Anshar'. Namun keduanya malah berkata, 'Kalian tidak usah mengunjungi mereka, kerjakan saja urusan kalian!' Maka aku berkata, 'Demi Allah, kami tetap akan mengunjungi mereka.'

Kami terus bertolak sampai akhirnya tiba di tengah-tengah mereka, tepatnya di Saqifah Bani Sa'idah. Ternyata mereka semua telah berkumpul. Di hadapan mereka ada seorang laki-laki berselimut. Maka aku pun bertanya, 'Siapakah ini?' Orang-orang menjawab, 'Sa'ad bin Ubadah'. Aku kembali berkata, 'Ada apa dengannya?' Mereka kembali menjawab, 'Dia tengah menderita sakit'.

Ketika kami duduk, tiba-tiba orator kaum Anshar berdiri sambil melafazhkan kalimat pujian kepada Allah 'Azza wa Jalla sebagai dzat yang memang layak untuk menerima segala bentuk pujian. Dia juga berkata, 'Amma ba'du, kita semua adalah para penolong Allah sekaligus juga sebagai pasukan berkuda agama Islam. Sedangkan kalian -wahai sekalian orang-orang Muhajirin- hanyalah sekelompok orang dari kita. Sesungguhnya ada sekelompok orang dari kalian yang diam-diam hendak menyingkirkan kami dan menjauhkan kami dari sebuah urusan yang besar'.”

Umar berkata, “Ketika orang itu telah diam, maka aku hendak berbicara. Sungguh aku telah mempersiapkan sebuah kalimat yang menurutku sangat bagus untuk diutarakan. Aku hendak mengutarakannya juga di hadapan Abu Bakar, sebab aku juga pernah tidak sependapat dengannya dalam beberapa hal. Namun, bagaimanapun juga, Abu Bakar adalah orang yang lebih sabar dan lebih berwibawa dibandingkan aku. Ternyata Abu Bakar berkata kepadaku, 'Bersikaplah agak pelan!' Tentu saja aku tidak suka kalau marah kepadanya. Demi Allah, ternyata Abu Bakar tidak meninggalkan beberapa konsep kalimat yang aku persiapkan. Semua ide yang ada dalam benakku telah dia lontarkan di hadapan orang-orang dengan redaksi yang sangat santun. Dia terus mengucapkan hal itu sampai akhir perkataannya.

Dalam hal ini Abu Bakar berkata, 'Amma ba'du, adapun hal-hal positif yang telah kalian utarakan, memang sudah terbukti kalian lakukan. Namun tidak ada orang Arab yang mengetahui permasalahan (kekhilafahan) ini kecuali memang berada di tangan salah seorang penghuni kampung dari kalangan suku Quraisy ini. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki nasab dan tempat tinggal yang paling baik. Aku ridha kalau salah seorang dari kedua orang ini menjadi pemimmpin kalian. Terserah, mana diantara keduanya yang akan kalian pilih'.”

Umar berkata, “Ternyata Abu Bakar mengandeng tanganku dan tangan Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Sesungguhnya semua perkataan Abu Bakar yang telah di lontarkan tidak ada yang aku benci kecuali hanya yang terakhir ini. Demi Allah, hal itu sama dengan aku disuruh maju kemudian tengkukku dipenggal. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan aku kepada sebuah dosa, kecuali dia masih lebih aku sukai daripada harus memimpin sebuah kaum sedangkan di tengah-tengah mereka nasih ada Abu Bakar, kecuali apabila dia memang membujukku untuk menerima jabatan tersebut ketika dia sudah hendak meninggal dunia.

Tiba-tiba ada seseorang dari kalangan Anshar berkata, 'Aku adalah orang yang bisa dipercaya pendapatnya lagi berpengalaman. Aku juga tokoh yang cukup dihormati. (Lebih baik) di antara kita ada seorang pemimpin dan di antara kalian juga ada seorang pemimpin'. Maka, suara gaduh pun terdengar sampai aku khawatir kalau persatuan orang-orang muslimin pecah. Ketika itulah aku berkata, 'Julurkanlah tanganmu, wahai Abu Bakar! Karena aku akan membaiatmu sebagai khalifah'. Maka, Abu Bakar dibaiat oleh orang-orang Muhajirin yang kemudian diikuti oleh orang-orang Anshar.” (HR. Imam Ahmad) 21)

Lalu Abu Bakar datang kemudian menyingkap kain yang menutup wajah Rasulullah. Abu Bakar mengecup kening beliau kemudian berkata, “Aku bersumpah, kamu tetap wangi baik dalam keadaan hidup maupun mati. Demi Dzat Yang Menguasai jiwaku, Allah selamanya tidak akan menimpakan dua kematian kepadamu!” Kemudian Abu Bakar keluar sambil berkata kepada Umar, “Wahai orang yang mengucapkan sumpah, tenanglah!” Ketika Abu Bakar telah berbicara, maka Umar pun duduk. Abu Bakar memuji Allah dan menyanjung-Nya. Dia berkata, “Ingatlah, barangsiapa menyembah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka, sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Baragsiapa menyembah Allah, Maka, sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Hidup lagi tidak akan pernah mati.”

Abu Bakar membaca ayat Al Qur'an, “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (Az-Zumar(39):30) Begitu pula dengan firman Allah Ta'ala, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memeberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al 'Imran(3):144)

Umar berkata, “Maka orang-orang menabahkan hati mereka sambil tetap mencucurkan air mata. Lalu orang-orang Anshar berkumpul di sekitar Sa'ad bin Ubadah yang berada di Saqafah Bani Sa'idah.” Mereka berkata, “Di antara kita ada seorang pemimpin dan di antara kalian juga ada seorang pemimpin.” Maka Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Abu Ubaidah Ibnu Al Jarrah menghampiri mereka. Umar mulai berbicara. Namun Abu Bakar menyuruhnya untuk diam. Dalam hal ini Umar berkata, “Demi Allah, aku telah mempersiapkan ungkapan yang menurutku sangat bagus untuk dilontarkan pada waktu itu. Aku khawatir kalau ideku itu tidak disampaikan oleh Abu Bakar. Namun, ternyata Abu Bakar berbicara dan tampil sebagai orang yang paling komprehensif dan substansi pembicaraannya.

Ketika itu Abu Bakar berkata, “Kami adalah para amir dan kalian adalah anggota dewan kabinet.” Abu Bakar balik berkata, “Tidak, akan tetapi amir adalah dari kalangan kami dan kalian adalah anggota dewan kabinet.” Namun Habbab bin Al Mundzir berkata, “Tidak, demi Allah, kita tidak akan melakukan hal itu. Di antara kami ada seorang amir dan di antara kalian juga ada seorang amir.” Umar berkata kepada (Abu Bakar), “Bahkan, kami akan membai'atmu. Kamu adalah sayyid kami dan orang terbaik di antara kami. Kamu juga orang yang paling dicintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di antara kami semua.” Maka, Umar memegang tangan Abu Bakar untuk membai'atnya yang kemudian diikuti oleh orang banyak. Lalu ada seorang yang berkata, “Kalian telah membunuh (hak khalifah) Sa'ad bin Ubadah.” Maka Umar berkata, “Allah yang telah membunuhnya.”

Dari Humaid bin Hilal, dia berkata: Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, maka para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Tetapkanlah gaji yang mencukupi untuk khalifah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Lalu sebagian yang lain berkata, “Ya, berilah dia dua helai kain beludru. Apabila kedua kain itu telah usang, maka hendaklah dia mengembalikannya dan mengambil lagi kain yang lain. Berikanlah juga fasilitas kendaraan jika dia bepergian dan sejumlah uang belanja untuk keluarganya, sebagaimana yang dia berikan sebelum diangkat sebagai khalifah.” Maka Abu Bakar radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku rela dengan hal itu.” 22)

Umair bin Ishaq berkata, “Abu Bakar pernah keluar memanggul beban di atas pundaknya. Maka ada seorang lelaki berkata kepadanya, 'Biarkanlah aku yang membawa barang itu untukmu!' Abu Bakar berkata, 'Jangan memperdulikan aku, dan jangan pula memperdaya diriku! Sebab, Ibnu Khaththab telah mencukupi kebutuhan keluargaku'.”

Menurut para ulama ahli sejarah, Abu Bakar menerima jasa memerah susu kambing untuk penduduk desa. Ketika beliau telah dibaiat menjadi khalifah, ada seorang wanita desa berkata, “Sekarang Abu Bakar tidak akan lagi memerahkan susu kambing kami.” Perkataan itu didengar oleh Abu Bakar sehingga dia berkata, “Tidak, bahkan aku akan tetap menerima jasa memerah susu kambing kalian. Sesungguhnya aku berharap dengan jabatan yang telah aku sandang sekarang ini sama sekali tidak merubah kebiasaanku di masa silam.” Terbukti, Abu Bakar tetap memeraskan susu kambing-kambing mereka.

bersambung

Senin, 15 Juli 2013

Diri dan Keihklasan

Sahabatku....
Nanti akan datang suatu masa,manusia sudah tidak lagi memikirkan tentang hakikat Diri dan Tuhannya,tidak lagi memikirkan tentang sebuah KEBENARAN,masjid" dan tempat2 peribadatan penuh dengan ribuan orang beribadah dan beramal,para ulama berlomba" mengumandangkan syair cinta firman dan hadist dan mutiara sebuah kitab,dan para umat berlomba2 mencari kebenaran yang diminati banyak orang (syariat).namun hatinya kosong melompong buta dari Tuhannya,namun pada saat itu yang paling membahayakan adalah ulama,ulama yang mengajarkan kebenaran tapi dia sendiri belum benar,yang mengajarkan cara berwudhu tapi hatinya selalu kotor,yang mengajarkan sholat tapi dia sendiri tidak tau hakikat sholat yg benar,yang mengajarkan pengampunan tapi dosa sendiri belum tau telah diampuni atau belum,yang mengajarkan Tuhan tapi dia sendiri buta akan Tuhannya,mereka lebih bahaya dari bom nuklir yang bisa menghancurkan satu wilayah karna mereka bisa menghancurkan umat satu dunia...peperangan,perselisihan,pertikaiyan antar umat beragama,kebencian,dendam dan paling merasa benar atas agamanya,tak lain semua itu karna sempitnya mereka dalam menerima wawasan dan keilmuan agama secara sempurna dan hakiki dari seorang ulama dan dari memahami sebuah kitab,kurangnya dalam memahami sebuah kitab dan sebuah ungkapan,sehingga mereka sempit dalam menafsirkan sebuah pembelajaran yang didamppaikan didalam kitab," Padahal KAMI jadikan alquran (kitab) itu sebagai bahasa perumpamaan misal dan tamsil agar hamba"ku berpikir "  jelas sudah bahwa bahasa alquran dan kitab" itu banyak menggunakan bahasa perumpamaan yang harus dipikirkan yang harus direnungkan dan harus dimengerti sesuai dengan ayat pertama diterima rosulullah adalah " Iqra "  yang artinya baca,renungkan,dan pikirkan apa" yang menjhadi tanda" kekuasaan Allah baik yang tersurat maupun yang tersirat." sebuah kitab akan sangat berbahaya akan menjadi bencana besar bila dipegang oleh seorang yang tidak mengerti tapi akan menjadi rahmat bagi seluruh alam bila dipegang oleh orang yang mengerti " perperangan antar umat beragama,pertikaiyan antar umat beragama,saling menyalahkan antar umat beragama,penghinaan agama,teroris,bom bunuh diri dan masih banyak lagi dampak dari ketika seseorang ulama dan umat tidak memahami arti dari sebuah ajaran agama dan ungkapan" didalam sebuah kitab dan pesan" yang disampaikan oleh para nabi dan rosul yg banyak mengandung kata" yang sangat dalam yg sebenarnya bertujuan menciptakan pribadi" yang rahmatan lil alamin,saling mencintai dan meyayangi didalam kerukunan antar umat beragama bahkan dikalangan islam itu sendiri.semua itu terjadi karna butanya mata hati dalam memahami sebuah agama dan keyakinan " waman kana fi hajihi a'ma fahuwafil ahiroti a'ma wa'adollu sabillah " barang siapa yang buta didunia buta pula diahirat bahkan lebih sesat lagi.bukan buta mata johir tapi buta mata hati yang ada didalam dada,

ketika seseorang buta dari hakikat dan hanya mengedepankan syariat saja maka segala amal apapun,segala perbuatan apapun,segala ibadah apapun semua akan jadi sia-sia tak bermakna, kauli,fikli,kolbi, (ucapan,perbuatan,hati) segala ucapan perbuatan tapi tidak didasari dengan pengertian di hati yg benar maka segala akan sia-sia,karna segala sesuatu diawali dari niat (hati) jika pandangan hati salah maka semua akan jadi salah sia-sia," Aku tidak melihat rupamu,ibadahmu,pakaiyanmu tapi aku melihat hatimu.." sejauh mana hati mengenal Tuhan dan Dirinya karna itu adalah kunci dari sebuah agama yang benar " Awaludin ma'rifatullah " awalnya agama mengenal Allah.ketika seseorang telah mengenal akan Allah maka sempurnalah awal agamanya, " Faklam yaklam ila hakurrobi wa'akurruhi wa'akujjasadi layashihu amaluhu fal hayatikal haiwan " barang siapa tidak mengenal sebenar" tuhannya,sebenar" ruhnya sebenar" jasadnya (dirinya) maka seluruh amalnya sia' (tertolak), " layasihu sholatan ilal bil ma'rifat "  tertolak sholat kamu jika tidak mengenal Allah.karna orang yang tidak mengenal Allah adalah orang yang tidak tau diri yang mengakui dirinya adalah miliknya,hidupnya adalah miliknya,pendengarannya adalah miliknya,penglihatannya adalah miliknya,ilmunya adalah miliknya,kuasa dan kehendaknya adalah miliknya lain daripada Allah,sehingga ketika kita mengakui daripd Haq Allah maka kita mengadakan Wujud dan Haq bagi sesuatu yang lain daripd Allah maka kita telah mengadakan Kesyirikan dan Sekutu bagi diri kita dan ketika hati kita dihinggapi kesyirikan sekecil apapun maka seluruh amal apapun akan menajdi sia-sia dan kita termasuk kedalam golongan orang" yang musrikin karna telah mensekutukan Allah dengan sesuatu yang lain dan yang tidak sesuai dengan kalimat tauhid " LAILAHAILLALLAH " penuhilah dosamu seluas langit dan bumi maka akan Allah ampunkan kecuali SYIRIK mensekutukan allah sekecil apapun tidak akan diampuni yang itu berarti seluruh amal apapun menjadi sia-sia nauzubillah minzaliq.
tapi ketika seseorang mengenal Diri dan Tuhan maka tidaklah satukali mata berkedip,tidaklah satu kali kaki melangkah,satu kali rambut bergoyang  tak lain itu adalah sebuah ibadah yang  tidak ada bandingannya dari seribu tahun kamu sholat diatas ka’bah tapi  jahil  dan buta terhadap Diri dan Tuhannya,Mari kitasama” belajar bagaimana diri ini agar tidak buta dengan bebenah diri dalam mencari sesuatu yang BENAR sesuatu yang HAKIKI, karna satu detik engkau mengenal Allah itu lebih baik dan lebih mahal nilainya ketimbang alam dan isinya,lebih mahal nilainya dari seribu tahun sholatnya orang yang istikomah tp ia jahil dan buta,mari kita tanamkan jiwa rahmatan lil alamin yang saling mencintai menyayangi menghormati antara sesama dan antara umat beragama agar tercipta kerukunan diantara kita,mudah'an kita termasuk kedalam golongan orang" yang beruntung Amin....

msa__

Sabtu, 06 Juli 2013

Berguru Kepada MURSYID


1.       Dasar-Dasar Al Qur’an Dan Al Hadits
Sebagai manusia yang mendapat tugas mengabdi kepada Allah Swt harus melalui atau menapak jalan untuk mencapai suatu tujuan yaitu berjumpa dengan Allah dan mendapatkan ridla-Nya. Untuk mencapai Allah, hamba tidak berkemampuan, karena dimensi manusia sebagai hamba sangat terbatas. Karena itu, sesuai dengan keinginan Allah Swt, ia menciptakan makhluk perantara sekaligus pengantar manusia untuk mempermudah berhubungan dengan Allah Swt dan mengenalnya dengan baik. Firman Allah dalam hadits Qudsi menceritakan pesisa-Nya di kalangan hambanya sebagai berikut :
كُنْتُ خَزِيْنَةً خَافِيَةً فَاَرَدْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَّفُوْنِ
Adalah Aku satu perbendaharaan yang tersembunyi, maka inginlah Aku supaya diketahui siapa Aku, maka Aku jadikanlah makhluk-Ku. Maka Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka (para petugas Allah).

Dalam al Qur’an terdapat banyak keterangan mengenai orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, yaitu diberi rahmat dari Allah dan dikaruniai ilmu ladunni, seperti : nabi Hidir guru ruhani Nabi Musa, Lukman al Hakim, Asif bin Barkhiya, perdana menteri Nabi Sulaiman, pemuda-pemuda penghuni gua atau Ashabul Kahfi dan lain-lain. Pemuda-pemuda Ashabul Kahfi merupakan contoh pemuda yang telah beriman kepada Tuhannya dan petunjuknya senantiasa bertambah, imannya semakin kuat, kokoh, tidak dapat ditumbangkan oleh siapa pun, termasuk oleh raja yang berkuasa waktu itu. Ashabul Kahfi adalah sosok pemuda-pemuda yang keramat penuh fenomena, mereka adalah bagian ayat-ayat Tuhan :

Demikian itulah termasuk ayat-ayat Allah, siapa yang Allah menyukainya, maka ia mendapat petunjuk, siapa yang Allah sesatkan, maka engkau (Muhammad) tidak mendapatkan untuknya seseorang yang wali yang memintarkan (mendidik)-Nya, tentang urusan dunia, dan urusan keakhiratan. (QS. al Kahfi : 17)

Lalu masalahnya, siapakah mursyid yang wali ini dan di mana tempatnya, apa ciri-ciri atau tanda-tandanya?, pertanyaan-pertanyaan inilah yang sulit dicari jawaban-jawabannya, kecuali dari orang yang telah dikehendaki Allah mendapat petunjuk. Ciri-cirinya antara lain yang disabdakan Rasulullah, dalam Hadits Qudsi : Allah Ta’ala berfirman, yang artinya ::
Barang siapa memusuhi seorang Wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Dan apabila Hamba-Ku menghampirkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai dari hanya sekedar mengamalkan apa-apa yang telah kuwajibkan atasnya, kemudian ia terus menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan yang nawafil (yang baik-baik), hingga Aku mencintainya. Maka apabila ia telah Kucintai, adalah Aku pendengarnya bila ia mendengar, dan Akulah penglihatannya bila melihat, dan Akulah tangannya bila ia mengambil (melakukan sesuatu), dan Akulah kakinya bila ia berjalan. Demi jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan permohonannya, dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pastilah Aku lindungi dia. (HR. Bukhori dari Abu Hurairah ra.)

Saidi Syekh Der Moga Barita Raja Muhammad Syukur Al- Khalidi berfatwa : “Mursyid itu bila dicari (melalui pertanyaan-pertanyaan) maka takkan ketemu. Tetapi apabila amal perbuatannya diikuti, maka pasti ia dijumpai.” Dalam hal ini seorang wali yang mursyid itu dapat diketahui dengan meriset amalan-amalannya secara tekun dan gigih (mujahadah), baik amalan lahiriyah maupun batiniah dalam tempo yang relatif lama dan benar, maka pasti Allah akan menunjukkan ke jalan-Nya yang lurus. Tetapi apabila tidak diriset, maka seseorang tidak dapat menyimpulkan bahwa seseorang itu adalah wali yang mursyid. Demikian juga apabila seseorang merisetnya dengan cara yang tidak benar, maka ia tidak akan menemukan kesimpulan apapun.

2.       Pengertian Mursyid
Secara luas, kata mursyid berasal dari ‘irsyad’yang artinya petunjuk. Sedangkan pelakunya adalah mursyid yang artinya orang yang ahli dalam memberi petunjuk dalam bidang agama. Menurut pengertian ini, yang disebut mursyid adalah orang-orang yang ditugasi oleh Allah Swt untuk menuntun, membimbing dan menunjukkan manusia ke jalan yang lurus atau benar dan menghindarkan manusia dari jalan yang sesat. Tentu saja mereka sebelum ditugasi oleh Allah telah mendapat pengajaran terlebih dahulu dan mendapatkan bekal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pembimbingan.
Menurut Rasulullah Saw, bahwa jajaran petugas-petugas Allah Swt memimpin dan membimbing umat adalah para Nabi, para Rasul, dan para Khalifah Allah (Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin) yakni Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk dari Allah Swt, Nabi bersabda :
Dari Abu Hurairah ra. menyatakan: Rasulullah Saw bersabda:
 “Dahulu kaum Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang nabi meninggal dunia, maka diganti seorang nabi lainnya. Maka sesungguhnya tidak ada nabi yang menggantikan setelah aku meninggal dunia, Namun yang menggantikanku adalah khalifah-khalifah. Maka mereka banyak mempunyai pengikut-pengikut ”, Sahabat bertanya, “Wahai Rasul apa yang engkau perintahkan pada kami?” Rasul menjawab, “Laksanakan baiat seperti baiat pertama kali di hadapan mereka dan tunaikan hak-hak mereka, Kalian mintalah kepada Allah yang menjadi bagian kalian, karena Allah Ta’ala menanyakan tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Bukhari Muslim).
Sebagian Ulama mengatakan bahwa jumlah para rasul adalah sama dengan bilangan sahabat yang ikut dalam perang badar 313 orang, namun yang wajib diketahui kemudian yang tercantum dalam al Qur’an adalah 25 orang yaitu : Adam, Idris, Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishak, Ya’kub, Yusuf, Ayub, Syuaib, Harun, Musa, Yasa’, Dzulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, Muhammad Saw.
Petugas-petugas Allah dalam membimbing umat setelah Rasulullah adalah para khalifah atau yang disebut dengan Khulafaur Rasyidin al Muhdiyyin, yang jumlahnya juga tidak diketahui dengan pasti. Karena mereka adalah pemimpin-pemimpin umat yang dimulai dari Abu Bakar sampai turunnya Nabi Isa yang menandai dunia telah berakhir.
Bekal dan amanah yang dititipkan pada mereka untuk umat para rasul, para nabi dan para khalifah Allah adalah kalimat Tauhid yaitu Lailaha illa Allah yang artinya tiada tuhan selain Allah, firman Allah:
Dan tidak kami utus sebelum kamu seorang rasul melainkan kami wahyukan kepadanya : “Bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang sebenarnya) melainkan Aku : oleh yang demikian, berbaktilah kepada-Ku” (QS. al Anbiya’:25)
Inilah kiranya ketika para sahabat bertanya mengenai akhlak dan budi pekerti Rasulullah : Wahai Siti Aisyah tolong gambarkan, apa budi pekerti Rasulullah? maka Siti Aisyah menjawab ”Budi pekerti Rasulullah adalah al Qur’an.” (kaana khuluquhuu al Qur’aanu) Memang Rasulullah Saw pernah bersabda:
تَخَلَّقُوْا بِاَخْلاَقِ اللهِ تَعَالَى
Berbudilah kamu sekalian dengan budi pekertinya Allah Ta’ala.

Dengan demikian, secara lahiriah bahwa para rasul dan para khalifah itu yakin secara jasmani mereka adalah manusia biasa, yakni mereka makan, minum, kawin, tidur, dagang, sakit yang merupakan sifat kebolehan bagi mereka, akan tetapi batin mereka (ruhani mereka) adalah kelompok ruh-ruh yang disucikan oleh Allah, bapak Prof. DR. Kadirun Yahya MA menamakan dengan ‘nurun ala nurin,’ Syaikh Abdul Qadir Jailani menamakannya dengan hakikat Muhammad (Nur Muhammad) yang pada intinya adalah Allah Swt sendiri.
Itulah sebabnya ketika nur Muhammad bersemayam dan dititipkan kepada nabi Adam, maka Allah Ta’ala memerintahkan semua makhluknya untuk bersujud kepadanya, maka spontan saja para makhluk yang terbuka hijabnya serta merta menaati perintah itu. Sedangkan makhluk yang tertutup hijabnya, mendewakan akal dan takabur menolak terhadap perintah itu. Dengan pongahnya mereka mengatakan, “Kami hanya akan menyembah kepada Allah semata, kami tidak mau menyekutukannya dengan menyembah manusia seperti Adam, kami tak percaya bahwa Tuhan berkehendak tajalli (mendlahir) pada hambanya yang dikasihinya semacam Adam.
Pengertian Mursyid secara terbatas pada kalangan sufi dan ahli thareqat adalah orang yang pernah membaiat dan menalqin atau mengajari kepada murid tentang teknik-teknik bermunajat kepada Allah berupa teknik dzikir atau beramalan-amalan saleh.
Mursyid adalah guru yang membimbing kepada murid untuk berjalan menuju Allah Swt dengan menapaki jalannya. Dengan bimbingan guru itu, murid meningkat derajatnya di sisi Allah, mencapai Rijalallah, dengan berbekal ilmu syariat dan ilmu hakikat yang diperkuat oleh al Qur’an dan as sunah serta mengikuti jejak ulama pewaris nabi dan ulama yang telah terdidik oleh mursyid sebelumnya dan mendapat izin dari guru di atasnya untuk mengajar umat. Guru yang dimaksud adalah guru yang hidup sezaman dengan murid dan mempunyai tali keguruan sampai nabi Muhammad Saw. Guru yang demikian itu adalah yang sudah Arif Billah, tali penyambung murid kepada Allah, dan merupakan pintu bagi murid masuk kepada istana Allah.
Dengan demikian guru merupakan faktor yang penting bagi murid untuk mengantarkannya menuju diterimanya taubat dan dibebaskannya dari kelalaian. Dalam perjalanan menuju Allah Swt, murid wajib baginya menggunakan mursyid atau pembimbing. Syekh Abu Yazid al Busthomi berkata :
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يُرْشِدُهُ فَمُرْشِدُهُ شَيْطَانٌ
Orang yang tidak mempunyai syeikh mursyid, maka syekh mursyidnya adalah syetan.

Muhammad Amin al Kurdi dalam kitanya yang bejudul Tanwirul Qulub fi mu’amalati ‘alamil ghulub menjelaskan bahwa pada saat murid ingin meniti jalan menuju Allah (thareqatullah), ia harus bangkit dari kelalaian. Perjalanan itu harus didahului dengan taubat dan segala dosa kemudian ia melakukan amal saleh. Setelah itu ia harus mencari seorang guru mursyid yang ahli keruhanian yang mengetahui penyakit-penyakit kejiwaan dari murid-muridnya. Guru tersebut hidup semasa dengannya. Yaitu seorang guru yang terus meningkatkan diri ke berbagai kedudukan kesempurnaan, baik secara syariat maupun hakikat. Perilakunya juga sejalan dengan al Qur’an dan al Sunnah serta mengikuti jejak langkah para ulama pendahulunya. Secara berantai hingga kepada Nabi Saw. Gurunya itu juga telah mendapat lisensi atau izin dari kakek gurunya untuk menjadi seorang mursyid dan pembimbing keruhanian kepada Allah Swt, sehingga murid berhasil diantarkan kepada maqam-maqam dalam tasawuf dan thareqat. Penentuan guru ini juga tidak boleh atas dasar kebodohan dan mengikuti nafsu. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.524)
 Sebelum ia menjadi mursyid yang arif billahi, seseorang harus mendapat tarbiah atau pendidikan dari guru yang selalu mengawasi perkembangan ruhani murid, sehingga murid mencapai maqam ‘shiddiq’. Kemudian diizinkan oleh guru untuk membaiat kepada calon murid dengan mengajari mereka.
Tampilnya menjadi mursyid itu bukan kehendak dirinya tapi kehendak gurunya, dengan demikian orang yang memunculkan dirinya sebagai mursyid tanpa seizin guru maka ia sangat membahayakan kepada calon muridnya. Murid yang di bawah bimbingannya itu akan mengalami keterputusan. Berarti mursyid yang palsu ini menjadi penghalang muridnya menuju Allah dan dosa-dosa mereka akan ditanggung oleh mursyid jadi-jadian itu. (Amin al Kurdi: tt, hlm. 525)
Seluruh pembelajaran dan pengajaran serta bimbingan mesti bersesuaian dengan isi, terutama bagian dalam al Qur’an dan al Sunnah serta sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh nabi dan ulama pewarisnya. Orang yang menyandang demikian itulah yang layak dicontoh / diteladani oleh murid-muridnya, syaikh Imam Junaid al Baghdadi mengatakan :
عَلِمْنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَمَنْ لَمْ يَقْرَإِ اْلكِتَابَ وَلَمْ يَكْتُبِ الْحَدِيْثَ وَلَمْ يَجْلِسِ اْلعُلَمَاءَ لاَ يُقْتَدَى فِى هَذَا الشَّأْنِ
Ilmu kami diperkuat dengan dalil-dalil al Qur’an dan al Hadits, maka siapa yang tidak membaca al Qur’an dan tidak menulis hadits, serta tidak duduk sering-sering dengan ulama, maka ia tidak layak menjadi panutan di dalam perkara-perkara (thareqat) ini.

Dengan keterangan di atas, mursyid semestinya adalah orang yang tergolong ulama, pemimpin umat yang bersifat kamil lagi mukammil yakni pribadinya bersih dan suci serta berakhlak yang terpuji, dan mampu menyempurnakan akhlak murid-muridnya. Mursyid adalah kuat keyakinannya dan menjadi kekasih Tuhan, membawa berkah untuk umatnya serta rahmat bagi kaumnya. Ia mengetahui berbagai penyakit ruhani dan jasmani muridnya, mampu menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut atau mampu mengajarkan teknik-teknik penyembuhan dan pengobatan jasmani dan ruhani. Mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit yang membelenggu umat dengan kekeramatan dan maunah yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Idealnya seorang guru mursyid atau syaikh dalam thareqat memenuhi kemampuan-kemampuan dan harapan di mata muridnya sebagai berikut :
a.       Syaikh al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thareqat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum tuhan, sehingga dari syaikh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
b.       Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti
c.        Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
d.       Syaikh al Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
e.        Syaikh at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thareqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
f.        Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dari pengamal thareqat.
Dalam setiap beramal dan beribadah atau dalam keadaan lainnya, murid wajib menjaga kehadiran wajah mursyidnya, dan wajah itu senantiasa dikenang di antara kedua matanya. Adalah sangat penting menghadirkan wajah Guru Mursyid, bahkan ia termasuk adab yang paling utama dalam beramal dan berzikir kepada Allah. Banyak manfaat yang di dapat dari mengenang dan menghadirkan wajah mursyid dalam segala aktivitas berdasar al Quran dan al Hadist di antara lain :
Hamba mendapat petunjuk dalam segala aktivitasnya dan terhindar dari segala kesesatan seperti dalam firman Allah Swt sebagai berikut
Siapa yang ditunjukkan Allah maka ia mendapat petunjuk, siapa yang disesatkan-Nya maka engkau (Muhammad) tidak menjumpai seorang wali yang mencerdikkannya. (QS. al Kahfi : 17)

a.       Mursyid dapat mengantarkan murid bersambung kepada Allah Swt
كُنْ مَعَ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَاِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلىَ اللهِ
Jadilah kamu bersama Allah, apabila tidak bersama Allah maka jadilah kalian bersama orang yang sudah bersama Allah, maka sesungguhnya orang itu bisa membawamu kepada Allah. (HR. Abu Daud)

b.       Mengingat Mursyid mampu mengantarkan hamba berzikir kepada Allah. Rasulullah bersabda :
اَفْضَلُكُمُ الَّذِيْنَ اِذَا رُئُوْا ذُكِرَالله ُتَعَالَى لِرُؤْيَتِهِمْ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang ketika di ingat, maka Allah di ingat. (HR. Hakim dari Anas ra)

c.        Mengingat Mursyid dan bersama dengannya secara dlahir batin dapat mengantarkan murid berbuat taat kepada Allah Swt. Firman Allah dalam hadits qudsi:
اِنَّ اَوْلِيَائِ مِنْ عِبَادِى وَاَحِبَّائِ مِنْ خَلْقِى اَلَّذِيْنَ يُذْكَرُوْنَ بِذِكْرِى وَاُذْكَرُ فِى ذِكْرِهِمْ
Sesungguhnya wali-wali-Ku dari kalangan hamba-hamba-Ku dan kekasih-kekasih-Ku dari kalangan makhluk-Ku yaitu orang-orang yang diingat apabila mengingat Aku dan Aku pun sekaligus ada di sana (diingat) apabila mengingat mereka.

3.       Kriteria Guru Mursyid
Adapun fungsi guru yang kita kenal adalah transfer of knowledge, dia mengajarkan masalah-masalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sedangkan pelajaran yang diberikan mursyid kepada muridnya merupakan transfer of spiritual yaitu Iman dan Takwa (Imtak). Walaupun fungsi mursyid itu sama dengan fungsi guru yaitu memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya, tetapi bidangnya adalah ruhani yang sangat halus yang berpusat pada lubuk hati sanubari. Jadi sifatnya tidak kelihatan, gaib atau metafisik.
Berdasarkan pengertian tentang mursyid, syarat dan dalil-dalilnya, maka tidak semua orang bisa menjadi mursyid. Seorang mursyid memiliki tanggung jawab yang berat. Oleh karenanya seorang mursyid menurut Muhammad Amin al Kurdi harus memiliki kriteria-kriteria dan adab-adab sebagai berikut:
a.       Alim, dan ahli di dalam memberikan irsyadat (tuntunan-tuntunan) kepada para muridnya dalam masalah fiqih dan syariat serta masalah tauhid ‘aqidah’ dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala prasangka dan keraguan dari hati para muridnya mengenai persoalan tersebut.
b.     Arif, dengan segala sifat kesempurnaan hati, segala etika, segala kegelisahan jiwa dan penyakitnya juga mengetahui cara menyembuhkannya kembali serta memperbaiki seperti semula.
c.     Bersifat belas kasih terhadap semua orang Islam, terutama mereka yang menjadi muridnya. Apabila melihat ada di antara mereka yang tidak dapat dengan segera meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya, sehingga belum bisa menghindarkan diri dari kebiasaan-kebiasaannya yang kurang baik, maka dia bersikap sabar, memperbanyak maaf tidak bosan-bosan mengulang-ulang nasihatnya serta tidak tergesa-gesa memutuskan hubungan murid yang seperti itu dari silsilah  thareqatnya. Tetapi hendaknya dia tetap dengan penuh lemah lembut selalu bersedia memberikan bimbingan-bimbingannya kepada para murid asuhannya.
d.     Pandai menyimpan rahasia para muridnya, tidak membuka aib mereka terlebih di depan banyak orang. Tetapi sebaiknya tetap mengawasinya dengan pandangan mata kesufiannya yang tajam serta memperbaikinya dengan caranya yang bijaksana.
e.     Tidak menyalahgunakan amanah para muridnya, tidak menggunakan harta benda mereka dalam bentuk dan kesempatan apapun dan juga tidak menginginkan apa yang ada pada mereka.
f.      Tidak sekali-kali menyuruh para muridnya dengan suatu perbuatan kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas dilakukan oleh dirinya sendiri. Demikian pula dalam hal melakukan ibadah yang sunnat atau menjauhi perbuatan yang makruh. Pendeknya dalam segala macam keadaan dan perasaan, dirinyalah yang harus menjadi contoh lebih dahulu, baru kemudian disampaikan suatu perintah atau larangan kepada para muridnya. Jika tidak demikian kesanggupannya, maka lebih baik hendaknya dia berdiam saja.
g.     Tidak terlalu banyak bergaul, apalagi bercengkerama dan bersenda gurau dengan para muridnya. Dia hanya bergaul dengan mereka sekali dalam sehari semalam dalam kesempatan dzikir dan wirid, sekaligus menyampaikan bimbingan-bimbingannya berkaitan dengan masalah syariat dan  thareqat dengan merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi pegangan alirannya. Sehingga dengan demikian dia dapat menghindarkan segala keraguan dan dapat membimbing para muridnya dalam beribadah kepada Allah Swt dengan amalan-amalan yang sah.
h.     Mengusahakan agar segala perkataannya bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama kata-kata yang pendapatnya itu akan memberi dampak pada batiniyah para muridnya.
i.       Bijaksana, lapang dada dan ikhlas. Tidak memerintahkan kepada para muridnya sesuatu yang menurutnya mereka tidak sanggup untuk itu, dan senantiasa bermurah hati di dalam memberikan pengajaran kepada mereka.
j.      Apabila dia melihat seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dengannya lalu menampakkan ketinggian hatinya, maka hendaknya segera dia perintahkan si murid tersebut pergi ber-khalwat (menyendiri) ke suatu tempat yang tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat dengan dirinya.
k.     Apabila dia melihat kehormatan dirinya dirasa berkurang pada perasaan dan hati para muridnya, hendaknya dia segera mengambil inisiatif yang bijaksana untuk mencegah hal tersebut. Karena berkurangnya rasa percaya dan sikap hormat seorang murid kepada guru mursyidnya adalah merupakan suatu keburukan yang membahayakan bagi pribadi si murid.
l.       Memberikan petunjuk-petunjuk tertentu dan pada kesempatan-kesempatan tertentu kepada muridnya untuk memperbaiki ahwal (perilaku dan keadaan) mereka.
m.   Memberikan perhatian yang khusus pada kebanggaan ruhani yang sewaktu-waktu dapat timbul pada diri para muridnya yang masih dalam bimbingan dan pengajaran. Kadang ada seorang murid yang menceritakan suatu ru’yah (mimpi) yang dilihatnya, mukasyafah (tersingkapnya hal-hal gaib) yang terbuka baginya dan musyahadah (penyaksian hal-hal gaib) yang di dalamnya, di dalam semua itu terdapat hal-hal yang istimewa, maka hendaklah dia berdiam diri dan tidak banyak menanggapi hal tersebut. Sebaiknya, dia berikan kepada murid tersebut tambahan amalan yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar. Sebab jika dia menanggapinya, dikhawatirkan justru akan terjadi sesuatu yang dapat merusakkan jiwa dan hati si murid. Karena memang seorang murid  thareqat bisa sewaktu-waktu mengalami peningkatan ruhani, tetapi sering terjadi hal-hal yang tidak benar menurunkan martabatnya kembali.
n.     Melarang para muridnya banyak berbicara dengan kawan-kawannya kecuali dalam hal-hal yang bermanfaat, terutama melarang mereka membicarakan tentang karamah-karamah atau wirid-wirid yang istimewa. Karena jika dia membiarkan hal tersebut, lambat laun si murid bisa menjadi rusak karenanya, sebab ia akan bermartabat takabur dan berbesar diri terhadap yang lainnya.
o.     Menyediakan tempat ber-khalwat (i’tikaf / suluk) yang khusus bagi para muridnya secara perorangan, yang tidak setiap orang boleh masuk kecuali untuk pertemuan khusus. Begitu pun dirinya, juga menyiapkan tempat khalwat khusus untuk dirinya dan sahabat-sahabatnya.
p.     Menjaga agar para muridnya tidak melihat segala gerak-geriknya, tidak melihat cara tidurnya, cara makan minumnya dan lain-lain sebagainya. Karena yang demikian itu, sewaktu-waktu bisa saja akan justru mengurangi penghormatan si murid kepadanya.
q.     Mencegah para murid memperbanyak makan, karena banyak makan itu bisa memperlambat tercapainya latihan-latihan ruhani yang dia berikan kepada mereka. Dan kebanyakan manusia itu adalah budak bagi kepentingan perutnya.
r.      Melarang para muridnya berhubungan aktif dengan mursyid  thareqat lain, karena yang demikian itu acap kali memberikan akibat yang kurang baik bagi mereka. Tetapi apabila dia melihat bahwa hal itu tidak akan mengurangi kecintaan para muridnya kepada dirinya dan tidak akan mengguncangkan pendirian mereka, maka yang demikian itu tidak apa-apa.
s.      Melarang para muridnya terlalu sering berhubungan dengan penguasa dan pejabat tanpa adanya keperluan tertentu, karena hal itu akan dapat membangkitkan dan membesarkan nafsu duniawi mereka serta membuat lupa bahwa mereka tengah dididik berjalan menggapai kebahagiaan akhirat yang hakiki.
t.      Menggunakan kata-kata yang lemah lembut serta menawan hati dan pikiran dalam khutbah-khutbahnya. Jangan sekali-sekali khutbahnya berisi kecaman dan ancaman, karena hal itu akan dapat membuat jiwa para muridnya jauh darinya.
u.     Apabila dia berada di tengah-tengah para muridnya, hendaklah dia duduk dengan tenang dan sabar, tidak banyak menoleh kanan, kiri, tidak mengantuk apalagi tidur, tidak menjulurkan kaki di tengah-tengah pertemuan, tidak memejamkan mata, tidak merendahkan suaranya ketika berbicara dan tidak melakukan hal-hal kurang etis lainnya. Karena semua yang dilakukannya itu akan diikuti oleh para muridnya yang menganggapnya sebagai contoh-contoh yang mesti mereka tiru.
v.     Tidak memalingkan muka ketika ada seorang atau beberapa orang muridnya menemuinya. Ketika akan menoleh ke arah lain, dipanggilnya muridnya itu meskipun tidak ada sesuatu yang akan dipertanyakan. Dan bila mendatangi para muridnya, dia tetap menjaga etika dan sopan santun yang sebaik-baiknya.
w.    Suka menanyakan muridnya yang tidak hadir pada pengajarannya dan mencari tahu sebabnya. Apabila murid itu ternyata sakit, dia segera berusaha menengoknya. Dan kalau ternyata sedang ada uzur, maka dia kirimkan salam kepadanya.
x.     Jika salah seorang muridnya menemuinya, maka ia jangan sampai memasamkan mukanya. Jika ia hendak keluar, hendaknya ia tetap mendo’akan para murid-muridnya walau tanpa diminta. Jika ia hendak menemui salah seorang muridnya, hendaknya ia dalam keadaan yang paling sempurna dan penampilan yang paling baik. (Amin al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.528 – 531).

Prof. DR. H.S.S. Kadirun Yahya dalam bukunya, Ibarat Sekuntum Bunga Dari Taman Firdaus hlm.18 berkata, “Syarat-syarat bagi seorang mursyid amatlah berat, dan kalau saya ditanya, apakah saya telah memenuhi syarat untuk mursyid? Maka jawabnya adalah amat berat untuk mengatakan “ya,” atau kalau mau jawaban yang murah saja, “tidak tahu” Karena sebenarnya bukan saya sendiri yang harus menilai kualitas saya – begitulah beratnya kriteria mursyid – namun saya melaksanakan tugas dengan sepenuh tenaga, sepenuh jiwa dengan hati yang sebulat-bulatnya. Siap melaksanakan suruh dari pada guru saya yang juga merupakan suruh dari Allah dan Rasul, yaitu menegakkan dzikrullah dalam diri pribadi saya dan dalam pribadi umat. Jadi beliau-beliau yang diataslah yang menilai akan kualitas diri saya.”
Selanjutnya menurut beliau, kriteria guru mursyid dapat dilukiskan atau digambarkan secara riil ke dalam tujuh butir antara lain sebagai berikut :
a.       Pilih guru kamu yang mursyid, (dicerdikkan oleh Allah), bukan oleh yang lain-lain dengaan mendapat izin Allah dan ridla-Nya.
b.       Ia adalah kamil lagi mukamil (sempurna lagi menyempurnakan) karena karunia Allah.
c.        Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau berdo’a, maka berbekas pada murid, si murid berubah ke arah kebaikan).
d.       Masyhur ke sana ke mari. Kawan dan lawan mengatakan “Ia seorang guru besar.”
e.        Tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yakni tidak dicela oleh al Qur’an dan al Hadits serta ilmu pengetahuan.
f.        Yang tidak kuat mengerjakan yang harus, umpamanya membuat hal-hal yang tidak murni halalnya.g.
g.         Tidak setengah kasih kepada dunia, karena bulat hatinya. Ia kasih akan Allah, ia bergelora dalam dunia, bekerja keras untuk mengabdi kepada Allah Swt bukan untuk mencintai dunia.

4.       Pandangan Ulama Tentang Pentingnya Bermursyid.
Abdul Qadir Isa dalam bukunya Hakaikut Tasawuf hlm. 36 menyebutkan, ulama-ulama tasawuf yang memandang pentingnya berguru di hadapan mursyid yang wali antara lain :
a.       Abu Hamid al Ghazali
Abu Hamid al Ghazali berkata, “Bergabung dengan kalangan sufi adalah fardhu ‘ain. Sebab tidak seorang pun terbebas dari aib atau kesalahan kecuali para nabi.” Selanjutnya ia menuturkan pengalamannya, sebab-sebab ia berguru:
“Pada awalnya aku adalah orang mengingkari kondisi spiritual orang-orang saleh dan derajat-derajat yang dicapai oleh para ahli makrifat. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya aku bergaul dengan mursyid-ku, Yusuf an Nasaj. Dia terus mendorongku untuk melakukan mujahadah, hingga akhirnya aku memperoleh karunia-karunia ilahiyah. Aku dapat melihat Allah di dalam mimpi. Dia berkata kepadaku, “Wahai Abu Hamid, tinggalkanlah segala kesibukanmu. Bergaullah dengan orang-orang yang telah Aku jadikan sebagai tempat pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang menggadaikan dunia dan akhirat karena mencintai Aku.” Aku berkata, “Demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan melakukannya kecuali jika Engkau membuatku dapat merasakan sejuknya berbaik sangka terhadap mereka.” Allah berfirman, “Sungguh Aku telah melakukannya. Yang memutuskan hubungan antara engkau dan mereka adalah kesibukanmu mencintai dunia. Maka keluarlah dari kesibukanmu mencintai dunia dengan suka rela sebelum engkau keluar dari dunia dengan penuh kehinaan. Aku telah melimpahkan kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Maha Suci.” Aku bangun dengan penuh gembira. Lalu aku mendatangi Syaikh-ku, Yusuf an Nasaj, dan menceritakan tentang mimpiku itu. Dia tersenyum sambil berkata, “Wahai Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang pernah kami peroleh di fase awal perjalanan kami. Jika engkau tetap bergaul denganku, maka mata hatiku akan semakin tajam.”
Abu Hamid al Ghazali juga berkata, “Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia harus mempunyai seorang mursyid dan pendidik spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta melenyapkan akhlak-akhlak yang tercela dan menggantinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali dia melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan sebelum Rasulullah Saw wafat, Beliau telah menetapkan para khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang mursyid.”
Di antara yang pernah dikatakan oleh al Ghazali adalah, “Murid membutuhkan seorang mursyid atau guru yang dapat diikutinya, agar dia menunjukkannya ke jalan yang lurus. Jalan agama sangatlah samar dan jalan-jalan Syetan sangat banyak dan jelas. Oleh karena itu, jika seseorang yang tidak mempunyai Syaikh yang membimbingnya, maka pasti Syetan akan menggiringnya menuju jalannya. Barang siapa berjalan di jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka dia telah menjerumuskan dan membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh sendiri. Pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia dapat bertahan hidup dan berdaun, dia tidak akan berubah. Yang menjadi pegangan seorang murid adalah Syaikhnya. Maka hendaklah dia berpegang teguh kepadanya.”
Di samping itu, Abu Hamid al Ghazali juga pernah menyatakan, “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Dia akan memperlihatkan kepadanya penyakit-penyakit yang ada di dalam jiwanya. Barang siapa mata hatinya terbuka, niscaya dia akan dapat melihat segala penyakit. Apabila dia mengetahui penyakit itu dengan baik, maka dia dapat mengobatinya. Namun mayoritas manusia tidak dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara mereka dapat melihat kotoran di mata saudaranya. Tapi dia tidak dapat melihat kotoran di matanya sendiri. Barang siapa ingin mengetahui penyakit-penyakit dirinya, maka dia harus menempuh empat cara. Pertama, dia harus duduk di hadapan seorang mursyid yang dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk mursyidnya itu dalam melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian, mursyid atau gurunya akan dapat mengenalkannya tentang penyakit-penyakit yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya.”

b.       Abdul Qadir al Jazairi
Dalam al Muwaqif, Abdul Qadir al Jazairi mengatakan bahwa Allah mengisahkan ucapan Musa as. kepada Khidir as, “Bolehkah aku mengikutimu, supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66)
Ketahuilah bahwa seorang murid tidak akan dapat mengambil manfaat dari ilmu dan kondisi spiritual Syaikhnya, kecuali jika dia tunduk secara sempurna kepadanya, melakukan apa saja yang diperintahkannya dan menjauhi apa-apa yang dilarangnya. Di samping itu, dia juga harus meyakini kemuliaan dan kesempurnaan yang dimiliki oleh Syaikhnya. Dia membutuhkan kedua hal itu. Sebagian orang meyakini kesempurnaan Syaikhnya, lalu menyangka bahwa itu sudah cukup untuk meraih apa yang dituju dan dicarinya, sehingga dia tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Syaikhnya dan tidak menjauhi apa yang dilarangnya.
Lihatlah Musa as. yang dengan kedudukannya yang mulia masih memohon untuk bertemu dengan Khidir as. dan menanyakan kepada beliau tentang jalan untuk bertemu dengan Tuhannya. Musa telah menanggung kesusahan dan keletihan dalam perjalanan, sebagaimana terekam dalam firman Allah, “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini” (QS. al Kahfi : 62) Namun demikian, ketika Musa tidak mematuhi satu larangan saja, “Janganlah engkau bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu” (QS. al Kahfi : 70) Musa tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari ilmu-ilmu Khidir. Padahal Musa merasa yakin bahwa Khidir lebih mengetahui tentang Allah dari padanya. Hal ini terekam dalam firman Allah saat Musa berkata, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang lebih berilmu dariku.” Allah berfirman, “Ada, yakni hambaku, Khidir.” Di sini Musa tidak mengkhususkan sebagian ilmu atas sebagian yang lain, tapi menyebutnya secara umum.
Pada awalnya, Musa tidak mengetahui bahwa potensinya tidak cukup untuk menerima sesuatu dari ilmu-ilmu Khidir. Sementara Khidir sudah mengetahui itu sejak awal perjumpaan mereka. Dia berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sabar bersama denganku” (QS. al Kahfi : 67). Ini merupakan salah satu bukti pengetahuan Khidir.
Setiap orang yang berakal hendaknya memperhatikan akhlak kedua orang yang mulia ini. Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Artinya : Apakah engkau mengizinkanku mengikutimu, agar aku dapat belajar kepadamu? Di dalam kalimat yang diungkapkan Musa ini terdapat kemanisan akhlak yang dapat dirasakan oleh setiap orang yang memiliki perasaan yang sehat.
Kemudian Khidir menjawab, “Jika engkau mengikutiku, maka jangan bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkan kepadamu.” (QS. al Kahfi:70). Khidir tidak menjawab dengan, “Jangan bertanya kepadaku”, lalu diam, hingga Musa menjadi bingung. Tapi dia berjanji akan menerangkan kepada Musa tentang ilmu atau hikmah dari apa yang dilakukannya. Dengan demikian, kesempurnaan Syaikh dalam ilmu yang dicari dan dituju tidak akan berguna apabila murid tidak menaati perintahnya dan tidak menjauhi larangannya.
Yang dapat diambil dari kesempurnaan Syaikh hanyalah petunjuknya yang dapat mengantarkan kepada apa yang dituju. Selebihnya Syaikh tidak dapat memberikan kepada muridnya kecuali apa yang diberikan oleh potensinya. Dan potensi seorang murid terletak pada diri dan perbuatannya. Ibarat seorang dokter ahli yang mendatangi seorang pasien dan menyuruhnya untuk meminum obat tertentu, tapi si pasien tidak meminumnya. Apakah si pasien dapat memanfaatkan sesuatu dari kepintaran dokter? Ketidakpatuhan pasien adalah bukti bahwa Allah tidak menghendaki kesembuhannya dari penyakit yang dideritanya. Sebab, apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menyediakan sebab-sebabnya. Hanya saja, seorang murid diharuskan untuk mencari seorang Syaikh yang paling sempurna dan mulia. Sebab, dikhawatirkan dia akan dituntun oleh seorang yang tidak mengetahui jalan untuk sampai kepada maksud yang dituju, sehingga hal itu menjadi penyebab terjerumusnya dirinya ke dalam jurang kebinasaan.
c.        Ibnu Athaillah as Sakandari
Ibnu Athaillah as Sakandari berkata, “Seseorang yang bertekad untuk meraih petunjuk dan meniti jalan kebenaran hendaklah mencari seorang Syaikh dari ahli thareqat, yang meninggalkan hawa nafsunya dan teguh mengabdi kepada Tuhannya. Apabila dia menemukan seorang Syaikh yang seperti itu, maka hendaklah dia menaati apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa saja yang dilarangnya.”
Ibnu Athaillah juga berkata, “Syaikhmu bukanlah orang yang kau perhatikan perkataannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang dari engkau mengambil sesuatu yang positif. Syaikhmu bukanlah orang yang ungkapan-ungkapannya menebakmu, tapi Syaikhmu adalah orang yang petunjuk-petunjuknya mengalir dalam dirimu. Syaikhmu bukanlah orang yang mengajakmu menuju pintu, tapi Syaikhmu adalah orang yang menghilangkan tabir antara dirimu dan dirinya. Syaikhmu bukanlah orang yang menuntunnya dengan ucapannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya. Syaikhmu adalah orang yang mengeluarkan dari penjara hawa nafsu dan memasukkanmu ke hadapan Tuhan Yang Maha Mulia. Syaikhmu adalah orang yang senantiasa membersihkan cermin hatimu, sehingga tampak jelas padanya cahaya-cahaya Tuhanmu. Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu untuk menuju Allah, lalu engkau bangkit menuju-Nya. Dan dia terus mendampingimu hingga engkau berada di hadapan-Nya. Lalu dia menuntunmu menuju cahaya ilahiyah sambil berkata kepadamu, “Inilah engkau dan Tuhanmu.”
Ibnu Athaillah juga berkata, “Jangan engkau bergaul dengan Syaikh yang tidak dapat membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya dan tidak dapat menunjukkanmu menuju Allah dengan ucapan-ucapannya.”

d.       Abdul Qadir al Jailani
Dalam Futuh al Ghaib, Abdul Qadir al Jailani menulis bait syair berikut,
Jika takdir membantumu atau kala menuntunmu
kepada Syaikh yang jujur dan ahli hakikat
maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya
Tinggalkanlah apa yang sebelumnya engkau lakukan
Sebab menentang berarti melawan
Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat kecukupan
Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya
Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam
dan seseorang dapat menghunus pedangnya
Maka Musa pun meminta maaf
Demikian keindahan di dalam ilmu kaum (sufi)

e.        Abdul Wahab Asy Sya’rani
Asy Sya’rani berkata, “Kami pernah di baiat atas nama Rasulullah Saw agar kami melaksanakan shalat dua rakaat setiap kali selesai wudhu’, dengan syarat kami tidak boleh berbicara di dalam hati kami tentang sesuatu dari urusan dunia atau sesuatu yang tidak disyari’atkan di dalam shalat. Setiap orang yang hendak melakukan amal ini membutuhkan seorang Syaikh yang berjalan bersamanya, sehingga dia dapat melenyapkan segala keinginan yang membuatnya lupa akan perintah Allah.”
Lalu dia berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan seorang Syaikh yang selalu memberimu nasihat dan dapat membuatmu sibuk dengan Allah. sehingga dia dapat menghilangkan pembicaraan hatimu di kala engkau shalat, seperti ucapanmu, “Aku akan pergi ke sana”, “Aku akan melakukan ini dan itu”, “Aku akan mengatakan ini kepada fulan” dan sebagainya. Jika tidak, maka engkau akan selalu berbicara di dalam hati di setiap shalatmu. Dan tidak satu pun shalatmu yang dapat engkau bebaskan dari pembicaraan tersebut, baik shalat wajib maupun sunah. Ketahuilah hal itu! Engkau tidak akan dapat mencapai semua itu tanpa bimbingan seorang Syaikh. Ibarat orang-orang yang mendebat tanpa ilmu. Sikap seperti ini tidak baik bagimu.”
Asy Sya’rani juga berkata, “Apabila jalan kaum sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syaikh, niscaya orang seperti al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syaikh. Sebelum memasuki dunia tasawuf, keduanya pernah mengatakan, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah membuat kebohongan kepada Allah.” akan tetapi, setelah memasuki dunia tasawuf keduanya berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan).” Akhirnya, keduanya mengakui jalan tasawuf dan bahkan memujinya.”
Asy Sya’rani melanjutkan, “Cukuplah kemuliaan bagi ahli thareqat perkataan Musa kepada Khidir, ” Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Juga pengakuan Ahmad ibn Hanbal bahwa Abu Hamzah al Baghdadi lebih utama darinya dan pengakuan Ahmad ibn Suraij bahwa Abu Qasim Junaid lebih utama darinya. al Ghazali juga mencari seorang Syaikh yang dapat menunjukkannya ke jalan tasawuf, padahal dia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syaikh Abu Hasan asy Syadzili.” Apabila kedua ulama besar ini, yakni al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam, membutuhkan seorang Syaikh, padahal keduanya adalah orang yang memiliki pengetahuan luas tentang ilmu syari’at, maka orang selain mereka berdua lebih membutuhkannya lagi.”

f.        Abu Ali ats Tsaqafi
Abu Ali ats Tsaqafi berkata, “Seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak akan sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang Syaikh yang memiliki akhlak yang luhur dan dapat memberinya nasihat-nasihat. Dan barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari seorang Syaikh yang memerintah dan melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah.”
g.       Abu Madyan
Abu Madyan berkata, “Barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari para Syaikh yang berakhlak mulia, maka dia akan merusak para pengikutnya.”

h.       Ahmad Zaruq
Dalam Qawa’id at Tashawwuf, Syaikh Ahmad Zaruq berkata, “Mengambil ilmu dan amalan dari para Syaikh adalah lebih baik dibanding mengambilnya dari selain mereka.” Sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. (QS. al Ankabut : 49). Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku. (QS. Lukman : 15)
Dengan demikian, mengangkat seorang Syaikh adalah suatu keharusan. Para sahabat sendiri mengambil ilmu dan amalan mereka dari Rasulullah. Rasulullah mengambil ilmu dan amalannya dari Jibril. Dan para tabi’in mengambil ilmu dan amalan dari para sahabat.
Setiap sahabat mempunyai para pengikut yang khusus. Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan al A’raj, misalnya, adalah pengikut Abu Hurairah. Sementara Thawus, Wahhab dan Mujahid, adalah pengikut Ibnu Abbas. Demikian seterusnya. Pengambilan ilmu dan amalan ini sangat jelas, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mereka. Sedangkan pemanfaatan himmah (kemauan) dan kondisi spiritual ditunjukkan oleh Anas, “Belum lagi kami menghilangkan debu dari tangan kami setelah mengubur Rasulullah, tapi telah kami mencela hati kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Anas menjelaskan bahwa melihat pribadi Rasul yang mulia adalah bermanfaat bagi hati para sahabat. Oleh sebab itu, Beliau memerintahkan untuk bergaul dengan orang-orang saleh dan melarang bergaul dengan orang-orang fasik.

i.         Ali al Khawas
Ali al Khawas berkata dalam syairnya,
Jangan menempuh jalan yang tidak engkau kenal
tanpa penunjuk jalan, sehingga engkau terjerumus ke dalam jurang-jurangnya

Penunjuk jalan dan mursyid akan dapat mengantarkan seorang salik sampai ke pantai yang aman dan menjauhkannya dari gangguan-gangguan selama di perjalanan. Sebab, penunjuk jalan dan mursyid sebelumnya telah melewati jalan itu di bawah bimbingan seseorang yang telah mengetahui seluk beluk jalan tersebut, mengetahui tempat-tempat berbahaya dan tempat-tempat yang aman dan terus menemaninya sampai akhirnya dia sampai di tempat yang dituju. Kemudian orang tersebut memberinya izin untuk membimbing orang lain. Ibnu al Banna menjelaskan ini di dalam syairnya,
Kaum sufi tidak lain sedang melakukan perjalanan
Ke hadirat Tuhan Yang Maha Benar
Maka mereka membutuhkan penunjuk jalan
yang benar-benar mengenal seluk beluk jalan itu
Dia telah melalui jalan itu, lalu dia kembali
untuk mengabarkan apa yang telah didapat

j.         Syaikh Muhammad al Hasyimi
Syaikh Muhammad al Hasyimi berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan seorang Syaikh yang bermakrifat kepada Allah, tulus, selalu memberimu nasihat serta memiliki ilmu yang benar, niat yang luhur dan kondisi spiritual yang diridlai. Sebelumnya Syaikh itu telah menempuh thareqat di bawah bimbingan para mursyid, mengambil akhlaknya dari akhlak mereka dan mengetahui seluk beluk jalan menuju Allah. Jika demikian, maka dia akan dapat menyelamatkanmu dari jalan-jalan yang membinasakan, mengarahkanmu untuk bergabung dengan Allah dan mengajarimu untuk menjauh dari selain Allah. Dia akan berjalan bersamamu, hingga engkau sampai kepada Allah. Dia akan membebaskanmu dari penyakit-penyakit jiwamu dan memperkenalkanmu dengan kebaikan Allah kepadamu. Apabila engkau telah mengenal-Nya, maka engkau akan mencintainya. Apabila engkau telah mencintainya, maka engkau akan bermujahadah di jalan-Nya. Apabila engkau telah bermujahadah di jalan-Nya, maka dia akan menunjukkanmu kepada jalan-Nya dan memilihmu untuk berada di dekat-Nya.”
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al Ankabut : 69). Oleh karena itu, hukum bergaul dengan Syaikh (mursyid) dan mengikutinya adalah wajib. Dasarnya adalah firman Allah, “Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku.” (QS. Lukman : 15) Dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. at Taubah : 119)
Selain itu, di antara syarat seorang mursyid adalah bahwa dia telah mendapat izin untuk mendidik manusia dari seorang mursyid kamil yang memiliki mata hati yang cemerlang. Jangan sampai engkau mengatakan, “Di mana aku dapat menemui mursyid yang memiliki ciri-ciri seperti itu?” Aku akan mengatakan kepadamu seperti yang dikatakan oleh Abu Athaillah as Sakandari dalam Latha’if al Minan, “Engkau tidak akan kekurangan mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka.”
Oleh sebab itu, bersungguh-sungguhlah dengan tulus, niscaya engkau akan menemukan seorang mursyid yang memiliki ciri-ciri demikian. Seorang penyair sufi mengatakan,
Rahasia Allah didapat dengan pencarian yang benar
Betapa banyak hal menakjubkan yang telah diperlihatkan kepada para pelakunya

Dalam Latha’if al Minan, Ibnu Athaillah juga berkata, “Hendaklah engkau mengikuti seorang wali yang Allah telah menunjukkannya kepadamu dan memperlihatkan kepadamu sebagian dari kekhususan dirinya. Engkau memandang bahwa kemanusiaannya lenyap dalam kekhususan dirinya. Sehingga engkau tunduk untuk mengikutinya, dan dia berjalan bersamamu di jalan kebenaran.”
Dalam al Hikam, Ibnu Athaillah berkata, “Maha Suci Allah yang tidak memberikan petunjuk menuju para wali-Nya kecuali dengan petunjuk menuju dirinya, dan tidak menyampaikan seseorang kepada mereka kecuali yang dikehendaki-Nya untuk sampai kepadanya.” (Abdul Qodir Isa, Hakikat Tasawuf, hlm.36-48)