Laman

Senin, 10 November 2014

Syukur Bersama Allah


Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Riwayat dari Abdullah bin Amr ra:
“Tuhanku mendidikku, dan “Rasulullah saw, masuk ke dalam rumahku, lalu bersabda, “Wahai
Abdullah bin Amr, bukankan aku diberi informasi bahwa sebenarnya dirimu sangat ketat (memaksa diri) dalam sholat malam dan puasa di siang hari?” Aku menjawab, “Saya memang melakukannya…”. Lalu Rasulullah saw, bersabda, “Cukuplah bagimu sebulan itu puasa tiga hari. Satu kebaikan itu sebanding dengan dengan sepuluh kebaikan, maka (jika anda melakukan puasa tiga hari setiap bulan) sama dengan puasa setahun penuh….” (Hr. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzy, Nasa’I, Ibnu Majah, Daramy dan Ibnu Sa’d) Dia mendidik adabku dengan baik.”
Dalam hadits ini ada rahasia-rahasia:
Adanya berita gembira atas kesinambungan cahaya amal dengan cahaya amal yang lain tanpa terhenti, walau pun ada jarak waktu yang jauh.
Berlipatgandanya pahala amal pada ummat ini, satu kebaikan sebanding dengan sepuluh kebaikan, agar hatinya bangkit untuk amal kebajikan.
Tidak adanya keterpaksaan yang membuat si hamba jadi bosan.
Terus menerus berdzikir hingga hati tak tertimpa kealpaan.
Kepastian iman terhadap janji dan kebajikan kemuliaan Allah swt.
Semua perilaku tersebut merupakan tingkah kaum ‘arifin yang melepaskan diri dari hasrat duniawi dan ukhrowi, dimana hasrat citanya hanyalah Tuhan mereka. Maka siapa pun yang himmahnya hanyalah Rabb, tiadalagi hasrat lain baginya.
Yahya bin Mu’adz ra, dalam munajatnya mengatakan:
“Ilahi, bila aku mengenalMu, sesungguhnya Engkau telah memberi petunjuk padaku. Jika aku mencariMu, sesungguhnya karena Engkau menghendakiKu. Jika aku datang kepadaMu, sesungguhnya Engkau memilihku. Jika aku taat padaMu, sesungguhnya karena Engkau memberi taufiq kepadaku. Dan jika aku kembali kepadaMu, itu karena Engkau menghampiriku.”
Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as telah bermunajat:
“Oh Tuhan, bagaimana caraku bersyukur atas nikmat-nikmatMu, sedangkan setiap rambut yang tumbuh saja ada dua nikmat?”
Allah swt menjawab:
“Wahai Musa! Bila engkau tahu bahwa dirimu sangat tak berdaya bersyukur kepadaKu, sesungguhnya engkau benar-benar telah bersyukur kepadaKu….”
Allah swt, mewahyukan kepada Nabi Dawud as:
“Bersyukurlah atas nikmatKu kepadamu…”
Nabi Dawud as, menjawab:
“Ya Allah bagaimana aku bisa bersyukur kepadaMu, sedangkan syukurku kepadaMu itu adalah nikmat teragung bagiku?”
“Bila engkau tahu itu, sebenarnya engkau hambaku paling bersyukur padaKu…” firmanNya dalam wahyu kepadanya.
Muhammad bin as-Sammak ra mengatakan, “Ingatlah kepada Dzat yang mendahului ingatNya sebelum dzikirmu, dan cintaNya sebelum cintamu. Apa pun yang kau dzikirkan tak lain jkecuali karena dzikirNya kepadamu, dan tak ada cintamu kepadaNya kecuali karena cintaNya kepadamu.”
Abu Bakr al-Wasithy ra, menegaskan, “Siapa yang lupa mengiat Allah Ta’ala berarti ia telah terkena Istidroj..”
Perlu diketahui bahwa sifat terendah dari seorang arif Billah adalah bila seseorang hatinya hidup bersama Allah tanpa ikatan apa pun, yaitu mengingat Allah, hanya kepada Allah. Hal demikian jelas, seperti dalam firmanNya, “Sesungguhnya dzikir Allah itu paling besar…”.
Dikatakan mengenai firman Allah Ta’ala:
“Sangat sedikit hamba-hambaKu yang sangat bersyukur”, artinya adalah sangat sedikit orang yang melihat anugerahKu ketika ia bersyukur kepadaKu…, Bersama Allah, kita bersyukur pada Allah.
Nabi Musa as, berkata:
“Ilahi, bagaimana Adam mampu bersyukur kepadaMu? Karena Adam Engkau cipta dari TanganMu, dan Engkau hembuskan RuhMu, dan Engkau posisikan di syurgaMu, serta Engkau perintah para malikat bersujud kepadanya, lalu mereka pun sujud?”
Allah swt, menjawab:
“Hai Musa! Adam tahu bahwa semua itu dariKu, lalu dia memuji karenanya.”
Siapa yang taat kepada Allah swt, sesungguhnya ia taat karena pertolonganNya, maka ia dapatkan anugerah. Siapa yang maksiat kepada Allah swt, maka karena bagian takdirNya yang ia maksiat kepadaNya. Bagi Allah ada hujjah baginya. AnugerahNya mendahului ketaatan hambaNya sebelum ia taat, dan keadilanNya mendahului maksiatnya sebelum ia berbuat maksiat. Karena Allah adalah Maha memberlakukan apa yang dikehendakiNya.
Dalam suatu riwayat Nabi Ibrahim as bermunajat :
“Oh Tuhanku, kalau bukan karena Engkau bagaimana aku mengenal siapa Engkau?”
Abu Abdullah ra, ditanya, “Bagaimana kami tidak senang dengan pujian dan sanjungan?”
“Semata karena lupa mengingat anugerah Allah pada kalian, lupa mengingat kebaikan pertolonganNya yang mendahuluimu. Siapa yang lupa anugerah dan ingkar nikmat, nikmat pun akan diterima sebagai derita…” jawabnya.
Anak-anakku…
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberimu ma’rifat, dan menolongmu untuk taat kepadaNya tanpa minta balas kebaikan darimu dan tanpa minta pertolongan dari arahmu, karena itu sudah seyogyanya anda berdzikir kepadaNya dan berbakti kepadaNya tanpa minta ganti rugi dan kecukupan dariNya.”
Banyak sekali ragam kelompok ahli dzikir, diantaranya:
Ada yang berdzikir karena tujuan meraih anugerah Islam,
Ada yang berdzikir karena demi ashlus-Sunnah wal-Jamaah,
Ada yang berdzikir karena adanya anugerah dibalik dzikirnya, hingga hati dan lisannya kelu, akalnya melayang, ia lebur dalam keagunganNya, bergerak dalam kemuliaanNya, hangus dalam mencintaiNya, disaat ia tahu bahwa seluruh amal itu tidak akan pernah bisa tegak kecuali bersamaNya.
Dzikir ada dua arah:
– Dzikir yang menimbulkan rasa takut dan rasa takut penuh cinta.
– Dzikir yang melahirkan rindu dan cinta.
Rasa takut dan cinta adalah dzikir bagi orang yang berdzikir bersama diri sendiri, kemudian ia melihat itu semua karena Dzikrnya Allah padanya yang menyebabkan dzikirnya kepada Allah Ta’ala, kemudian ia tahu bahwa dengan dzikrullah membuat sambung pada Dzikrinya Allah pada dirinya.
Sedangkan rindu dan cinta dibalik dzikir adalah dzikirnya orang yang mengingat Dzikrnya Allah di zaman Azali, hingga tiada maujud dan sirna diri di dunia, kemudian sampai abadi. Lalu dijumpai bahwa Ingatan Allah padanya telah ada sejak Azali, abadi selamanya. Sedangkan dzikirnya sendiri, malah tercampuri kotoran syahwat, teraduk oleh kealpaan demi kealpaan.
Maka sangat berbeda jauh antara orang yang masuk pada Allah Ta’ala dengan melihat dzikirnya sendiri, dan antara orang yang masuk kepada Allah Ta’ala dengan melihat anugerah dan kemuliaanNya. Perlu diketahui bahwa dzikirnya hamba kepada Allah Ta’ala, jika dibandingkan dengan penyandaran dzikirnya Allah Ta’ala pada si hamba, ibarat debu di bawah derasnya hujan.
Dengan dzikir kepadaMu hiduplah ejekanku hai pengkhayal
Dan dengan DzikirMu kepadaku mendahului dzikirku sungguh teragung!
Engkau beri anugerah besar, hingga aku tak mampu mensyukurinya
Manalagi anugerah elokMu yang mampu kusyukuri?

RAHASIA KEAJAIBAN CINTA SEJATI


Abu Bakar Al-Kattani menuturkan.”Suatu ketika, kala musim haji, pernah diselenggarakan dialog yang mengupas masalah cinta di Mekah. Banyak orang-orangtua yang angkat bicara pada forum itu. Sementara Junaid Al-Baghdadi adalah orang yang paling muda di antara mereka. Mereka berkata kepadanya, ‘Sampaikan pendapatmu, wahai penduduk Irak!’
Maka Al-Junaid, anak muda itu menundukkan mukanya dan air mata menetes dari kedua matanya seraya berkata, “Orang yang jatuh cinta adalah hamba yang mengabaikan dirinya, selalu menyebut Rabb-nya, melaksanakan hak-hak-Nya, memandang-Nya dengan hati, membakar hati dengan cahaya kehendak-Nya, minumannya berasal dari bejana cinta-Nya, jika bicara dengan menyertakan Allah, jika berucap dari Allah, jika bergerak menurut perintah Allah, jika diam bersama Allah, dia dengan Allah, milik Allah dan bersama Allah.”
Mendengar itu, orang-orang tua pun ikut menangis. Mereka mengatakan, “Ini keterangan yang tidak membutuhkan tambahan lagi. Semoga Allah memberikan keperkasaan kepadamu wahai pemimpin orang-orang yang berilmu.”
Inilah cinta sejati yang sejatinya mesti dimiliki dan ditumbuh-kembangkan dalam kalbu setiap Muslim. Cinta kepada Allah, menurut kaum sufi, akan mengantarkan ruh kepada kasih sayang, ridha dan ketentraman.
Ammar bin Yasir mengatakan:
“Ya Allah, andaikan aku tahu Engkau lebih meridhai diriku terjun dari ketinggian gunung ini, niscaya aku melakukannya. Andai pula aku tahu Engkau lebih meridhai aku menenggelamkan diri ke dalam air, tentu akan aku lakukan juga. Tiada kukatakan ini, kecuali begitu kuatnya cintaku kepada Zat-Mu yang Mulia dan Indah.”
Mencintai Allah merupakan kesempurnaan cinta dan merupakan tuntutan cinta. Allah mempunyai hak untuk dicintai, yang tidak boleh ada sekutu selain-Nya dalam cinta itu. Kezaliman yang paling zalim adalah meletakkan cinta itu bukan pada tempatnya dan ada persekutuan antara Allah dengan selain Allah di dalamnya.

Niat Thawaf Tapi Mengelilingi Orang Miskin

Niat Thawaf Tapi Mengelilingi Orang Miskin
Berikut ini ada Kisah Teladan Islami yang bagus, dan cocok sebagai renungan pada diri setiap muslim. Seseorang yang akan pergi haji akhirnya membatalkan hajinya demi seorang laki-laki yang miskin. Bekalnya pun diberikan semuanya.
Kisahnya.
Pada saat musim haji tiba, berangkatlah seorang laki-laki untuk menunaikan ibadah haji. Katakan saja namanya Ahmad.

Dalam perjalanannya ke kota Makkah, Ahmad bertemu dengan seorang laki-laki miskin. Kemudian laki-laki miskin itu bertanya kepada Ahmad,
“Bapak hendak pergi kemana?”
Ahmad menjawab,
“Saya akan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.”
“Berapakah bekal yang engkau bawa?” tanya laki-laki miskin itu lagi.
“Saya membawa bekal uang sebanyak 200 dirham,” jawab Ahmad.
Dengan sangat terpaksa laki-laki miskin ini berkata lagi,
“Berikanlah uangmu itu kepadaku, karena aku ini adalah seorang laki-laki miskin yang menanggung biaya kehidupan satu keluarga besar. Kelilingilah aku tujuh kali, karena itulah sebagai ganti hajimu.”
Akhirnya Ahmad yang semula hendak pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah, gagal pergi ke sana. Karena ia menyadari bahwa menolonh orang miskin itu lebih berharga daripada melaksanakan ibadah haji. Sehingga Ahmad memberikan uangnya kepada laki-laki miskin tadi dan kembali pulang ke rumahnya.
Dewasa ini, banyak sekali orang yang lebih mementingkan diri mereka sendiri daripada memperhatikan orang-orang yang tidak punya yang ada di sekeliling mereka. Sehingga mereka tetap akan menunaikan ibadah haji tanpa perlu memandang kemiskinan para tetangganya.

KARUNIA DZIKIR DAN BEBERAPA TANDA


“Jika engkau melihat seorang hamba yang ditetapkan oleh Allah dalam menjaga wirid-Nya dan melanggengkan-Nya dalam keadaan tersebut, namun ia begitu lama mendapat pertolongan-Nya, maka jangan sampai meremehkan apa yang Allah berikan kepadanya. Sebab, engkau belum melihat tanda-tanda orang yang arif ataupun kegembiraan pencinta Allah pada dirinya. Kalaulah bukan karena karunia ilham, tentu tak akan ada wirid.”
–Ibnu Atha’illah dalam Al-Hikam
Sahabatku, mari kita menyadari bahwa dalam shalat, doa, munajat dan wirid kepada Allah SWT terkandung ekspresi penyucian diri dan ibadah yang telah ditentukan. Cipta rasa seorang hamba yang memulai untuk melakukan pendekatan dengan ibadah tentu beragam. Bisa jadi, apa yang kita mohon ada yang cepat diberi pertolongan Allah, ada pula yang lambat, melalui proses dan jangka waktu bertahap. Semuanya terserah kepada Allah. Kita tidak perlu ikut-ikutan “sok mau mengatur” dan tidak berserah diri atas semua yang ditetapkan-Nya.
Dzikir dan doa kepada Allah tanpa keraguan akan menghasilkan nikmat-nikmat yang kadang justru tidak kentara. Sebab, Allah memuliakan hamba-Nya yang berada di jalan itu dengan beragam tanda-tanda. Maka tak heran, jika ada beberapa di antara dari kita, yang tak tampak tanda-tanda kearifannya, meskipun sebenarnya dia termasuk orang yang telah mengalami pencerahan luar biasa.

KELUARKAN DUNIA DARI HATIMU!


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Berbahagialah orang yang mengakui nikmat Allah SWT di hadapan-Nya dan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada-Nya. Lalu, dia juga melepaskan dirinya dari segala sebab dan kekuatan dirinya. Orang yang berakal adalah orang yang tak pernah menghitung-hitung amalnya kepada Allah SWT dan tidak mengharap balasan dari-Nya dalam segala hal.
Sungguh celaka, jika engkau beribadah kepada Allah SWT tanpa disertai ilmu, engkau bersikap zuhud tanpa ilmu, dan engkau mengambil dunia tanpa ilmu.. Itulah sesungguhnya hijab dalam hijab, murka dalam murka. Engkau tak mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Engkau tak mampu memisahkan apa yang bermanfaat bagimu dan apa yang membahayakan dirimu.
Ingatlah bahwa semua itu adalah akibat dari kebodohan dirimu terhadap hukum Allah. Sebab engkau telah meninggalkan sikap berbakti kepada para guru, guru amal dan guru ilmu, yang menunjukkan jalan kepada Allah. Engkau telah menjadikan berbicara sebagai nomer satu, sedangkan beramal sebagai nomer dua. Padahal, dengan amal kalian sampai (wushul) kepada Allah SWT.
Tidaklah akan sampai orang yang ingin mencapai sesuatu kecuali dengan ilmu, dengan sikap zuhud dalam perkara dunia, serta berpaling dari dunia, baik hati dan badannya. Orang yang bersikap zuhud akan mengeluarkan dunia dari tangannya. Orang yang zuhud yang kuat dalam kezuhudannya akan mengeluarkan dunia dari hatinya. Mereka zuhud dalam perkara dunia dengan hatinya sehingga sikap zuhud menjadi watak mereka, lahir dan batin. Pada saat itu, padamlah api tabiatnya, pecahlah hawa nafsunya, tenahlah jiwanya, dan dia terhalang dari keburukan.”

KULIAH DZIKIR DARI IBNU ATHA’ILLAH


Dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah). Pendapat lain mengatakan bahwa dzikir adalah mengulang-ulang nama Allah dalam hati maupun melalui lisan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengingat lafal jalalah (Allah), sifat-Nya, hukum-Nya, perbuatan-Nya atau suatu tindakan yang serupa. Dzikir bisa pula berupa doa, mengingat para rasul-Nya, nabi-Nya,wali-Nya, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan-Nya, serta bisa pula berupa takarub kepada-Nya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.
Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesungguhnya—dengan berbuat demikian—mereka sedang melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berdzikir dengan menggabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan dzikir secara sempurna.

JEJAK CINTA SEORANG HAMBA


Imam Abu Bakar Asy-Syibli menceritakan:
Aku berjumpa dengan seorang perempuan yang berasal dari Habsyah yang tampak linglung tak tentu arah. Dia berlari-lari dan berjalan cepat tak tahu tujuan.
Lalu, kukatakan kepadanya, “Wahai Ibu, kasihanilah dirimu!”
Tiba-tiba dia menjawab, “Huwa (Dia).”
“Darimana engkau sebenarnya?” tanyaku.
“Dari Huwa (Dia).”
“Engkau mau pergi kemana?”
“Pergi ke Dia.”
“Apa yang kau inginkan dari Dia?”
“Dia.”
Akhirnya, aku bertanya, “Berapa kali engkau menyebut Dia?”
“Lidahku tak pernah lelah menyebut Dia (Huwa) sampai aku bertemu dengan Dia,” jawabnya tegas.
Lalu, tiba-tiba dia bersenandung,
“Kehormatan cintaku kepada-Mu tak tergantikan.
Hanya Engkau yang kutuju; tidak ada yang lainnya.
Aku tergila-gila kepada-Mu, meski mereka menganggapku sakit.
Kujawab bahwa sakit ini tak pernah lenyap dari diriku.”
Kemudian, Imam Abu Bakar Asy-Syibli mengatakan kepada perempuan itu:
“Wahai hamba Allah, apakah yang engkau maksud dengan Dia (Huwa)? Apakah Allah?
Tiba-tiba, mendengar kata “Allah” disebut oleh Asy-Syibli di depannya, nafasnya langsung tersengal-sengal, lalu ia secara mengejutkan meninggal dunia sejurus setelah itu.
Imam Abu Bakar Asy-Syibli pun bercerita bahwa ketika dirinya hendak mengurus jenazah wanita tersebut, tiba-tiba dia mendengar suara, “Wahai Asy-Syibli, barang siapa mabuk cinta kepada Kami, linglung mencari Kami, lalu terus berdzikir mengingat Kami, serta meninggal dengan nama Kami, biarkanlah dia kepada Kami! Pengurusan (jenazahnya) menjadi kewajiban Kami!”
Lalu, segera saja Asy-Syibli menoleh ke arah suara itu. “Aku menoleh ke sumber suara itu, tapi aku tak melihat siapa pun. Aku terhijab. Aku pun tak tahu apakah wanita tersebut diangkat atau dikubur. Wanita itu mendadak hilang. Semoga Allah mengampuninya.”

7 Butir Batu Penghalang Pintu Neraka


Pada suatu hari ada seorang laki-laki yang sedang berdiri di bukit Arafah dengan menggenggam erat 7 buah batu di tangannya. Kemudian dia berkata,
“Wahai 7 butir batu, saksikanlah bahwa aku bersaksi Tiada Tuhan yang patut disembah melainkan hanya Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.”
Tak beberapa lama kemudian laki-laki itu pun tertidur dengan pulasnya.
Dalam tidurnya, ia bermimpi bahwa seolah-olah hari kiamat telah tiba. Ia pun terkena hisab pula sehingga nampaklah amal kejelekannya.
“Wahai hamba Allah, engkau telah banyak melakukan kejahatan, banyak maksiat sehingga timbangan amal burukmu lebih berat ketimbang amal baikmu. Sekarang akan aku seret engkau ke dasar jurang neraka,” kata malaikat.
Laki-Laki Diseret ke Neraka.
Malaikat pun akhirnya menyeret laki-laki itu hingga ke depan pintu neraka.
Namun, apa yang terjadi?
Pintu neraka ke satu itu telah tertutup oleh sebuah batu sehingga tidak bisa dimasuki.
Begitu pula dengan pintu neraka kedua, mereka terhalang oleh sebongkah batu lagi.
Para malaikat berusaha menyingkirkan batu itu, tetapi lagi-lagi mereka tidak mampu mengangkatnya. Kemudian malaikat menyeret laki-laki itu ke pintu neraka yang ketiga, keempat hingga ke tujuh, namun hasil yang didapatkan sama saja, tertutup sebongkah batu.
Allah SWT Maha Meninggikan.
Akhirnya, dibawalah laki-laki itu ke bawah ‘Arsy dan terdengarlah firman Allah SWT,
“Wahai hambaKu. Telah engkau jadikan batu-batu itu sebagai saksi. Maka batu-batu itu pun tidak menyia-nyiakan hakmu. Sedangkan aku menyaksikan persaksianmu yang mengEsakan Aku, maka sekarang masuklah kamu ke dalam surgaKu.”
Sungguh Maha Benar Allah dengan Segala FirmanNya.
Coba sikapi ayat Al Qur’an berikut ini.
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-An’am: 165)