Laman

Minggu, 24 Agustus 2014

Sufi Kusir Kuda


Pagi itu, Pardi tidak tampak, pada acara majlis kedai kopi Cak San. Mereka sedang berdiksi tentang siapa, bagaimana dan seperti apa seorang wali Allah itu. Sebab di masyarakat sedang berkembang isu yang miring, kalau ada seorang putra kiai (Gus, dan maksudnya bukan Gus Dur) yang aneh atau seorang kiai yang dipanggil Gus punya perilaku aneh-aneh, langsung diklaim sebagai Wali. Sedikit-sedikit orang dikatakan Wali dan masyarakat saling mendukung, tapi di lain pihak juga ada yang kontra.
“Bukan! Dia itu bukan Wali…” kata Kang Soleh menunjuk sebuah nama yang sering disebut Gus oleh masyarakat kampung itu. “Lalu, dia itu kok hebat Kang?” tanya Dulkamdi. “Iblis saja hebat kok. Jin juga hebat, bahkan Jin pernah ikut sayembara memindah istana Bilqis ke dekat Istana Sulaiman, walau pun dalam sandiwara itu ia kalah dengan Barkhaya, teman Sulaiman yang juga Waliyullah.” “Jadi…wakh…kita bisa teripu oleh kehebatan seseorang, dong!”
“Makanya, jadi orang itu jangan mudah kagum, mudah terpesona, mudah jatuh cinta, kecuali kepada Allah. Nanti, kamu tidak bisa jernih berfikir…” “Jadi Wali itu yang bagaimana Kang?” “Wali itu adalah seseorang yang hidupnya total untuk mengabdi kepada Allah dan menghindarkan dirinya untuk maksiat kepada-Nya. Diantara karakteristiknya, Wali itu tidak pernah punya rasa takut, khawatir dan gelisah atau susah. Kewalian itu hak Allah. Jadi kamu itu, Dul, jangan bercita-cita jadi Wali, sebab Wali itu hanya hak Allah. Bisa saja Allah mengangkat dari seorang yang berpofesi kiai, artis, tukang becak, tukang ojek, gelandangan, bahkan orang yang dulunya maling terbesar.”
Mereka pada diam terhenyak dengan penjelasan Kang Soleh, sembari mereka mengintropeksi pandangan masing-masing yang melenceng soal Wali selama ini.
Apalagi masyarakat kita seringkali membuat klaim, bahwa yang didukung umat itu mesti benar dan yang tidak didukung itu salah. Padahal kebenaran itu tidak perlu dukungan. Kebenaran kadang-kadang didukung oleh mayoritas, kadang-kadang tidak punya dukungan sama sekali. Kebatilan juga begitu, kadang-kadang didukung mayoritas kadang-kadang tidak mendapat dukungan sama sekali. “Assalamu’alaikuuuuummm…..!” “Wa’alaikumusalaaaammmm….!” “Wah, darimana kamu ini Di, kok baru nongol, tanya Kang Soleh pada Pardi yang baru saja tiba dengan nafas ngos-ngosan.
Dalam tulisan ini, saya akan membuka kembali sejarah seorang wali besar yang bernama Abu ’Ali Fudhail Ibn Iyadh (723-803M.). Di mana perjalanan spiritualnya cukup menarik untuk dikaji dan dijadikan pelajaran berharga bagi para pendosa yang ingin mendapat ampunan dan keridaan-Nya. Kita tidak usah heran. Sebab, apa yang ada di dunia ini serba mungkin. Bila ada seorang maling menjadi wali, mengingat rahmat Allah lebih luas daripada murka-Nya. Menurut sejarah atau biografi para sufi, perjalanan spiritual Fudhail Ibn Iyadh boleh dibilang sangat menarik dan cukup mengagumkan. Penting kita gali nilai-niali etik dan moral dari beliau guna melahirkan kesadaran untuk berbuat dan melangkah ke arah yang lebih baik agar kita mendapat rezeki rohani berupa kesadaran dan pengertian tentang makna dan arti kehidupan, sehingga mampu menjadi orang yang berperilaku arif dan bijak.
“Begini Kang, saya tadi naik dokar. Wah, kusirnya antik, Kang. Pokoknya ceritanya panjang sekali. Kesimpulannya begini, saya kira kusir itu pasti hebat kesufiannya. Kalau saya ceritakan bisa berhari-hari baru selesai…” “Bagaimana ceritanya…” “Pokoknya hebatlah!” “Minum kopi dulu Di, minum kopi…” “Ya..ya…. Saya belum pernah jumpa kusir kuda itu. Kebetulan penumpangnya hanya saya. Dia cerita tentang filsafat dokar, roda dokar, kuda dan kendalinya, bahkan ketukan-ketukan kaki kuda, sampai jumlah ketukan dalam sekian langkah kuda. Semuanya mengandung filosufi kehidupan yang dalam. Karena itu si kusir itu menikmati betul sebagai kusir selama bertahun-tahun…” “Menurut kamu bagaimana kehidupan kusir itu?” “Lha, si kusir itu pikirannya modern seperti profesor Kang. Dia bisa bicara soal internasional, soal ekonomi dunia, sampai soal politik dalam negeri. Dia juga tahu detil bagaimana strategi perang laut dan gerilya darat. Bahkan yang aneh lagi, Pak kusir ini beristri tiga dan anaknya dua puluh enam Kang. Hebat nggak. Betul-betul hebat.” Kang Soleh tercengung mendengar cerita Pardi itu. Tiba-tiba airmatanya meleleh, giginya menekan-nekan menahan keharuan atas kisah nyata itu. Pardi pun akhirnya juga turut menangis.
“Dia telah berhasil mengendalikan dunia, telah sukses mengendalikan nafsu, telah sampai pada tujuan sebenarnya. Dan dia selalu berhasil mengendalikan kuda nafsunya, menjalankan roda dokar zikrullahnya. Subhanallah…!”

Rela Nyembah Gusti Alloh?


“ Kamu sudah kenal gusti ALLAH Dul? “ tanya pardi tiba-tiba, ketika fajar mulai menyingkap semesta.
“ wah pertanyaan kok nganeh-nganehi Di… “
“lha wajar tho,ALLAH sudah kita sembah bertahun-tahun. Jangan-Jangan kita tidak kenal… “
Dulkamdi puyeng mendengar pertanyaan yang langsung menghujam ke ulu jantungnya, sampai ke ubun-ubun pikirannya. “ tidak Di, kamu kok tiba-tiba Tanya begitu pasti ada latar belakangnya…”.
“ latar belakangnya ya kebingungan saya, soalnya sekarang banyak orang ngaku makrifat, hakikat, sampai njlimet, tapi nyatanya tidak kenal gusti ALLAH …”.
“ lhah itu soal klasik sejak jaman dahulu juga banyak manusia seperti itu. Tidak usah dipikirkan, tiwas melu edan…”
“ lha terus gimana tho Dul? “
“ gampang, coba tadi malam kiai mursyid kan melontarkan suatu hadist nabi. (“telah merasakan nikmatnya iman, orang yang rela ALLAH sebagai tuhan, islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi ”)beres kan? Tidak usah puyeng-puyeng….”
“ lalu rasa tersebut macam apa, Dul? ”
“begini, ini kata kang soleh, tidak tau kang soleh ngutip dari mana, saya juga tidak tau antah-berantahnya. Katanya, rasa tersebut adalah faktor yang di bangkitkan oleh ridho’ (kerelaan) yaitu makrifat kepada allah. Dan makrifat itu adalah cahaya yang di tempatkan oleh allah dalam kalbu hamba yang di cintainya, tidak ada yang lebih besar dan lebih agung ketimbang cahaya itu, sedangkan hakikat makrifat itu adalah hidupnya hati dengan yang maha hidup, sebagaimana firman allah:
(“ adakah orang yang keadaan mati, maka kami hidupkan dia? “) begitu juga , (“ agar menjadi peringatan bagi orang yang hidup (hatinya)” ) ayat lain (“ maka kami hidpkan ia, dengan kehidupan yang baik ”).
“ itu yang ku maksud Dul…”
“ Ah itu tadi takwilan dari syeik rifa’i. beliau juga mengatakan “ siapa yang mati nafsunya maka dunianya jauh darinya,siapa yang mati hatinya akan jauh dari tuhannya.” Kata kang soleh njudul begitu saja dalam majlis kedai kopi.
Ibnu samak pernah di Tanya,” kapan seorang hamba di kenal bahwa dirinya telah sampai di hakikat makrifat?” beliau menjawab
“ manakala seorang hamba melihat ALLAH dengan mata renungan hatinya, fana dari segala selain dari-NYA.”
Dikatakan, “ makrifat berarti sirnanya pandangan melihat selain ALLAH. dimana selain ALLAH ta’ala begitu kecil bahkan di banding biji bayam sekalipun.katakanlah; ALLAH…! Lalu tinggalkan mereka…”
Matahari orang yang mencintaimu telah terbit di malam hari, lalu cahaya-NYA memendar, tak pernah surup. Matahari di siang dunia telah surup,sedangkan matahari kalbu tak pernah sirna.
Cukup kang… cukuuuup. Aku bisa edan makan sepatu nanti kaaaaang…. Cukuppp…!”
Lalu, kang soleh ngeloyor pergi di telan pagi buta, pardi dan dulkamin malah berpelukan erat, dadanya berdegup guncang. Penuh dengan zikrullah.

Cahaya Ilahi


Cahaya Ilahi sebuah tulisan yang menurut saya sangat mencerahkan, menggugah kesadaran diri tentang hati ini. Sebuah kalimat kunci yang saya ingat adalah “kalbu kita semua adalah Rumah Allah, jangan diisi dengan segala hal selain Allah. Soal-soal dunia, jangan dimasukkan dalam hati. Semua itu cukup urusan akal dan pikiran saja.” Dengan begitu, hati akan siap menerima pancaran cahaya Ilahi.
Listrik di seluruh desa tiba-tiba mati. Biasa, PLN suka byar pett, tanpa mengindahkan konsumen. Tapi kalau telat membayar rekening listrik sehari saja, petugas PLN begitu garangnya memutus aliran listrik. Untung orang-orang di desa itu, cukup menyalakan lampu minyak, kembali seperti zaman sebelum listrik masuk desa.
“Ternyata PLN lebih kejam daripada ibu tiri,” gumam Pardi sambil terus nggedumel ngalor ngidul.
Sampai pagi hari lampu listrik belum juga menyala. Kedai Cak San hanya disirami cahaya lampu ublik yang tidak terang.
“Baru saja gelap di dunia, kita sudah resah, bagaimana nanti kalau kita memasuki kegelapan di akhirat?” sindir Dulkamdi.
“Kamu jangan sok akhirat, Dul,” timpal Pardi.
“Bukan sok akhirat, tapi akhirat itu pun sebenarnya lebih dekat dibanding diri kita terhadap kita,” balas Dulkamdi dengan gaya filosufisnya.
Pardi cuma bisa bersungut-sungut. Tapi Cak San yang mendengarkan obrolan kusir dua manusia itu, hanya cengar cengir belaka. “Soal listrik mati saja kok sampai akhirat,” celetuk Cak San.
Soal urusan mati listrik dan akhirat, akhirnya jadi perdebatan sengit antara pelanggan Kedai Cak San. Mereka tentu berpendapat dengan argumentasi masing-masing, tanpa bisa dikompromikan lagi. Di satu pihak, Pardi dan sebagian yang lain, tidak menginginkan urusan fisik, empirik, dan yang serba kasat mata, dipaksakan agar menjadi sakral. Yang profan biarlah urusan dunia, dan yang sakral biarlah urusan akhirat. Sementara Dulkamdi dan Cak San terus ngotot, agar listrik itu punya hubungan langsung dengan akhirat. Listrik, betapa pun bersifat profan dan instrumental, menjadi salah satu sarana manusia bisa beribadah, dan bahkan listrik itu, betapa pun yang menemukan adalah Thomas Edison yang nonmuslim, merupakan anugerah dari titik Cahaya Ilahi di dunia.
Perdebatan itu akhirnya sedikit mengalami jeda, ketika Kang Soleh masuk. Sebab mereka yang hadir, yang pro maupun yang kontra berharap dapat solusi kompromi, setidak-tidaknya bisa berlindung di balik argumen Kang Soleh.
Tapi setelah sekian menit ditunggu, Kang Soleh diam saja. Kaki dan jemari tangannya bergerak menghentak-hentak seperti menikmati sebuah musik rancak yang indah. Kang Soleh seperti asyik dengan sendirinya.
“Kok tidak diteruskan diskusi tadi?” tanya Kang Soleh menyentak kesunyian.
“Nunggu pendapat sampean Kang…”
“Kalau semua nunggu saya, kapan kalian bisa mandiri. Orang sufi itu harus punya kemandirian jiwa, tapi tidak boleh sombong, karena di atas langit itu masih ada langit. Kalau sudah mentok betul, kita bareng-bareng datang ke mursyid kita, pasti beliau punya solusi. Yang penting jangan takut salah,” jawab Kang Soleh sedikit berdemokrasi.
“Sebenarnya persoalan kita kecil, Kang. Tapi bisa menjadi persoalan nasional, bahkan bisa juga jadi persoalan para malaikat, Kang…” celethuk Pardi.
“Saya sudah sedikit mendengar tadi…”
“Jadi bagaimana menurut sampean..?”
“Menurut saya, ya, kita tinggalkan saja soal listrik atau padamnya itu. Semuanya kan makhluk Allah. Semuanya tidak diciptakan kecuali mengandung kebenaran. Kita renungkan saja hikmahnya. Di sana banyak pelajaran berharga…”
“Soal ilmu elektronika?” sahut Dulkamdi.
“Bukan, soal hati kita. Hati kita itu Rumah Allah. Qalbul Mu’mini Baitullah. Jadi karena kalbu kita semua adalah Rumah Allah, jangan diisi dengan segala hal selain Allah. Soal-soal dunia, soal-soal yang berkait dengan jagad raya, soal-soal yang menyangkut kehidupan sehari-hari kita, jangan dimasukkan dalam hati. Semua itu cukup urusan akal dan pikiran saja. Akal kita, mata kita, telinga dan mulut kita, hidung kita, tangan dan kaki kita, untuk mencari makan saja. Hati kita untuk Allah saja, untuk Allah saja.”
“Caranya bagaimana, Kang?”
“Caranya, ya dengan kita terus menerus mengingat atau zikir kepada Allah. Hati kita yang berzikir. Kalau tidak, akan diserobot oleh iblis, setan, dan nafsu. Akal pun jangan masuk dalam hati, kita bisa stres, konslet, lalu, hati kita byar pett, padam, gelap dan nantinya bisa sesat…..”
“Nah, apa kataku, ada kan hubungan byar pett listrik dengan akhirat,” kata Dulkamdi membela diri.
“Ada kalau semuanya dikembalikan kepada Allah. Tapi kalau tidak, ya sama saja,” tangkis Pardi tidak mau kalah.
“Sudahlah. Begini saja, soal listrik yang menyala, itu disebabkan karena ada generator yang terus hidup. Jika tidak kan mati juga. Begitu pula, kalau hati kita hidup, hati kita berzikir, kalbu kita terus-menerus mengenang Ilahi, maka seluruh Rumah Allah di dalam hati kita akan bercahaya, seluruh ruang akal dan budi kita bercahaya, pikiran dan penglihatan batin kita bercahaya, dan segalanya menjadi terang benderang….
Makanya, kalau hati kita hidup, segalanya jadi jelas. Jangan sampai, dian abadi dalam hati ini, dihembus oleh setan atau nafsu. Nanti kita bisa gelagapan di tebing jurang yang gulita.”
“Ladalaaa…….!” kata mereka serempak. Sebab, secara kebetulan saja, usai Kang Soleh bicara soal Rumah Allah yang bercahaya, listrik di kampung itu menyala lagi.
Tapi, mereka tampaknya tidak terlalu peduli. Apalah arti cahaya listrik yang terang benderang, jika hati tidak lagi terang? Apalah arti matahari yang menyiramkan cahayanya, jika saja kalbu-kalbu hamba Ilahi tidak lagi hidup dalam sunyi?

Kang Parmin Naik Haji


Menjelang keberangkatan para Calhaj, kedai Cak San terus menjadi ajang diskusi soal Haji. Soal pengalaman aneh2di tanah suci, sampai berbagai penderitaan akibat ulah para oknum kelompok di tanah air. Tetapi bagi Kang Parmin, pengalaman naik haji ditahun silam justru lain. Kang Parmin tergolong manusia langka yg datang ke kedai itu. Kadang2 saja, dua bulan sekali ia menongolkan kepalanya, sambil mencari obat kangen kedai kopi Cak San.
Pardi paling bersemangat kalau menanyakan pengalaman Kang Parmin. "Saya dulu naik haji, saya niati untuk plesiran, dharmawisata lah..." kata Kang Parmin.
"Wisata bagaimana Kang?" "Pokoknya santai-santai, pelesiran lah.." "Ini bisa kacau...Orang lain niat ibadah, sampean malah pelesiran!" "Lah biar saja too, itu khan urusan saya.
Saya bayar lunas kok.." Pardi bengong tidak mengerti ucapan Kang Parmin yang aneh ini. Rasanya ia jengkel, sekaligus ingin tertawa. "Saya cocok sama sampean Kang". kata Dulkamdi tiba2. "Cocok gundhulmu atos, Dul!" Sela Pardi. "Pokoknya saya cocok. Soal kamu tidak cocok, itu bukan urusan saya!" jawab Dulkamdi seenak udelnya. Pardi pusing tujuh keliling. Sambil memijat-mijat keningnya, Pardi tak bisa mencerna apa makna dua statemen kontroversial itu. "Naik haji kok pusing-pusing, Di. Kita ini mau jadi tamu Allah. Ya sudah..." sahut Kang Soleh menengarai. " Saya setuju soal tamu Allah. Tapi soal plesiran itu edan! Kang..."
"Salah kamu sendiri, menganggapnya edan. Kan dengan cara pelesiran itu, jiwa seorang tamu Allah menjadi ringan, bebas dan penuh luapan cinta..." Semuanya jadi heran dengan pendapat Kang Soleh. Tapi mereka juga membenarkan.
Namun Pardi tetap penasaran pada Parmin. "Kang Parmin, apa benar begitu, sampean lebih santai, lebih mencintai Allah dengan niat pelesiran itu..." "Begini saja, Di. Saya naik haji dengan niat pelesiran. Sebagai tamu, rasanya akan santai dan enak, dan tentu kalau penerima tamu melihat kita seperti itu, hatinya kan gembira. Sejak dulu sampai kapan saja Allah itu tidak pernah berubah, Di. Di Mekkah atau disudut Ka'bah, atau disudut kedai ini, nggak ada bedanya Di." Pardi melotot tak berkedip.
Semuanya jadi tertawa atas ucapan Parmin dan ketololan Pardi. Tapi Pardi mulai paham. "Kang, sampean ini memang dahsyat, luar biasa.."
Ucap Pardi menepuk punggung Kang Parmin. Sementara Parmin tetap melongo kayak kerbau, karena lugunya.

Protes Pada Alloh


Dengan dengus nafas ngos-ngosan, lelaki bertubuh tambun itu memasuki kedai Cak San. Ia memesan air putih dua gelas besar, untuk mengusir dahaganya. Rupanya pagi yang dingin itu, tidak mampu menyelimuti kegerahan dadanya.
"Dari mana Mas, kok seperti dikejar harimau?"
Sembari menegak dua gelas air putih, lelaki itu masih juga belum menjawab pertanyaan Pardi.
"Jangan tanya dari mana pada saya. Tapi saya harus bertanya lebih dulu kepada anda-anda di sini, kemana itu Kang Soleh? Saya ingin bikin perhitungan dengan dia....!"
Mendengar gertakan si gendut itu, penghuni kedai kopi cukup terhenyak. Ada apa gerangan Kang Soleh dikejar manusia heboh seperti dia ini. Apa Kang Soleh punya hutang, punya kesalahan, atau ada bratayudha antara Kang Soleh dengan orang ini? Nggak jelas.
"Sebentar lagi juga datang Pak, sabar sebentar," sahut Dulkamdi.
"Ya, saya ingin minta pertanggungjawabannya!"
"Wah, pertanggungjawaban apa Pak, kok kelihatannya penting sekali," timpal Pardi memberanikan diri mengorek masalah orang itu.
"Tanggungjawab Ketuhanan...!"
"Lhadalah! Kang Soleh p[asti bikin ulah lagi!"
"Ya, ia telah membikin saya jadi uring-uringan dengan diri saya sendiri, bahkan kalau perlu Pintu Allah akan saya gedor-gedor, lalu saya mau bikin protes kepadaNya."
Weleh-weleh, Pardi, si Tambun ini pasti agak tidak waras. Masak Tuhan diprotes, memang dia ini lahir ke dunia atas kehendaknya sendiri, lalu dibantu Tuhan itu atau bagaimana?
Belum juga tuntas imajinasi Pardi, Kang Soleh memasuki kedai itu. Dengan gaya agak acuh, ia mengambil sisi pojok seperti biasanya, sambil berdehem-dehem. Rupanya si Tambun itu juga belum kenal siapa Kang Soleh, bagaimana prejengannya. Serentak Pardi menyapa Kang Soleh, lalu si Tambun itu berdiri bersungut-sungut mendekati Kang Soleh. Ia memperkenalkan dirinya, lalu duduk di sebelahnya.
"Maaf Kang. Menurut saya Allah itu tidak adil. Kenapa saya melakukan usaha yang benar, ikhtiar yang halal, kerja keras, dan begitu hendak memetik hasilnya, malah saya ditipu oleh kawan saya yang ongkang-ongkak sejak dulu. Dan saya tidak mau menjelaskan lebih jauh, kasus yang seperti saya alami ini. Sebab banyak orang bener di dunia ini, malah bernasib tragis. Jadi mana keadilan Ilahi itu? Apa saya salah kalau saya protes kepada Tuhan?" kata si Tambun nerocos tanpa rem.
"Anda benar. Allah memang tidak adil!' jawab Kang Soleh.
Seluruh kedai itu sepertinya mau runtuh mendengar ucapan Kang Soleh yang kontroversial.
"Jadi?"
"Yah, keadilan itu tuntutan manusia. Yang adil itu manusia. Keadilan itu adalah persamaaan, keseimbangan dan samarata yang dituntut manusia. Tapi ingatlah bahwa keadilan yang diprotes dan dituntut dimana-mana pasti kehilangan cinta dan kasih sayang. Keadilan senantiasa menuntut persamaan dengan amarah."
"Jadi bagaimana donk hidup ini?"
"Ya nggak bagaimana, bagaimana... Hidup dijalani saja. Kalau hidup nuruti kehendak sampean itu, semua orang pasti berperut gendut, semua orang jualan kopi, semua gaji sama, semua pinter dan semua bodoh. Semua sama rata kayak komunis. Itu keadilan. Tetapi Allah itu memang tidak adil, jadi ada yang bodoh, ada yang pinter, ada yang cantik ada yang jelek, ada yang nyentrik ada yang lugu, ada pendusta ada yang jujur, ada maling ada yang dimalingi..."
Si Tambun itu hanya diam saja menunggu kata-kata Kang Soleh selanjutnya.
"Jadi, itulah Kemahaadilan Allah. Allah Maha Adil, tetapi tidak adil. Maha Adil itu yang seperti itu, jadi jangan protes orang kurus, kalau anda tambun. Karena dibalik kekurusan kawan anda, disana ada hikmah kasih sayang yang tersembunyi. Dibalik kemlaratan orang fakir, disana ada hikmah kedermawanan orang kaya. Dibalik kebodohan umat, ada perjuangan para Ulama. Dibalik wajah cantik perempuan tersimpan ujian bagi lelaki. Lalu ketidaksamaan itulah muncul perjuangan cinta dan kasih sayang antar sesama."
"Lhah, kalau saya berjuang, lalu yang memetik hasil justru orang yang dzalim?" kata si tambun itu.
"Salahnya sendiri anda merasa bisa berjuang, bisa berikhtiar, bisa ini dan bisa itu. Apa anda tidak tahu, kalau rizki anda itu sudah digaris oleh Allah, jodoh dan rumah masa depan anda sudah di tulis oleh Allah, bahwa hari ini anda belum kaya itu, bukan karena anda nggak punya rizki, tetapi kekayaan anda masih disimpan oleh Allah. Allah Maha Tahu kapan, berapa, dimana dan bagaimana rizki dan kekayaan anda itu nanti diwujudkan. Anda minta perjuangan anda hari ini, besok membuahkan hasilnya, justru itulah kesalahan besar anda."
"Kesalahannya dimana Kang?"
"Ya, tadi anda merasa bisa mengandalkan jerih payah, kekuatan dan amal anda, seakan-akan syurga dan neraka itu tergantung pada amal baik buruk anda. Padahal.....Sama sekali tidak."
"Kalau begitu kenapa saya harus beramal Kang, kalau saya besok harus ditakdirkan masuk neraka, atau sebaliknya kenapa saya harus berikhtiar, kerja keras kalau garis saya tetap miskin?"
"Kalau anda ditakdirkan masuk neraka, pasti anda ingin jauh dari amal baik, dan anda semakin menuruti hawa nafsu anda. Jika anda ditakdirkan masuk syurga, pasti anda beramal baik, berusaha meraih ridhoNya. Kalau anda bekerja keras, itu pertanda anda ditakdirkan sukses. Jika sampai mati anda belum sukses, maka anak cucu andalah yang akan memetik buahnya....Sebab belum tentu kesuksesan yang anda petik hari ini bisa menyelamatkan dunia dan akhirat anda..."
"Saya harus bagaimana Kang?"
"Nggak usah bingung. Apakah ketika anda bingung itu segala nasib anda lalu berubah seketika?"
Si Tambun itu hanya diam belaka, antara faham dan tidak. Tetapi dia telah merasakan beberapa sentuhan jiwa, minimal ia akan banyak beristighfar karena teklah banyak memprotes ketidakadilan Allah.

Iqro Dengan Kalbu


(Kapan Sufi Di Mulai)
Pardi berkeringat basah pagi itu. Nafasnya ngos – ngosan, seperti baru dikejar raja babi hutan.
“Olahraga kok dipaksa, Di. Kalau ngga kuat istirahat dulu . Jangan langsung lari tiga kilo.. “ sindir Dulkamdi
“Olahraga gundhulmu itu, “ jawab Pardi ketus.
“Terus?”
“ Saya ini cepat –cepat lari kemari, khawatir telat ketemu orang – orang disini, terutama pada Kang Soleh, sebab kabarnya ia mau pergi ke Jakarta “
“Ada apa sih?”
Sambil meredakan nafasnya, Pardi menjawab,
“Semalam saya menghadiri diskusi dikota , Dul. Narasumbernya dari Jakarta dan Surabaya. Ada Penanya yang cukup mengagetkan . dan lebih kaget lagi , narasumbernya tidak tahu jawabannya. “
“Memangnya bertanya apa, Di. Kan biasa dalam diskusi, kalau tidak bisa jawab, ya sudah, kalau berbeda pendapat , ya wajar..”
“ Orang itu menanyakan , kapan thariqat itu dimulai di zaman Rasul? Kapan pula Tasawuf dikembangkan? Nah, saya ikut manggut – manggut saja , ingin mendengarkan bagaimana jawabannnya, soalnya saya juga ngga mengerti, kapan ya thariqat sufi dimaulai di zaman Rasul. Kalau bentuk – bentuk alamiahnya, kita tahu, Dul. Kan banyak di buku – buku . Rupanya pertanyaan ini tidak ada dalam kitab maupun buku, Dul”
“ Bener juga kamu Di. Saya juga baru mendengarnya, Di..”
Rupanya hadirin di kedai Cak San menunggu seseorang , sebab mereka juga tidak tahu, kapan sufi di mulai di zaman Rasul?
“ Nah ini biangnya Kang, saya ngga mau basa – basi. Kapan sih dunia Thariqat sufi dimulai di zaman Nabi Muhammad S.A.W ?” Tanya Pardi tiba – tiba pada Kang Soleh
“ Untuk apa kamu tanyakan itu” sahut Kang Soleh
“ Pokoknya buat kita – kita pentinglah , Kang “
“ Kalau saya beri tahu, biar kamu nanti bisa berdebat begitu?”
“ Bukan begitu Kang . Kita – kita ini juga tidak tahu Kang, kata Dulkamdi juga tidak ada di kitab kuning..”
“ Memang Di, di kitab kuning tidak ada, apalagi kitab putih . Sebenarnya , kalau kita telusuri lebih dalam lagi juga ada. Hanya saja, perlu dijelaskan dengan pandangan – pandangan yang lebih tegas lagi.”
“Betul Kang..” jawab mereka kompak
“ Begini, Singkat saja ya.. Sejak Nabiyullah dan Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sejak saat itu beliau adalah Nabi yang Sufi dan RAsul yang Sufi. Nubuwah dan Risalah Islam tentu secara keseluruhan mengandung dimensi sufistik semuanya. Kecuali mereka yang hanya melihat Islam dari bentuk dan kulitnya saja, akan menolak semua ini. Singkatnya, sejak Rasulullah menerima wahyu pertama kali di Gua Hira’ , saat itulah secara deklaratif misi sufi menjadi substansi wahyu itu sendiri. Rasulullah merasa tidak bisa membaca. Sebab yang bisa hanyalah Allah. Namun ketika Jibril meneruskan “ Bacalah, dengan nama Tuhanmu.. dst” Rasulullah langsung membacanya.
Maksudnya, Jibril meminta membaca dengan dan bersama Tuhan. Nama Tuhan itu adalah Allah. Allah hanyalah sebuah nama bagi Tuhan. Maka Nabi pun membacanya dengan kalbunya, lalu bergemuruhlah dada Nabi dengan sebutan Allah… Allah.. Allah hingga bertahun – tahun, sampai mengalami istighraq atau jadzab , atau tenggalam dalam lautan Illahi, hingga tubuhnya menggigil. Dzikrullah , sebagai elemen utama Sufi dimulai dalam gua itu, Nah, jelas, kan?” Kata Kang Soleh mengakhiri penjelasannya.
Mereka mendengarkan dengan penuh penyimakan dan persunyian. Rasulullah menyatukan dirinya denga Asma Allah itu dalam hatinya. Artinya Rasulullah membaca dengan kalbunya. Bacaan kalbu beda dengan bacaan lisan. Bacaan kalbu adalah hasrat dan seluruh fakta kebenaran ideal yang terus bergelora.

Iqro Dengan Kalbu

Iqro Dengan Kalbu
(Kapan Sufi Di Mulai)
Pardi berkeringat basah pagi itu. Nafasnya ngos – ngosan, seperti baru dikejar raja babi hutan.
“Olahraga kok dipaksa, Di. Kalau ngga kuat istirahat dulu . Jangan langsung lari tiga kilo.. “ sindir Dulkamdi
“Olahraga gundhulmu itu, “ jawab Pardi ketus.
“Terus?”
“ Saya ini cepat –cepat lari kemari, khawatir telat ketemu orang – orang disini, terutama pada Kang Soleh, sebab kabarnya ia mau pergi ke Jakarta “
“Ada apa sih?”
Sambil meredakan nafasnya, Pardi menjawab,
“Semalam saya menghadiri diskusi dikota , Dul. Narasumbernya dari Jakarta dan Surabaya. Ada Penanya yang cukup mengagetkan . dan lebih kaget lagi , narasumbernya tidak tahu jawabannya. “
“Memangnya bertanya apa, Di. Kan biasa dalam diskusi, kalau tidak bisa jawab, ya sudah, kalau berbeda pendapat , ya wajar..”
“ Orang itu menanyakan , kapan thariqat itu dimulai di zaman Rasul? Kapan pula Tasawuf dikembangkan? Nah, saya ikut manggut – manggut saja , ingin mendengarkan bagaimana jawabannnya, soalnya saya juga ngga mengerti, kapan ya thariqat sufi dimaulai di zaman Rasul. Kalau bentuk – bentuk alamiahnya, kita tahu, Dul. Kan banyak di buku – buku . Rupanya pertanyaan ini tidak ada dalam kitab maupun buku, Dul”
“ Bener juga kamu Di. Saya juga baru mendengarnya, Di..”
Rupanya hadirin di kedai Cak San menunggu seseorang , sebab mereka juga tidak tahu, kapan sufi di mulai di zaman Rasul?
“ Nah ini biangnya Kang, saya ngga mau basa – basi. Kapan sih dunia Thariqat sufi dimulai di zaman Nabi Muhammad S.A.W ?” Tanya Pardi tiba – tiba pada Kang Soleh
“ Untuk apa kamu tanyakan itu” sahut Kang Soleh
“ Pokoknya buat kita – kita pentinglah , Kang “
“ Kalau saya beri tahu, biar kamu nanti bisa berdebat begitu?”
“ Bukan begitu Kang . Kita – kita ini juga tidak tahu Kang, kata Dulkamdi juga tidak ada di kitab kuning..”
“ Memang Di, di kitab kuning tidak ada, apalagi kitab putih . Sebenarnya , kalau kita telusuri lebih dalam lagi juga ada. Hanya saja, perlu dijelaskan dengan pandangan – pandangan yang lebih tegas lagi.”
“Betul Kang..” jawab mereka kompak
“ Begini, Singkat saja ya.. Sejak Nabiyullah dan Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sejak saat itu beliau adalah Nabi yang Sufi dan RAsul yang Sufi. Nubuwah dan Risalah Islam tentu secara keseluruhan mengandung dimensi sufistik semuanya. Kecuali mereka yang hanya melihat Islam dari bentuk dan kulitnya saja, akan menolak semua ini. Singkatnya, sejak Rasulullah menerima wahyu pertama kali di Gua Hira’ , saat itulah secara deklaratif misi sufi menjadi substansi wahyu itu sendiri. Rasulullah merasa tidak bisa membaca. Sebab yang bisa hanyalah Allah. Namun ketika Jibril meneruskan “ Bacalah, dengan nama Tuhanmu.. dst” Rasulullah langsung membacanya.
Maksudnya, Jibril meminta membaca dengan dan bersama Tuhan. Nama Tuhan itu adalah Allah. Allah hanyalah sebuah nama bagi Tuhan. Maka Nabi pun membacanya dengan kalbunya, lalu bergemuruhlah dada Nabi dengan sebutan Allah… Allah.. Allah hingga bertahun – tahun, sampai mengalami istighraq atau jadzab , atau tenggalam dalam lautan Illahi, hingga tubuhnya menggigil. Dzikrullah , sebagai elemen utama Sufi dimulai dalam gua itu, Nah, jelas, kan?” Kata Kang Soleh mengakhiri penjelasannya.
Mereka mendengarkan dengan penuh penyimakan dan persunyian. Rasulullah menyatukan dirinya denga Asma Allah itu dalam hatinya. Artinya Rasulullah membaca dengan kalbunya. Bacaan kalbu beda dengan bacaan lisan. Bacaan kalbu adalah hasrat dan seluruh fakta kebenaran ideal yang terus bergelora.

Angan - Angan Imajiner


Pardi ingin sekali berhenti dari hobinya.”mengkhayal”. setiap kali ada bayangan dan angan-angan, ia langsung potong angan-angan itu agar tidak berubah menjadi khayalan. Sebab, panjang angan-angan itu adalah induk dari liarnya nafsu.
Berkali-kali ia mengusap jidatnya seperti orang gila. Padahal ia sedang sebel dengan dirinya sendiri.
Banyak imajinasi yang saat ini dijualbelikan, dijadikan komoditas, dan industri imajinasi dan khayalan paling laris dijual. Itulah dosa terbesar peradaban manusia modern setelah kemusyrikan dan kekafiran. Karena selubung kemunafikan ada di sana, ada pada khayalan dan angan-angan yang liar.
“Astagfirullah…!” desah Pardi berkali-kali yang didengar oleh Dulkamdi di kedai kopi pagi itu.
“Kenapa, Kawan?”
“Lah iya. Saya ini akan berhenti jadi pelamun, kok sulit banget ya, Dul…”
“Realistis sajalah!”
“Gundhulmu itu. Realitanya saya suka ngelamun…Dul!”
“Ya, ingat saja kata-kata Ibnu Athaillah, “orang yang alpa adalah orang yang memandang apa yang bakal dikerjakan nanti, dan orang yang berakal sehat adalah orang yang memandang apa yang bakal diberlakukan kepadanya oleh Allah SWT.”
“Weh, benar juga kamu, Dul. Maksudnya bagaimana ya?”
“Hehehee..jelasnya kita tunggu Kang Soleh. Biar kamu berhenti tuntas, taubatan nasuha dari ngelamun yang ngelantur. Lalu nanti kamu bisa tafakkur. Bukan kethekur!”
“Lhah kamu kayak mendiang Mbah Surip aja, pakai ilmu gathuk segala.”
Dua sahabat itu menikmati kopi pagi. Nikmatnya bukan main. Kang Soleh datang dengan sarung yang membungkus kepalanya, mirip orang gunung kedinginan.
Tiba-tiba ia nerocos saja. “Orang yang sensntiasa membuat angan-angan apa yang akan dikerjakan, apa yang akan dilakukan, sesungguhnya tergolong orang alpa. Kenapa demikian? Karena ia lupa bahwa Allah SWT-lah yang sedang memberlakukan semua itu. Ketika Anda sedang menunggu atau merenung apa yang bakal dilakukan, apakah itu soal dunia atau soal agama, pada saat yang sama, di manakah peran Allah tiba-tiba hilang begitu saja?
Kenap demikian? Karena orang tersebut pasti sangat bergantung dan mengandalkan amal usahanya, maka ia senantiasa tidak akan meraih kesempurnaan selamanya.
Sedangkan orang yang berakal sehat, akan meninggalkan semua itu, mengembalikan pada kepasrahan dan kerelaan dirinya kepada Allah atas apa yang dikehendaki-Nya. Ia tidak berbuat pada waktunya kecuali atas perintah-Nya.
“Lhah, kok tahu Kang?”
“Lha sejak tadi saya dengarin kamu ngobrol dari luar kok..”
“Nah, kata Abu Ayyub as-Sikhtiyani ra mengatakan, “Bila tak ada yang kau kehendaki, maka kembalikanlah apa adanya.”
Umar bin Abdul Aziz Ra mengatakan, “di pagi hari, tak ada kegembiraan bagiku kecuali pada tempat-tempat takdir-Nya.”
Syekh Abu Madyan Ra mengatakan, “Berhasratlah untuk menjadi pasrah total, siapa tahu Allah melihatmu lalu Allah merahmatimu.”
Abdul Wahid bin Zahid mengatakan, “Rida itu adalah pintu Allah paling agung dan tempat istirahatnya ahli ibadah serta surga dunia.”
Sang Sufi, manakala muridnya masuk di hadapannya selalu menyanyikan syair ini, dan syair ini diperuntukkan kaum ‘arifin:
Ikutilah desau ketentuan-Nya
Ikutilah pusarannya ke mana berputar
Pasrahkan padanya dengan total
Berjalanlah ke mana ia bergerak.
“Weleh indah banget, Kang..”
Tapi Pardi terus mendekur. Ia tertunduk sembari mengelus jidatnya yang teriring istigfar berkali-kali.

Kedamaian


KANG Soleh berkali-kali merngepuskan asap rokoknya ke angkasa. Kepulan asap itu hampir-hampir membuat Kedai Cak San melayang ke udara. Sesekali ia ucapkan istighfar, lain kali jemari kakinya mengetuk-ngetuk ke arah meja. Kang Soleh stres? Tidak! Sebab, ia tampak sedang mencari-cari sesuatu. Kadang ia tersenyum sendiri, kadang bola matanya mengembangkan genangan air mata. Kadang wajahnya sedikit mendongak ke atas, kadang matanya memandang tajam pada satu objek tertentu.
Cak, tidak berani bertanya. Seringkali hal itu dialami Kang Soleh. Tapi, bagi Pardi dan Dulkamdi, kondisi Kang Soleh seperti itu dianggap sebagai bagian dari tema diskusi. Kalau perlu dijadikan objek kajian di majlis kedai kopi itu.
“Dul, pengetahuan apa yang paling utama diantara sejuta ilmu pengetahuan yang ada?” tanya Pardi.
“Pasti ilmu kedokteran. Sebab ilmu itu diilhami oleh penciptaan Siti Hawa’ dari rusuk Adam, itu kan bagian utama dari teori ilmu bedah,” jawab Dulkamdi.
“Bukan, ilmu teknik dan bangunan!” sela Wakidi,” sebab Allah menciptakan alam raya ini melalui teknologi dan teknik struktur yang dahsyat.”
“Kalau saya pasti ilmu politik, sebab dalam menciptakan jagad raya ini, Allah perlu membuat aturan-aturan hukum. Itu kan konsentrasi dunia politik. Apalagi Allah itu Maha Kuasa…ha..ha…ha…” kata anggota majlis kopi lainnya.
Perdebatan ilmu mana yang paling utama berlanjut seru. Masing-masing membuat argumentasi dan klaim paling benar. Bahkan diskusi itu tiba-tiba berubah menjadi debat kusir yang mengarah pada emosi. Suasana jadi geger.
Merlihat suasana seperti itu, Kang Soleh diam saja. Ia biarkan sampai dimana anggota majlis kopi itu menyelesaikan masalah sekaligus mencari solusi sosialnya.
“Kalian ini seperti anak-anak saja…” kata Kang Soleh menyela perdebatan itu. Mereka lantas terdiam, sambil menghela nafas dalam-dalam. “Ya itu… seperti kalian itu… inilah yang sedang saya pikirkan. Mengapa kedamaian kita tidak pernah terwujud? Saya tahu mengapa tidak terwujud? Tetapi saya masih penasaran, mengapa Sandiwara Ilahiyah tentang arah perdamaian ini, belum kita rasakan? Atau mungkin karena dosa-dosa kita sehingga mata hati kita kabur memandang mosaik kedamaian yang hakiki?”
“Wah, sorry Kang, kita memang kebacut! Tapi pasti ada hikmahnya Kang,” kata Pardi mewakili teman-temannya. “Tapi bagaimana sebenarnya menurut Kang Soleh, apakah prioritas utama atas pengetahuan itu salah, Kang?”
“Semua ilmu itu milik Allah. Karena itu ilmu yang lebih mendekatkan kepada Allah itulah yang harus Anda cermati dulu. Tetapi jangan sampai Anda mengabaikan yang lain, karena ilmu itu semua dari Allah swt.”
Mereka hanya manggut-manggut belaka, memahami wacana Kang Soleh, sembari menghayati dalam hati masing-masing, menurut potensi hati masing-masing, dan menurut situasi pergolakan hati masing-masing.
“Yang dirisaukan Kang Soleh tadi?”
“Saya hanya heran. Setiap hari, sehabis salat, kita baca doa, Allahumma Anta as-Salaam, wa-Minka as-Salaam, wailaika Ya’udus Salam, Fahayyina Rabbanaa bis-Salaam, wa-Adkhilnal Jannata Daaras Salaam…(Ya Allah, Engkaulah kedamaian, dari-Mu-lah kedamaian itu, dan kepada-Mu-lah kedamaian itu berpulang. Maka damaikanlah hidup kami, dan masukkanlah kami ke Syurga penuh damai…). Lha, iya, kok masih terus bengekerengan seperti kamu-kamu ini….”
“Kalau Kang Soleh heran…apalagi kami-kami ini Kang!”
“Ya…,saya dengan kalian, tidak ada bedanya. Sama-sama hamba Allah.
Soal penghayatan, saya yakin Cak San bisa lebih mantap daripada saya. Tapi benar juga ya, barangkali karena orang yang mengucapkan doa tadi tidak disertai zikir dalam hatinya. Sebab, kedamaian itu tidak terletak pada mulut dan anjuran. Palagi setelah dicarikan jalan dan direkayasa, malah nggak damai-damai. Damai itu kan, bermula dari jiwa kita sendiri. Dan jiwa kita bisa damai kalau jiwa kita berzikir, ingat terus menerus kepada Allah. Kalau begitu dusta, orang yang bicara kedamaian tanpa zikrullah!”.
Sambil manthuk-manthuk, Kang Soleh bangkit dari duduknya, tanpa babibu, ngeloyor saja keluar dari kedai.
Dulkamdi dan Pardi, Wakidi dan yang lainnya, saling memandang satu dengan lainnya. Mereka mencoba mengerti apa yang dikatakan Kang Soleh, dan mereka pun tersenyum simpul, kecuali Dulkamdi yang tertawa meledak seperti gludhuk.

Rela Nyembah Gusti Alloh?


“ Kamu sudah kenal gusti ALLAH Dul? “ tanya pardi tiba-tiba, ketika fajar mulai menyingkap semesta.
“ wah pertanyaan kok nganeh-nganehi Di… “
“lha wajar tho,ALLAH sudah kita sembah bertahun-tahun. Jangan-Jangan kita tidak kenal… “
Dulkamdi puyeng mendengar pertanyaan yang langsung menghujam ke ulu jantungnya, sampai ke ubun-ubun pikirannya. “ tidak Di, kamu kok tiba-tiba Tanya begitu pasti ada latar belakangnya…”.
“ latar belakangnya ya kebingungan saya, soalnya sekarang banyak orang ngaku makrifat, hakikat, sampai njlimet, tapi nyatanya tidak kenal gusti ALLAH …”.
“ lhah itu soal klasik sejak jaman dahulu juga banyak manusia seperti itu. Tidak usah dipikirkan, tiwas melu edan…”
“ lha terus gimana tho Dul? “
“ gampang, coba tadi malam kiai mursyid kan melontarkan suatu hadist nabi. (“telah merasakan nikmatnya iman, orang yang rela ALLAH sebagai tuhan, islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi ”)beres kan? Tidak usah puyeng-puyeng….”
“ lalu rasa tersebut macam apa, Dul? ”
“begini, ini kata kang soleh, tidak tau kang soleh ngutip dari mana, saya juga tidak tau antah-berantahnya. Katanya, rasa tersebut adalah faktor yang di bangkitkan oleh ridho’ (kerelaan) yaitu makrifat kepada allah. Dan makrifat itu adalah cahaya yang di tempatkan oleh allah dalam kalbu hamba yang di cintainya, tidak ada yang lebih besar dan lebih agung ketimbang cahaya itu, sedangkan hakikat makrifat itu adalah hidupnya hati dengan yang maha hidup, sebagaimana firman allah:
(“ adakah orang yang keadaan mati, maka kami hidupkan dia? “) begitu juga , (“ agar menjadi peringatan bagi orang yang hidup (hatinya)” ) ayat lain (“ maka kami hidpkan ia, dengan kehidupan yang baik ”).
“ itu yang ku maksud Dul…”
“ Ah itu tadi takwilan dari syeik rifa’i. beliau juga mengatakan “ siapa yang mati nafsunya maka dunianya jauh darinya,siapa yang mati hatinya akan jauh dari tuhannya.” Kata kang soleh njudul begitu saja dalam majlis kedai kopi.
Ibnu samak pernah di Tanya,” kapan seorang hamba di kenal bahwa dirinya telah sampai di hakikat makrifat?” beliau menjawab
“ manakala seorang hamba melihat ALLAH dengan mata renungan hatinya, fana dari segala selain dari-NYA.”
Dikatakan, “ makrifat berarti sirnanya pandangan melihat selain ALLAH. dimana selain ALLAH ta’ala begitu kecil bahkan di banding biji bayam sekalipun.katakanlah; ALLAH…! Lalu tinggalkan mereka…”
Matahari orang yang mencintaimu telah terbit di malam hari, lalu cahaya-NYA memendar, tak pernah surup. Matahari di siang dunia telah surup,sedangkan matahari kalbu tak pernah sirna.
Cukup kang… cukuuuup. Aku bisa edan makan sepatu nanti kaaaaang…. Cukuppp…!”
Lalu, kang soleh ngeloyor pergi di telan pagi buta, pardi dan dulkamin malah berpelukan erat, dadanya berdegup guncang. Penuh dengan zikrullah.