Laman

Kamis, 16 Mei 2013

Cinta dari Darah dan Ruh


PDF Print E-mail
Ditulis oleh Muh.Syukri Ali   
Rabu, 30 September 2009 12:49
muhsyukrialiLelaki itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.

Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar Bin Khattab: “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” Lalu Umarpun menjawab: “Tidak!Tidak Cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya sementara ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu.


Tidak!Tidak!Tidak!
Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: disana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati kehidupan sang ibu. Ia lalu keluar diantar darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.


Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh.


Ketika sang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata didasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.

Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi diatas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanah langit yang harus dipertanggung jawabkan diakhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya dimuka bumi, maka ia juga penentu masa depannya diakhirat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat di surga berkat doa sang anak.


Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil di halaman depan buku monumentalnya “ Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam.” Buku ini, kata Sibai, kupersembahkan kepada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan do’a-do’anya : “Ya Allah, jadikanlah anakku sebagai sumber kebaikanku diakhirat kelak.”


Doa sang ibu dan ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu selamanya terkabul!

Dari Penelusuran Naskah Kuno dan Historiografi Ulama Pasaman : Ulama Lokal dan Kosmopolitan Pasaman


Di edit oleh : Muhammad Ilham

(Penelitian ini dilakukan oleh "adik-adik" mahasiswa (Chairullah & Apria Putra cs.), tepatnya sahabat-sahabat mahasiswa saya Fakultas Ilmu Budaya - Adab IAIN Padang yang tergabung dalam Tim Inventarisasi Naskah Melayu-Islam Minangkabau yang dalam usia "muda" yang belum menyelesaikan gerbang akhir perkuliahan, namun memiliki ikhtiar akademik luar biasa. Bagi saya, dosennya, mereka adalah orang-orang tercerahkan. Semoga kedepan, mereka mampu melahirkan penelitian yang lebih komprehensif. Tapi, ikhtiar mereka, sesederhana apapun, mereka pantasdiberi apresiasi ::: beberapa bahagian, terutama catatan kaki untuk menjaga orisinalitas laporan penelitian ini, tidak dipublish)

Hampir seluruh Ulama-ulama surau, tak terkecuali ulama-ulama ternama negeri Pasaman, sampai pertengahan abad ke-XX merupakan ulama didikan Mekkah. Paling tidak, setelah menyelesaikan pengajian di berbagai surau di Minangkabau, mereka berangkat Haji dan tinggal beberapa lama di Mekkah, mengambil barokah pada beberapa halaqah yang bertebaran di Mesjidil Haram, adapula yang sampai mendapat ijazah kitab hingga meraih gelar Khalifah dengan selembar ijazah keluaran Jabal Abi Qubais. Adapula yang benar-benar hidup menahun di Mekkah, belajar ilmu secara khusus kepada beberapa Syekh ternama, setelah cukup bilangan beberapa tahun, mereka berkelana menziarahi Madinah dan Baitul Maqdis, dan pulang selaku ulama besar.
Dengan demikian, ulama-ulama selaku icon intelektual Islam di Pasaman khususnya telah bersinggungan dengan jaringan Ulama kosmopolitan ketika belajar ilmu agama di Mekkah. Kemudian setelah kembali ke kampung halamannya, mereka membentuk Jaringan lokal lewat institusi surau di daerahnya masing-masing. Bagi orang-orang siak yang ramai menimba ilmu di surau, maka “surau” sendiri menjadi pijakan awal bagi mereka sebelum menuju Mekkah dan bergabung dalam jaringan ulama internasional di sana. Bagi mereka –orang siak- surau merupakan tempat belajar dasar-dasar keagamaan dan modal untuk berangkat ke Mekkah.

Mengenai ulama di Pasaman, seperti itu pula keadaannya. Mereka menepati posisi signifikan dalam jaringan ulama lokal dan jaringan ulama kosmopolitan. Seperti halnya setiap daerah di Minangkabau, Pasaman juga banyak pula dihuni tipikal ulama-ulama sebagai yang disebut diatas. Dari sekian banyak ulama-ulama ternama di daerah ini, maka di sini akan digambarkan jejak Historis-Biografis tokoh-tokoh inti jaringan ulama di Pasaman. Sehingga nantinya kita dapat memperoleh gambaran jaringan keilmuan yang mereka peroleh dan mereka ajarkan kepada jaringan lokal di bawahnya. Di samping itu, ada satu kriteria umum ulama-ulama besar masa lalu yaitu mereka masyhur terbilang keramat, sebuah bukti atas keshalehan beliau-beliau yang bermartabat di sisi Allah itu. Tiadakan berani menolaknya, terkecuali yang tidak percaya. Karena kekeramatan itu, yang dalam ilmu Tauhid diistilahkan dengan Khariqul lil Adah, memang diakui, dilihat oleh mata, disaksikan oleh masyarakat banyak, menjadi buah bibir sampai ke generasi-generasi selanjutnya. Namun banyak penulis Biografi ulama di masa modern ini tak menulis itu, hingga dikatakan itu tak logis, tak sesuai dengan metode sejarah, apakah ala Max Weber seperti yang dibanggakan Mangaraja Onggang Parlindungan, pokoknya tak logis, titik. Jika diberi argumen, mereka akan bilang keramat itu hanya sikap “Meng-KULTUS-kan guru belaka, agar murid membuat citra supaya gurunya besar dimata orang. Sedangkan Ibnu Khaldun saja, seorang Sejarawan Muslim terbesar itu, tetap menulis hal-hal ganjil itu dalam Muqaddimah-nya. Bahkan bangsa yang dikatakan modern itu, Jepang, masih meyakini Kaisar mereka keturunan dewa matahari.
Diantara tokoh-tokoh inti jaringan ulama Pasaman, yang membentuk jaringan lokal dan kosmopolitan, ialah Tuanku Mudik Tampang Rao (wafat awal abad ke XIX), Maulana Syekh Ibrahim bin Fahati al-Khalidi Kumpulan (1764-1914), Syekh Daud Durian Gunjo Malampah (1854-1939), Syekh Muhammad Bashir al-Khalidi Lubuk Landur (wafat 1920), Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak, Syekh Muhammad Sa’id Bonjol (1888-1979), Syekh Muhammad Nur Mangkumang Datar (wafat 1989) dan Syekh Abdullah Alin Tagak – Bukik Tuleh (wafat 1993).1) Tuanku Mudik Tampang Rao (awal abad XIX)

Tak ada sumber otentik yang berbicara langsung mengenai Tuanku Mudik Tampang, siapa beliau. Dari gelar nama beliau, dapat dimengerti bahwa nama itu hanya berupa gelar kehormatan, yaitu terdiri dari kata “Tuanku” dan “Mudik Tampang”. Tuanku ialah gelaran yang biasa dipakai untuk orang-orang besar, di Minangkabau dikenal sebagai gelar Ulama. Sedangkan “Mudik Tampang” ialah nama daerah, yaitu sebuah distrik kecil di Tanah Rao. Jadi gabungan dua istilah ini memberikan pengertian bahwa sang Syekh berasal dari Mudik Tampang, Rao.
Menurut salah satu sumber oral yang ditemui, Bapak Nasaruddin Hasibuan, sang Syekh Tuanku Mudik Tampang digelari dengan panggilan Syekh nan Bacukua Sabalah, yaitu sebuah gelar yang mengungkap kekeramatan sang Syekh, menghilang dari kampungnya dan langsung tiba di Mekkah untuk memadamkan kebakaran dalam keadaan bercukur sebelah. Beliau seangkatan dengan ulama-ulama besar paruh abad ke-18 dan ke-19, diantaranya Tuan Syekh Muhammad Shaleh “Beliau Munggu” Padang Kandih Lima Puluh Kota, yang masyhur namanya di Tiga Luhak dalam ilmu Tarekat dan Hakikat (ayah yang Mulia Syekh Abdul Wahid “Beliau Tabek Gadang”); Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan, masyhur sebagai guru besar Tarekat Naqsyabandiyah di abad ke-19. Beliaupun punya hubungan dengan Tuanku Rao, pimpinan Paderi yang dikenal dalam historiografi Batak dengan nama si Pokki Nangolngolan Sinambela. Walaupun riwayat hidup beliau masih kabur, namun ada satu sumber yang memberikan sedikit informasi mengenai sang Syekh Mudik Tampang, sumber itu ialah Hikayat Jalaluddin, merupakan salah satu sumber lokal yang langka mengenai Paderi. Dinama Syekh Jalaluddin Ahmad Faqih Saghir menyebutkan :
…akan halnya cerita ini peri menyatakan asal kembang ilmu syari’at dan hakikat dan asal teguh larangan dan pegangan dan asal berdiri Agama Allah dan agama Rasulullah.……adalah seorang Auliya’ Allah yang kutab lagi kisyaf lagi mempunyai keramat yaitu orang tanah Aceh Tuanku Syekh Abdurra’uf, orang masyhurkan ia mengambil ilmu dari pada tuan Syekh Abdul Qadir Jailani. Itupun ia mengambil tempat di negeri Madinah tempat berpindah nabi kita Muhammad Rasulullah ‘alaihi wa sallam yaitu bimbing menghafazkan ilmu syari’at dan ilmu Hakikat ialah menjadi pintu ilmu sebelah pulau Aceh ini. Maka digarakkan Allah berlayar ia dikepala tempurung menjelang negeri Aceh adanya. Maka kemudian dari itu turunlah ilmu Tarekat ke negeri Ulakan kepada auliya’ Allah yang mempunyai keramat lagi mempunyai derajat yang a’la, ialah pergantungan ilmu tahqiq, ikutan dunia akhirat oleh segala makhluk di sebelah tanah ini. Maka berpindahlah Tarekat ke Paninjauan. Lalu kepada tuanku Mansiang nan Tuo. Segala surat-surat ia memakaikan tertib majlis lagi wara’ seperti Tuanku nan di Ulakan jua halnya. Maka dimasyhurkan orang pula Tuanku nan Tuo di negeri Kamang. Ia telah menghafazkan ilmu alat. Dan Tuanku di Lambah dan serta Tuanku di Puar, yang mempunyai keramat lagi beroleh limpah dari pada Tuanku di Paninjauan, orang Empat Angkat jua adanya. Maka Tuanku di Tampang di Tanah Rao datang dari negeri Madinah membawa ilmu mantiq dan ma’ani…
Dari keterangan Faqih Shaghir ini diketahui bahwa Tuanku Mudik Tampang masyhur namanya sebagai pemuka-pemuka ulama, khususnya di abad ke-18. beliau pernah belajar di Hejaz (Mekah dan Madinah), sehingga terkenal beliau sebagai ulama yang ahli dalam ilmu bahasa Arab, mantiq dan ma’ani. Selain itu beliau juga dikenal sebagai salah seorang Ulama Tarekat Naqsyabandiyah, hingga sekarang di surau bekas peninggalan beliau beratus-ratus orang, laki-laki dan perempuan, melaksanakan suluk dan wasilah.
2)
Maulana Syekh Ibrahim bin Fahati al-Khalidi Kumpulan (1764-1914)


Jika ditanya siapa ulama besar atas jalan Naqsyabandiyah di abad ke XIX dan awal abad XX, berpengaruh luas dikalangan orang-orang siak Minangkabau hingga tanah Batak, terbilang dalam catatan-catatan Belanda akan kemasyhurannya, maka Beliaulah Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi Kumpulan, masyhur ditengah-tengah masyarakat dengan “Angguik Balinduang” Kumpulan.
Nama kecil beliau ialah Abdul Wahab, lahir pada tahun 1764. diusia yang masih belia Beliau mengaji al-Qur’an menemui seorang alim di Pasir Lawas – Agam. Tersebut bahwa guru beliau tersebut maklum mahir al-Qur’an dan murid langsung dari Syekh Burhanuddin di Ulakan. Setelah menamatkan kaji di tempat tersebut, Beliau melanjutkan mempelajari hukum-hukum syari’at atas mazhab Syafi’i di Cangkiang, IV Angkat Candung. Kemudian Beliau berangkat ke Mekkah al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah Haji. Setelah Beliau kembali dari Mekkah, Beliau belajar ilmu Tharikat Naqsyabandiyah kepada mamanda Beliau Syekh Muhammad Sa’id Padang Bubus. Inilah guru Beliau pertama dalam ilmu Tharikat, hakikat dan Ma’rifat. Kemudian beliau pergi ke Mekkah lagi dan di situ beliau bermukim selama 7 tahun, untuk melanjutkan pengajian dalam ilmu syari’at dan secara khusus melanjutkan ilmu Tharikat di Jabal Abi Qubais kepada Maulana Syekh Khalid Kurdi. Setelah beliau menjadi orang alim pada ilmu Syari’at dan Tharikat, beliau kembali pulang ke Kumpulan. Di Kampung Sawah Laweh Kumpulan, beliau mengajar ilmu agama dalam syari’at dan Tharikat di sebuah Surau yang bernama Surau Kaciak. Karena orang semakin bertambah-tambah menimba ilmu kepada Syekh Ibrahim, maka dibangunlah kompleks surau yang lebih besar dinamai dengan Surau Tinggi. Syekh Ibrahim mempunyai pengaruh yang luas dikalangan ulama dan masyarakat banyak, maka beliau menepati posisi sentral dalam jaringan ulama setelahnya, terutama dalam jaringan Tharikat Naqsyabandiyah. Diantara murid-murid beliau yang terkenal keulamaannya setelah Beliau ialah Syekh Syahbuddin Tapanuli, Syekh Muhammad Nur Baruah Gunung, Limapuluh Kota, Syekh Muhammad Bashir Lubuk Landur, Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak, Syekh Daud Durian Tigo dan Syekh Mudo Tibarau Kinali.

Layaknya ulama-ulama besar dan yang ahli sufi lainnya, Beliau –Syekh Ibrahim- juga terbilang keramatnya, sebagai anugerah Allah akan wali-walinya dan orang-orang shaleh pilihan. Diantara karomah-karomah beliau yang masyhur menjadi buah bibir masyarakat umum ialah menggariskan tongkat Beliau ketika banjir di negeri Talu, sehingga air banjir itu menjadi surut; hilang lenyapnya tulisan-tulisan buku seorang sarjana Inggris yang hendak mendebat beliau dalam masalah Tasawwuf, dan banyak lagi lainnya kisah-kisah tersebut.
Syekh Ibrahim Kumpulan wafat pada tahun 1914, dalam usia 150 tahun. Menurut penuturan masyarakat, sewaktu Beliau meninggal dunia kampung Koto Tuo penuh sesak oleh orang banyak. Kebanyakan dari mereka itu tidak dikenal siapa orangnya dan banyak pula di antara mereka itu yang berpakaian putih-putih. Selain itu muncul keanehan, negeri tersebut penuh dengan kabut putih dan kupu-kupu kuning. Setelah berlalu 40 hari, maka kabut putih dan kupu-kupu kuning itu menghilang sama sekali.

3)
Syekh Daud Durian Gunjo Malampah (1854-1939)


Beliau adalah ulama besar Pasaman yang masyhur terbilang keramat. Sebagai halnya ulama-ulama Minangkabau masa dulu yang keramat-keramat keadaannya, sebagai tanda kuasa Tuhan akan hamba yang dikasihi-Nya, maka untuk Inyiak Durian Gunjo ini sangat terkenal kekeramatannya oleh masyarakat luas di Minangkabau. Namanya tersanding diantara Syekh Keramat Taram – Payakumbuh dan Syekh Abdurrahman al-Khalidi Batu Hampar yang keramat-keramat belaka. Selain ulama yang dalam fahamnya dalam bidang Syari’at, kekeramatan beliau lazim selaku ulama yang sangat mendalam pada bidang Tharikat, terutama atas garis silsilah saadat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah.
Beliau diperkirakan lahir pada tahun 1854, sejak kecil beliau telah menjadi anak didik Syekh Ibrahim Kumpulan yang masyhur itu. Dengan Syekh Ibrahimlah beliau menekuni ilmu-ilmu keislaman, hingga mengambil Tharikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, bersuluk dibawah pengawasan “Angguik Balinduang”. Maka terkemuka pula Inyiak Daud selaku salah satu murid kesayangan Syekh Kumpulan itu. Di samping itu, Inyiak Daud juga pernah secara khusus menekuni ilmu-ilmu Syari’at, mencakup fiqih dan ilmu-ilmu Kitab lainnya kepada Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas (wafat 1949), ayah KH Sirajuddin Abbas tokoh PERTI yang terkemuka itu. Selanjutnya, Syekh Durian Gunjo melanjutkan pelajarannya ke Mekkah sambil menunaikan rukun Islam yang kelima. Di Mekkah beliau bermukim selama 2 tahun, beribadah Haji serta memperdalam ilmu agama khususnya dalam bidang Tharikat Naqsyabandiyah. Konon kabarnya, di tengah perjalanan antara Mekkah dan Madinah, tepatnya di Bulan Ramadhan, beliau mendapati Lailatul Qadar. Saat itu beliau berjalan dengan unta, tak terasa unta itu telah menunduk saja tiada mau berdiri dan berjalan, sedangkan batang-batang kurma telah menunduk semuanya. Maka beliau mulai tersadar, bahwa beliau telah berjumpa dengan malam “kemuliaan” itu. Kemudian beliau berdo’a, salah satu bunyi munajatnya meminta kekayaan kepada Allah pada dua kampung, yaitu kaya di dunia dan kaya di akhirat. Rupanya malam itu membawa barokat yang besar kepada Syekh Daud Durian Gunjo dikemudian hari.

Beliau terkenal sebagai ulama terkemuka dan termasyhur, tersebab keutamaan yang beliau peroleh, apakah dari ilmu pengetahuan dan amal shaleh yang selalu beliau amalkan sepanjang waktu. Beliau mendirikan surau besar persis di kaki Gunung Pasaman. Suraunya memang jauh dari pemukiman ramai oranga, tapi dari melihat surau ini yang cukup megah di zamannya memberikan kepada kita gambaran bahwa surau ini merupakan salah satu surau Besar yang makmur di masa lalu, tak terpungkiri, juga sampai saat ini. Surau Besar itu terbuat dari kayu, sehingga suasana dalam surau itu sangat tenang, khitmat, mirip situasi surau-surau Tarekat naqsyabandiyah lainnya di hampir seluruh wilayah Minangkabau. Surau itu ditegakkan dengan empat tiang dari batang-batang kayu yang besar-besar. Surau itu memiliki 4 tingkat, yang konon dulunya keempat tingkat itu diisi penuh oleh orang-orang suluk, berkhitmat mengamalkan Tarikat Naqsyabandiyah, berzikir mengingati Allah. Sebuah lambang kejayaan surau di masa lalu, surau besar itu dibuat bergonjong, menawan, sebuah pesona pendidikan Islam masa lalu yang tiadakan pudar dimakan zaman, diterpa masa.


Hal ihwal mengenai peristiwa-peristiwa aneh seputar Beliau banyak menjadi buah bibir masyarakat banyak. Salah satu yang populer, ialah kisah Syekh Daud menyelamatkan kapal anaknya yang sedang berlayar mengaji ke Mekkah. Ini disaksikan oleh murid-murid beliau sewaktu bertahlil, lewat kasyaf nyata terang. Sedang orang-orang dalam kapal yang ditompang anaknya itu nyata melihat yang menolong kapal mereka supaya tidak tenggelam itu ialah seorang Syekh, ialah Inyiak Daud Durian Gunjo. Sedang disaat yang sama, Syekh Daud sendiri dilihat murid-muridnya sedang berzikir khusyu’ dalam kelambunya di Surau itu. Dan banyak lagi kisah-kisah lain.
Keberadaan Syekh Daud Durian Gunjo dengan dedikasinya selaku ulama berpengaruh, juga menepati inti jaringan Ulama di Pasaman, sebagaimana gurunya Syekh Ibrahim Kumpulan. Dari sekian anak Beliau, ada terdapat 3 orang yang melanjutkan usaha beliau, meneruskan jaringan ulama untuk generasi selanjutnya. Mereka ialah Syekh Muhammad Nur Mangkumang Datar (wafat 1989), terkenal masyhur; Syekh Sulaiman Batu Kambiang – Malampah dan Haji Hasan Kinali.
4)
Syekh Muhammad Bashir al-Khalidi Lubuk Landur (wafat 1920)


Pasaman Barat pernah pula menjadi basis keilmuan Islam yang terkemuka. Tak jauh dari Simpang Empat, yang menjadi barometer perekonomian Pasaman itu, terdapat satu komplek Surau Besar yang asri dan lumayan unik. Orang-orang asing berbondong-bondong melepas letih ke Komplek Surau itu, samping melihat kumpulan ikan-ikan besar, ikan-ikan larangan dimasyhurkan orang. Maka itulah negeri Lubuk Landur, surau itu surau Tuan Syekh Lubuk Landur yang terkenal dan ikan-ikan besar itu ialah ikan-ikan larangan Tuan Syekh Lubuk Landur yang dikenal bertuah.
Di masa-masa silam, surau Lubuk Landur yang luas itu merupakan salah satu pusat pendidikan Islam yang terbilang dikalangan penuntut-penuntut ilmu di daerah ini. Dia menjadi satu titik jaringan keilmuan islam, koneksi ulama yang terjalin lewat aktifitas mengaji di surau dan aktifitas Suluk yang sangat digemari hingga kini.

Tersebutlah ulama besarnya Tuan Syekh Muhammad Bashir Lubuk Landur, alim terkemuka dalam Syari’at dan Hakikat, pemimpin atas jalan Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Masa kecil dan riwayat mula belajarnya belum dapat dicatat. Namun dapat dipastikan beliau bermukim bertahun-tahun di Mekkah al-Mukarramah, memfahamkan kaji Naqsyabandiyah di Jabal Qubis, setelah terlebih dahulu berkhitmat kepada Syekh Ibrahim Kumpulan yang masyhur itu. Maka jelas sudah, lewat surau Lubuk Landur beliau membentuk jaringan keilmuan lokal dengan para orang siak dari berbagai daerah, setelah terlebih dahulu beliau memasuki jaringan ulama kosmopolitan di Mekkah al-Mukarramah.
Sebagai pula ulama sufi terkemuka beliau termasuk ahli kiramah yang masyhur, salah satunya yang tetap sampai sekarang ialah ikan larangan Syekh Lubuk Landur. Ikan itu bertuah, yang menurut informasinya ikan-ikan itu dilarang diambil Syekh Lubuk Landur karena suatu peristiwa. Bagi masyarakat yang tak percaya larangan itu, kemudian dimakan, paling tidak akalnya akan rusak.
5) Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak, Sasak.Beliau terkemuka sekali dalam organisasi kaum Tua, Perti. Teman seperjuangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli (wafat 1970), dan ulama-ulama besar Minang lainnya dalam membentengi faham ahlussunnah dari rongrongan kaum muda yang hendak merubahnya. Riwayat beliau agak kabur, namun dapat dinyatakan beliau alim benar dalam Syari’at menurut kitab-kitab kuning. Sehingga bila beliau tersesak dalam diskusi dengan lawan-lawan faham beliau, maka berhamburanlah dalil dan hujjah dari mulut beliau, anehnya beliau tahu di kitab mana dalil-dalil itu beliau kutip dan halaman berapa tanpa sebelumnya menyentuh kitab itu. Selain alim syari’at, selayaknya ulama masa itu, beliau juga faham hakikat atas jalan Tarikat Naqsyabandiyah. Tersebut beliau adalah murid dari Syekh Ibrahim Kumpulan, selain itu beliau menyelesaikan kajinya ke Kampar - Riau, atas hadapan Tuan Syekh yang Mulia Syekh Abdul Ghani Batu Basurek (wafat 1961, dalam usia 150 tahun). Di samping itu, tak sulit bagi kita mengambil fakta, bahwa Beliau –Syekh Sasak- merupakan ulama didikan Mekkah, jaringan kosmopolitan itu.

6)
Syekh Muhammad Sa’id Bonjol (1888-1979)
Di salah satu Pusat perjuangan Paderi (1803-1838), Bonjol, pernah pula menjadi pusat kajian Islam Tradisional Minangkabau yang masyhur namanya sampai akhir abad ke-20. Nama besar perguruan Islam Tradisional itu tak lain karena dedikasi dan ketenaran seorang ulama besar yang kharismatik di daerah ini. Ulama itu ialah Syekh Muhammad Sa’id Bonjol, terkenal pulalah beliau ini dengan panggilan “Imam Bonjol ke-II”. Nama beliau paling banyak disebut apabila dihubungkan dengan jami’ah (organisasi) ulama-ulama Tua Minangkabau, PERTI, sebagai salah seorang sesepuh yang dihormati, teman seperjuangan Inyiak Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Syekh Muhammad Sa’id dilahirkan pada tahun 1881. tidak tercatat lagi masa kecil beliau. Namun dapat diduga bahwa beliau di masa-masa umur puluhan tahun mengaji ala surau Minangkabau di daerah kelahirannya, Bonjol. Dasar-dasar keilmuan surau inilah yang memotivasinya untuk belajar ke tanah suci Mekkah dikemudian harinya, sebagai halnya ulama-ulama besar yang sebaya dengan beliau, sampai masyhurnya beliau sebagai Ulama besar.

Syekh Sa’id mengambil Tarekat Naqsyabandiyah dari yang Mulia Syekh Ibrahim Kumpulan (1764-1914), yang masyhur namanya dengan “Angguik Balinduang Kumpulan”. Keberhasilan beliau dalam Tarekat Naqsyabandiyah menyebabkan beliau diangkat sebagai khalifah Syekh Ibrahim Kumpulan. Dikarenakan begitu taatnya beliau kepada Allah sehingga beliau mendapat Karunia Allah di dalam mengerjakan khalwat. Diceritakan dalam mengerjakan Suluk di Bulan Ramadhan beliau beroleh Karomah. Seketika mengambil wadhu’ di Malam Hari, Sorban beliau dilarikan Pohon kelapa yang rebah, sebab sebelumnya beliau meletakkan kain sorban beliau di pohon kelapa rebah itu sebelum berwudhu’.
Surau beliau yang kini telah menjelma menjadi mesjid merupakan pusat intelektual Islam yang terkemuka hingga akhir dekade abad XX. Jelas pula, sosok ulama Syekh Sa’id merupakan mata rantai penting dalam transmisi keilmuan Islam yang tidak bisa diabaikan.
7) Syekh Muhammad Nur Mangkumang Datar (wafat 1989)Beliau adalah salah seorang anak dari Inyiak Syekh Daud Durian Gunjo yang terkemuka keulamaannya. Tiada pula dapat ditulis mengenai perjalanan menuntut ilmunya ketika kecil. Namun dapat dinyatakan bahwa beliau merupakan salah satu ulama didikan Mekkah al-Mukarramah yang membentuk jaringan ulama lokal lewat surau Mangkumang Datar. Dan surau Beliau yang terletak jauh dari pemukiman penduduk di Mangkumang Datar, menyiratkan bahwa surau ini memang menjadi tipikal surau-surau Sufi, jauh dari hiruk pikuk dunia agar segera dapat mendekatkan diri kepada akhirat. Melihat arsitek surau yang cukup besar, dan bangunan-bangunan yang cukup tua yang masih berjejeran disamping surau Mangkumang Datar ini, memberikan gambaran bahwa surau ini pernah mengalami fase makmur di masa lampau. Syekh Mangkumang Datar wafat pada tahun 1989. untuk aktifitas suluk masih tetap dijalankan. Sedangkan anak-anak Syekh sendiri sebahagian besar tinggal di Jakarta.
8)
Syekh Abdullah Alin Tagak – Bukik Tuleh (wafat 1993)


Jauh di Gunung Tuleh, terdapat sebuah Madrasah (Pesantren) yang masih mempertahankan kaji ulama-ulama lama itu. Itulah pesantren Haji Abdullah Alin Tagak, didirikan oleh seorang ulama yang masuk pula dalam jaringan ulama lokal di Pasaman. Untuk periode terakhir ini, maka beliaulah yang tampaknya masih melanjutkan tradisi ulama-ulama lama Minangkabau, di tengah aruh modernisasi yang makin bergerak cepat.
Nama ulama Alin Tagak itu ialah Syekh Abdullah. Seperti sebahagian ulama lainnya, riwayat masa kecilnya tampaknya masih diselubungi kabut sejarah. Jaringan keilmuan yang dapat dicatat dari perjalanan intelektual Syekh Alin Tagak bahwa beliau termasuk pula sebagai salah seorang mursyid Naqsyabandiyah yang terkemuka sampai akhir abad XX sekaligus sebagai malin kitab dikenal. Pelajaran agama, termasuk Tharikat dan Kitab, dipelajarinya dari Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak.Transmisi keilmuan Islam : Surau dan naskah kuno Islam di Pasaman

Surau, bagaimanapun keadaannya telah menjadi sarana pendidikan Islam terkemuka dan berperan besar dalam Islamisasi, melahirkan ulama-ulama besar di zamannya, hingga mencetak juru-juru dakwah profesional. Di masa keemasannya, surau mampu menjadi barometer sosial-masyarakat, apakah dalam usaha perjuangan masyarakat terhadap kompeni, penentuan ekonomi petani, pengajaran adat istiadat Minangkabau dan tentunya istimewa dalam bidang agama. Fungsi surau yang bukan sekedar pusat pendidikan Islam, membuat kedudukan surau menjadi sangat penting bagi masyarakat kala itu. Apatah lagi dengan peran seorang ulama kharismatik yang memimpin surau tersebut, maka seolah-olah dia adalah pemimpin masyarakat. Pemimpin dalam bidang agama, penentuan kearifan ekonomi hingga penjaga ketertiban masyarakat. Begitulah surau, keadaan dan posisinya di masa jayanya.
Meneropong surau dari segi sosial keagamaan, kita akan memperoleh suatu gambaran nyata betapa lembaga ini, surau, memainkan peran penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Ulama yang menjadi titik nadi kehidupan surau merupakan sosok yang menjadi panutan, tumpuan hingga pimpinan. Sehingga fungsi utama surau sebagai tempat transmisi keilmuan yang dalam menjadi semakin menjadi nyata, dengan ulama sebagai penentu arah kebijakan-nya.

Transmisi keilmuan islam, berarti mentranfer ilmu-ilmu agama kepada generasi selanjutnya, agar tradisi keilmuan itu tidak putus. Setidaknya ada tiga porsi keilmuan Islam yang diajarkan secara mendalam di surau-surau Minangkabau. Pertama ialah pemahaman tentang syari’at, dengan mempelajari secara tuntas fiqih Mazhab Syafi’i. Kedua ialah pemahaman mengenai Tauhid, menekankan aspek akidah melalui “pengajian Sifat Dua Puluh” dan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni). Dan ketiga pengamalan Tasawwuf lewat Tharikat-tharikat Mu’tabarah. Di hampir semua surau-surau lama ketiga porsi keilmuan ini diajarkan secara tuntas, walaupun dibeberapa surau telah mengambil spesialis keilmuan tertentu, seperti Nahwu, Tafsir, Ma’ani dan lainnya, namun ketiga porsi ini tetap medapat tempat di surau-surau tersebut.
Dengan demikian jelas, surau-surau Minangkabau sangat kuat memegang tradisi Sunni; bersyari’at dengan Fiqih Syafi’i, berakidah sesuai dengan faham Asy’ariyah dan mengamalkan salah satu Tharikat Sufiyah sebagai sebuah kearifan Tasawwuf. Itulah sebabnya kenapa ulama-ulama surau ini kuat pendirian ketika munculnya beberapa kecaman dari kaum Modernis (kaum muda), karena memang sejak dulu Ahlussunnah telah mapan di ranah Minangkabau ini.

Memang tidak ditemui satu catatan kurikulum yang dipakai oleh lembaga surau. Namun dari penemuan naskah-naskah tua yang masih ditemui sekarang, kita akan membenarkan betapa surau ini menjadi basis Ahlussunnah yang kokoh berakar. Kita masih dapat menemui kitab-kitab besar mazhab Syafi’i yang masih bertulikan tangan di surau-surau ini, yang usia berabad-abad lamanya. Kitab masih menemui syarah-syarah ilmu Tauhid yang besar-besar di bekas-bekas surau masa lalu. Dan kitapun masih menjumpai kitab-kitab Tharikat yang sangat langka di beberapa surau-surau besar masa lalu. Di sinilah kekuatan surau, dengan ulama dan aktifitas transmisi keilmuannya; dalam dan tinggi. Itupulalah yang pertahankan kaum Tua ketika muncul pergolakan agama di Sumatera barat dengan kaum Muda di awal abad ke-20. Sehingga tersebut dalam pecahan undang-undang 12, salah diadat, hukum adat nan kewi itu, DAGO DAGI (mangguntiang nan lah bunta, menyubik nan lah rato), salah di undang-undang duo baleh. DAGO membatalkan mufakat yang telah adil dalam nagari (=mufakat agama), DAGI membuat haru biru dalam nagari (=huru hara dengan memasukkan faham baru yang membuat ricuh masyarakat). Karena tersebut Minangkabau, Indonesia umumnya sejak dahulu telah kuat memegang mazhab syafi’i, berittiqat Ahlussunnah wal jama’ah dan memakai kerifan Tasawwuf lewat pengamalan Tarikat-tarikat mu’tabarah. Maka sikap inilah yang di mulai oleh kaum Muda, membatalkan mufakat yang telah bulat, membuat pergolakan, dengan membatalkan faham agama yang telah mapan di Minangkabau sejak dulu kala.


Itu pulalah yang ditulis oleh Syekh Muhammad Sa’ad Mungka (wafat 1922) ketika melawan polemik Tarikat Naqsyabandiyah dengan Syekh Ahmad Khatib. Dalam kitab langka yang berjudul Irghamu Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithathal Washilin (=meremukkan hidung penantang, yaitu mereka yang membatalkan Rabithah orang-orang yang telah sampai kepada Allah), dimasa diawal risalah itu Syekh Muhammad Sa’ad menulis:


(Setelah Basmallah dan Hamdalah serta shalawat)
Tatakala di thaba’ orang kitab izhar Zaghlil Kazibin dan masyhurlah sikatib negeri Minangkabau, gaduhlah orang awam dan caci mencaci mereka itu, hingga mengkafirkan setengah mereka itu mereka yang lain orang yang ditetapkan oleh Allah hatinya atas yang haq. Dan demikian itu dengan sebab tersebut di dalam kitab izhar tersebut menyerupakan orang yang pakai rabithah dengan orang yang menyembah berhala dan di datangkan beberapa dalil dari pada al-Qur’an dan hadist dan kalam sahabat dan ulama sufiyah. Maka dengan sebab itu memintalah dari pada al-haqir Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka Tuo setengah dari pada ikhwan dari pada ahlus shalah bahwa menyebutkan al-Haqir akan wajah bagi penguatkan segala dalil rabithah dan bagi penolakkan segala wajah membatalkan rabithah dan pemasukkan amalan Tarikat Naqsyabandiyah kepada syari’at, supaya jangan terlonsong dan terkecuh orang-orang yang tiada kuasa menfahamkan dalil….

Karena memang kehebohan ditengah-tengah masyarakat itu disebabkan oleh orang-orang yang menyalahi mufakat.
Begitulah keilmuan surau-surau di Minangkabau, kuat memegang Ahlussunnah, kuat beramal dengan Tarikat-tarikat Ahli Sufi. Untuk selanjutnya keilmuan surau yang begitu halnya telah diadobsi oleh Perti, karena memang Perti merupakan kelanjutan surau-surau lama itu. Dan kitab-kitab tulisan tangan dalam tradisi surau dahulu telah diganti dengan kitab-kitab kuning, dengan tetap memakai materi kitab-kitab lama itu. Kitab kuning untuk selanjutnya menjadi prioritas keilmuan yang utama bagi kaum tua, sebab dengan kitab kuning akan terwarisi segala ajaran yang mencakup Fiqih Syafi’i, Ahl Sunnah dan Tasawwuf secara utuh. Diantara kurikulum Kitab yang dikaji di Madrasah-madrasah Perti itu ialah : (1) Bidang Fiqih, yaitu Matan Ghayah wat Taghrib, Fathul Qarib Mujib, Al-Bajuri, I’anatut Tahlibin dan Mahalli; (2) Bidang Tauhid, yaitu Jawahirut Tauhid, Al-Aqwal al-Mardiyah, Fathul Majid, Umm Burhain; (3) Bidang Tasawwuf, yaitu Minhajul ‘Abidin, Mau’izatul Mukminin dan Hikam; (4) Nahwu dan Sharaf (gramatikal Arab), yaitu Matan al-Jurumiyah, Matan Bina wal Asas, Mukhtashar Jiddan, Kaelani, Kawakib ad Durriyyah, Qatrun Nida, Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah; (5) Bidang Ushul Fiqih, yaitu Waraqat, Jami’ul Jawami’, Asybah wa an-nazhair; (6) Bidang Tarekh (sejarah Islam), yaitu Khulasah Tarekh Islami, Nurul Yaqin, Itfamul Wafa; (7) Manthiq (logika), yaitu Idhohul Mubham, Sullamulwi; (8) Tafsir, yaitu Jalalain; (9) Balaghah, yaitu Jauharatul Maknun; dan (10) Bidang Hadist dan Musthalah, yaitu Kitab as-Sanawani dan al-Baiquniyah.

Begitupulalah surau-surau di Pasaman, dengan ulama-ulama yang gigih mempertahankan kaji lama itu.
Mengenai hal naskah-naskah tua yang menjadi local genius di surau-surau, maka ia ialah kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Dalam istilah Hamka jika dibeli tak terbeli, begitu mahalnya. Sebelum adanya mesin cetak seperti sekarang, maka untuk keperluan kitab-kitab pelajaran agama di surau-surau, maka materi-materinya disalin dengan tangan. Dari hasil tulisan-tulisan tangan itu agama Islam dipelajari secara menyeluruh. Selain itu adapula sebab produktifitas ulama-ulama yang mengarang buku sendiri, jadilah karangannya itu sebuah master peace yang langka, diburu keberadaannya. Dengan demikian naskah-naskah tua sangat penting keberadaannya dalam transmisi keilmuan Islam di masa lalu.

Naskah-naskah Tua surau-surau itu kebanyakannya masih tersimpan, tapi dalam kondisi yang memprihatinkan. Mungkin karena usia yang sudah berabad-abad lamanya, ataupun karena siempunya tak mengerti kegunaannya sehingga seolah-olah naskah itu sebagai barang terbuang. Seperti halnya naskah-naskah Tuanku Mudik Tampang di Surau Rao, dari watermark-nya naskah-naskah itu memang sudah berusia tua. Diantara bentuk-bentuk water mark dan tahun pembuatannya serta contoh-contoh naskah kuno Islam di Pasaman yang dikategorikan atas naskah al-Qur'an, naskah Wirid-Wirid, naskah Shalawat dan naskah Azimat (tidak diposting/dipublish : berada di tangan pemilik dan tim peneliti)
(c) Tim Inventarisasi Naskah Mahasiswa FIB-Adab IAIN Padang/2010 ::: telah dipresentasikan dalam Pertemuan Masyarakat Pernaskahan Cabang Sumatera Barat di Univ. Andalas Padang dan Diskusi Rutin Dosen Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Padang, 6 Mei 2010

Segenggam Gundah



muhsyukriali
Oleh:Much Syukri Ali
Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah, beras sudah habis loh..." ujar isterinya. Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah, "Ayah..., besok Agus harus bayar uang praktek". "Iya..." jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.

Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam, "besok beliin lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah kesukaannya itu.

Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya". Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke siapa". Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?

Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.

Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya,nanti semua Ayah bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.

Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.

Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.

Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam. Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.

Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.

Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum. Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.