Laman

Kamis, 23 Oktober 2014

AKHLAQ ALLAH


" Saya tidak faham. Kang Soleh, saya tidak mudeng, apa yang dimaksud dengan hadist Nabi, "Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah". Saya benar-benar tidak ngeh !" tanya Dulkamdi pada Kang Soleh.
Kang Soleh tidak menjawab. Ia angguk-anggukan lututnya sembari menikmati lagu-lagu di radio subuh itu. Asap rokoknya terus mengepul, sementara bibirnya kadang menyunggingkan sebuah senyum.
Dulkamdi terus penasaran, tapi ia tidak mau bertanya lagi, menunggu jawaban Kang Soleh. Sementara Pardi terus melototi arah Kang Soleh, siapa tahu ada pandangan gemulai yang bisa mencerahkan jiwanya. Dan nyatanya cukup lama Kang Soleh tidak menjawab. Ia nikmati betul lagu di radio pagi itu. begitu selesai lagu indah itu, baru ia bicara. "Allah menggesekkan biola semesta jagad raya ini, kamu sekalian yang menghayatinya. Itulah simpulan dari hadist Nabi SAW itu. "
" Bukannya kita membuat miniatur biola Tuhan, lalu kita ikut
menggeseknya, Kang ?" potong Pardi.
Kang Soleh hanya tersenyum. " Kalau kamu seperti itu, kamu akan terlempar ke lembah eksistensialisme, dan akhirnya kamu bisa menandingi Tuhan, minimal dirimu sendiri bisa menjadi penghalang bagi hubunganmu dengan Tuhan, karena keakuanmu akan tampak sebagai sosok hijab dirimu sendiri.
Semua yang ada di kedai Cak San terkaget sejenak. Tapi masuk akallah apa yang dikatakan Kang Soleh.
" Wah, jadi salah dong Kang Soleh, apa yang saya fahami hingga saat ini. Sebab, berakhlaqlah dengan Akhlaq Allah, menurut pemahaman saya, ya... kita meniru Allah, kita mengidentikkan diri dengan Allah, kita prototipe Allah di muka bumi. Saya membaca beberapa pandangan pemikir Islam, filosuf muslim juga begitu, lho...Kang. Jadi pandangan Kang Soleh membuat saya jadi gemetar. Pasalnya, pandangan ini bisa lebih revolusioner.." ungkap Dulmajid, seorang mahasiswa filsafat yang jadi kutu buku, kebetulan sedang liburan kampus, pulang kampung.
" Nah... nah... nah.... ! Saya kira juga lho Kang, praktiknya bagaimana sih ?" sela Pardi.
" Praktiknya yang seperti dalam tarekat sufi itu. Bagaimana kamu menghayati apa yang disebut dengan fana', lalu pertama kali kamu fana' pada Asma' Ilahi, lalu Af'al dari Sifat Ilahi, baru fana' pada Zat Ilahi. Tapi hati-hati, ketika kamu berkontemplasi tentang fana', kamu jangan terjebak pandangan seperti si Dulmajid tentang akhlaq Allah itu. "
" Kongkritnya... Kang, Kongkritnya...!"
" Begini saja, ketika kamu menyelami Asma Allah Yang Maha Lembut ( Al-Lathif ) misalnya, bukannya kamu berlembut-lembut diri. Tetapi Kemahalembutan Allah itu yang menghaguskan seluruh kemahakasaranmu, sehingga engkau sirna disana, engkau hanya seorang hamba yang fana. Bukan hamba yang mengaku-aku bisa lembut, bisa ini dan bisa itu, bisa begini dan bisa begitu dengan alasan meniru Allah. Bukan ! Misalnya lagi, ketika engkau mendengar Nama Allah Yang Maha Kuasa, maka dalam dirimu harus bersih dari apapun yang disebut kekuasaan. Kalau Allah Maha Kaya, maka dalam dirimu harus penuh dengan maha kemiskinan. Begitu seterusnya. Maka, Kyai Mursyid kan selalu membimbing hati kita agar kita tidak terjebur dalam tipu daya akal dan fikiran kita yang sering dikipasi setan itu. "
Lagu di radio pun mengalun kembali. Lagunya terasa lembut.
" Nah..... mari kita hayati lagu dan musik itu. Jangan dilihat siapa yang bernyanyi, jangan pula melihat bagaimana syair dalam lagu itu. Dengarkan musik itu sebagai suatu bunyi, dan simaklah syair sebagai kata-kata saja. Selebihnya, nyanyikan Asma'-asma' Ilahi dalam konser ruhani di hatimu. Sebab di hatimu juga ada suara biola, di jiwamu ada suara kemerduan nada, di kalbumu ada kamar yang penuh dengan drum dan akustik, di bilikmu ada seruling dan gitar. Bunyikan bersama dalam konser zikir yang sesungguhnya. Bukan zikir dalam musik, karena sesungguhnya tidak ada yang namanya musik zikir itu, " ungkap Kang Soleh mirip orasi di depan seniman-seniman yang sok Islami, tetapi hatinya tidak pernah bernyanyi dalam tarian bidadari dan bunyi - bunyi tasbih.

Ridha Allah


LELAKI gagah berjubah dan membawa seuntai tasbih, sambil komat-kamit. Wajahnya pucat menampakan style religius yang kuat. Jidatnya hampir gosong, entah kenapa. Mungkin terlalu banyak bersujud atau karena sengaja dihitam-hitamkan. Tiba-tiba nyeletuk pada si Pardi di kedai itu.
”Mas, yang sampean cari dalam hidup ini apa?”
”Apa ya? Saya juga nggak tahu. Saya hanya pengin jadi hamba Allah yang benar saja. Kalau sampean yang dicari apa?” Tanya Pardi.
Lelaki itu agak kaget.
”Saya harus memperbanyak ibadah, perbanyak pahala, perbanyak ganjaran biar kita nanti hebat di akhirat…” jawab lelaki itu.
”Kalau saya nggak butuh itu…”
”Haahhh…!” Ia semakin kaget.
”Apa nggak kebaretan pahala nanti di akhirat sampean ini. Kok pahala terus yang dipikir. Kelihatannya sampean nggak percaya pada janji yang Punya Pahala ya…?”
“Lho kok begitu ! Saya percaya pada Allah, percaya sekali. Karena itu saya totalkan hidup saya agar dapat imbalan diakhirat nanti”
“Apa sampean ini pedagang akhirat kok mencari laba melulu, imbalan terus, nanti sampean jadi konglomerat begitu, disana?”
“Wah, Mas… ikut saya aja… jalan keliling supaya banyak dapat pahala. Kita nanti kaya raya di akhirat…”
“Ada yang lebih kaya Mas dari sampean…”
“Siapa?”
“Saya!”
“Kok bisa?”
“Lha iya. Saya berada di sisi Yang Maha Kaya. Sampean masih memburu kekayaan pahala. Hayooo…”
Lelaki itu bingung dan mulai sebel pada Pardi.
“Terus yang sampean cari apa kalau begitu?”
“Kalau Gusti Allah Tanya saya, ya saya mencari ridha-Nya saja sudah cukup dan saya diridhai untuk jadi hamba-Nya, sudah lebih dari cukup…”
Lelaki itu kegerahan. Ia gunakan Koran untuk dijadikan kipas-kipas. Belum sempat ia minum kopi lalu ngeloyor pergi.
Usai kepergian itu Kang Soleh muncul. Lalu menegur Pardi.
“Kamu sudah tahu apa itu ridha Di…?”
“Lhadhalah… Baru saja saya mengenalkan ridha kepada tukang ibadah Kang…!”
“Kamu gak boleh sombong begitu…!”
“Katanya menyombongi orang sombong itu sedekah Kang. Ngomong-ngomong ridha itu apa sih Kang?”
“Ridha bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, rida hanyalah bahwa engkau tidak keberatan terhadap hukum dan qadha Allah SWT”.
Kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap ketentuan Allah SWT yang telah diperintahkan agar ia ridha dengan-Nya. Sebab tidaklah setiap ketentuan itu mengharuskan ia ridha, atau boleh rida dengan qadha tersebut, misalkan kemaksiatan dan banyaknya fitnah yang menimpa kaum muslimin.
Para syeikh berkomentar, “Keridhaan adalah gerbang Allah SWT yang terbesar”. Maksud mereka adalah, bahwa barang siapa mendapat kehormatan dengan ridha, berarti ia telah disambut sambutan paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi”.
Seorang murid bertanya kepada gurunya, apakah si hamba mengetahui jika Allah ridha kepadanya?’ Sang guru menjawab, ‘Tidak’, bagaimana dapat mengetahuinya, sedang ridha-Nya ghaib?’ Si murid berkata, ‘Sungguh ia tahu hal itu! Jika aku mendapati hatiku ridha kepada Allah SWT, maka aku tahu bahwa Dia ridha kepadaku’. Maka sang guru lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda’.
“Yang penting aku hanya ingin ridha-Nya dan kelak dapat cinta-Nya , Kang…”
“Keinginanmu seperti itu sudah lebih dari segalanya, Di…”
Pardi menghela nafas dalam-dalam dan secangkir kopi Cak San sudah di depannya.

MENGENAL ALLAH BERSAMA ALLAH


Semenjak Rasulullah menerima wahyu buat pertama kali di Gua Hira’ , saat itulah menurut Kyai Lukman, secara deklaratif misi sufi menjadi substansi wahyu itu sendiri. Rasulullah merasa tidak bisa membaca. Sebab yang bisa hanyalah Allah. Namun ketika Jibril meneruskan “ Bacalah, dengan nama Tuhanmu.. dst” Rasulullah langsung membacanya.
Maksudnya, Jibril meminta membaca dengan dan bersama Tuhan. Nama Tuhan itu adalah Allah. Allah hanyalah sebuah nama bagi Tuhan. Maka Nabi pun membacanya dengan kalbunya, lalu bergemuruhlah dada Nabi dengan sebutan Allah… Allah.. Allah hingga bertahun – tahun, sampai mengalami istighraq atau jadzab , atau tenggalam dalam lautan Illahi, hingga tubuhnya menggigil. Rasulullah menyatukan dirinya denga Asma Allah itu dalam hatinya. Artinya Rasulullah membaca dengan kalbunya. Bacaan kalbu berbeda dengan bacaan lisan. Bacaan kalbu adalah hasrat dan seluruh fakta kebenaran ideal yang terus bergelora
Peristiwa paling monumental dalam sejarah dunia tersebut sekaligus menandai peristiwa turunnya Alquran kali pertama di Gua Hira’. Pertemuan Rasulullah Sayyidina Muhammad SAW dengan Malaikat Jibril saat itu, bertepatan dengan Lailatul Qadr, merupakan representasi dari awal sekaligus akhir perjalanan waktu dunia yang terbatas, menuju Waktu Ilahi yang tiada hingga, azali dan abadi.
Betapa tidak. Ketika Jibril AS memeluk beliau sambil mendiktekan bacaan, “Iqra’!,” lalu dijawabnya, “Maa anaa bi qaari’” (Aku tak bisa membaca). Sebuah jawaban teologis, filosofis, dan sekaligus sufistik. Disebut teologis karena ketika itu Rasulullah berada di hadapan wajah Allah, sehingga yang ada hanyalah Tauhidullah, bahkan dirinya sendiri sekali pun sirna dalam Tauhid sampai harus berkata, “Aku tak bisa membaca…”
Begitu juga sangat filosofis, karena dunia filsafat tak habis-habisnya mengurai peristiwa itu, sebagai landasan utama peradaban tauhid di muka bumi, dan setiap dimaknai filosofis, muncul pula cahaya baru di balik makna yang tersembunyi.
Bahkan, juga sangat sufistik, karena “Al-qaari al-haqiqi huwa Allah ta’ala”, Sang pembaca yang hakiki adalah Allah ta’ala. Karena Dialah Yang Berkalam dan Yang Maha Tahu makna kalam yang sesungguhnya.
Sampai ketiga kali, di saat Jibril AS meneruskan, Iqra’ bismi robbikalladzi khalaq…. dst Nabi Muhammad SAW baru bisa menirukan. Di sinilah rahasia asma Allah tersembunyi -dan dalam urgensi ma’rifatullah (mengenal Allah) terurai , bagaimana Rasulullah SAW mampu membaca ketika kelanjutan ayat kalimat pada ayat itu tebersit kalimat. Bismi Rabbik (Dengan asma Tuhanmu). Seandainya boleh ditafsirkan, “Bacalah Alquran ini dengan nama Tuhanmu. Siapa nama Tuhanmu? “Allah!”, dengan kata lain, bacalah Alquran ini dengan Allah… Allah… Allah…”.
Memang demikian, akhirnya tak satu pun dari seluruh tinta yang menghabiskan tujuh lautan ruhani maupun tujuh lautan fisika, mampu menuliskan, melukiskan, bahkan menggambarkan dahsyatnya ilmu Allah dalam kalamullah itu. Yang ada hanyalah gemuruh jiwa yang menggetarkan seluruh jagat semesta ruhani dan jasmani, dalam kristal jantung Rasulullah SAW, sampai beliau menggigil dalam fana’ul fana’. Karena Wayabqqo wajhu rabbika dzul-jalaali wal-ikraam, (Yang ada hanyalah wajah Tuhanmu Yang Maha Agung nan Mulia) ketika itu.
“Zammiluuni… Zammiluuni….” Selimuti aku…. selimuti aku…. Seakan Rasulullah SAW, berkata, “Selimuti aku…. selimuti… karena Cahaya dari Maha Cahaya-Mu yang memancar di seluruh jagat cerminku. Selimuti aku, selimuti…., betapa senyap, sunyi, beku, dingin, tiada tara dalam Genggaman-Mu…. Selimuti… Oh, selimuti…. dan akulah sesungguhnya selimut-Mu…. Akulah Nama-Mu, akulah Ismu Rabbik itu… Oh…..”
Saat itu, dan mulai kala itu pula, tiada hari tanpa munajat, tiada kondisi dan waktu, melainkan adalah waktu-waktu penuh liqa’ Allah (pertemuan dengan Allah). Maka ismu Rabbik (nama Tuhanmu) itu melimpah begitu dahsyatnya tanpa bisa terucap, tertulis, dan terbayang, menjadi al-asma’ul husna, di antaranya asmaul husna dalam surat Al-Hasyr yang ada dalam Alquran.
Peristiwa Hira’ itu juga awal mula sebuah ajaran tentang zikrulah dimulai. Gemuruh zikrullah telah menyelimuti seluruh nadi, ruh, dan sirr (rahasia batin) Rasulullah SAW, dalam hamparan jiwanya. Karena hanya jiwa-jiwa yang beriman yang bisa menjadi istana ilahiyah.Bahkan, dari 99 al-asmaul husna yang pernah dihaditskan oleh Rasulullah SAW, dibaca oleh Asy-Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Araby, kemudian tertulis dalam kitabnya, An-Nuurul Asna Bi-MunajaatiLlaahi Bi-Asmaail Husnaa. 99 Munajat yang begitu indah, sekaligus menggambarkan huquq ar-rubuiyyah (Hak-hak Ketuhahan) dan huqul ‘ibad wal ‘ubudiyah (hak-hak kehambaan dan ubudiyah).
Misalnya, ketika membaca asma-Nya, “Allah”, Ibnu ‘Araby bermunajat: Ya Allah, tunjukkan padaku, bersama-Mu, kepada-Mu. Limpahilah rizki keteguhan (keketapan) di sisi Wujud-Mu, sepanjang diriku dengannya, untuk beradab di hadapan-Mu….
Yaa… Rahmaan, kasihanilah daku dengan pemenuhan paripurna nikmat-nikmat-Mu, tersampainya cita-cita ketika menahan cobaan-cobaan dahsyat dan ujian-Mu.
Yaa… Rahiim, sayangilah daku dengan memasukkan ke syurga-Mu dan bersuka ria dengan taqarrub dan memandang-Mu…
Yaa Maalik, Wahai…. Diraja dunia dan akhirat, dengan kekuasaan mutlak paripurna, jadikan diriku sampai di jannatun na’im dan Kerajaan Agung dengan beramal penuh total.
Yaa.. Quddus, sucikan diriku dari aib-aib dan bencana, sucikan diriku dari dosa-dosa dan kejahatan diri.
Yaa… Salaam, selamatkan daku dari seluruh sifat yang tercela, dan jadikan diriku golongan orang yang datang kepada-Mu dengan qalbun saliim.
Ya… Mu’min, amankanlah daku di hari yang paling mengejutkan, limpahilan rizki padaku dengan bertambahnya iman kepada-Mu, sebagai bagianku.
Yaa… Muhaimin, jadikanlah diriku sebagai penyaksi dan pemandang atas pemeliharaan-Mu, dan jadikanlah daku sebagai pemelihara dan pemegang amanah-amanah-Mu dan janji-janji-Mu.
Yaa…Aziz, jadikanlah daku dengan Perkasa-Mu termasuk orang-orang yang merasa hina di hadapan-Mu dan berikanlah padaku amaliah dengan amal-amal akhirat di sisi-Mu.
Yaa… Jabbaar…, paksalah diriku untuk berselaras dengan kehendak-Mu, dan janganlah Engkau jadikan aku sebagai pemaksa pada hamba-hamba-Mu.
Yaa.. Mutakabbir, jadikanlah daku termasuk orang-orang yang tawadlu’ atas kebesaran-kebesaran-Mu, tergolong orang-orang yang tunduk atas hukum dan keputusan-Mu.
Yaa… Khaaliq, ciptakan pertolongan dalam hatiku untuk taat kepadaM-u, dan lindungi daku dari kezaliman dan pengikutnya di antara makhluk-makhluk-Mu.
Yaa… Baari’, jadikanlah diriku golongan yang terbaik dari manusia, dan riaslah daku dengan akhlak baik yang diridai.
Yaa… Mushawwir, rupakanlah diriku dengan bentuk ubudiyah pada-Mu, dan cahayailah daku dengan cahaya-cahaya makrifat-Mu. Dan seterusnya sampai sembilan puluh sembilan nama Allah.
Itulah implementasi lain dari “Berakhlaqlah dengan akhlaq-akhlaq Allah”. Maka al-asmaul husna adalah hampiran pertama, ketika seorang hamba ingin merespons akhlaqullah, melalui munajat-munajat sebagaimana digambarkan Ibnu ‘Araby. Membaca, sekaligus aksentuasi dalam kehidupan nyata bahwa pada diri manusia harus “bersiap diri” untuk menjadi limpahan asma-Nya, agar mengenal-Nya. ***
Begini, Singkat saja ya.. Sejak Nabiyullah dan Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sejak saat itu beliau adalah Nabi yang Sufi dan RAsul yang Sufi. Nubuwah dan Risalah Islam tentu secara keseluruhan mengandung dimensi sufistik semuanya. Kecuali mereka yang hanya melihat Islam dari bentuk dan kulitnya saja, akan menolak semua ini.

Meraih Esensi Keikhlasan


“Kita ini sudah salah kaprah ya. Masak orang mau menunjukan kehebatannya, malah mengatakan, kalau dirinya tidak sombong. ‘Saya tidak sombong, lho…’ Padahal itu juga sombong juga”. Kata Dulkamdi memancing pembicaraan pagi itu.
“Wah, kalau salah kaprah begitu banyak sekali Dul. Tapi itulah, kenyataan masyarakat kita. Ada yang menonjolkan diri, dan semakin bangga kalau ia menonjol dengan kesukuannya. Ada yang menonjolkan diri dengan ilmunya, dan semakin bangga kalau muncul decak-decak mulut padanya. Ada yang menonjolkan anunya, dan itunya, dan semakin bangga kalau dijadikan bahan berita”, kata Kang Soleh.
Tiba-tiba Pardi datang, tanpa basa-basi, ia bagi-bagikan uang kepada orang-orang yang hadir disana, tanpa pandang bulu.
“Ini untuk menunjukan syukur saya atas nikmat Allah. Saya ikhlas kok membagi-bagi ini… kebetulan saya dapat rejeki lumayan besar dari makelaran motor kemarin”.
“Nggak usah bilang ikhlas kenapa sih, jadinya duitmu ini terasa setengah ikhlas dan setengah tidak. Saya mau belanjakan jadi gamang Di…”.
“Jangan begitu to Dul, kamu ini namanya menolak rejeki…”.
“Lho, kalau uang ini tadi dari kamu kan…? Kamu kan bukan pemberi rejeki. Tapi kalau Allah memberi rejeki mestinya kan tidak seperti itu Di…”.
“Pokoknya kalau kamu tidak mau terima, ya… kembalikan ke saya, masih banyak fakir miskin yang membutuhkan,” jawab Pardi sambil ngedumel.
“Saya juga fakir lho Di…. Masak sudah diberikan diminta lagi. Kamu ini ikhlas atau tidak?”.
Pardi mencoba menahan emosinya, sementara Dulkamdi senyam-senyum sembari merasakan betapa Pardi terkena jebakannya.
“Sebenarnya ikhlas itu bagaimana sih kang…?” Tanya Cak San kepada Kang Soleh.
“Ikhlas itu adalah rahasia dari Rahasia Ilahi yang dititipkan pada hamba-Nya yang dicintai-Nya, lalu hamba itu terputus dari segala hal selain Allah saja”.
“Apa itu yang disebut Lillahi Ta’ala…”
“Ya, tapi masih banyak embel-embelnya, itu masih belum ikhlas”.
“Tapi kan kemampuan manusia berbeda-beda, hati manusia juga berbeda-beda, perasaan manusia juga berbeda-beda Kang” sela Pardi setengah protes.
“Oalahhh, mau ikhlas saja kok didiskusikan. Kalau mau memberi sesuatu pada orang lain malah jangan menunggu ikhlasmu. Bisa-bisa malah kamu tidak pernah memberi orang lain. Nggak usah mikir apakah kamu ikhlas atau tidak, yang penting memberi ya memberi. Kamu juga begitu Dul, kalau menerima sesuatu dari orang lain ya jangan dipikir, apakah pemberiannya ikhlas atau tidak. Kamu bisa mati kelaparan. Diberi ya kamu terima, nggak usah mikir bagaimana caranya membalas pemberian itu”.
“Wah…, kita masak tidak boleh balas budi”.
“Keinginanmu untuk membalas budi itu menunjukan bahwa kamu tidak ikhlas menerima pemberitaan orang lain. Sama saja nilainya dengan orang yang tidak ikhlas dalam beramal”. Mendengar uraian kang Soleh, Pardi dan Dulkamdi hanya manggut-manggut saja.
“Kalau ikhlasnya orang-orang saleh itu bagaimana kang?”.
“Untuk apa? Nggak usah ditanyakanlah. Praktikin saja, lama-lama kamu bisa menyamai mereka”.
“Ini perlu, agar saya bisa mengontrol jiwa saya Kang”.
“Oke, begini Dul, Di dan saudara-saudara sekalian. Ikhlas itu ada dua: Mukhlisin dan Mukhlasin. Yang pertama melakukan melalui segala bentuk upaya sampai bisa ikhlas benar. Yang kedua, tidak mencari ikhlas karena ikhlasnya sudah ditinggalkan jauh-jauh. Itu yang disebut Mukhlasin. Artinya ia ikhlas dari wacana dan kata-kata ikhlas itu sendiri. Ia bebas dari belenggu psikologis ikhlas. Dia tidak mau tahu tentang makna ikhlas, yang penting bisa total dengan Allah, beres”.
“Wah…, itu pasti tingkat tertinggi kang?”.
“Terserah, minimal ikhlas itu dibagi tiga: Ikhlasnya Mukhlisin, yaitu ikhlas untuk beramal, jauh dari makhluk, semata demi Allah. Kedua Ikhlasnya Muhhibbin (para pencita Allah) yaitu ikhlas tanpa pahala, surga, atau apa pun kecuali hanya demi cintanya kepada Rabb. Dan ketiga Ikhlasnya Muwahhidin, yaitu keikhlasan yang dari apa yang disebut ikhlas. Sang hamba merasa seakan-akan menyatu dengan-Nya, dan segalanya tidak lepas dari-Nya”.
“Jadi kalau saya tadi bilang, ‘Saya ikhlas lho, itu bagaimana…?” tanya Pardi.
“Itu tandanya kamu hanya ikhlas setengah hati. Masih ada unsur makhluknya, dan masih ada embel-embel pengakuan.
“Dalam Alqur’an disebutkan bahwa iblis tidak mampu menggoda orang-orang yangMukhlasin, kang?”.
“Benar. Itulah, makanya iblis angkat tangan, karena Mukhlasin itu adalah orang yang sudah melampaui keikhlasan itu sendiri. Bahkan sudah di atas apa yang disebut dengan cinta. Makanya, kamu yang serius ibadah, jangan pikiran melayang kemana-mana, nanti keikhlasn bisa jadi komoditi politik, sosial, dan bisnis. Gawat kan…?”.

Senin, 20 Oktober 2014

IQRO DENGAN QOLBU


Pardi berkeringat basah pagi itu. Nafasnya ngos – ngosan, seperti baru dikejar raja babi hutan.
“Olahraga kok dipaksa, Di. Kalau ngga kuat istirahat dulu . Jangan langsung lari tiga kilo.. “ sindir Dulkamdi
“Olahraga gundhulmu itu, “ jawab Pardi ketus.
“Terus?”
“ Saya ini cepat –cepat lari kemari, khawatir telat ketemu orang – orang disini, terutama pada Kang Soleh, sebab kabarnya ia mau pergi ke Jakarta “
“Ada apa sih?”
Sambil meredakan nafasnya, Pardi menjawab,
“Semalam saya menghadiri diskusi dikota , Dul. Narasumbernya dari Jakarta dan Surabaya. Ada Penanya yang cukup mengagetkan . dan lebih kaget lagi , narasumbernya tidak tahu jawabannya. “
“Memangnya bertanya apa, Di. Kan biasa dalam diskusi, kalau tidak bisa jawab, ya sudah, kalau berbeda pendapat , ya wajar..”
“ Orang itu menanyakan , kapan thariqat itu dimulai di zaman Rasul? Kapan pula Tasawuf dikembangkan? Nah, saya ikut manggut – manggut saja , ingin mendengarkan bagaimana jawabannnya, soalnya saya juga ngga mengerti, kapan ya thariqat sufi dimaulai di zaman Rasul. Kalau bentuk – bentuk alamiahnya, kita tahu, Dul. Kan banyak di buku – buku . Rupanya pertanyaan ini tidak ada dalam kitab maupun buku, Dul”
“ Bener juga kamu Di. Saya juga baru mendengarnya, Di..”
Rupanya hadirin di kedai Cak San menunggu seseorang , sebab mereka juga tidak tahu, kapan sufi di mulai di zaman Rasul?
“ Nah ini biangnya Kang, saya ngga mau basa – basi. Kapan sih dunia Thariqat sufi dimulai di zaman Nabi Muhammad S.A.W ?” Tanya Pardi tiba – tiba pada Kang Soleh
“ Untuk apa kamu tanyakan itu” sahut Kang Soleh
“ Pokoknya buat kita – kita pentinglah , Kang “
“ Kalau saya beri tahu, biar kamu nanti bisa berdebat begitu?”
“ Bukan begitu Kang . Kita – kita ini juga tidak tahu Kang, kata Dulkamdi juga tidak ada di kitab kuning..”
“ Memang Di, di kitab kuning tidak ada, apalagi kitab putih . Sebenarnya , kalau kita telusuri lebih dalam lagi juga ada. Hanya saja, perlu dijelaskan dengan pandangan – pandangan yang lebih tegas lagi.”
“Betul Kang..” jawab mereka kompak
“ Begini, Singkat saja ya.. Sejak Nabiyullah dan Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sejak saat itu beliau adalah Nabi yang Sufi dan RAsul yang Sufi. Nubuwah dan Risalah Islam tentu secara keseluruhan mengandung dimensi sufistik semuanya. Kecuali mereka yang hanya melihat Islam dari bentuk dan kulitnya saja, akan menolak semua ini. Singkatnya, sejak Rasulullah menerima wahyu pertama kali di Gua Hira’ , saat itulah secara deklaratif misi sufi menjadi substansi wahyu itu sendiri. Rasulullah merasa tidak bisa membaca. Sebab yang bisa hanyalah Allah. Namun ketika Jibril meneruskan “ Bacalah, dengan nama Tuhanmu.. dst” Rasulullah langsung membacanya.
Maksudnya, Jibril meminta membaca dengan dan bersama Tuhan. Nama Tuhan itu adalah Allah. Allah hanyalah sebuah nama bagi Tuhan. Maka Nabi pun membacanya dengan kalbunya, lalu bergemuruhlah dada Nabi dengan sebutan Allah… Allah.. Allah hingga bertahun – tahun, sampai mengalami istighraq atau jadzab , atau tenggalam dalam lautan Illahi, hingga tubuhnya menggigil. Dzikrullah , sebagai elemen utama Sufi dimulai dalam gua itu, Nah, jelas, kan?” Kata Kang Soleh mengakhiri penjelasannya.
Mereka mendengarkan dengan penuh penyimakan dan persunyian. Rasulullah menyatukan dirinya denga Asma Allah itu dalam hatinya. Artinya Rasulullah membaca dengan kalbunya. Bacaan kalbu beda dengan bacaan lisan. Bacaan kalbu adalah hasrat dan seluruh fakta kebenaran ideal yang terus bergelora.

Mencermati Kondisi Batin:

Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi
Bagi orang beragama, apapun agamanya, ada lima kondisi batin yang perlu dicermati. Pertama, ketika kita sudah mencapai maqam lebih tinggi, kedua, ketika kita sedang mempunyai hajat besar, ketiga, ketika kita sedang ditimpa musibah atau kekecewaan, keempat, ketika kita baru melakukan dosa besar, dan kelima, ketika kita sedang di dalam keadaan normal.
Apa dan bagaimana kiat-kiat yang sebaiknya dilakukan jika kita mengalami salah satu di antara kelima kondisi batin ini, akan diuraikan di dalam lima tulisan bersambung
Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi
• Tidak gampang mencapai maqam lebih tinggi dalam suluk, pencarian Tuhan. Kalaupun seseorang menggapai maqam lebih tinggi sering kali tidak permanen, kenapa?
• Bagaimana kiat mempertahankan maqam yang sudah dicapai dan senantiasa meningkat terus?
• Bagaimana cara mendapatkan husnul khatimah?
Maqam adalah ibarat sebuah tangga yang mempunyai beberapa anak tangga yang harus dilalui para pencari Tuhan (salik). Dari anak tangga pertama sampai puncak anak tangga memerlukan perjuangan dan upaya spiritual, mujahadah dan riyadhah. Anak-anak tangga (maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat. Namun secara umum maqam-maqam tersebut anatara lain: Taubat, shabr, qana’ah, wara’, syukr, tawakkal, ridha, ma’rifah, mahabbah. Tiga maqam terakhir sering dianggap sebagai maqam puncak.
Mujahadah dari akar kata jahada berarti berjuang dan bersungguh-sungguh. Seakar kata dengan kata Jihad berati berjuang secara fisik, ijtihad berjuang secara nalar, dan mujahadah berati berjuang dengan olah batin. Sedangkan riyadhah berasal dari kata radhyiya berarti senang, rela. Seakar kata dengan kata ridhwan berarti kepuasan dan kesenangan. Mujahadah dan riyadhah adalah dua hal yang selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan di dalam diri seorang sufi atau salik.
Mujahadah dan riyadhah bisa mengambil bentuk berupa penghindaran diri dari dosa-dosa kecil (muru’ah), melakukan amalia-amaliah rutin seperti puasa Senin-Kamis dan puasa-puasa sunnat lainnya, tidak meninggalkan shalat-shalat sunnat rawatib (qabliyah dan ba’diyah) dan shalat-shalat sunnat lainnya, mengamalkan zikir dan wirid secara rutin, dan memperbanyak amal-amal sosial dengan penuh keikhlasan, serta meninggalkan nafsu amarah dan cinta dunia berlebihan.
Ketika seseorang dengan konsisten menjalani mujahadah dan riyadhah maka secara otomatis orang itu menapaki anak-anak tangga lebih tinggi. Cepat atau lambatnya perjalanan spiritual seseorang ditentukan bukan hanyaoleh kuantitas tetapi juga kualitas mujahadah dan riyadhah itu. Ada orang yang berhasil mencapai maqam kedua atau ketiga tetapi sulit lagi untuk naik ke maqam berikutnya karena tingkat mujahadah dan riyadhah-nya pas-pasan. Ada juga terus melejit dan tidak terlalu lama berada di dalam anak-anak tangga bawah. Semuanya tergantung konsistensi (istiqamah) seseorang.
Ketika seseorang merangkak naik meninggalkan posisi semula lalu berupaya dengan melakukan mujahadah dan riyadhah maka yang bersangkutan akan melahirkan sejumlah perubahan mendasar di dalam dirinya, yang dilihat dan dirasakan oleh bukan hanya diri yang bersangkutan tetapi juga orang laing, terutama bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Biasanya orang yang sudah memasuki anak tangga salik maka nampaknya banyak yang ketagihan, bahkan semacam ketergantungan, seolah perjalanan hidupnya selama ini kosong tanpa makna. Ia baru merasakan makna hidup yang sesungguhnya. Itulah sebabnya muncul fenomena keagamaan melakukan uzlah dan pengembaraan dari mesjid ke mesjid, dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu negara ke negara lain. Mereka meninggalkan keluarga, mengenyampingkan pekerjaan rutinnya di kantor, dan mengganti sahabat lama dengan sahabat spiritual baru.
Akan tetapi tidak sedikit pula orang yang kecewa di dalam pencariannya. Apa yang diharapkan dan diimajinasikan di dalam perjalanan spiritualnya berbeda dengan kenyataan hidup yang dialaminya, sehingga mereka kembali ke dunia lamanya, mungkin jauh lebih setback lagi ke belakang. Kedua kutub ”ekstrim” ini disebabkan oleh kurangnya pengenalan teoritis tentang dunia sufi dan tasawuf. Mereka langsung menjadi practicing tanpa pernah memperoleh introductions dari guru spiritual yang berpengalaman.
Fenomona kehidupan spiritual di masa depan cenderung semakin menyempal. Ini disebabkan oleh semakin luasnya potensi kekecewaan batin di dalam lingkungan kehidupan modern dan bermunculannya kelompok-kelompok pengajian plus. Seolah-olah masa depan itu datang lebih cepat melampaui kecepatan umat mempersiapkan diri. Akibatnya multiple shock sedang melanda umat kita. Bukan hanya cultural shock seperti yang pernah dibayangkan Alfin Toffler dalam karya monumentalnya, The Futur Shock.
Tidak saja terjadi di dalam umat Islam, melainkan juga umat-umat agama lain. Seolah-olah beberapa institusi dan pranata formal keagamaan yang sekian lama hidup di masayarakat dirasakan pemeluknya sudah termakan usia. Dengan demikian terjadi jarak antara ajaran agama dan kecenderungan isi hati dan jalan pikiran pemeluknya. Fenomena seperti ini berpotensi melahirkan sejumlah kekecewaan. Yang perlu dicermati, jangan sampai kekecewaan itu dilampiaskan ke dalam bentuk kegiatan-kegiatan radikal, yang seolah-olah akan berusaha membendung arus zaman. Maraknya terorisme dan kegiatan-kegiatan anarkisme yang bertema agama di sekeliling kita boleh jadi bagian inheren dari kekecewaan massif tadi.
Clifford Geertz dalam bukunya Islam Obeserved pernah mengingatkan kita bahwa manakala pemeluk dan ajaran agama sudah mulai berjarak maka akan lahir situasi yang gamang. Fenomena ini, menurut Geertz, akan melahirkan polarisasi di dalam masyarakat yang cenderung berhadap-hadapan satu sama lain. Akan muncul suatu kelompok moderat bahkan liberal, yang akan mengakomodasi dan memberikan pembenaran keagamaan terhadap perkembangan dunia modern, dengan menciptakan metode-motode modern, di antaranya pendekatan kontekstual, atau metode hermeneutik. Ayat-ayat dan hadis direkayasa sedemikian rupa untuk menjastifikasi kehendak zaman.
Kelompok ini sepertinya sudah pasrah dengan kehendak zaman. Akhirnya seolah-olah Al-Qur’an dan hadis yang harus tunduk kepada zaman modern, buakan lagi Al-Qur’an dan hadis yang harus memandu perkembangan zaman.
Pada saat bersamaan akan muncul kelompok radikal yang seolah-olah ingin menolak kenyataan hidup yang terlalu asing bagi mereka. Mereka merindukan zaman lampau yang pernah menciptakan The Golden Age. Mereka merindukan situasi kenabian (prophetic system) untuk mewadahi kecenderungan emosi keagamaannya. Mereka serta merta menolak gagasan pembaharuan dengan memberinya berbagai macam label, seperti sekuler, liberal, pluralisme, jahiliyah modern, deislamisasi, gerakan zionis, kristenisasi, nasionalis sekuler, westernisasi, dan berbagai label lainnya yang bisa memicu proteksi dan emosi keagamaan umat. Belum lagi atribut-atribut biologis dan pakaian menyerupakan diri dengan kelompok masyarakat (Arab) yang diidealisirnya sebagai komunitas ideal. Padahal, tidak mesti menjadi seorang Arab untuk menjadi the best muslim. Kita bisa tetap menjadi orang Indonesia tetapi sambil meraih insan kamil, manusia paripurna.
Orang yang sudah mengenal maqam tertentu perlu mencermati kondisi batinnya. Ada dua kondisi yang seriang dialami orang, yaitu hal dan maqam. Hal ialah kondisi sesaat yang dialami orang yang sedang mengalami spiritual moddd, ketika seseorang sedang hanyut dengan suasana batin tertentu, yang biasanya karena dipicu kejadiankejadian tertentu pada dirinya, misalnya ia baru saja ditimpa musibah, sedang kecewa berat, sedang mempunyai hajat dan kebutuhan berat, atau baru saja mengikuti majlis zikir yang mempesonakan dirinya.
Suasana batin orang ini memang merasakan perasaan lapang dada, tawadlu’, syukur, tawakkal, ridha, mahabbah, bahkan merasa begitu dekatnya dengan Tuhan.
Tindakan-tindakan sosialnya juga tiba-tiba berubah dan seolah menjadi orang yang bukan dirinya sendiri. Namun orang ini masih fluktuatif, tergantung mood-nya.
Sedangkan maqam kondisi batin permanen dialami seseorang karena sudah melalui proses pencarian panjang serta riyadhah dan mujahadah yang konsisten. Suasasana batin yang dialaminya bukan karena dipicu oleh peristiwa-peristiwa khusus melainkan sudah melalui spiritual training yang amat panjang.
Namun tidak mustahil hal bisa menjadi permanen manakala orang itu memahami kiat-kiat khusus. Peranan syekh, mursyid, atau pembimbing spiritual memang diperlukan dalam hal meningkatkan hal menjadi maqam. Di sinilah tarekat berperan untuk mengorganisir jamaah untuk melakukan mujahadah dan riyadhah secara sistematis.
Sistem setiap tarekat bervariasi, tergantung sang pendiri tarekatnya. Syekh, mursyid, dan tarekat memang besar manfaatnya bagi orang yang akan dengan serius menekuni dunia suluk.
Salik modern tidak mesti harus melakukan perubahan drastis dari berbagai aspek kehidupan. Seorang salik tidak tepat mendramatisir diri sebagai orang yang sangat spesifik, apalagi mengklaim diri sebagai kelompok ”manusia suci”. Sufi atau salik yang sejati ialah mereka yang mampu menyembuyikan diri dan kondisi batin yang dialaminya di depan orang lain.
Jika ada salik yang suka memamerkan ke salik-anya maka sesungguhnya belumlah ia seorang salik sejati. Salik sejati memilih untuk tidak populer dibumi untuk populer di langit (majhul fil ardh ma’lum fis sama’).
Di atas langit masih banyak langit. Seorang salik tidak bisa angkuh dan menganggap orang lain rendah dan kotor, atau menganggap salik selainnya keliru.
Dalam Q.S. al-Kahfi, Tuhan menegur Nabi Musa, sang manusia populer, dan mengunggulkan Khidhir, sang manusia biasa-biasa aja. Oleh karena itu, kitapun harus hati- hati membaca orang, sebab Tuhan Maha Pintar menyembuyikan kekasih-Nya di dalam berbagai topeng penampilan. Hati-hati!
Orang yang suka menyalahkan orang lain pertanda masih harus belajar. Kalau sudah menyalahkan dirinya sendiri berarti sudah sedang belajar. Kalau sudah tidak lagi pernah menyalahkan orang lain berati sudah selesai belajar, karena sudah

Sabtu, 18 Oktober 2014

Sufi Road: Epistemologi Makrifat


Pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar disebut dengan ilmu ('ilm) dan pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin disebut makrifat (ma'rifah). Secara kebahasaan, kata 'ilm berasal dari akar kata alima-ya'lamu, berarti mengetahui. Seakar kata dengan 'alam, berarti tanda, petunjuk, bendera.'Alamah berarti alamat atau suatu tanda yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya'lamu al-syai). Dalam pembahasan tentang alam dijelaskan segala sesuatu selain Allah (ma siwa Allah) adalah alam. Alam adalah tanda menunjuk kepada (adanya) Allah SWT. Alam juga sekaligus memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang Allah SWT. Dari segi kebahasaan dapat ditangkap makna 'ilm dan 'alam memiliki konotasi fisik dan mekanik (hushuli).
Sedangkan, makrifah berasal dari kata 'arafa-yurif, memiliki berbagai makna yang lahir dari padanya, antara lain, mengetahui dan mengenal lebih dalam (i'rfah), pengakuan dosa (i'tiraf), wukuf di Arafah ('arrafah al-hujjaj), Padang Arafah ('arafat), tempat antara surga dan neraka (a'raf), bersetubuh ('arafah al-ma'ah), saling mengenal satu sama lain (ta'aruf), warisan tradisi lama yang positif ('urf), terkenal, masyhur (ma'ruf), ilmu pengetahuan luas (ma'arif), dan pengetahuan yang mendalam dan komprehensif ('irfan/ma'rifah). Dari segi kebahasaan dapat dipahami makna makrifat memiliki konotasi lebih tinggi dan agung (hudhuri).
Dengan perbedaan tersebut, dengan sendirinya antara ilmu dan makrifat memiliki ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini bisa dipahami melalui perbedaan antara ilmu-ilmu hushuli dan ilmu-ilmu hudhuri (lebih lanjut mengenai hal ini lihat artikel terdahulu: "Antara Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli").
Secara ontologi, ilmu ('ilm) masih lebih banyak berkutat pada wilayah logika manusia. Referensi yang digunakan untuk memahami ilmu juga masih bersifat fisik dan visual, meskipun dalam tingkatannya yang lebih tinggi, khususnya dalam level filsafat makna, sudah ada yang mulai bertumpang tindih dengan level awal ontologi makrifat. Ontologi makrifat, sebagaimana arti dasarnya, lebih mengacu pada wilayah-wilayah yang dapat dikatakan asing bagi para ahli ilmu pengetahuan (saintis).
Meskipun demikian, sesungguhnya para saintis tidak bisa serta-merta menafikan keberadaan ontologi keilmuan makrifat karena secara de facto banyak peristiwa yang diungkap oleh pengetahuan makrifat sulit dibantah oleh para saintis. Sebutlah contoh tentang efek keberadaan Tuhan yang dulu dinafikan oleh para saintis positivisme, tetapi di dalam era posmodernisme mulai diberi ruang. Terakhir para saintis dalam era new age tidak bisa menyembunyikan adanya Godspot di dalam diri manusia. Kini para ilmuwan modern, sesekuler apa pun mereka, tidak dapat lagi terus-menerus 'menyerang' kaum agamawan (baca: agnostik) karena mereka sendiri meragukan dirinya sendiri.
Bahkan, di negara-negara maju sekarang sudah mulai demam kajian spiritual. Kabbalah (mistisisme Yahudi) yang dulu diharamkan oleh para Rabbi karena dianggap bid'ah kini laksana cendawan tumbuh di mana-mana. Di New York, tepatnya The Manhattan Center, yang terletak di 155 E/84 St, di jantung Kota New York berdiri tegak Kabbalah Center. Jauh sebelumnya, Karen Berg pernah mendirikan The National Research Institute of Kabbalah di Los Angeles, yang sampai sekarang ramai dikunjungi artis Hollywood dan ilmuwan Yahudi di sana. Di Eropa dan Amerika Latin juga demikian halnya. Lembaga-lembaga meditasi bahkan sudah dibuka di sejumlah universitas terkemuka. Buku-buku new age pernah mendominasi sejumlah toko buku di Amerika dan Eropa. Pusat-pusat sufistik akhir-akhir ini mungkin lebih ramai di Barat daripada di Timur. The Beshara School, sebuah lembaga spiritual yang bertaraf internasional, sudah mulai go public dan merambah hampir di seluruh negara. Begitu pun Ibnu 'Arabi Society, para anggotanya semakin besar, sebagaimana dapat dilihat di webnya. Pengikut Kabbani dan Bawa Muhaiyaddeen di AS juga semakin ramai dikunjungi pengikut. Di antara mereka bukan orang awam, tetapi sangat terdidik dan pejabat.
Meningkatnya gerakan sufisme di berbagai tempat menandakan adanya ketidakpuasan manusia terhadap capaian ilmu pengetahuan selama ini. Paling tidak kehausan intelektualitas manusia ternyata tidak mampu dipuaskan oleh ilmu pengetahuan ('ilm). Manusia menginginkan lebih dari sekadar ilmu yang hanya mampu memberikan kepuasan logika. Kepuasan sejati hanya dapat dirasakan manakala menyentuh aspek hakiki dari manusia yang namanya kepuasan batin. Justru kepuasan batin inilah yang kemudian mendatangkan kesadaran kemanusiaan yang lebih tinggi.
Untuk bisa sampai pada tingkat kepuasan batin ini dibutuhkan pengetahuan tingkat tinggi yang biasa disebut dengan makrifat, yang sesekali disebut irfan atau dalam istilah tasawuf biasa disebut dengan mukasyafah. Mukasyafah berarti penyingkapan tabir-tabir (hijab) yang selama ini menghijab manusia untuk mengakses sebuah dunia yang agung, di mana manusia bisa meraih kepuasan yang luar biasa.
Epistemologi makrifat lebih dari sekadar menempuh epistemologi keilmuan biasa. Persyaratan yang harus ada di dalam menggapai tingkat makrifat Al-Qusyairi ialah penyucian diri dari berbagai dosa dan maksiat, bersih dari urusan dan ketergantungan dunia, terus-menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirri, selalu memelihara kelembutan jiwa dan budi pekerti, serta penuh pengendalian dan mawas diri. Bagi orang yang mencapai tingkat mukasyafah (penyingkapan), ia akan berada pada tingkat musyahadah (penyaksian kepada zat Yang Mahamulia). Dalam keadaan seperti ini, manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan.
Rawaim Ibnu Ahmad pernah menggambarkan orang yang mencapai tingkat makrifat bagaikan seorang menyaksikan cermin. Jika ia melihat cermin itu, akan tampak jelas Tuhannya. Zunnun al-Mishri melukiskan orang-orang yang bergaul dengan penerima makrifah seperti orang-orang yang bergaul dengan Allah SWT. Menurut al-Hallaj, "Jika seorang hamba telah sampai kepada makrifatullah, Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang tidak benar." Abu Yazid al-Busthami pernah ditanya perihal orang yang mencapai makrifat, ia menjawab, "Orang arif adalah penerbang dan orang zuhud itu pejalan kaki." Selanjutnya, ia menambahkan, "Ketika ia tidur ia tidak melihat selain Allah, ketika ia terjaga ia tidak melihat selain Allah, ia tidak beribadah selain kepada Allah."
Untuk urusan lebih teknik untuk memperoleh makrifat, Ahmad Ibnu Atho' berkomentar: "Makrifat itu memiliki tiga rukun, yaitu takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang kepada Allah." Jadi, memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrifat ialah kebersihan batin. Untuk itu, penyucian jiwa (tadzkiyah al-nafs) dan keindahan batin (tanwir al-qulub) serta niat yang tulus merupakan persyaratan mutlak yang harus diwujudkan di dalam diri murid.
Pada dasarnya, manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan makrifat. Hanya, mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial sehingga mereka perlu berzikir (mengingat kembali). Ayat yang sering dilibatkan kelompok ini, antara lain, fas'alu ahl al-dzikr inkuntum la ta'lamun. (Bertanyalah kalian kepada ahli zikir jika kalian tidak tahu); Afala tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?), dan Aqim al-shala li dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku). Kelompok ini mengedepankan penyucian diri dalam bentuk tazkirah, tashawwuf, tashwir, dan tazkiah untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir.
Menuntut ilmu-ilmu makrifat juga diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid), sebagaimana dapat dilihat di lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam tradisi pondok pesantren. Ketawadhuan seorang murid dan kesantunan seorang guru atau kiai adalah adanya tradisi keluhuran dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan ayat: "Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (QS al-Baqarah [2]: 151)

Sufi Road : Perbedaan Ilmu dan Ma'rifah : Imam Al Gazali

Sufi Road : Perbedaan Ilmu dan Ma'rifah : Imam Al Gazali
Ma'rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan pada Tuhan). Ma'rifah merupakan hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi jiwa seorang hamba yang pada akhirnya akan mempengaruhi seluruh akd-vitas ragawi. Ilmu, diibaratkan seperti melihat api sementara ma'rifah ibarat cahaya yang memancar dari nyala api tersebut.
Ma'rifah secara etimologis adalah pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit pun. Dalam terminologi kaum Sufi, ma'rifah disebut pengetahuan yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya ketika pengetahuan itu terkait dengan persoalan Zat Allah Swt. dan sifat-sifat-Nya.
Jika ditanya, "Apa yang dimaksud dengan ma'rifah Zat dan apa pula maksud dari ma'rifah sifat?" Maka jawabnya: "Ma'rifah Zat mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Swt. itu Wujud dalam Keesaan, Tunggal, dengan segala Keagungan yang bersema-yam dalam diri-Nya, dan ddak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Adapun ma'rifah sifat, adalah me-ngetahui bahwa sesungguhnya Allah Swt. Maha-hidup, Maha Mengetahui, Mahaberkuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat dan dengan segala sifat Kemaha-sempurnaan lainnya."
Jika ditanya: "Apa rahasia ma'rifah itu?" Rahasia dan ruhnya adalah ke-tawhid-an. "Yaitu dengan men-sucikan segala sifat; Hidup, Mengetahui, Kuasa, Kehendak, Mendengar, Melihat, berfirman-Nya dari penyerupaan dengan sifat-sifat makhluk. Karena, tidak ada serupa bagi-Nya."
Lalu manakala ditanya, "Apa tanda-tandanya?" Tanda-tandanya adalah hidupnya hati bersama-Nya. Allah Swt. mewahyukan pada Nabi Dawud As, "Mengertikah kau, apakah ma'rifah-Ku itu?" Nabi Dawud menjawab, "Tidak." Allah berfirman: "Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku."
Kalau ditanyakan, "Pada tahap atau maqam manakah hakikat kema'rifahan itu dibenarkan?" Jawabnya, "Pada tahap musyahadah (penyaksian), dan ru'yab (melihat) dengan segenap nurani (sirr). la melihat untuk mencapai ma'rifah, dan hakikat ma'rifah berada dalam badn mereka, lalu kemudian Allah Swt. menyingkap sebagian tabir penutup. Lantas diper-lihatkan pada mereka Cahaya Zat dan Sifat-sifat-Nya, dari balik tabir itu, agar mereka melihat-Nya. Tabir ddak disingkap secara keseluruhan, supaya mereka tidak terbakar."
Sang Sufi bersyair:
Seandairya Aku tampak tanpa hijab,
Tentu Aku telah menjadikan semua manusia sempuma
Namun hijab itu begitu lembut
Sehingga mampu membangkitkan hidup jiwa para perindu
Petampakan keagungan-Nya akan melahirkan perasaan takut (khawf), dan rasa kewibawaan (haybah). Petampakan kebajikan (al-husn) dan keindahan (al-jamat) tentu akan melahirkan kerinduan (asy-syawq). Sementara petampakan sifat-sifat-Nya akan melahir­kan kecintaan. Dan petampakan Zat, melahirkan ke-tawhid-an.
Sebagian ahli ma'rifah: "Demi Allah Swt., seseorang tidak akan menggapai apa pun dari dunia melainkan Allah Swt. akan membutakan hatinya, dan semua amalannya akan sia-sia. Sesungguhnya Allah Swt. menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahayanya. Dan Allah Swt. juga menjadikan hati dalam kegelapan, cahaya ma'rifah-lah yang akan menyinarinya. Tatkala mendung menjelang, maka sirnalah cahaya matahari dari bumi. Dan ketika cinta dunia hadir dalam hati seorang hamba maka cahaya ma'rifah pun akan menyingkir darinya."
Ada pula yang mengatakan: "Hakikat dari ma'rifah adalah cahaya yang menyeruak dari kalbu seorang Mukmin, dan tiada sesuatu yang lebih mulia dalam had sesorang hamba kecuali ke-ma'rifah-an."
Sinyalir lain: "Matahari yang menerangi hati seorang ahli ma'rifah lebih cemerlang dan bercahaya dibandingkan dengan cahaya matahari yang sesungguhnya. Karena matahari pada sore hari harus tenggelam, sementara matahari ahli ma'rifah dada akan pernah tenggelam meski malam riba."
Mereka mendendangkan satu bait syair:
Sang surya akan tenggelam dengan datangnya malam,
Lain halnya dengan matahari kalbu yang tiada pernah tenggelam
Siapa pun yang mencinta kekasihnya
la akan terbang menemuinya dengan segala kerinduan
Zu an-Nun al-Misri berkata: "Hakikat ma'rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia Yang Haqq melalui perantara kelembutan cahaya."
la menulis:
Bagi orang 'arif, kalbu menjadi mata mereka
Untuk menatap Cahaya llahi yang tersimpan di balik hijab
la tuli dari segala makhluk, dan dibutakan daripandangan mereka
Bisu untuk menjawab ajakan mereka yang berucap dusta
Ketika mereka ditanya, "Kapankah seorang hamba dapat diketahui kalau ia telah ma'rifah?" Yaitu ketika tidak ada lagi tempat tersisa di dalam hatinya sebagai singgasana bagi selain-Nya.
Ada lagi yang mengatakan bahwa, hakikat ma'rifah adalah musyahadah dengan Yang Haqq tanpa melalui mediasi, tanpa dengan metode, dan tidak juga dapat diumpamakan. Seperti diceritakan dari kisah 'Ali Ibn Abi Thalib kerika ia ditanya: "Ya Amirul Mukminin, Apakah Anda telah menyembah apa yang Anda lihat, atau Anda menyembah yang tidak Anda lihat?" Beliau menjawab: "Tidak. Aku menyembah Zat yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, melainkan dengan penglihatan kalbu."
Ja'far as-Sadiq juga pernah ditanya: "Apakah Anda melihat-Nya?" Beliau menjawab: "Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihat." la pun ditanya lagi: "Lalu bagaimana Anda melihat-Nya sementara la tidak dapat dilihat dengan mata kepala." Ja'far kembali menjawab: "Aku tidak akan mampu melihat-Nya dengan pandangan mata, tapi melihat-Nya dengan mata hati melalui hakikat keimanan. Dia tidak kasat indera dan tidak pula dapat diukur oleh manusia."
Sebagian ahli ma'rifah lain juga pernah ditanyai mengenai hakikat kema'rifahan, dan mereka menyatakan: "Hakikat ma'rifah adalah mensucikan rahasia dan segala kehendak, meninggalkan segala kebiasaan, menentramkan hati tertuju kepada-Nya tanpa melalui mediasi, dan meninggalkan sikap berpaling dari Allah Swt. dengan beralih pada selain-Nya. Karena ma'rifah pada substansi Zat-Nya, sifat-sifat-Nya dan juga hakikat-Nya, tidak mungkin dapat dicapai kecuali hanya dengan-Nya yang Mahaluhur dan Mahabijak. Segala puji hanya bagi-Nya."

Tangis Di Atas Tangis (Jack & Sufi)


Malam itu mata Jack berkaca-kaca. Ia memandang jauh kedepan, seperti ada yang kosong disana. Parjo mendampinginya, sambil memijit-mijti kakinya, Parjo ingin sekali bicara. Tapi ia segan, jangan-jangan bias menggangu Jack, dan tidak tahu apa yang sedang bergumpal di benak Jack.
Parjo tak tahan juga akhirnya. “Ada apa Jack, mbok sesekali bicara kalau ada masalah. Aku inikan sahabatmu juga muridmu.”
“Nggak, nggak ada apa-apa kok. Cumin aku agak lelah.”
“Yah, apa saya cerita-cerita yang lucu-lucu saja, tentag orang Maduru, atau orang Batak, atau orang Arab, apa kisah Abu Nawas. Terserah mana yang kamu pilih, saya punya semua…ha…ha…,” ajak Parjo untuk menghibur Jack.
Tiba-tiba malah air mata Jack menetes. Parjo tambah penasaran.
“Begini Jo, hati saya menangis, karena banyak orang menangis.”
“Maksudmu banyak bencana dan banyak jerit tangis karena bencana itu?”
“Bukan…”
“Lalu?”
“Karena kamu lihatkan? Tiap hari ditayangakan orang menangis di TV. Coba kamu lihat air mata itu, apakah air mata yang bersumber dari mata air ruhani, atau air mata yang bersumber dari mata air hawqa nafsu?”
“Maksudmu?”
“Iya, Jo. Orang menangis karena terharu akibat berdzikir itu mulia sekali. Tetapi kalau menangis karena tersentuh oleh orang yang sedang menangis, atau karena diusahakan agar menangis, itu namanya bukan nangis akibat dzikir. Tetapi karena hawa nafsunya menangis. Nanti paling banter ia begitu bangga dengan tangisan itu, lalu berakhir dengan statemen bahwa tangis adalah puncak ruhani. Padahal bukan!”
Parjo hanya manggut-manggut saja untuk mencoba memahami Jack.
“Jadi gimana dong?”
“Yah, kita nggak usah prihatin ya Jo. Memang Allah baru menakdirkan mereka sebatas itu, mau apalagi. Hidayah itu haknya Allah, bukan urusan kita.”
Lalu Jack berdiri mengajak Parjo pergi.
“Kemana kita?”
“Ketemu sahabat kita yang penjagal dulu, sambil melihat perkembangan anak-anak disana…”
Jack dan Jo, dengan Harley Davidsonnya melesat ke Puncak, Villa Indah Taman Ruhani. Sepanjang jalan Jakarta-Puncak, dua orang itu menyanyikan shoawat nabi dengan nada yang keras, mirip orang gila. Tetapi entah apa yang membuat gembira hati Jack malam itu ketika hendak melihat anak-anak disana.
“Serasa Nabi Muhammad SAW bersama kita Jo, ya?”
Sambil berkata begitu ia toleh Parjo. Si Parjo tersenyum sambil berhamburan airmatanya.
“Saya akan mendiskusikan dengan para ulama dan kyai di negri ini, Jo.”
“Tentang apa Jack?”
“Tentang Islam yang hari ini lebih banyak tampil sebagai teater.”
Parjo hanya menganggukkankepalanya. Tiba-tiba semakin dekat dengan villa di puncak itu. Perempuan cantik sudah disana, ngobrol dengan si mantan algojo.
Ah, ternyata Susi. T6ahu dari mana alamat villa rahasia itu?
Gadis itu ingin berhenti kerja di kafe. Ia ingin mengajar bahasa Inggris yang pernah ditekuni saat kuliah dulu. Anak-anak pinggir rel kereta itu butuh sentuhan Susi, butuh ibunda yang menyayangi.
Jack, hanya tersenyum mendengar pegakuan Susi. Ia bangga, dan terhibur kali ini.

Sufi Road :Tauhid dan Marifatullah


Menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara
mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman,
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari (QS 13:15).
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh
mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari [8] membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, berikut ini uraian untuk setiap tahapan ma’rifat tauhid dengan intepretasi pribadi, yaitu :
· Tauhid Af’al sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.
· Tauhid al-Asma adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim A’dham yang Mahaagung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.
· Tauhid As Sifat, adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.
· Tauhid az-Dzat berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid Az- Dzat menurut Syekh al-Banjari adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari memandangan dan musyahadah kaum arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan memandang dengan matakepala dan matahati bahwasanya tiada
yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata. Tauhid Af’al pada pengertian Syeikh al-Banjari akan banyak berbicara tentang kehendak Allah SWT yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih, dengan
pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu kontinuum ruang-waktu relatif. Tauhid Af’al adalah
Samudera Pengenalan, di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat Allah harus mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan menyucikan dirinya, menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya, mendekat
kepada-Nya untuk menauhidkan-Nya, beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya. Kalau saya proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas sebelumnya mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera Af’al inilah seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari dominasi nafs ammarah, menuju lawammah, menuju mulhammah, dan mencapai ketenangan dengan nafs muthmainnah.
Dalam Samudera Asma-asma, maka hijab-hijab tersingkap dengan masingmasing derajat dan keadaannya. Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin melathifahkan dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki medan ruh ilahiah-nya (dominasi qolbu oleh ruh yang mengenal Tuhan). Samudera Asma-asma adalah Samudera Munajat dan Permohonan, difirmankan oleh Allah SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang aik (al-Asma al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu (QS 7:180).” Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf dan raja, keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan ruhaniah lainnya.
Di tepian Samudera Asma-asma adalah lautan kerinduan yang berkilauan karena pendar-pendar cahaya rahmat dan kasih sayang Allah. Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan Cinta Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak gelombang yang menghalus dengan cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan ke dalam rahasia terdalam. Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki hamparan Samudera Kerahasiaan.
Tauhid as-Sifat adalah Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya sebagai makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari Lautan Kerinduan atau Lautan
Cinta Ilahi adalah penafian diri. Apa yang melekat pada semua makhluk adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang dipinjamkan dan akan dikembalikan kepada-Nya. Siapa yang kemudian menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi merahasiaan ilahiah didominasi kerahasiaan sirr dengan suluh cahaya kemurnian yang
menyemburat dari kemilau yang membutakan dari samudera yang paling rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari Tauhid Az-Dzat.
Di tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah Samudera
Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai tingkatan
ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu tingkatan tanpa
nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al sudah tidak ada.
Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya
dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri, “Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah
maqam Nabi Muhammad SAW, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungankebingunan
Ilahiah. Maqam dimana semua yang baru termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan dalam pengertian ruang dan waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula semua kebingungan, semua peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang menyaksikan dengan pra eksistensinya. Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan didalam-Nya. Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata. Maka, di Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang terdominasi rahasia yang paling rahasia (sirr al-asrar),
Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga, “Tidak ada yang serupa dengan-Mu.”
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diriMu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh DiaMu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh EngkauMu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera PemurnianMu,
biarkan aku memandangMu dengan cintaMu,
menjadi sekedar hambaMu dengan ridhaMu,
seperti Muhammad yang menjadi Abdullah KekasihMu.
Penguraian tauhid yang dilakukan oleh Syekh al-Banjari memang didasarkan
pada langkah-langkah penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena,
pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam
setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma-asma, Sifat-sifat dan
Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang
lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat Samudera
Tauhid tersebut. Hasil akhirnya , kalau tidak ada penyimpangan yang sangat
mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para sufi lainnya
yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan
Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan keimanan yang lebih
mantap sebagai hamba Allah.

Sufi Road : Marifat


Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.

Jumat, 17 Oktober 2014

Sufi Road : Al-Fana dan al-Baqa (Abu Yazid al-Busthami )


Pokok Pemikiran Abu Yazid al-Busthami
Al-Fana dan al-Baqa
Abu Yazid al-Bisthami adalah tokoh sufi pertama yang memperkenalkan konsep al-fana dan al-baqa serta konsep ittihad. Fana adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangan seorang sufi. Di mana ia tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu yaitu Allah. Dan baqa adalah merupakan konsekuensi dari adanya fana, ketika seseorang bersatu dengan Tuhan (ittihad), dalam hal ini baqa mengandung pengertian kekal dalam kebaikan. Sehingga apa yang diupayakannya bisa tercapai yaitu bisa bersatu dengan Tuhan, yang dalam bahasa Abu Yazid disebut dengan istilah ittihad.
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu, dan al-fana jauh lebih berbeda dengan al-fasad (rusak), fana artinya tidak kelihatannya sesuatu, sedang al-fasad adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Konsep ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Sina di mana ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan bersifat alam, di mana ia mengambil konklusi bahwa keberadaan benda alam itu berdasarkan permulaannya, bukan perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lain, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana bukan dengan fasad.
Adapun makna fana dalam pandangan kaum sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya dan dari makhluk lainnya sebenarnya dirinya tetap sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya
Dalam konteks lain fana mengandung pengertian gugurnya sifat-sifat tercela, makna lainnya bergantung sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana an-nafs). Fana an-nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan dzat Allah
Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathahat) yang dia ungkapkan, seperti : “Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.
Al-Bisthami pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang ia lihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya, kemudian ia naik haji lagi, maka selain melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhan Ka’bah. Pada haji ketiga, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhan Ka’bah.
Tentang kefanaan Abu Yazid al-Bisthami ini pernah dikisahkan oleh sahabatnya. Zunnun al-Mishri mengutus untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan itu sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid, terjadilah percakapan antara tamu dengan Abu Yazid :
Abu Yazid : “Siapa di luar?”
Utusan : “ Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid”
Abu Yazid : “Abu Yazid siapa? Dimana dia? Sayapun mencari Abu Yazid
Rombongan utusan itupun pulang dan kemudian memberitahukan kepada Zunnun. Mendengar keterangan itu Zunnun berkata : “Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana"
Kejadian yang menimpa Abu Yazid ini disebabkan keinginannya untuk selalu dekat dengan Tuhan. Bahkan ia selalu berusaha untuk mencari jalan agar selalu berada di hadirat Tuhan. Ia pernah berkata : “Aku bermimpi melihat Tuhan”, Akupun bertanya : “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?”. Ia menjawab : “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Menurut Abu Yazid ada empat situasi gradual dalam proses fana, yakni :
-Tingkatan fana yang paling rendah yaitu fana yang dicapai atau dihasilkan melalui mujahadah.
-Tingkatan fana terhadap kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka
-Fana terhadap pemberian Allah
-Fana terhadap fana itu sendiri (fana al-fana)
Apabila seseorang telah mencapai fana pada tahap akhir, seseorang akan secara totalitas lupa terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi padanya. Hatinya sudah tidak lagi terisi oleh kesan apapun yang ditangkap oleh panca indera
Konsekuensi dari terjadinya fana itu, maka terjadi pulalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan dalam kaca mata sufi baqa mengandung makna, kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Sedangkan menurut Abu Yazid baqa adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan yang dirasakan hanyalah sifat-sifat Tuhan yang kekal dalam dirinya dengan kata lain merasa hidupnya selaras dengan sifat-sifat Tuhan,sistem kerja fana-baqa ini selalu beriringan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli tasawuf
اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِ فَيَفْنَ مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَ مَنْ لَمْ يَزَلْ
“Apabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal”
Kata al-Bisthami, “Ia telah membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup”, aku berkata : bila pada diriku adalah kehancuran (fana) sedang gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup (baqa)”. Al-Bisthami juga berkata : “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, sampai aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku hidup.
Untuk mencapai station al-baqa ini seseorang perlu melakukan perjuangan dan usaha-usaha yang keras dan kontinyu, seperti dzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.
Jika dilihat dari sisi lain, yang disebut fana dan baqa itu dapat pula disebut sebagai ittihad.
Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Di dalam perpaduan dirinya ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad
Faham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari faham fana dan baqa. Ungkapan Bayazid berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad. Bayazid berkata
رفعنى الله عزة فأ قامنى بين يديه وقال لى يا أبا يزيد : ان خلقى يحبون ان يروك فقلت زينى بوحد انيتك والبسنى انا نيتك وارفعنى الى احاديتك حتى اذا ارانى خلقك. قالوا رايناك فتكون انت ذاك ولا اكون اناهناك.
Dan pada kesempatan lain beliau berkata : “Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan ia berkata : ‘Hai Zayid, makhluk-Ku ingin melihat engkau’. Aku menjawab : ‘Kekasihku, aku ingin melihat mereka, tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tak berdaya menentang kehendak-Mu, hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata : “Telah kami lihat Engkau”. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah engkau, karena itu aku tak ada di sana”.
Situasi ittihad itu diperjelas lagi dalam ungkapannya : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali Engkau, adalah makhlukku. Akupun berkata : Aku adalah engkau, Engkau adalah Aku”.
Ungkapan kata Abu Yazid ini telah mendapat tanggapan, bahkan kecaman dari para ulama di zamannya. Bagi para ulama yang toleran menilainya sebagai suatu penyelewengan, tetapi bagi ulama yang ekstrim menilainya sebagai suatu kekufuran. Namun ada pula yang menilainya merupakan kasus tertentu bagi seorang sufi dan kata-kata yang dilontarkan adalah kata-kata yang terlontar di kala kondisi kejiwaannya tidak stabil. Dalam kondisi seperti ini, seorang sufi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan diri pribadinya, dan dia pada saat itu tidak mampu lagi mengendalikan dirinya
----------------------
Abu Yazid, seperti kita ketahui adalah sufi pertama yang memunculkan faham fana dan baqa dalam tasawuf. Dia selalu ingin selalu dekat (ber-taqarrub) dengan Tuhan. Karena keinginan yang mendalam untuk selalu dekat dengan Tuhan, mengakibatkan seakan-akan Abu Yazid merasa bersatu dengan Tuhan.
Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan sang khaliq, ini dapat dicermati dari syathahat yang diucapkannya, dan dalam hal ini ucapan tersebut tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum. Karena orang yang berkata pada waktu itu sedang mabuk. Mabuk oleh fananya, oleh tiada sadar diri lagi, sebab tenggelam dalam tafakkur. Ungkapan Abu Yazid tentang fana dan ittihad menurut al-Taftazani : “memang terlalu berlebih-lebihan”, antara lain seperti yang diucapkan Abu Yazid : “Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah Aku”. Yazid juga pernah mengatakan : Tuhan berfirman : “Semua mereka, kecuali Engkai adalah Aku, dan Aku adalah Engkau"
Secara harfiah ungkapan-ungkapan Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. Dialog yang terjadi pada waktu itu pada hakekatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana an-nafs. Pada saat bersatunya Bayazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud, yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapannya itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Bayazid menjelaskan :
لانه هو الذى يتكلم بلسانى اما انا فقد فنلبت
“Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya, sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana”.
Oleh karena itu sebenarnya Bayazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan oleh Fir’aun. Proses ittihad ini menurut Bayazid adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang terlihat.
Sudah banyak usaha dilakukan untuk menjelaskan kepribadian dan ucapannya yang penuh teka-teki yang terbaik kata Schimmel, adalah sebuah telaah pendek namun mendalam yang dilakukan oleh Helmut Ritter, R.C. Zaehner telah menekankan kemungkinan adanya pengaruh India pada Abu Yazid. Tampaknya R.A. Nicholson juga cenderung berpendapat bahwa Abu Yazid, khususnya faham fana dipengaruhi oleh ajaran India yang diterima dari Abu Ali al-Sindi Annemarie Schimmel meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Abu Yazid menerima ajaran dari Abu Ali al-Sindi
Memang di kalangan para sufi sendiri terjadi perbedaan pendapat seperti yang pernah penulis singgung namun demikian menurut Ust. Drs. Moh. Saifullah al-Aziz, di dalam bukunya Risalah Memahami Tasawuf, kita tidak bisa begitu saja khususnya di kalangan mujtahid untuk terus berkiprah berusaha menggali tasawuf dari sumber aslinya untuk mencari kemurnian tasawuf itu hingga saat ini, seperti Muhammad Iqbal, Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dan sebagainya. Dan hasil pengkajian mereka itulah, maka ajaran tasawuf seperti fana dan ittihad dan sejenisnya bisa dikaji ulang untuk dikembalikan pada bentuk aslinya pada masa Nabi dan para sahabat
Perlu juga diketahui bahwa paham ini jauh berbeda dengan faham hulul-nya al-Hallaj. Di mana dalam faham hulul ini Tuhan lah yang mencari dan mengambil tempat tubuh manusia tertentu untuk ditempatinya, dengan kata lain Tuhan sendiri yang melebur dalam diri manusia, setelah manusia telah mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana, sedangkan kalau ittihad, manusia yang berusaha sendiri untuk menarik diri Tuhan melalui metode al-fana.

F A N A


Pengertian Fana
Kebanyakan kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk memperihalkan tentang maksud fana. Ulama-ulama lainnya yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap' dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau 'maqam' fana ini.
Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah disebutkan arti fana itu ialah;
Lenyapnya sifat-sifat basyariah(pancaindera)
Maka siapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baharu, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah fana dari Alam Cipta. Fana bererti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan maksiat batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahawa fana itu ialah lenyapnya segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya(fana fil af'al), lenyap sifatnya(fana fis-sifat), lenyap dirinya(fan fiz-zat)
Oleh karana inilah ada di kalangan ahli-hali tasawuf berkata:
"Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya kerena kehadiran hati mereka bersama Allah".
Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' ialah Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang diiktiraf oleh Rasulullah sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'. Sayyidina Ali sering memperkatakan tentang fana. Antaranya :
"Di dalam fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaan itulah bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan".
Demikianlah 'fana; ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah(Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah(Salik). Firman Allah yang bermaksud:
"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadat kepada Allah (Surah Al-Kahfi:)
Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan iaitu:
Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takhali dan Tahali.
Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah artinya memfanakan diri.
Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering mengalami keadaan "fana" fillah dalam menemukan Allah. Umpamanya Nabi Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut;
"Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan berfirman: Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."
2. Kata-kata Hikmah Dari Wali-wali Allah yang telah mengalami FANA
Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;
"Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang".
Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita boleh mencapai Allah. Beliau telah menjawab dengan katanya:
"Buangkanlah diri kamu. Di situlah terletak jalan menuju Allah. Barangsiapa yang melenyapkan(fana) dirinya dalam Allah, maka didapati bahawa Allah itu segala-galanya".
Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;
Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera. Kemudian Allah kurniakan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan saya dapat dapati segala-galanya adalah di dalam Dia juga."
Al-Junaid Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasauf kepada golongan Ahli Sunnah Wal-Jamaah pernah membicarakan tentang fana ini dengan kata-kata beliau seperti berikut:
Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah) sebelum melalui fana(hapus diri)
Membuangkan segala-galanya kecuali Allah dan 'mematikan diri' ialah kesufian.
Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah(mahabbah) hingga dia memfanakan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah itu pandangan orang-orang biasa adalah dongeng sahaja.
3. Himpunan Kata-kata Hikmat Tentang Fana
A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) ialah memfanakan diri sementara sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.
B. Setengah mereka yang fana (lupa diri sendiri) dalam satu tajali zat dan kekal dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majzub yang hakiki.
C. Sufi itu mulanya satu titik air dan menjadi lautan. Fananya diri itu meluaskan kupayaannya. Keupayaan setitik air menjadi keupayaan lautan.
D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhad itu dikuasai oleh wujud Allah yang Mutlak. Dengan itu Salik tidak mengetahui dirinya dan benda-benda lain. Inilah peringkatWilayah(Kewalian). Perbezaan antara Wali-wali itu ialah disebabkan oleh perbezaan tempoh masa keadaan ini. Ada yang merasai keadaan fana itu satu saat, satu jam, ada yang satu hari an seterusnya. Mereka yang dalam keadaan fana seumur hidupnya digelar majzub. Mereka masuk ke dalam satu suasana dimana menjadi mutlak.
E. Kewalian ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud. Dalam kenabian makhlik masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalaian ialah peringakat fana dan kenabian ialah peringkat baqa
F. Tidak ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya Zat. Jika ada pun ia mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali Zat melarutkan semua cermin penzohiran. Firman Allah yang bermaksud :
Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya.(Surah Al-Fadhilah:54)
G. Tajali bererti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan berbagai bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebgai beberapa ladang dan satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa unggun api.
H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah.Dalilnya ialah Firman Allah dalam Surah An-Nur:35 yang bermaksud;
"Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang dikehendakinya." dan "Allah adalah cahaya langit dan bumi."
I. Muraqobah ialah memfanakan hamba akan afaalnya dan sifatnya dan zatnya dalam afaal Allah, sifat Allah dan zat Allah.
J. Al-Thomsu atau hilang iaitu hapus segala tanda-tanda sekelian pada sifat Allah. Maka iaitu satu bagai daripada fana.
5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana
Mikraj Muhammad
Alamat Sampai Kepada Maqam Yang Tinggi
4. Pesanan Dari Suluk
Hakikat tidak akan muncul sewajarnya jika syariat dan thorikat belum betul lagi kedudukannya. Huruf-huruf tidak akan tertulis dengan betul jika pena tidak betul keadaannya.
Dari itu saudara-saudaraku anda seharusnya banyak menuntut dan mendalami ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan syariat , usuluddin dan asas tasauf untuk mendekatkan diri dengan Allah

FANA QALB


DALAM Wilayah Sughra, seseorang Murid Salik akan mengalami Istighraq yakni merasa bahwa dirinya seakan akan tenggelam dan Sukr yakni merasa mabuk cintanya terhadap Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam Wilayah ini, hati akan terputus hubungan secara keseluruhan dengan segala sesuatu yang selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala sama ada pada pengetahuan mahupun kecintaan terhadap sesuatu dan hatinya akan lupa secara keseluruhan terhadap sesuatu yang selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kaifiat keadaan ini dinamakan Fana Qalb.
Penyair Sufi bersyair, Key Bud Khud Za Khud Juda Mandah Man Wa Tu Raftah Wa Khuda Mandah "Seseorang yang sudah meninggalkan dirinya ke manakah haluannya?
aku dan dirimu sudah pergi dan yang tinggal hanyalah Allah.
Fana Qalb akan menghasilkan Tajjalliyat Af’aliyah Ilahiyah dalam diri Salik yakni dalam kesadaran dan khalayannya dia akan melihat bahwa segala Af’al tindakan dan perlakuan segala sesuatu yang selain Allah adalah kesan daripada Af’al tindakan dan perlakuan Haq Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan keadaan ini akan Ghalabah menguasai dirinya.
Kemudian, segala zat dan sifat Wujud Mumkinat akan dianggapkan olehnya sebagai penzahiran Zat dan Sifat Haq Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka, pada waktu itu Salik sedang berdiri di pintu Tauhid Wujudi ataupun masyhur dengan sebutan Wahdatul Wujud yakni menganggap bahwa segala tindakan yang wujud pada Mumkinat itu adalah merupakan ombak dari tindakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala Zat yang Wajibul Wujud.
Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih menyatakan bahwa Fana terbagi empat keadaan seperti berikut:
1. Fana Khalaq - Segala pengharapan Murid dan rasa ketakutannya terhadap selain Allah akan menjadi lenyap.
2. Fana Hawa - Hati Murid hanya berkendakkan Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan merasa tidak berkehendak kepada segala sesuatu yang selain Allah.
3. Fana Iradah - Segala keinginan dalam hati Murid menjadi tiada, seumpama orang yang mati.
4. Fana Fi’il - Murid mengalami Fana dalam perbuatan dan perlakuan, maka segala penglihatannya, pendengarannya, percakapannya, makan dan minumnya, berjalannya dan berfikirnya dia akan merasakan bahwa segalanya itu adalah merupakan perbuatan dan perlakuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata-mata.
Dalam sebuah Hadits Qudsi ada dinyatakan bahwa apabila seseorang hamba berusaha mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi amalan Nawafil sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikannya sebagai kekasihNya, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi pendengarannya yang dia dapat mendengar denganNya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi penglihatannya yang dia dapat melihat denganNya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi tangannya yang dia dapat memegang denganNya dan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala akan menjadi kakinya yang dia dapat berjalan denganNya.
HAQIQAT FANA
Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih telah menyatakan di dalam
kitabnya Ma’arif Laduniyyah pada Makrifat 26 berkenaan Fana dan Latifah sebagai berikut:
“Fana berarti melupakan semua perkara kecuali Allah Ta’ala. Setiap satu dari kelima-lima Latifah dalam Alam Amar terkandung bayangan gambaran dan takluk keasyikan di dalam tubuh badan manusia. Kelima-lima Latifah itu telah diberikan nama sebagai Qalb, Ruh, Sirr, Khafi dan Akhfa. Kebanyakan Aulia Allah tidak dapat membedakannya di antara satu dengan yang lain lalu menggelarkan kesemuanya
sebagai Ruh. Apabila dimaksudkan Ruh, maka kelima-lima hal ini juga turut difahami.
Ruh iaitu suatu Latifah, sudah pun mengenali Allah Ta’ala sebelum ia digabungkan dengan tubuh badan jasmani. Ia memiliki sedikit keinginan, pengetahuan dan cinta
terhadap Allah Ta’ala. Ia telah diberikan tenaga dan kemampuan untuk mencapai ketinggian dan terpuji. Akan tetapi ia tidak akan dapat mencapai kecemerlangan selagi ia tidak bergabung dengan tubuh badan jasmani.
Untuk maju dan cemerlang, ia perlu disatukan dengan tubuh badan. Untuk maksud ini, pada mulanya Ruh telah diberikan takluk keasyikan terhadap tubuh badan.
Kemudian, ia telah diberikan kebenaran untuk menuju ke tubuh badan lalu ia tercampak ke tubuh badan. Dengan keadaannya yang halus dan suci, ia tenggelam ke dalam tubuh badan manusia. Ia menjadi tidak dikenali, tidak dikenali oleh tubuh badan. Ia lupa tentang dirinya. Ia terus menyangka dirinya adalah tubuh badan. Ia kehilangan dirinya di dalam tubuh badan. Karena itulah kebanyakan manusia menyangka diri mereka sebagai hanya tubuh badan. Tidak menyedari tentang kewujudan Ruh, mereka menafikannya.
Allah Ta’ala dengan sifatNya Yang Maha Mengasihani telah menghantar pesanan kepada manusia iaitu Ruh, menerusi Para Nabi dan Rasul ‘Alaihimussolatu Wassalam.Dia mengajak mereka kepada DiriNya. Dia melarang mereka dari bergantung kepada tubuh badan yang gelap ini. Seseorang yang yang telah ditetapkan untuk memperolehi kebaikan yang kekal akan mentaati perintahperintah
Allah dan meninggalkan pergantungannya terhadap tubuh badan. Dia mengucapkan kesejahteraan kepadanya dan ia akan terus kembali ke atas pada tahap ketinggiannya yang sebenar.
Cintanya terhadap asal-usulnya yang pernah dirasakannya sebelum bergabung dengan tubuh badan meningkat secara peringkat demi peringkat. Cintanya
terhadap benda yang bersifat sementara makin berkurangan. Apabila dia melupakan keseluruhan tentang tubuh badan jasmaninya yang gelap, yang mana tiada lagi rasa asyik dan cinta yang tinggal, maka dia sudah mencapai fana tubuh badan.
Selanjutnya, dia perlu melepas satu dari dua langkah asas pada jalan Tasawwuf iaitu Fana dan Baqa. kemudian jika Allah menghendaki dan merahmatinya, dia
akan mencapai peningkatan Ruhaniah lalu terus melupakan tentang dirinya. Apabila ketidak sadaran ini meningkat, dia akan langsung melupakan terus tentang dirinya. Dia tidak akan lagi mengenali sesuatu apapun selain dari Allah Ta’ala.
Seterusnya dia akan mencapai Fana Ruh yang mana seterusnya dia perlu bergerak meneruskan langkahnya yang kedua. Ruh datang ke dunia ini dengan keinginan untuk mencapai Fana yang kedua ini. Ianya tidak akan dapat dicapai tanpa datang ke dunia ini. Jika Latifah Qalb melepasi kedua-dua langkah ini bersama-sama Ruh, ia akan mencapai Fananya sendiri bersama-sama dengan Ruh. Jika Nafs
menyertai Qalb dengan cara ini, ia juga akan disucikan, iaitu ia juga akan mancapai Fananya. Tetapi apabila Nafs telah mencapai tahap Qalb, jika ia tetap berada di situ tanpa berusaha mencapai peningkatan dan melepasi kedua-dua langkah ini, ia tidak akan dapat mencapai tahap ketidaksadaran. Ia tidak akan menjadi Mutmainnah atau jiwa yang tenang.
Seseorang yang telah mencapai Fana Ruh mungkin tidak mencapai Fana Qalb. Ruh ibarat bapa kepada Qalb dan Nafs pula ibarat ibu kepada Qalb. Jika Qalb mempunyai keinginan terhadap Ruh sebagai bapanya dan memalingkan dirinya dari Nafs sebagai ibunya dan jika keinginan ini bertambah kuat dan menarik Qalb ke arah bapanya, maka iabakan mencapai darjatnya. Ianya adalah dengan melepasi
kedua-dua langkah ini. Apabila Qalb dan Ruh mencapai Fana, Nafs tidak semestinya turut mencapai Fana.
Jika Nafs mempunyai keasyikan dan keinginan terhadap anaknya, dan jika keinginan ini semakin bertambah dan membuatkannya semakin dekat dengan anaknya yang telah mencapai darjat bapanya, maka ibunya juga akan menjadi seperti mereka. Keadaan yang sama juga berlaku untuk mencapai Fana pada Latifah Sirr, Khafi dan Akhfa. Segala ingatan dan fikiran yang telah dipadamkan
dan dilenyapkan dari Qalb hatinya menunjukkan kebenaran bahwa Ia telah melupakan segala perkara yang lain selain Allah Ta’ala. Tidak ada daya upaya untuk mengingat sesuatu apa pun bermakna bahwa pengetahuan dan segala sesuatu
telah lenyap. Di dalam Fana, ilmu pengetahuan juga perlu dilenyapkan.”
Masyaikh berkata,
‘Ilm Sufi ‘Ain Zat Haq Bud,
‘Ilm Haq U Khud Sifat Haq Bud.
‘Ilm Haq Dar ‘Ilm Sufi Gum Syawad,
In Sukhn Key Bawar Mardam Syawad.
Ilmu Sufi adalah mata air Ilmu Zat Yang Haq,
Ilmu Haq pada mereka adalah sifat yang Haq.
Ilmu Haq dalam Ilmu Sufi telah lenyap,
Kebenaran perkataan ini ada dalam hati lelaki Sufi.
FANA FI SYEIKH
APABILA Zikir Rabitah ghalib ke atas seorang Murid yakni dirinya sudah tenggelam dengan Zikir Rabitah, maka dia akan melihat wajah Syeikhnya pada segala sesuatu dan keadaan ini dinamakan sebagai Fana Fi Syeikh.
Di dalam kitabHidayatut Talibin bahwa keadaan warid seperti ini juga
berlaku ke atas diri ketika mula-mula melakukan Zikir Rabitah sehinggakan beliau mendapati bahwa dari ‘Arash sehingga ke tanah dipenuhi dengan wajah
Syeikhnya dan beliau melihat bahwa setiap pergerakan maupun diamnya adalah pergerakan dan diam Syeikhnya. Ketahuilah bahwa jalan Rabitah merupakan jalan yang paling dekat dari sekelian jalan. Banyak masalah ajaib dan sulait akan terzahir menerusi jalan ini.
Syaikh Muhammad Ma’sum Rahmatullah ‘alaih telah berkata bahwa,
“Zikir semata-mata tanpa Rabitah dan tanpa Fana Fi Syeikh tidak akan dapat menyampaikan kepada maksud dan Rabitah semata-mata dengan mengamati Adab Suhbah adalah mencukupi.”
Seseorang yang telah tenggelam dalam Fana Fi Syeikh akan sentiasa merasakan bahwa Syeikhnya sentiasa ada dalam dirinya, dalam setiap pergerakan dan perkataannya. Yang diingatnya hanyalah Syeikhnya dan ini hanya akan terhasil dengan sempurna apabila ianya disertai dengan Mahabbah iaitu Cinta dan Kasih Sayang yang terhasil dari Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Fana Fi Syeikh berarti meletakkan segala urusan perjalanan Keruhaniannya pada tangan Syeikhnya dan bersedia menurut segala anjuran, teguran, nasihat dan tunjuk ajar dari Syeikhnya. Fana Fi Syeikh akan membawa seseorang Murid itu ke arah ketaatan
terhadap Syeikh yang dianggap sebagai pemimpin dan pembimbing Ruhani bagi Murid.
Menurut Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih, apabila kelima-lima
Lataif Alam Amar telah disucikan dengan sempurna, Lataif Alam Khalaq juga dengan sendirinya akan disucikan, kemudian dia akan memahami hakikat Daerah Imkan. Untuk mencapai maqam ini, seseorang itu perlulah mancapai Fana Fi Syeikh. Ini akan mengangkat hijabnya terhadap kefahaman tentang Daerah Imkan. Seseorang Murid yang Salik menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala perlu
kembali kepada Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam karena Ruh kita terbit dari Ruh Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Untuk
kembali kepada Ruh Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seseorang Murid itu perlu mengenali Ruh Baginda Nabi Muhammad
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menerusi pimpinan dan bimbingan seorang Syeikh yang akan memberikannya beberapa petunjuk untuk menuju Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dan Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Syeikh adalah Ulul Amri yang memelihara urusan Keruhanian Murid. Mentaati Syeikh bererti mentaati Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan ketaatan kepada Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bererti kita mentaati Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Seseorang Murid yang Fana Fi syeikhnya sempurna, maka Syeikhnya hendaklah membimbingnya kepada Syari’at, Tariqat, Ma’rifat dan
Haqiqat Muhammadiyah sehingga Murid yang Salik itu tenggelam dalam lautan Fana Fi Rasul. Para Masyaikh menyatakan bahwa Fana Fi Syeikh adalah Muqaddimah bagi Fana Fi Rasul dan Fana Fillah. Setelah mencapai Fana Fi Syeikh, Murid perlu menuju Fana Fi Masyaikh terlebih dahulu dan seterusnya Fana Fi Rasul.
FANA FI MASYAIKH
FANA Fi Masyaikh bererti seseorang Murid yang sudah mulai patuh pada Syeikhnya, maka hendaklah dia turut mematuhi sekelian Para Masyaikh dalam Silsilah karana segala limpahan Ruhaniah dan Faidhz adalah datang menerusi pertalian Batin mereka yang kukuh sehinggalah kepada Baginda Nabi
Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Para Masyaikh adalah orang-orang yang menuruti kehidupan Zahir dan Batin Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Mengasihi mereka bererti mengasihi Baginda Nabi
Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam karena Para Masyaikh adalah Para ‘Alim ‘Ulama dan mereka adalah Pewaris Nabi sehingga ke hari Qiyamat.
Para Masyaikh adalah orang-orang yang terdahulu menjalani kehidupan Tariqat Tasawwuf dan jasad mereka telah Fana manakala Ruh mereka kekal Baqa di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka adalah orang yang hidup dan matinya berada atas jalan Allah, berjuang untuk menegakkan Kalimah Allah yang Agung. Fana Fi Masyaikh adalah pintupintu jalan untuk menuju Fana Fi Rasul. Wallahu A’lam, Wa
‘Ilmuhu Atam.
FANA FI RASUL
FANA Fi Rasul bererti seseorang Murid yang tenggelam dalam Haqiqat Muhammadiyah setelah dia menyAdari bahwa Syeikhnya dan Para Masyaikhnya adalah bayangan kepada Ruh Baginda Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana sekelian Ruh Mukmin bersumber darinya. Seseorang Murid akan mengalami rasa Cinta dan Kasih Sayang yang hebat terhadap Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu‘Alaihi Wasallam sehingga dia berusaha membawa kehidupannya selaras dengan kehendak kalimah:
MUHAMMADUR RASULULLAH.
Syeikh hendaklah membimbing Muridnya kepada Amalan Sunnah Nabawiyah yang Zahir mahupun yang Batin. Tiada satupun amalan yang kecil di dalam Sunnah
Nabawiyah bahkan kesemuanya adalah amat besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seseorang Mukmin tidak akan mencapai derajat Iman yang sempurna sehinggalah segala Hawa dan Nafsunya tunduk sepenuhnya kepada Agama dan
Sunnah Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga adalah Insan dan manusia biasa seperti kita yang memiliki Hawa dan Nafsu, namun Ruhnya telah disucikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Hawa Nafsunya juga telah ditarbiyah dan disucikan untuk menuruti kemauan Ruh. Ruh Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah terbit dari Ruh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hubungan di antara keduanya amat rapat sehingga segala kecintaan dalam hati Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam hanyalah tertumpu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ruh orang-orang yang beriman dengan Allah adalah terbit dari Ruh Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mereka hendaklah kembali kepada fitrah mereka yang asal iaitu fitrah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menjadi sumber petunjuk bagi orang-orang beriman untuk menuju kepada Allah. Orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala hendaklah mencintai Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam lebih daripada apa yang mereka cintai untuk diri mereka, ibu bapa mereka dan kaum keluarga mereka sendiri.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 31 yang bermaksud,“Katakanlah: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka turutilah aku (Muhammad Rasulullah Sallallahu‘Alaihi Wasallam), nescaya Allah akan mencintai kamu dan Dia akan mengampuni dosa-dosa kamu, dan Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Untuk mencapai Fana Fi Rasul, Salik perlu menanamkan dalam dirinya tentang kemuliaan, kehebatan dan keagungan Sunnah Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam serta sentiasa beramal dengannya. Kemuliaan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum adalah terhasil menerusi ketaatan mereka terhadap
Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kecintaan mereka untuk menuruti segala Sunnah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka itulah, Para Masyaikh menyuruh sekalian para pengikut mereka agar sentiasa berpegang teguh dengan amalan Sunnah Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pada setiap masa dan keadaan. Semoga Allah memberikan kita Taufiq. Amin.
FANA FILLAH
FANA Fillah adalah suatu hal keadaan di mana Murid yang Salik itu merasa kehilangan dirinya dalam menyaksikan Musyahadah Keagungan dan Kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi Tajalli yang dilimpahkan oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala ke dalam hatinya. Ianya terhasil menerusi Zikir kalimah Ismu Zat dan Nafi Itsbat yang banyak. Pintu hati tidak akan terbuka tanpa Zikir yang
banyak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan melimpahkan Tajalli Nama ZatNya bagi memperkenalkan Sifat-SifatNya dan Af’al perlakuan serta tindakanNya. Seseorang Salik yang baru mencapai Fana Fillah akan mengalami Ghalabah atau disebut keadaan Bey Khudi yakni merasakan bahwa dirinya telah hilang, berkeadaan tidak
tentu arah seolah-olah menggelabah dalam perasaannya. Sukar baginya mengungkapkan segala rahsia-rahsia Ketuhanan yang diperlihatkan secara Musyahadah di dalam hatinya. Dia akan merasai tenggelam dalam lautan Rahmat
dan Kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila terhasilnya Kaifiat ketika berzikir maka hendaklah memeliharanya, dan jika Kaifiat tersebut ghaib maka
hendaklah teruskan berzikir sehingga Kaifiat kembali terhasil dan rasa kehadiran menjadi semakin teguh. Apabila Murid mencapai Jazbah Qabuliyat yakni tarikan penerimaan dari Allah Ta’ala, maka dia akan merasakan limpahan Faidhz dan hembusan Rahmaniyah dari Tuhan Yang Maha Pemurah melimpahi dirinya.
Kadang-kadang Faidhz akan terlimpah ke dalam hati secara tiba-tiba dan terhasilnya Warid pada hati, lalu menjadikannya dalam keadaan tidak tentu arah. Maka apabila kaifiat yang sedemikan itu berlaku secara berterusan, seseorang Murid itu hendaklah mengharap dan memohonpenghasilan Fana dan kesenantiasaan merasai kehadiran bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Fana Fillah juga diertikan sebagai Fana Fi Zat yang bermakna seseorang Salik itu tenggelam dalam lautan
kehadiran Zat yang meliputi segala sesuatu. Apabila seseorang itu tenggelam dalam lautan Zat yang menguasai dan meliputi segala sesuatu, maka pandangannya tidak akan melihat sesuatu yang lain selain ZatNya yang Maha Berkuasa dan kekuasaanNya meliputi setiap benda dan segala sesuatu yang ada di langit, di bumi dan apa yang ada di antara langit dan bumi. Sesungguhnya Allah adalah Al-Latif yang Maha Halus dan Dialah Al-Muhit yang kewujudanNya dan kekuasaanNya meliputi segala sesuatu.
Sewaktu seseorang itu sedang tenggelam dalam lautan Fana Fi Zat ini, dia akan mengalami suatu perasaan bahwa dirinya juga bukanlah sutu wujud yang bersifat hakiki bahkan tidak wujud sama sekali. Yang difahami olehnya hanyalah Wujud Allah yang mana kewujudanNya adalah wajib dan Haq, tidak dapat disangkal sama sekali. Dia akan melihat bahwa segala kejadian ciptaan, hal peristiwa dan
keadaan, perbuatan serta tindakan itu hanya dapat berlaku dengan kehendak dan izin dari Allah Tuhan Semesta Alam. Maka dia akan merasai bahwa Wujud Haqiqi hanyalah satu iaitu Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan inilah permulaan
hal Tauhid Wujudi atau digelar Wahdatul Wujud.
Mendawamkan Zikir Ismu Zat yang banyak akan membawa Salik mencapai Fana pada Qalbnya dan dia akan mengalami suatu Jazbah untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Qalbnya akan mula memberi tumpuan Tawajjuh kepada limpahan Faidhz dari sisi yang diatas ‘Arash.
Seterusnya dia akan mengalami Jam’iyat dan Hudhur yang mana segala lintasan pada hati dan fikiran menjadi semakin berkurangan dan mungkin lenyap sama sekali. Keadaan ini apabila berterusan akan menghasilkan Warid pada diri Salik yang mana dia akan mengalami perasaan sukar dan tiada terdaya untuk menerima sesuatu Hal dalam hatinya, dengan merasakan ketiadaan wujud pada dirinya. Pada peringkat awal pencapaian Fana, keadaan ini berlaku sekali-sekala bahkan mungkin sebulan sekali. Seseorang yang banyak berzikir mungkin akan sering mengalaminya seperti seminggu sekali atau bahkan mungkin pada setiap hari dan mungkin berkali-kali menerima Warid yang sedemikian dalam sehari. Segalanya ini berlaku dengan
Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Para Masyaikh berkata bahwa,
“Tasawwuf secara keseluruhannya adalah Adab, dan barangsiapa yang biadab dengan tidak memelihara Adab tidak akan dapat mencapai Tuhan.”
Para Akabirin Naqshbandiyah berkata, Man Dhzayya’ar Rabbal Adna,
Lam Yasil Ilar Rabbil A’la. Barangsiapa yang mensia-siakan Pentarbiyah yang rendah (SyeikhMurshid), Dia sekali-kali tidak akan sampai kepada Pentarbiyah Yang Maha Tinggi (Allah Ta’ala).
Fana Fillah bererti melupakan semua masalah kecuali Allah Ta’ala. Apabila dia melupakan keseluruhan tentang tubuh badan jasmaninya yang gelap, yang mana tiada lagi rasa asyik dan cinta yang tinggal, maka dia sudah mencapai fana tubuh badan. Seterusnya, dia perlu melepasi satu daripada dua langkah asas pada jalan Tasawwuf iaitu Fana Qalb. Seterusnya dia akan mencapai Fana Ruh yang mana
seterusnya dia perlu bergerak meneruskan langkahnya yang kedua. Seseorang yang telah mencapai Fana Ruh mungkin tidak mencapai Fana Qalb. Apabila Qalb dan Ruh mencapai Fana, Nafs tidak semestinya turut mencapai Fana. Keadaan
yang sama juga berlaku untuk mencapai Fana pada Latifah Sirr, Khafi dan Akhfa. Segala ingatan dan fikiran yang telah dipadamkan dan dilenyapkan dari Qalb menunjukkan kebenaran bahwa Ia telah melupakan segala perkara yang
lain selain Allah Ta’ala. Tidak ada daya upaya untuk mengingat sesuatu apa pun bermakna bahwa pengetahuan dan segala sesuatu telah lenyap. Di dalam Fana, ilmu pengetahuan juga perlu dilenyapkan.