Laman

Rabu, 13 Agustus 2014

Istighfar


Sebagai umat muslim mendengar atau mengucapkan Istighfar sebagian orang mungkin sudah biasa atau menjadi “lalaban” (sehari-hari), tetapi sebaliknya mungkin masih ada di antara kita yang enggan membasahi bibir dengan memperbanyak istighfar, ...
boleh jadi tidak sedikit orang yang lidahnya masih kelu untuk berulang-ulang mohon ampun kepada Allah. Padahal tanpa disadari dengan kita mengucapkan Istighfar ( Astaghfirullah) maknanya sungguh dahsyat dan luar biasa efeknya.
Dan banyak perkara dalam hidup ini yang tidak dapat dilalui tanpa istighfar. Istighfar adalah sarana turunnya kasih sayang, rahmat dan cinta Allah. Cinta dan kasih sayang Allah tsb tercermin jelas dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Anas bin Malik ra.
“Sesungguhnya Allah lebih suka menerima taubat seorang hambaNya melebihi kesenangan seorang yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di tengah hutan.” (HR Bukhari Muslim)
Renungkanlah……
Sedemikian senangnya Allah menerima taubatnya seseorang, namun manusia sendiri malah enggan istighfar & kembali pada jalan yang lurus yang mendapat rahmat Allah.
Rasulullah saja yang telah maksum dari dosa setiap hari tidak kurang 70 kali beliau beristighfar, apalagi kita manusia yang setiap detiknya selalu berkarya membuat tumpukan dosa,seharusnya lebih banyak beristighfar baik secara lisan,dalam hati maupun pikiran kita. Kesalahan dan dosa yang terus bertambah akan mengotori hati akan berdampak pada kondisi labil dan tidak seimbangnya kehidupan yang dijalani seseorang.
Banyak dosa yang tidak mampu kita rasakan dan kita raba, banyak kekeliruan yang tidak mampu kita rasakan sebagai kekeliruan, banyak kemaksiatan yang tidak kita sadari sebagai kemaksiatan. Jika kita termasuk yang rajin shalat apakah kita bisa bebas dari dosa yang tidak bisa kita rasakan?

TOBAT 3


Di dalam salah satu atsar disebutkan, “Tidak ada suara yang lebih dicintai Allah Ta’ala daripada suara hamba yang bertobat dari dosanya seraya berucap, ‘Ya Rabb.’ Lalu Allah berfirman, ‘Labbaika. Wahai hambaku, mintalah apa yang engkau kehendaki. Di hadapan-Ku engkau seperti sebagaian malaikat-Ku. Aku berada di sebelah kananmu, di sebelah kirimu dan di atasmu. Aku dekat di lubuh hatimu. Wahai para malaikat-Ku,saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah memberikan ampunan untuknya.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang hamba bertobat, Allah menerima tobatnya dan membuat lupa malaikat hafadzah (pencatat amal) yang menuliskan amal buruknya. Allah membuat lalai anggota badannya yang melakukan kesalahan. Allah membuat lalai tempatnya di bumi dan maqamnya di langit, agar kelak di hari kiamat dia datang tanpa satu pun makhluk memberikan kesaksian yang memberatkannya,” (HR. Al-Ashbahani)
Ibnu ‘Abbas juga meriwayatkan, “Beberapa orang ahli syirik yang telah melakukan banyak pembunuhan dan perzinaan mendatangi Nabi saw., lalu berkata, ‘Sesungguhnya agama yang engkau ajarkan itu baik seaindainya engkau mengabari kami akan adanya kifarat yang bisa menjadi penebus dosa-dosa yang telah kami lakukan.’ Lalu turun ayat, Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu perputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az_Zumar [39]: 53). Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari, Muslim dan yang lainya.
Di dalam satu riwayat dari Makhul disebutkan, “Ketika Nabi Ibrahim a.s. mendapat penyingkapan hijab akan kerajaan langit dan bumi, dia melihat seorang hamba yang berzina, lalu Ibrahim memohonkan kebinasakan bagi si penzina itu, hingga orang itu dibinasakan oleh Allah. Kemudian dia melihat hamba yang mencuri, dia memohonkan kebinasakan bagi si pencuri itu hingga Allah membinasakannya. Kemudian dia melihat hamba yang melakukan maksiat lainnya, namun saat Ibrahim hendak memohonkan kebinasaan baginya, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Ibrahim, lepaskanlah [urusan] hamba-Ku itu darimu, sebab hamba-Ku berada di antara tiga hal: dia bertobat dan aku menerima tobatnya, atau aku keluarkan darinya keturunan yang kemudian beribadah kepadaku, atau dia dikuasai kesengsaraan dan di belakangnya jahannam telah menanti.”

TOBAT 2


Suatu kekurangan dari mereka, sehingga Dia akan menutupinya. Bagian dari kemurahan Allah terhadap hamba-hambanya adalah berupa penerimaan tobat. Bila mereka berbuat maksiat lalu bertobat, kemudian kembali berbuat maksiat,lalu bertobat lagi, Allah tetap akan menerima tobat mereka.
Di dalam satu riwayat disebutkan, ketika Allah member tangguh kehidupan kepada Iblis sampai Hari Kiamat, Iblis berkata kepada-Nya, “Demi kemuliaan-Mu, aku sungguh tidak akan keluar dari hati anak Adam selama ia masih memiliki ruh.” Allah Ta’ala berfirman. “Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak akan menghalangi manusia untuk bertobat selama ruh mereka masih di dalam tubuh. “Iblis berkata, “Aku akan mendatangi mereka dari arah depan, arah belakang, arah kanan, dan arah kirinya.”
Ketika Iblis mengungkapkan itu, dalam diri malaikat timbul rasa kasih pada manusia. Kemudian Allah mewahyukan kepada malaikat bahwa sesungguhnya masih tersisa bagi manusai arah atas dan arah bawah. “Apabila manusia mengangkat tangannya untuk berdoa dengan penuh kerendahan hati, atau meletakkan mukanya diatas tanah bersujud penuh kekhusyukan, pasti dosa-dosanya akan Kuampuni. Aku tidak perduli.”
Rasulullah saw. Bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima tobat dari si pendosa di siang hari, dan Dia membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat si pendosa di malam hari, hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya.” (HR.Muslim dan an-Nasa’i).
Pada saat matahari terbit dari tempat terbenamnya, Allah tidak akan menerima iman orang kafir juga tobat orang mukmin. Itulah diantara makna firman Allah Ta’ala. “Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum)mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” (QS. Al-An’am [6]: 158).
At-Tarmidzi dan al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya di arah barat ada satu pintu yang luasnya sejarak empat puluh tahun atau tujuh puluh tahun perjalanan. Sejak penciptaan langit dan bumi, Allah ‘Azza wa Jalla membukakan pintu itu untuk tobat, dan Dia tidak menutupnya sampai matahari terbit dari arah itu.” (HR. At-Tirmidzi dan al-Baihaqi)
Di dalam riwayat lainnya Rasulullah saw. Bersabda, “Seorang hamba terjerumus dalam suatu dosa, lalu dia berkata, ‘Ya Rabb, aku telah terjerumus pada perbuatan dosa, ampunkanlah dosaku itu,’ Maka Tuhannya akan berkata, ‘Hamba-Ku tahu bahwa dia mempunyai Tuhan Yang Pengampun dan menghukum karena dosa. Aku sungguh telah mengampuninya.’ Kemudian dia berlaku sesuai dengan yang Allah kehendaki. Namun kemudian dia terjerumus dosa lagi, lalu berkata, ‘Ya Rabb, aku telah terjerumus pada perbuatan dosa yang lain Ampunkanlah dosaku.
Rasulullah saw. bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima tobat dari si pedosa di siang hari, dan Dia membentangkan tangan-Nya pada waktu siang untuk menerima tobat dari si pedosa di malam hari, hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya. “(HR. Muslim dan an-Nasa;i)
Tuhan berkata, ‘Hamba-Ku tahu bahwa dia mempunyai Tuhan Yang Pengampun dan menghukum karena dosa. Aku sungguh telah mengampuninya. Maka berbuatlah sesukanya.”
Al Hafizh Ibn Hajar r.a. berkata di dalam al-Fath, “Yang di maksud dengan sabda Nabi saw., maka berbuatlah sesukanya, adalah selama sang hamba berdosa, beristigfar dan bertobat, Allah akan mengampuninya. Tobat dan istigfarnya merupakan kifarat bagi dosa-dosanya. Yang dimaksud bukan berarti dia berdosa, lalu beristigfar dengan lisannya tanpa melepaskan dosanya, kemudian kembali kepada dosa yang semisal. Hal seperti itu disebut tobat para pembohong.”
Rasululllah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menerima tobat seorang hamba selama dia belum sekarat (HR. Ahmad dan at-Tarmidzi). “Artinya tobat si hamba akan di terima Allah selam ruhnya belum sampai di tenggorokan. Karena bila ruh sudah sampai di tenggorokan, si hamba akan melihat dengan jelas tempat kembalinya, apakah rahmat Allah atau kegentingan dan kesulitan. Maka, pada saat itu tobat tidak lagi bermanfaat baginya, tidak pula beriman bila dia seorang kafir. Sebab salah satu syarat tobatadalah ketetapan hati untuk meninggalkan dosa dan tidak akan pernah kembali padanya. Hal tersebut hanya dapat tercapai bila ada kesempatan. Sementara dalam kondisi si ruh sudah sampai di tenggorokan, si hamba tidak mungkin lagi memenuhi syarat itu.
Rasululllah saw. bersabda, “Kalaupun kalian telah melakukan kesahingga sepenuh langit, lalu kalian menyesalinya, Allah pasti akan mengampuni kalian. “Hadist ini di riwayatkan oleh Ibn Majah dengan sanad yang hasan.
Rasululllah saw. bersabda, “Orang-orangbyang bertobat adalah kekasih Allah. Dan orang yang bertobat dari dosa-dosa seperti orang yang tidak pernah berbuat dosa. “hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Kabir dan oleh al-Baihaqi didalam asy-Syu’
Rasululllah saw. bersabda, “Sesungguhnya kebaikan dapat melebur dosa sebagaimana air menghilangkan kotoran. “Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Na’im di dalam al-Hilyah.

TOBAT 1


Hal yang pokok bagi para penempuh jalan kepada Allah (Tareqatullah) adalah tobat, inilah jalan pembuka, pintu awal melangkahkan kaki menuju kehadirat Allah swt. Allah swt Yang Maha Suci tentu hanya menerima ruhani manusia yang telah di sucikan, karena itu Allah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada manusia untuk bertobat. Karena tobat merupakan hal yang pokok dalam tarekat, maka berikut akan kami jelaskan secara terperinci tentang tobat. Tulisan yang akan sahabat baca berikut kami kutip dari karya seorang Ulama Sufi Syekh Amin Al Kurdi dari kitab Beliau yang terkenal yaitu “Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah “Allam al-Ghuyub” dan menjadi rujukan sebagian besar pengamal tarekat.
Tobat adalah pangkal dari segala tingkatan dan kondisi ruhani (maqam dan hal) serta awal berbagai tingkatan spiritual (maqamat). Tobat bagaikan lahan bagi bagunan. Barangsiapa tidak bertobat, dia tidak akan memiliki tingkatan dan kondisi ruhani. Sebagaimana orang yang tidak memiliki lahan tidak akan memiliki bangunan.
Tobat adalah kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat terpuji. Ada yang mengatakan bahwa orang yang kembali dari hal-hal yang bertentangan dengan syariat karena takut akan siksa Allah disebut ta’ib. Orang yang kembali karena malu dilihat oleh Allah disebut munib. Sedangkan orang yang kembali karena menghormati keagungan Allah disebut awwab.
Setiap hamba harus segera bertobat dan merealisasikan syarat-syarat agar terbebas dari kemarahan dan murka Allah, selamat dari neraka Jahannam, meraih kebahagiaan abadi serta memperoleh ridha dan surga-Nya. Selain itu, juga agar mendapat taufik untuk menjalankan ketaatan sehingga ketaatannya diterima, sebab tobat menjadi syarat baginya. Mayoritas ibadah hukumnya sunnah, sedangkan hukum tobat adalah wajib. Ibadah sunnah tidak akan diterima sebelum menunaikan ibadah wajib.
Kewajiban tobat ditetapkan di dalam Alqur’an dan hadis Nabi saw. Di Dalam Alqur’an antara lain firman Allah Ta’ala, “Bertobatlah kalian seluruhnya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian berbahagia” (Q.S. An-Nur 31). Allah Ta’ala juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kamu kepada Allah dengan tobat nashuha” (Q.S. At-Tahrim, 8).
Tobat Nashuha adalah tobat lahir dan bathin yang disertai tekad untuk tidak pernah mengulang kembali perbuatan dosa. Barangsiapa bertobat lahir saja, tidak ada bedanya dengan waduk tinja bertutup kain sutera. Orang-orang memandang dan merasa kagum dengannya. Tetapi saat tutupnya disingkapkan, mereka berpaling dan menjauhinya. Begitu pula cara manusia memandang orang-orang yang menjalankan ketaatan lahir saja. Ketika penutup yang menutupinya disingkapkan pada Hari Kiamat, yakni pada hari segala rahasia ditampakkan, para malaikat akan berpaling menjauhinya. Karena itu Rasulullah saw bersabda. “Sesungguhnya Allah tidak memperhitungkan rupa kalian, tidak juga harta kekayaan kalian, tetapi Dia memperhitungkan hati kalian” (HR. Muslim).
Di antara ayat alQur’an yang menunjukkan keutamaan tobat adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat, dan Dia mencintai orang-orang yang bersuci” (Q.S Al-Baqarah, 222). Apabila mereka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka Allah akan mencintai mereka. Apabila telah mencintai mereka, Dia akan iri apabila melihat suatu kekurangan dari mereka, sehingga Dia akan menutupinya. Bagian dari kemurahan Allah terhadap hamba-hamba-Nya adalah berupa penerimaan tobat. Bila mereka berbuat maksiat lalu bertobat, kemudian kembali berbuat maksiat, lalu bertobat lagi, Allah tetap akan menerima tobat mereka.

CINTA


Cinta diambil dari kata ‘habab’ (Gelembung air) yang selalu berada di atas air. Dikatakan demikian karena cinta merupakan puncak segalanya dalam hati.

Dikatakan pula bahwa Cinta itu berasal dari istilah ‘menetapi’. Jika dikatakan “dia mencintai unta, maka ia menetapi bersama unta dan tidak meningalkannya, seolah-olah orang yang jatuh cinta itu hatinya tidak pernah melupakan untuk mengingat kekasihnya.

Diceritakan bahwa kata ‘hubbu’ (cinta) diambil dari kata ‘al habbu’ sebagai bentuk plural dari kata ‘habbah’ (biji), sedangkan biji hati merupakan sesuatu yang berada dan menetap dalam hati. Dari sini cinta disebut benih (biji) karena Cinta adalah benih kehidupan.

Kemudian Cinta itu disebut tiang karena Cinta menaggung kesenangan dan penderitaan.

Cinta merupakan suatu tempat yang berisi air. Tempat ini penuh dengan air dan tidak ada tempat untuk lainnya. Demikian jika hati telah penuh dengan Cinta, maka tiada tempat untuk selain kekasihnya.

Dikatakan bahwa Cinta mendahulukan kekasihnya daripada semua yang menyertainnya.

Dikatakan bahwa Cinta setia kepada kekasihnya, baik ketika berhadapan dengannya atau tidak.

Abu Yazid Al-Busthami berkata “Cinta menganggap sedikit pemberian yang ia keluarkan dan menganggap banyak pemberian kekasih walaupun sedikit.”

Sahal bin Abdullah berkata “Cinta itu merangkul ketaatan dan menentang kedurhakaan.”

Al-Junaid berkata “Cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintainya.”

Abu Ali Ahmad Ar-Rudzabari berkata “Cinta adalah kesetiaan”

Abu Abdullah Al-Quraisy berkata “Hakikat Cinta jika kamu memberi, maka kamu memberikan semua yang kamu miliki kepada orang yang kamu Cintai, tanpa tersisa sedikitpun untukmu.”

Asy-Syibli berkata berkata “Disebut Cinta Karena Cinta menghapus hati dari ingatan semua selain yang dicintainya.”

Asy-Syibli berkata “Cinta, Jika kamu cemburu pada seorang kekasih, maka orang sepertimu adalah mencintainya.”

Ahmad bin Atha’ berkata “Cinta itu dahan-dahan yang ditancapkan dalam hati sehingga hati akan berbuah seperti kemampuan akal.”

Muhammad bin ali al-Kattani berkata “Cinta Harus lebih mengutamakan yang dicintai.”

“Cintamu kepada sesuatu bisa membuatmu buta dan tuli” (HR Abu Dawud nomer 5130 dalam ‘Al-Adab’, Musnad Imam Ahmad 5 Halaman 194, dan 6 Halaman 450)

Kata ‘hubbu’ terdiri dari dua huruf ; ha’ dan ba’. Isyarahnya bahwa orang yang Jatuh Cinta harus keluar dari ruh, badan dan hatinya seperti kesepakatan suatu kaum yang mengatakan bahwa Cinta itu adalah kesetiaan. Kesetiaan yang paling nyata adalah kesetiaan dalam hati. Cinta harus tidak kontradiksi karena orang yang jatuh cinta akan selalu bersama orang yang dicintainya. Dengan demikian, maka terjadilah komunikasi,”

“al mar-u man’a ihabba”, Seseorang akan bersama yang dicintainya. (HR Mutafaqun alaih)

Al Hikam : Hakikat Cinta Kepada Allah

Mengenai hakikat cinta kepada Allah s.w.t. menurut pandangan hakikat hikmah Tauhid dan Tasawuf, sebagaimana telah diungkapkan oleh Maulana Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut:

"Orang yang begitu sangat cintanya bukanlah orang yang mengharapkan balasan sesuatu dari pihak yang dicintainya atau dia menuntut sesuatu maksud dari pihak yang ia cintai, karena orang yang begitu sangat cintanya itu ialah orang yang memberi buat anda, bukanlah orang yang begitu sangat cintanya itu merupakan orang dimana anda memberi buatnya."

Kalam Hikmah ini, sepintas lalu sulit juga menangkapnya, apabila tidak kita berikan penjelasan sebagai berikut:

Apabila cinta dapat dilukiskan melalui huruf, tulisan dan maksud-maksud tertentu, pada hakikatnya itu tidak dapat dikatakan cinta atau mahabbah. Karena cinta yang demikian, adalah cinta yang dapat dibuat, demi untuk sampai kepada tujuan yang dikehendaki. Karena itu, barangsiapa yang mencintai seseorang supaya seseorang itu memberikan sesuatu kepadanya atau menolak sesuatu yang tidak baik daripada yang mencintai, berarti orang yang mencintai itu adalah mencintai dirinya sendiri, bukan mencintai orang yang dicintai. Karena kalau bukanlah sesuatu yang dituju oleh dirinya sendiri tidak ada, maka pastilah dia tidak akan mencintai orang yang dicintainya itu.

Karena itulah, hakikat cinta pada orang yang mencintai, adalah memberikan keseluruhan yang ada pada dirinya demi untuk mendapatkan kerelaan daripada pihak yang dicintainya. Tanpa ada sesuatu yang ia ingin capai, berupa sesuatu yang sifatnya lahiriah dari pihak yang dia cintai. Sehingga tidak ada apa-apa lagi yang dimiliki olehnya, selain semuanya itu ia serahkan kepada pihak yang ia cintai. Atau boleh dikatakan, bahwa yang mencintai adalah dibunuh oleh kecintaannya itu, sehingga tidak ada tujuannya selain daripada kerelaan dari pihak yang dicintai. Misalnya saja seperti yang diungkapkan oleh pengarang Iqazul Himam fi Syarhil Hikam, tentang contoh seorang laki-laki mencintai seorang wanita. Laki-laki itu berkata: "Aku betul-betul cinta padamu." Wanita itu menjawab: "Betapa anda cinta kepada saya, padahal yang duduk di belakang anda itu adalah lebih baik."

Mendengar itu, si pria tadi memalingkan mukanya melihat wanita yang ada di belakangnya, maka setelah wanita itu melihat bahwa pria itu memalingkan mukanya melihat wanita yang ada dibelakangnya, dia berkata: "Anda ini adalah manusia yang tidak baik. Anda mengatakan begitu cinta kepadaku, tetapi anda palingkan muka anda melihat kepada selainku."

Itulah sebuah contoh dan apabila contoh ini kita kiaskan kepada hubungan cinta kita selaku hamba Allah kepada Tuhan Pencipta alam, Allah s.w.t., juga demikian. Kita mengatakan, kepada diri kita dan kepada orang lain, bahwa kita cinta kepada Allah, tetapi juga hati kita memalingkan cintanya kepada sesuatu yang selainNya, atau merasakan sesuatu selain Allah, yang mempengaruhi hati kita. Maka ini menunjukkan cinta kita kepada Allah tidak full, tetapi adalah tidak lebih daripada dakwaan semata-mata.

Selanjutnya Apabila kita begitu mencintai sesuatu, maka hendaklah jiwa raga kita itu, kita berikan buat sesuatu itu. Demikian pula, kecintaan seseorang kepada orang yang dia cintai, dia harus memberikan segala-galanya kepada pihak yang dia cintai. Dan bukanlah kebalikannya.

Demikianlah kecintaan kita kepada Allah s.w.t., tidak boleh dipalingkan kepada selainNya. Karena itu, apabila kita beribadah karena mengharapkan syurgaNya berarti kita mencintai Syurga. Dan bukan mencintai Allah. Sebab hakikat cinta kepada Allah, hanya tertuju semata-mata kepada Allah dan kita lupa kepada hal-hal yang lain selain dariNya. Apakah itu merupakan keuntungan kita berupa pahala dari Allah ataukah itu merupakan hajat-hajat kita kepadaNya.

Ada sebuah contoh kejadian, yang telah terjadi pada seorang Waliyullah bernama Ibrahim bin Adham. Beliau berkata: Pada suatu hari, saya bermohon kepada Allah, seraya saya mengucapkan "Wahai Tuhanku, jika Engkau telah memberikan kepada seseorang dari orang-orang yang cinta kepadaMu ketenteraman hati sebelum bertemu dengaMu, maka Engkau berikan pulalah kepadaku yang demikian. Karena hatiku susah sedemikian rupa, demi cintaku kepadaMu."

Ibrahim bin Adham meneruskan katanya: Setelah sering aku berdoa demikian aku bermimpi, seolah-olah aku diperintahkan Allah berdiri di hadapanNya, dan Dia 'berkata' kepadaku: Hai Ibrahim (bin Adham), tidaklah engkau bermalu kepadaKu, bahwa engkau memohon kepadaKu, supaya hatimu tenteram sebelum bertemu denganKu. Apakah begitu orang yang sangat rindu hatinya akan dapat tenteram, kalau tidak bertemu dengan yang dicintainya .

Apakah orang yang begitu cinta hatinya akan dapat tenang, tanpa bertemu dengan yang ia rindukan? Ibrahim (bin Adham) menjawab: "Wahai Tuhanku, aku bingung, dalam cinta terhadapMu. Maka aku tidak tahu, apa yang aku katakan, karena itu Engkau ampunkan dosaku, Engkau ajarlah aku ya Allah, apa yang seharusnya aku mesti katakan." Tuhan menjawab: Katakanlah olehmu:

"Wahai Tuhan, Engkau ridhailah aku dengan keputusan-keputusanMu, Engkau sabarlah aku atas cubaan-cubaanMu, Engkau ilhamkanlah kepadaku, untuk mensyukuri nikmat-nikmatMu."

ISTIQOMAH


“Ilmu ini bisa kalian hapal dalam semalam, ilmu dari awal suluk sampai kaji suluk terakhir bisa kalian dapatkan hanya dalam semalam, akan tetapi untuk bisa duduk ilmu itu dalam diri kalian, memerlukan waktu yang lama, kalian harus istiqamah dalam mengamalkannya”. (Guru Sufi)
Tulisan ini saya tulis untuk menyambut malam jum’at yang penuh berkah, penuh dengan kemulyaan di mana para hamba Allah dengan suka cita mendatangi Lingkaran Zikir yang dinamakan oleh Nabi sebagai “Taman-Taman Surga” di muka bumi. Mendatangi taman surga sama dengan mendatangi surga karena antara taman dengan surga tentu tidak terlalu jauh letaknya.
Kalau kita renungkan lebih dalam, kenapa kita harus rajin beribadah, rajin zikir, rajin bertawajuh terutama setiap malam Jum’at, sebenarnya apa yang kita cari dan harapkan? Motivasi apa yang membuat kita rajin melakukan semua itu? Mengharapkan pahala kah? Atau imbalan-imbalan duniawi yang di dapat akibat aktifitas-aktifitas tersebut.
Tentang hal ini, saya pernah ditanya langsung oleh Yang Mulia Guru saya tercinta, “Kenapa orang mau bersusah payah dzikir, ubudiah, sedekah dan segala amalan lain, padahal semua yang dilakukan itu tidak meng-enak-kan”. Saya terdiam dan tidak bisa menjawab, kemudian Beliau melanjutkan, “Dzikir itu tidak enak, ubudiyah itu tidak menyenangkan, puasa lebih lagi tidak menyenangkan, yang di cari oleh mereka yang melakukannya adalah KASIH SAYANG NYA!”.
Kasih Sayang Allah lah yang diharapkan oleh para pencari dan para pecinta, hanya Allah semata yang mereka harapkan, tidak lebih dari itu. Istiqamah mereka dalam dzikir dan ibadah adalah semata-mata mengharapkan kasih sayang Allah, menimbulkan rasa rindu dan cinta dalam hati dan itu tidak akan bisa dibeli dengan apapun.
Di awal tulisan ini saya mengutip ucapan Guru Sufi tentang istiqamah, bahwa amalan amalan dalam terekat itu mudah di dapat, sudah banyak ditulis baik dalam kitab tasawuf klasik maupun karya-karya modern, mengupas dengan tuntas amalan-amalan yang di lakukan mulai dari awal sampai akhir. Namun, apakah semua amalan itu bisa berbekas di hati, bisa “duduk” dalam diri si pengamal, ini yang menjadi persoalan.
Orang yang membaca semua kaji-kaji tarekat, mulai dari amalan suluk sampai dengan maqam-maqam yang harus dilewati oleh seorang murid, kemudian merasa sudah sampai kepada kaji dan amalan tersebut ibarat orang yang belum pernah mengandung tapi sudah merasa memiliki anak. Memberikan nama anak apa susahnya, tapi melewati proses anak itu hadir, mulai dari awal kandungan sampai proses melahirkan sangat sulit diceritakan dengan kata-kata.
Guru mengatakan, “Menghapal amalan suluk tapi belum sampai amalan itu dalam dirinya ibarat anak diberi nama dulu baru lahir dan lebih lucu lagi anak tersebut sudah diberi gelar sebelum anak tersebut lahir”.
Seorang anak belum ada, belum lahir bahkan belum berada dalam kandungan, kemudian diberi nama serta lengkap dengan gelar sarjana atau gelar professor, persis seperti itulah yang dilakukan oleh para pembaca ilmu tarekat atau belajar ilmu tawawuf dari buku tanpa berguru. Hasilnya anak imajiner, gelar imajiner dan semua imajiner, hanya ada dalam alam pikirannya.
Ilmu Tarekat atau Ilmu Tasawuf tidak bisa didapat hanya dengan membaca saja, inti dari tarekat adalah menjalankan metode yang telah dikenalkan oleh Rasulullah SAW dan telah terbukti bisa membuat umma di zaman itu bermakrifat, metode ini kemudian di ulang lagi seperti yang dilakukan oleh Rasul dan tentu hasilnya akan sama dengan syarat di bawah bimbingan Guru Yang Sudah mendapat izin dari Rasulullah SAW lewat Guru Sebelumnya sehingga dia bisa membimbing para murid sebagaimana Rasulullah SAW membimbing ummat di zaman Beliau hidup.
Kunci dari ilmu tarekat bukan pada hasil, bukan pada kehebatan dan kekeramatan, itu hanya efek samping dari pengamalan ilmu tarekat, kunci utama adalah ISTIQAMAH, amalan yang dilakukan secara berkesinambungan, dzikir pagi dan petang, mengingat Allah 24 jam tanpa putus, tentu setelah mendapatkan metode dan rahasinya, kalau belum mendapatkan rahasinya bagaimana mungkin bisa mengingat Allah 24 jam, kapan tidur, kapan pula makan dan bekerja. Maka Rasulullah mengatakan bahwa pekerjaan paling sulit (mustahil) adalah mengingat Allah (Bagi yang belum mengetahui Rahasia) dan perkerjaan paling mudah adalah mengingat Allah (bagi yang sudah mengetahui Rahasianya).
Jadi, aktifitas dzikir baik sendiri maupun berjamaah itu merupakan bagian dari istiqamah dan dengan istiqamah itulah kita akan mendapatkan kasih sayang Allah, mendapatkan makrifat kepada-Nya, abadi memandang wajah-Nya dari dunia sampai akhirat kelak.

RAHASIA SEMBAHYANG

RAHSIA SEMBAHYANG
Mencari Cahaya Kebenaran
RAHSIA SEMBAHYANG
Ketahui olehmu yang dikehendakki dengan kata menghadhirkan Zat Sembahyang itu ialah Niat. Manakala Niat itu adalah bekas Nur Sir Kalam Allah yang tiada berhuruf dan bersuara ya'ni rahsia qalam qadimNya. Yang demikian itulah dibilangkan berkata kata kita dengannya.
Maka hendaklah kamu ketahui sesungguhnya tatkala mengangkat Takbiratul Ikhram itu hal keadaannya mati sebagaimana sabda Nabi s.a.w. pada mengisyaratkan dengan katanya:
"Mutu Qabla Anta Mutu" Matikanlah diri kamu sebelum kamu mati. Maka adalah maksudnya itu fana'kan dirimu yang kasar, fana'kan panca inderamu yang bangsa zahir. Maka tatkala itu disuruh tilik atau pandang dirimu yang halus atau batin dengan menggunakan panca indera yang batin, kerana adalah yang batin itu berpakaian dengan Sifat Maani, manakala Sifat Maani itu adalah sifat yang lazim atau tetap bagi Zat Allah yang Wajibal wujud lagi Baqa'. Maka jika telah tetaplah bahawa Sifat Maani itu adalah Sifat Zat Allah wajiblah baginya dihukumkan Maanawiyah.
Maka untuk mendapatkan kata putus atau putus bicara mengena'i ta'arif pada Sifat Maani dan Maanawiyah perlu dibicarakan dengan teliti dan halus, bagi memahami Sifat Maani dan Maanawiyah.
Adapun dikatakan dalam pembicaraan taarif Sifat Maani itu demikian:-
"Hiya kullu sifatin maujudatin qa'inatin bimaujudin aujabat lahu hukman."
Tiap tiap sifat yang sedia ada yang berdiri dengan Zat Yang Sedia Ada diwajibkan yakni ditetapkan baginya satu hukum. Maka dalam perkara ini Sifat Maani itu wajib dihukumkan Maanawiyah.
Manakala hakikat Sifat Maani itu adalah "La hiya huwa hiya ghairuhu" Sifat itu bukan Zat, tetapi tiada lain dari Zat.(Kelakuan Sifat ini tidak berdiri dengan sendirinya tetapi lazim dia berdiri dengan Zat sebab antara zat dan sifat tidak boleh berpisah).
Adalah taarif Sifat Maanawiyah pula dikatakan:- "Hiyyal khaluth thabitu lizzati mada matizzatu mu'allalatin bi illatin" Hal yang sabit yakni tetap bagi Zat selama kekal Zat itu dikeranakan dengan satu kerana yakni Sifat Maani. Maka hakikat Sifat Maanawiyah itu " La hiya ghairuhu" Tiada lain dari Zat. Yang demikian nyatalah atau jelaslah sudah bahawa yang dihukum Maanawiyah itu adalah Sifat Maani atau Sifat Maani itulah Sifat Maanawiyah.
Maka hendaklah kamu ketahui dengan sempurna pengetahuan penegenalan bahawasanya Hakikat dirimu yang batin itu dipakaikan dengan rahsia Sifat MaaniNya. Rahsia Sifat Maani itulah Ruh Latifurrabaniah yang jadi hakikat bagi dirimu yang sebenar benar diri. Manakala adalah hakikat diri yang sebenar diri itu sebagai dzil yakni bayang bayang bagi kelakuan atau Sifat wujud Zat Allah yang mutlaq lagi tiada seumpama dengan sesuatu.
Maka ketahuilah bahawa tatkala mengangkat Takbiratul Ikhram itu dengan berkata Allahu Akbar kamu berada didalam Maqam Tauhid. Yang mana dituntut atas kita mentauhidkan akan ZatNya, SifatNya, Asma'Nya dan Af'alNya. Oleh kerana itulah bahawa tempat atau Maqam Tauhid kepada Allah itu didalam Takbiratul Ikhram pada lima waktu Solat Fardhu.
Maka untuk mendapatkan jalan Tauhid yang sebenar benarnya itu hendaklah kita ketahui dengan sempurna pengetahuan didalam bicara berkenaan Nafi dan Isbat. Oleh kerana didalam Nafi dan Isbat itulah duduknya Tauhid dan Ma'rifat.
Hakikat Nafi Yang sebenar.
Adapun sebenar benar hakikat Nafi itu Isbat dan hakikat Isbat itu Tauhid, manakala hakikat Tauhid itu Ma'rifat. Oleh kerana itulah sabda Nabi s.a.w. " La yufarriqu bainan nafi wal ithbat, man faraqa bainahuma fahuwa kafirun" Tiada becerai diantara Nafi dan Isbat, barang siapa memisahkan maka kafirlah dia. Oleh kerana hal keadaan Nafi mengandung Isbat dan Isbat mengandung Nafi, yang demikian bererti bilamana kamu Nafikan sesuatu yang mustahil bagi Allah, maka tak dapat tidak yang kamu Isbatkan itu sesuatu yang mustahil bagi Allah. AWAS. Bilamana kamu nafikan sesuatu yang haq bagi Allah maka tak dapat tidak yang kamu Isbat pun haq bagi Allah jua tiada lain. Maka faham daripada kata kata ini bahawa tidak syak lagi bilamana kamu Nafikan Zat kamu maka yang diisbatkan Zat Allah, Nafikan sifat kamu, diisbatkan Sifat Allah, Nafikan A'fal kamu diisbatkan A'fal Allah, Nafikan asma' kamu, diisbatkan Asma' Allah. Demikianlah adanya Hakikat Nafi/Isbat yang dikehendakki dibawa didalam sembahyang.

Cinta Kaum Sufi

Cinta TersembunyiKetika Ibn ‘Arabi, sufi besar ditanya “Apa agama Anda?”, diapun menjawab dengan penuh keyakinan, “Agama dan keimananku adalah Cinta”. Ketika ditanya apa itu “Cinta”, “..mungkin hanya selain pecinta sejati yang berani menjawabnya…” jawabnya ‘lirih”, lalu diapun berdendang ;
“Jika seorang mengaku bisa mendefinisikan cinta, jelaslah, ia masih belum mengenalnya.
Siapa pun mendefinisikan cinta, pasti belum mengenalnya.
Siapa pun belum pernah merasakan seteguk saja air cinta, belum pernah mengenalnya.
Siapa pun yang merasa kenyang karena meneggak air cinta, maka ia hanyalah orang yang menghibur diri.
Ketahuilah, cinta adalah minuman yang tak pernah memuaskan pecandunya.”
“Cinta”, sebuah sebutan yang selalu terus abadi sepanjang sejarah. Tidak hanya paling banyak dibicarakan tetapi juga beragam tulisan, diskusi, disyairkan, didramakan dan sekaligus difilemkan. Cobalah melayari samudra, menempuh rimba dan menembus cakrawala, kita akan temukan pustaka dunia dipenuhi ribuan buku tentang cinta, klasik hingga kontemporer, mulai dari tema-tema aksiologi Yunani, karya-karya klasik para spiritualis hingga novel-novel ternama dunia, seperti Romeo and Juliet – Shakepare, The House of The Spirit dan Dracula-nya Bram Stokers.
Seorang teman (yang nge-ustadz/filsuf) pernah berusaha menjelaskan hakikat cinta dengan cara sederhana membaginya menjadi dua; cinta ilahi dan cinta insani.
Dalam setiap hembusan nafas kita, dalam setiap sel darah kita, dalam setiap unsur-unsur yang terkandung dalam butiran tanah, terdapat cinta Ilahi yang acapakali tidak kita sadari. Dengan rahman-Nya, Allah SWT telah menampakkan indahnya pelangi lewat kedua mata kita; dengan kasihNya yang tiada batas, memperdengarkan merdunya gemercik air. Cinta kedua adalah cinta insani. Pada dasarnya, cinta ini juga timbul dari cinta Ilahi. Cinta laksana wujud, bahkan ia adalah wujud itu sendiri. Ia sangat terlihat gamblang, meski hakikatnya tersimpan di balik tirai misteri.
Lalu Tersembunyikah cinta? Lalu mengapa cinta begitu misterius? Cinta bukanlah esensi dan kategori yang dapat diuraikan sebagai produk dari komposisi genus dan diferensia. Cinta hanya dapat dihayati, namun tak dapat disifati. Setiap orang mampu merasakan cinta, namun mustahil mensifati atau mendefinisikannya.
Lalu bagaimanakah para sufi memandang “cinta”? Kaum sufi membaginya menjadi dua; cinta natural dan cinta mistikal.
Cinta natural adalah cinta bersyarat, seperti cinta kita pada seorang sahabat karena ia bersikap baik terhadap kita. Sedang cinta mistikal tidak bersyarat. Ia cukup mencintai tapi tak butuh dicinta. Cinta ini laksana cinta ibu yang rela tidak tidur semalaman demi menemani anaknya yang sakit. Seorang ibu tak butuh balasan apakah kelak si anak membalas jerih payahnya atau tidak.
Kata Ibn al-Qayyim, “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas. Cinta adalah cinta itu sendiri.” Bukankah memperjelaskan suatu yang sangat jelas berarti mengaburkannya. Seorang penyair berpuisi:
Setiap perkataanku bicara tentang cinta
Tatkala mendatanginya, daku tersipu malu
Bahasa mulut memang bisa menerangkan
Tapi cinta lebih terang tanpa kata-kata
Para sufi menganggap Allah SWT sebagai kekasih hakiki para pecinta sejati, kekasih-kekasih selain-Nya adalah jelmaan dari tajali-Nya. Cinta kepada tajalli-Nya dianggapnya sebagai cinta majazi yang secara vertikal menuju cinta sejatinya, yaitu Allah Swt. Para sufi percaya bahwa pada hakekatnya tidak ada suatu apapun kecuali eksistensi-Nya yang maha Esa. Semua makhluk adalah huruf-huruf yang terangkai indah dalam lembar wujud-Nya. Tintanya adalah cinta.
Cinta hanya bisa dipahami lewat pengalaman personal. Namun hakikatnya mustahil direngkuh hanya dengan sekali percobaan. Manusia tak mungkin mengarungi dan menggapai cinta sejati, karena cinta merupakan jalan tak berujung. Cinta tak pernah memuaskan pencandu yang selalu dicekik dahaga.
Besarkah pengaruh cinta? Demi cinta, subjek rela meniadakan dirinya sembari menganggapnya sebagai puncak kesempurnaannya. Laron yang mati akibat tersengat api lampu yang dipujanya. Semut ternggelam dan terbenam dalam gula yang dicintainya. Bagi sebagian orang, cinta lebih dari sekedar bernyawa. Karena itulah, mereka mengutamakannya atas kehidupan.
Ironis, insan-insan modern kini mencari cinta (baca: cinta ragawi). Demi itu, mereka memburu alat-alat kecantikan, menghamburkan uang demi mempermak hidung dan dagu atau dada, merawat kuku bahkan (maaf) merias kemaluan, mengukir tatoo, mendatangi butik-butik fashion, mengubah gaya bicara dengan ‘indolish’ dan menata bahasa tubuh. Inilah imagologi cinta yang justru mengamputasi cinta.

AIR MATA PEMADAM NERAKA

Rasulullah S.A.W telah bersabda, “Bahwa tidak akan masuk neraka orang menangis karena takut kepada Allah sehingga ada air susu kembali ke tempat asalnya.”
Dalam sebuah kitab Daqa’iqul Akhbar menerangkan bahwa akan didatangkan seorang hamba pada hari kiamat nanti, dan sangat beratlah timbangan kejahatannya, dan telah diperintahkan untuk dimasukkan ke dalam neraka. Maka salah satu daripada rambut-rambut matanya berkata, “Wahai Tuhanku, Rasul Engkau Nabi Muhammad S.A.W telah bersabda, barang siapa yang menangis karena takut kepada Allah S.W.T, maka Allah mengharamkan matanya itu ke neraka dan sesungguhnya aku menangis karena amat takut
kepada-Mu.”
Akhirnya Allah S.W.T mengampuni hamba itu dan menyelamatkannya dari api neraka dengan berkat sehelai rambut yang pernah menangis karena takut kepada Allah S.W.T. Malaikat Jibril A.S mengumumkan, telah selamat Fulan bin Fulan sebab sehelai rambut.”
Dalam sebuah kitab lain, Bidayatul-Hidayah, diceritakan bahwa pada hari kiamat nanti, akan didatangkan neraka jahanam dengan mengeluarkan suaranya, suara nyala api yang sangat dahsyat gemuruhnya, hingga semua umat menjadi berlutut karena tak sanggup menahan ketakutannya.
Allah S.W.T berfirman, “Kamu lihat (pada hari itu) setiap umat berlutut (yakni merangkak pada lututnya). Tiap-tiap umat diseru kepada buku amalannya. (Dikatakan kepadanya) Pada hari ini kamu dibalasi menurut apa-apa yang telah kau kerjakan.” (Surah al-Jatsiyah ayat 28)
Ketika mereka menghampiri neraka, mereka mendengar gemuruh api neraka yang suaranya sudah dapat mulai didengar sejarak 500 tahun perjalanan. Pada waktu itu, akan berkata setiap orang, bahkan para nabi sekalipun akan berucap, “Diriku, diriku (selamatkanlah diriku Ya Allah), kecuali hanya seorang nabi saja yang akan berkata, “Umatku, umatku.”
Beliau ialah junjungan besar kita Nabi Muhammad S.A.W. Pada masa itu akan keluarlah api neraka jahim seperti gunung-gunung, umat Nabi Muhammad berusaha menghalanginya dengan berkata, “Wahai api! Demi hak orang-orang yang solat, demi hak orang-orang yang ahli sedekah, demi hak orang-orang yang khusyuk, demi hak orang-orang yang berpuasa, supaya engkau kembali.”
Walaupun dikata demikian, api neraka itu tetap tidak segera kembali, lalu malaikat Jibril berkata, “Sesungguhnya api neraka itu menuju kepada umat Muhammad S.A.W”
Kemudian Jibril membawa semangkuk air dan Rasulullah meraihnya. Berkata Jibril A.S. “Wahai Rasulullah, ambillah air ini dan siramkanlah kepadanya.” Lalu Baginda mengambil dan menyiramkannya pada api itu, maka padamlah api itu. Setelah itu Rasulullah S.A.W pun bertanya kepada Jibril A.S. “Wahai Jibril, Apakah air itu?” Maka Jibril berkata, “Itulah air mata orang durhaka di kalangan umatmu yang menangis karena takut kepada Allah S.W.T. Sekarang aku diperintahkan untuk memberikannya kepadamu agar engkau menyiramkan pada api itu.” Maka padamlah api itu dengan izin Allah S.W.T.
Telah bersabda Rasulullah S.A.W, ” Ya Allah anugerahilah kepada kami dua buah mata yang menangis karena takut kepada-Mu, sebelum tidak ada lagi air mata.”