Laman

Sabtu, 30 Desember 2017

ILMU PEMBERSIH HATI


Ada sebait do’a yang pernah diajarkan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. do’a tersebut berbunyi : Allaahummanfa’nii bimaa allamtanii wa’allimnii maa yanfa’uni wa zidnii ilman maa yanfa’unii.
Dengan do’a ini seorang hamba berharap dikaruniai oleh-Nya ilmu yang bermanfaat.
Apakah hakikat ilmu yang bermanfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung mashlahat – memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, manfaat tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.
Oleh karena itu, dalam kacamata ma’rifat, gambaran ilmu yang bermanfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah. “Ilmu yang berguna,” ungkapnya, “ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya dan membuka penutup hati.” seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata,
“Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri.”
Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya, “Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al Kahfi [18] : 109).
Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah [58] : 11).
Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun.
Akan tetapi, walaupun hanya “setetes” ilmu Allah yang dititipkan kepada manusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan manfaat darinya.
Hal lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. “Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?” Sang guru menjawab, “Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih.” Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.
Karenanya, jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta’lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor.
Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar pada keburukan , maka sang ilmu tidak akan pernah menerangi hati.
Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak digunakan untuk menzhalimi sesama.
Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat. darimana pun ilmu itu datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudharat.
Sebaik-baik ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermanfaat.
Bila mendapat air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa menjadi “tawas”-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji bisa diserap seraya membawa manfaat.
Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Bila kita sedang mengkaji ilmu tertentu, luruskan niat dan bersihkan hati agar menjadikan rahmat bagi diri dan lingkungan serta selalu rendah hati
Dunia memang Allah halalkan bagi hamba-hamba Nya yang beriman. Namun janganlah berlebih-lebihan dan membuat hati terlalu cinta kepadanya. Bila pada zaman Nabi Ibrahim as , menyembah patung sebagai berhala , maka pada zaman sekarang bila tidak berhati-hati mengekang nafsu, cinta dunia akan menjadikan tumbuhnya berhala-berhala penghijab hati kita kepada Allah.
Demikian juga bila mendalami ilmu ma’rifat. Sekiranya dalam keadan hati kotor , akan membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain sesat. Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma’rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla.
Di sana kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.
Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita
Begitu luasnya rahmat serta kasih sayang Allah , dan jalan -jalan yang luas untuk meraih rahmat Nya , tidak menjadikan setiap golongan menjadi mengecilkan golongan lainnya
Subhanallaah, Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk semakin mampu mengenali kekurangan diri dan mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan guna menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya

Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu


Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.
– Q.S. Asy-Syuura [42]: 11
MAN ‘Arafa Nafsahu, Faqad Arafa Rabbahu. “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Rabb-nya”. Begitulah kurang lebih makna dari sabda Rasulullah SAW tersebut.
Kata-kata itu sangat masyhur di kalangan para penempuh jalan penyucian jiwa. Meski begitu, tidak semua orang meyakini kata-kata tersebut adalah sabda Rasulullah SAW. Sebagian bersikeras bahwa itu bukan hadits. Sebagian lagi mengatakan hadits itu dha’if, bahkan palsu.
Walau jarang terdapat di kitab-kitab hadits sunni, namun hadits ini—dengan teks yang sama—bisa kita dapatkan di kitab Misbah Syari’ah dari cicit Rasulullah SAW, Ja’far as-Shadiq. Rasulullah SAW menyampaikan kata-kata agung tersebut kepada sahabat Ali r.a., dan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ja’far as-Shadiq, yang memperolehnya dari jalur kakeknya, Ali r.a. Lisan agung Rasulullah SAW pernah menyampaikan kalimat itu pada sahabat Ali r.a., yang disebut Rasulullah SAW sebagai “gerbang dari ilmu-ilmu Rasulullah SAW”.
Apa maksud presisi kalimat tersebut? Seperti apa “mengenal diri” itu? Dan, bagaimana bisa dengan mengenal diri sendiri lalu menjadi mengenal Rabb? Apakah diri ini adalah Rabb? Apakah ini terkait dengan pantheisme—menyatunya wujud Tuhan dan wujud manusia?
Mari kita perhatikan sabda Beliau SAW tersebut. “Man ‘arafa nafsahu”. Siapa yang ‘arif akan nafs-nya—jiwanya. Sebenarnya bukan sekadar mengenal, tapi ‘arif. ‘Arif akan jiwanya. ‘Arif kurang lebih bermakna “sangat memahami”, “paham dengan sebenar-benarnya”.
Sedangkan dalam “faqad arafa rabbahu”, kata “faqad” berarti “maka pastilah”, atau “sudah barang tentu”. Ada kadar kepastian yang tercakup di sana, jauh lebih pasti derajatnya dari sekadar “akan”. “Faqad ‘arafa rabbahu”, berarti “maka pastilah akan ‘arif tentang Rabb-nya”.
“Siapa yang ‘arif akan jiwanya, maka pastilah akan ‘arif tentang Rabb-nya”, begitu kira-kira maknanya. Apa maksudnya?
Diri Kita yang Sejati
Diri kita yang sejati sesungguhnya bukan diri kita yang bisa dibedah dengan pisau bedah atau dengan berbagai teori psikologi kepribadian oleh para psikolog. Diri kita yang ini—yang jasadnya kita gunakan dalam interaksi, dalam bekerja, dalam berhubungan sosial dengan orang lain—sesungguhnya merupakan bentukan dari lingkungan, orangtua, pemikiran, norma, tren, atau paradigma yang ada di zaman kita masing-masing. Dengan kata lain, diri kita yang ini adalah hasil bentukan, dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi dan aspek psikis kita. Paduan komposisi dari semua itulah yang membentuk diri kita yang “jasadi”. Diri kita yang ini, meski unik, adalah diri yang semu. Ini bukan diri kita yang sesungguhnya, sebenarnya.
Sementara, yang dimaksud dan dipanggil Allah sebagai “diri” pada manusia, sejatinya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an. Nafs, dalam bahasa kita, adalah “jiwa”.
Nafs-lah (jamak: anfus, jiwa-jiwa) yang dipanggil dan disumpah Allah untuk mempersaksikan bahwa Allah adalah Rabb-nya.
وَإِذْ أَخَذَ رَ‌بُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِ‌هِمْ ذُرِّ‌يَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَ‌بِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka: “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab: “Betul, sungguh kami bersaksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak ingat terhadap ini.” – Q.S. Al-A’raaf [7]: 172
Nafs kita sudah ada bahkan sebelum alam semesta ada. Ia juga yang terus akan melanjutkan hidup di alam barzakh dan alam-alam berikutnya setelah kelak jasad kita dengan pikiran, hafalan dan semua gagasan yang menyertainya—dan semua dinamika psikis yang terkait dengannya—akan mati, lenyap, hancur terurai menjadi tanah.
Itulah sebabnya, akan sangat berbahaya jika kita memahami agama hanya berupa hafalan dalil dan konsep di kepala, namun tidak terpahami secara mengakar hingga ke jiwa. Seiring dengan hancurnya otak kita, maka semua konsep di dalamnya pun akan lenyap, sementara jiwa kita melanjutkan perjalanannya dengan tidak membawa apa-apa.
Nafs sendiri berbeda dengan hawwa nafs, atau yang biasa kita sebut hawa nafsu. Sebagaimana namanya, hawa nafsu adalah “hawa dari nafs”: hanya sekadar “hawa keinginan” dari jiwa. Hawa nafsu sesungguhnya adalah nafs yang palsu, karena keinginan-keinginannya sama-sama berasal dari dalam diri kita, sehingga kehendak hawa nafsu tidak mudah dibedakan dari kehendak jiwa.

Penunggang Kuda


Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang, pada hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda jika dibanding kecerdasan dan keindahan jiwa, sang pengendaranya.
Tentu, langkah awal untuk mengenal jiwa adalah dengan membebaskannya dulu dari waham, dari timbunan dosa, dari kungkungan sifat-sifat jasadi maupun dominasi syahwat dan hawa nafsu atas jiwa kita. Dalam bahasa agama, langkah ini disebut sebagai memulai perjalanan taubat—perjalanan kembali kepada Allah Ta’ala. Taubat berasal dari kata “taaba”, yang artinya kembali.
Sementara, alih-alih ‘arif akan jiwanya sendiri, sebagian besar manusia bukan saja belum mengenal jiwanya. Mereka bahkan belum bisa membedakan hawa nafsu dengan jiwanya sendiri, karena jiwanya sangat jauh terkubur dalam dosa dan sifat-sifat kejasadiahannya sendiri. Jiwanya sudah terlalu lemah karena tertimbun dosa-dosa membuatnya lumpuh, buta dan tuli, sehingga tak kuasa lagi untuk mengambil alih kendali atas kendaraannya sendiri—jasadnya. Pada umumnya, manusia sudah tidak lagi mampu membedakan mana suara hati nurani, mana kehendak hawa nafsu, mana keinginan syahwat, mana bisikan setan maupun mana kehendak jiwa. Semua terdengar sama saja di hatinya.
Tujuan Penciptaan Manusia
Terkait dengan tujuan penciptaan manusia, kita biasanya selalu merujuk pada ayat berikut,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku telah menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku. – Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56
Hanya sayangnya, kata “ya’bud” di sana biasanya hanya diterjemahkan sebagai “untuk beribadah”, dalam pengertian untuk melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan semacamnya. Tujuan penciptaan kita seakan-akan hanya untuk melakukan ibadah ritual formal. Dengan memahami makna kata “ya’bud” hanya seperti ini, maka pada akhirnya tujuan hidup manusia dipahami hanya sebatas untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dalam rangka seleksi untuk memasuki surga atau neraka saja.
Padahal, kata “ya’bud” di sana berasal dari kata ‘abid, kata benda yang bermakna hamba, budak, atau seorang abdi. Ya’bud, kata kerja, bermakna “menjadikan diri sebagai hamba”, atau tepatnya adalah “mengabdi”. Itulah tujuan penciptaan kita: untuk melaksanakan sebuah pengabdian—bukan sekadar untuk beribadah.
Mengabdi, dalam tataran pengertian yang paling luar dan paling sederhana, bagi umat Rasulullah Muhammad SAW adalah melakukan apa saja yang diperintahkan dalam koridor syariat yang dibawa oleh Beliau. Kita melakukan shalat, puasa, zakat dan semacamnya—kita “beribadah”. Namun, dalam tataran yang lebih dalam, yang dimaksud “ya’bud” (mengabdi) di sini bukan semata-mata sekadar ritual ibadah formal.
Mengabdi, sebagaimana apa yang dilakukan seorang ‘abid, adalah melaksanakan perintah tuannya. Dan kebaktian yang tertinggi seorang ‘abid pada tuannya, adalah menjalankan perannya untuk tuannya, sesuai dengan hal terbaik yang mampu dilakukannya. Seorang hamba akan mempersembahkan kemampuan dan karyanya yang terbaik untuk tuannya—atau tepatnya, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya atas nama tuannya. Inilah inti dari menjadi seorang hamba: melaksanakan sebuah pengabdian untuk tuannya.

*DETIK-DETIK WAFATNYA SITI KHADIJAH, ISTRI TERCINTA RASULULLAH*


Siti Khadijah adalah istri pertama Rasulullah. Orang yang pertama kali beriman kepada ALLAH dan kenabian Rasulullah. Orang yang sangat berjasa bagi dakwah Rasulullah dan penyebaran agama Islam.
Siti Khadijah wafat pada hari ke-11 bulan Ramadlan tahun ke-10 kenabian, tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Khadijah wafat dalam usia 65 tahun, saat usia Rasulullah sekitar 50 tahun.
PERMINTAAN TERAKHIR
Diriwayatkan, ketika Khadijah sakit menjelang ajal, Khadijah berkata kepada Rasululllah SAW,
Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu.
Jauh dari itu ya Khadijah. Engkau telah mendukung dawah Islam sepenuhnya, jawab Rasulullah
Kemudian Khadijah memanggil Fatimah Azzahra dan berbisik,
Fatimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku.
Mendengar itu Rasulullah berkata,
Wahai Khadijah, ALLAH menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga.
Ummul mukminin, Siti Khadijah pun kemudian menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuan Rasulullah. Didekapnya istri Beliau itu dengan perasaan pilu yang teramat sangat. Tumpahlah air mata mulia Beliau dan semua orang yang ada disitu.
KAIN KAFAN DARI ALLAH
Saat itu Malaikat Jibril turun dari langit dengan mengucap salam dan membawa lima kain kafan. Rasulullah menjawab salam Jibril dan kemudian bertanya,
Untuk siapa sajakah kain kafan itu, ya Jibril?
Kafan ini untuk Khadijah, untuk engkau ya Rasulullah, untuk Fatimah, Ali dan Hasan jawab Jibril. Jibril berhenti berkata dan kemudian menangis.
Rasulullah bertanya, Kenapa, ya Jibril?
Cucumu yang satu, Husain tidak memiliki kafan, dia akan dibantai dan tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan sahut Jibril.
Rasulullah berkata di dekat jasad Khadijah,
Wahai Khadijah istriku sayang, demi ALLAH, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. ALLAH maha mengetahui semua amalanmu.
"Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu.
"Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?
Tersedu Rasulullah mengenang istrinya semasa hidup.
Seluruh kekayan Khadijah diserahkan kepada Rasulullah untuk perjuangan agama Islam. Dua per tiga kekayaan Kota Mekkah adalah milik Khadijah. Tetapi ketika Khadijah hendak menjelang wafat, tidak ada kain kafan yang bisa digunakan untuk menutupi jasad Khadijah.
Bahkan pakaian yang digunakan Khadijah ketika itu adalah pakaian yang sudah sangat kumuh dengan 83 tambalan diantaranya dengan kulit kayu.
Rasulullah kemudian berdoa kepada ALLAH.
Ya ALLAH, ya Ilahi Rabbi, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam. Mempercayaiku pada saat orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menentramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah. Oh Khadijahku sayang, kau meninggalkanku sendirian dalam perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?
Tiba-tiba Ali berkata, Aku, Ya Rasulullah!
PENGORBANAN SITI KHADIJAH SEMASA HIDUP
Dikisahkan, suatu hari ketika Rasulullah pulang dari berdakwah, Beliau masuk ke dalam rumah. Khadijah menyambut, dan hendak berdiri di depan pintu. Ketika Khadijah hendak berdiri, Rasulullah bersabda,
Wahai Khadijah tetaplah kamu ditempatmu.
Ketika itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi.
Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makananpun tak punya. Sehingga ketika Fatimah menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Darahlah yang masuk dalam mulut Fatimah r.a.
Kemudian Beliau mengambil Fatimah dari gendongan istrinya lalu diletakkan di tempat tidur. Rasulullah yang lelah seusai pulang berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah.
Rasulullah tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Rasulullah dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah. Beliau pun terjaga.
Wahai Khadijah Mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad? tanya Rasulullah dengan lembut.
Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?" lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.
Wahai suamiku. Wahai Nabi ALLAH. Bukan itu yang kutangiskan." jawab Khadijah.
"Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya.
"Wahai Rasulullah. Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah. Sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyebrangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyebarangi sungai namun engkau tidak memperoleh rakit pun atau pun jembatan.
"Maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyebrangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu.
"Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam, wahai Rasulullah.
Karena itu, peristiwa wafatnya Siti Khadijah sangat menusuk jiwa Rasulullah. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ketika itu karena dua orang yang dicintainya yaitu istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib telah wafat.
Tahun itu disebut sebagai Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah.
Ilaa hadlratin Nabiyyil musthafa, wa ilaa Khadijah al Kubra, al Fatihah.

Arif akan nafs, ‘Arif akan Tujuan Penciptaan Diri


Masing-masing manusia mempunyai sebuah fungsi spesifik, sebuah peran yang harus dilakukannya atas nama Allah, yang menjadi alasan penciptaannya. Dengan kata lain, untuk tugas itulah seorang manusia diciptakan. Dan, jika ia berhasil menemukan tugasnya itu—yang pengetahuan tentang ini ada dalam jiwanya—maka ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Tugas tersebut, atau amal tersebut, atau tepatnya—pelaksanaan pengabdian tersebut—akan Allah mudahkan baginya.
Dari Imran r.a., saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah SAW menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” – H.R. Bukhari no. 2026
“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau SAW menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.” – H.R. Bukhari no. 1777
Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan bagimu. – Q.S. An-Nahl [16]: 69
“Tiap-tiap diri”, sabda Rasulullah SAW. Spesifik. Setiap orang. Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang paling hakiki, yang sesungguhnya, yang sesuai dengan fungsi kita diciptakan. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.
أَلَمْ تَرَ‌ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ وَالطَّيْرُ‌ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan. – Q.S. An-Nuur [24]: 41
Inilah pengabdian hakiki seorang hamba pada Rabb-nya: melaksanakan pengabdian dengan cara menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan “misi hidup’ atau “tugas kelahiran”.
Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dimilikinya—melaksanakan tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allah Ta’ala. Ia menyampaikan khazanah Rabb-nya bagi alam semestanya.
Inilah fungsi hakikinya sebagai manusia: menjadi “perpanjangan tangan Allah” untuk memakmurkan alam semestanya sendiri. Inilah makna sesungguhnya dari kata “khalifah”: pemakmur, bukan semata-mata penguasa.
‘Arif akan nafs, sesungguhnya sama artinya dengan memahami alasan penciptaan kita dan amal tertinggi kita: untuk tugas dan peran apa kita diciptakan. ‘Arif terhadap nafs sama dengan memahami sepenuhnya misi hidup kita dan melaksanakannya.
Jadi, itulah makna “Man ‘Arafa Nafsahu”: siapa yang ‘arif akan nafs-nya, pada dasarnya sama artinya dengan “siapa yang memahami tujuan penciptaannya”.
Ksatria
Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dimilikinya, melaksanakan tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allah Ta’ala.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabrani tentang ke-’arif-an seorang mukmin:
Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan, suatu ketika Rasulullah SAW sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah al-Anshari r.a.
Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana keadaanmu pagi ini, ya Haritsah?”
Haritsah menjawab, “Pagi ini hamba telah menjadi mu’min yang haqq (mu’min haqqan)”.
RasulullahSAW menjawab, “Pikirkanlah dulu apa-apa yang akan engkau katakan, sebab segala sesuatu ada hakikatnya (fa inna likulli syay’in haqiqatan). Lalu apa hakikat [yang Allah tampakkan sebagai bukti] dari keimananmu itu (fa ma haqiqatu imanika)?”
Jawabnya, “Jiwa hamba sudah lepas dari dunia. Hamba berjaga di malam hari (untuk beribadah), dan hamba kehausan di siang hari (karena berpuasa). Dan sekarang hamba melihat arsy Rabb hamba dengan nyata. Dan sekarang hamba melihat para ahli surga saling mengunjungi, dan hamba melihat para ahli neraka menjerit-jerit di dalamnya.”
Dan berkata Rasulullah SAW “Engkau telah ‘arif (‘arafta), ya Haritsah. Maka jagalah keadaanmu itu.”
– H. R. At-Thabrani
Faqad ‘Arafa Rabbahu
Lalu apa hubungan ‘arif akan nafs dengan ‘arif akan Rabb?
Makna “Rabb” tidak otomatis sama dengan kata “Allah”. Sedikit berbeda dengan makna Allah sebagai “ilah” (sembahan, tempat penghambaan), makna Rabb adalah pangkat, peran Allah Ta’ala dalam memelihara—menjaga, memberi rizki, melindungi, memakmurkan—seluruh semesta alam-alam. Pendek kata, “Rabb” adalah sebutan bagi Allah dalam fungsi rububiyah-Nya. ‘Arif akan Rabb adalah ‘arif akan peran Allah Ta’ala dalam menghadapkan wajah-Nya pada makhluk.
Ketika seorang hamba telah menemukan tujuan penciptaan dirinya, lalu melaksanakan hal terbaik yang bisa dilakukannya sebagai sebuah pengabdian kepada Allah dan atas nama Allah, maka pada hakikatnya ia sedang menolong Allah dengan hal terbaik yang bisa ia lakukan. Dan barangsiapa yang menolong Allah, maka Allah pun pasti akan menolongnya pula.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُ‌وا اللَّـهَ يَنصُرْ‌كُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. – Q.S. Muhammad [47]: 7
Apa pertolongan Allah yang terbesar pada seorang hamba? Yaitu dengan senantiasa memberi petunjuk pada si hamba tanpa henti-hentinya, baik diminta ataupun tidak. Dengan demikian, si hamba menjadi termasuk ke dalam golongan orang-orang Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung).
أُولَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّ‌بِّهِمْ ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya. Merekalah Al-Muflihun. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 5
Petunjuk yang tiada henti-hentinya ini adalah untuk mengukuhkan si hamba tetap dalam shirath Al-Mustaqim, jalan yang lurus, jalannya “orang-orang yang diberi nikmat”. Dengan demikian, si hamba memperoleh apa yang selalu diminta dalam setiap rakaat shalatnya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَ‌اطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَ‌اطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ‌ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan: tunjukilah kami ke Shirath Al-Mustaqim, jalan mereka yang kepadanya Engkau anugerahkan nikmat, bukan jalannya mereka yang sesat. – Q.S. Al-Fatihah [1]: 5-7
Setelah si hamba kukuh menapaki shirath Al-Mustaqim-nya, maka barulah ia akan mengenal Rabb-nya, karena sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an,
إِنَّ رَ‌بِّي عَلَىٰ صِرَ‌اطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shiratim-Mustaqim. – Q.S. Huud [11]: 56
Inilah makna kalimat Rasulullah SAW “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”: barangsiapa yang berhasil memahami tujuan penciptaannya (yang pengetahuan itu tersimpan dalam nafs-nya), maka ia akan Allah tetapkan di dalam shirath Al-Mustaqim-nya (sehingga ia akan mengenal Rabb-nya sejak di dunia ini, karena Rabb ada di atas Shirath Al-Mustaqim).
Resume
Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Barangsiapa yang berhasil memahami tujuan penciptaannya, maka ia akan Allah tetapkan di dalam Shirath Al-Mustaqim-nya {sehingga ia akan mengenal RABB-NYA}

Ujub

Satu langkah yang sukar untuk menjadi
orang baik ialah untuk mampu merasakan
" orang lain lebih baik dari kita " ...
Iblis banyak ibadahnya , tetapi apabila
merasa ia lebih baik daripada Adam as
maka ia terhina sehina - hinanya ....

Solat , zikir , solawat , sedekah dan
lain - lain ibadah itu adalah terpuji selagi
kita merasakan ia datang daripada
Allah atau taufik dan hidayah dari Allah ..
atau ia semata - mata datang dari
qudrat dan iradat Allah ..
Tetapi ia akan " terkeji " apabila dirasakan
ia datang dari kekuatan diri sendiri ..
( tiada daya upaya melainkan dengan
izin Allah ) ..
Wahai diri !!! .. sebaik sahaja engkau
merasa dirimu terbaik ( ujub ) maka
ketika itulah kau telah jatuh ketempat
paling rendah umpana iblis jatuh
dari singgahsana kemuliaannya ..
Ribuan rakaat solat , ribuan kali solawat
hanya akan menjadi debu yang
berterbangan hanya kerna sedetik
engkau merasakan dirimu yang
terbaik ( ujub )
p/s .. ibrahim Arun dan qalbu mukmin
baitullah itu " satu " juga adanya ..

Wahai diri !


ketika engkau dgn baju " kehambaan "
ketika itu engkau digelar " syariat " ...
Dan ketika engkau dgn baju " ketuhanan "
ketika itu engkau digelar " hakikat " ...
Dirimu yang zahir itu " syariat " dan
dirimu yg bathin itu adalah " hakikat " ...
diri mu yang zahir itu muhammad ..
dan bathinmu tuhan ...
Dirimu yang zahir menyatakan yg bathin ..
Muhammad menyatakan Allah ....
Kelakuan@perbuatanmu itu merupakan
penzahiran@iradat diri yg bathin
yakni hakikat insan@sifatullah yang
menjadi " hayat " pada muhammad ia itu
diri zahirmu ...
dan ....,
ketika engkau sudah mengenal diri ,
" hingga tidak terlihat adanya diri "
karamlah engkau dalam QUDRAT dan
IRADATNYA ...
Maka erti atau hakikat hidupmu adalah :
" MENYATAKAN ALLAH

AKU , DIA , KAMU dan KITA


semua " SATU " jua adanya ....
Orang - orang arif menghormati dan
merendahkan diri kepada orang - orang
bertakabbur dan bermegah - megah
dalam dunia ini kerana pada pandangan
mereka sifat - sifat itu adalah sifat Allah
yang tertajjali pada orang tersebut ,
bukan kerana mereka hormat kepada
diri orang bertakabbur dan bermegah -
megah itu ..
Dalam hal ini " siarif " itu menyaksikan
yang haq ( yakni Allah ) dalam semua
perkara , mereka menyaksikan
sifat - sifat Allah pada mereka yang
zalim dan takabbur , bukan memandang
pada diri atau entiti mereka yang
zahir itu ......

Begitu juga siarif ini akan menundukkan
kepala tanda hormat kepada orang
yang lain , juga kepada sesama mereka
sendiri .., Pada hakikatnya mereka
tunduk kepada Allah juga ...
Kerna Allah jua sebenarnya wujud
sedangkan selain Allah tidak wujud pada
hakikatnya ...
Bagi orang - orang yang tidak berjalan
dalam " hakikat " suka benarlah ia kalau
ada orang menundukkan kepala tanda
hormat kepadanya , mereka berasa
diri mereka berkedudukan tinggi dan
mulia sifat tinggi dan mulia itu dianggapnya
sifatnya sendiri , ..
meeka terhenti memandang pada diri ,
mereka tidak sedar yang mereka bersifat
binasa , lebur , fana atau tiada ...
mereka tidak " merasa " semuanya
afaal Allah , dari Allah , milik Allah
dan kepada Allah ....
Apabila " siarif " itu tunduk hurmat
kepada seseorang , maka berbuat
deminkian ia lah kerana mereka
memandang kebesaran , kemuliaan
dan keagungan Allah , bukannya kerana
memandang seseorang itu ada bersifat
besar dan mulia ...
seseorang itu tidak ada sifat besar dan
agong , yang ada ialah sifat besar dan
agongnya Allah yang dizahirkan
melalui orang itu ...
Pada pandangan yang " arif billah
( orang - orang yg kenal Allah )
orang tersebut tidak bersifat deminkian .
Yang ada hanya Allah , sifat yang dizahirkan
oleh orang -orang yg sombong dan
bangga diri itu adalah sebenarnya
sifat Allah belaka .. Orang itu tidak ada
ujud hakiki ...
SELAIN ALLAH TIDAK ADA UJUD HAKIKI
YANG TIDAK ADA UJUD HAKIKI , TIDAK
ADA BAGINYA SIFAT SENDIRI ...
Oleh yang deminkian siarif billah itu
sebenarnya ruku' kepada Allahswt
sahaja .. tidak kepada yang lain ...

SYETAN LAGIIIIII ! HAHAHAHA ....


kita semua sudah mengetahui
syetan itu musuh yang nyata...
Namun sebenarnya syetan itu tidak
berkuasa " kecuali dengan izinNYA ....
Namun awasi lah " nafsu " mu , kerana
nafsu itu datang dari dirimu sendiri ....
Siapakah yg dimaksudkan dengan
diri sendiri ?
Diri sendiri itu adalah ruh kepada kita ..
berkata ahli sufi yang amat masyur bergelar
" hujatul islam " imam al - gazali ....
" RUH , NAFSU , JIWA DAN AKAL itu
" satu " jua adanya " ...
Pada hakikatnya RUH , namun ketika ia
dalam keadaan tenang JIWA namanya ...
ketika ia dalam keadaan berfikir AKAL
namanya ...
Dan apabila ia dlam berkeinginan
sesuatu NAFSU namanya ....
Jadi yg berbuat kebaikan&keburukan itu ada lah
berkeinginannya nafsu@ruh ...
siapa pula RUH ?
Ruh itu adalah diri sebenar diri ia adalah
rahasia ketuhanan yg menjadi sifat kepada
wajibul wujud ...sifat dan zat tidak terpisah ,
umpama pelita dengan cahaya ..
umpama gula dengan manisnya ..
umpama wap dengan air panas ...
wap bukan air panas tetapi tidak lain
( berasal ) dari air panas ....
Berkehendaknya ruh kerna berkehendak
Allah swt....
Dalam surah as- saffat , 96..firman:
" Allah mencipta kamu dan apa - apa
yang kamu perbuat "
manakala dalam suatu peperangan ( badar )
dimana nabi telah melepaskan beribu - ribu
anak panah kearah musuh , pada
peristiwa itu turunlah ayat ( q.s.an-anfaal 17 )
bermaksud :
" tidak lah engkau yg memanah wahai
muhammad tetapi Allah lah yg memanah "
Kesimpulannya : -
pada zahirnya syetanlah punya angkara
tetapi pada hakikatnya " qudrat&iradat "
Allah yang berlaku ...
( BARANG SIAPA MEMANDANG ADA
MAKHLUK YANG MAMPU BERBUAT
" BERKUASA " MELAKUKAN SESUATU
SELAIN ALLAH MAKA TIADA LAH IA
SAMPAI KEPADA MAKRIFAT@TERHIJAB
LAH IA KEPADA ALLAH SWT )

JANGAN SEWENANGNYA MEMBUAT TUDUHAN ...


Jadilah separti " hujatul islam "
Imam al - gazali ..
Beliau berkata :
" janganlah menuduh seseorang itu
sesat dan menyesatkan sehingga kamu
ikuti dan mempelajari sedalam - dalamnya
apa yang kamu telah tuduh itu "
Imam al - gazali sufi besar yang tersohor
itu pada mulanya cenderung pada
syariat / fekah , namun bila ia tidak
faham tentang sufi , dia tidak terus
menghentam mereka , sebaliknya
dia mengikuti / mendalami mereka
untuk mengetahui dengan
sejelas - jelasnya ...
Dan pada hujungnya " hujatul islam " itu
membenarkan perjalanan orang - orang
sufi bahkan kekal menjadi seorang
sufi hingga keakhir hayatnya ..
Siapa lah kita ilmu baru setitik berbanding
hujatul islam itu ( yg digelar lautan ilmu )
dengan mudah mengatakan begitu
dan begini ?
Al - gazali yang diiktiraf dunia islam
sebagai " mujaddid " abad ke 5 itu
telah menulis bertus kitab ilmu .
Namun sebahagian kitabnya bersama
beribu - ribu lagi naskah kitab - kitab
karangan ilmuan islam yang lain telah
dibuang disungai furat oleh tentera
monggol ketika menakluki baghdad ..
sehingga dicatatkan dalam sejarah
sungai furat bagaikan dibanjiri darah
hitam lantaran dakwat yang tertanggal
dari kitab - kitab yg amat beharga itu ...
Ada yg berkata mujaddid itu diatas
para wali dan dibawah amirul mukminin
khalifah yg empat itu ....
kesimpulannya berhati -hatilah dan
jangan semberangan menuduh
seseorang itu sesat dan menyesatkan..
contohi lah Al- gazali dari seorang
ahli fekah beralih menjadi sufi besar
kerana sikapnya yg berlapang dada
sebelum berkata begitu dan begini ...

MENYUSUR JALAN PULANG .... MELALUI PINTU NUR MUHAMMAD ....


Nur muhammad adalah makhluk pertama
yang diciptakan oleh Allah swt yang
kemudian menjadi DASAR TERCIPTANYA
SELURUH ALAM SEMESTA ...
Diriwayatkan dari Abdurrazak ra yang
diterimanya dari jabir ra , bahawa jabir
pernah bertanya kepada rasulullah saw :
" ya rasulullah , beritahu lah kepada ku
apakah yang mula - mula sekali Allah
jadikan ? Rasulullah saw menjawab :
" sesungguh Allah ciptakan sebelum adanya
sesuatu adalah nur nabimu dar nurnya ....
2 / PENCIPTAAN NUR MUHAMMAD YANG
DIMAKSUDKAN OLEH HADIS TERSEBUT
BUKANLAH SEPARTI DARI SESUATU
MENJADI SESUATU , " TETAPI IA
TERBIT DARI ZAT MAHA MUTLAK
ALLAH SWT SENDIRI ...
Jadi faham lah kita zat yang maha mutlak
yang bwrsifat RAHASIA menjadi
nur muhammad disebut juga sebagai
hayat@hidup yg bersifat maha suci
atau sebagai " bapa segala ruh " yang
belum " berbentuk " .....
3 / kemudian daripada nur muhammad
itulah menjadi ruh sekalian manusia ...
4 / Jadi ruh pada manusia tidak lain
dari zat yang maha mutlak juga kerana
berasal dari nur muhammad yang tidak
lain adalah terbit dari zat yang maha mutlak ..
jadi ibaratkan : -
zat maha mutlak ibarat KAPAS ..
nur muhamad ibarat BENANG ...
Ruh ibarat KAIN .....
5 / Ketika dalam kandungan ibu
ruh@hayat@hidup itu
" menyatu dengan jasad " dan pada
ketika itu ia disebut nywa atau
nafs / jiwa , pada ketika ini hanya sebagai
istilah ruh berasal dari nur muhammad itu
sudah berbentuk ( sebenarnya ruh itu
bukan didalam atau diluar jasad )
6 / nafs / jiwa itulah yg memiliki
fikiran , perasaan , akal dan ia juga
memiliki penglihatan ( mata )
pendengaran ( telinga )
perasa ( lidah )
( JADI RUH MENYATU DENGAN JASAD
DAN MENGHIDUPKAN JASAD )
seterusnya menjadi nyawa , nafs / jiwa
pada tubuh@jasad dan menjadi tubuh
memiliki panca indera untuk
mendapat hidup dan berinteraksi ....
kata syekh Muhammad saman al -madari :
" sebenar-benar ruh adalah nafs / jiwa ...
sebenar - benar nafs / jiwa ada lah turun
naik nafas , dan turun naik nafas itu
adalah sir / rahasia dan yg dikatakan
sir/rahasia itu adalah nur muhammad ...
Ketika ruh dibungkus dengan jasad
dan pada ketika itu sudah mnjadi nyawa
pada manusia da ia juga menjadi
nafs / jiwa maka ia memiliki 7 tingkatan
nafsu...
1/ nafsu amarah 2 / nafsu lawamah
3 / nafsu mulhamah 4 / nafsu mutmainnah
5 / nafsu rodiah 6 / nafsu mardiah
dan yg ke 7 nafsu kamaliah ....
disamping perasaan , khayali kebaikan
atau keburukan dan " keakuan " yg
merupakan hijab terbesar ........
7 / deminkianlah maka untuk mencapai
tingkat muncullah guru - guru mursyid
dengan bbrp thorikat umpama qadariah
naksabandiah , sazaliah dan banyak lagi
serta dengan zikir - zikir tertentu , kerana
" zikir " itu dapat meleburkan nafsu amarah
seterusnya hingga mencapai nafsu mutmainnah
dan ketingkat seterusnya kamaliah ...
ketika berthorikat ( zikir ) dan mencapai
nafsu mutmainnah itu lah nafs / jiwa mencapai
sifat - sifat terpuji umpama sabar , zuhud
tawakkal , redha dan sebagainya ...
kebersihan jiwa itulah membuka hijab
" makrifatullah " disamping tunjuk ajar
guru mursyid , terbuka hijab dengan
ilmu laduni .....
8 / seterusnya ketika mencapai makrifat
maka " kenal lah ia dirinya "
berserah diri .. lenyap keakuan ...
dan seterusnya mencapai fana .....
fana yg ada hanya Allah ...
kembali kepada fitrah ......

ANA AL - HAQ ...


Ahli sufi mansyur Al - hallaj telah
menasihati khadam dan anaknya
kata beliau ::
" jangan tunduk kepada hawa nafsumu ,
jika kamu tunduk kepadanya ia akan
mempengaruhi kamu supaya berbuat
dosa dan maksiat ...
Dan dunia ini mencari kehidupan berakhlak
tetapi kamu cari lah hidup " ketuhanan "
dan itu adalah lebih baik ...
Walau pun sikit kamu mendapat ilmu
ketuhanan itu , maka ianya adalah
lebih baik dari semua amalan yang
dilakukan oleh manusia dan malaikat ....
dan ingat !
selagi seseorang itu didalam
" kesedaran panca inderanya "
jangan sekali - kali menyebut
" ana al - haq " ( aku lah kebenaran )
sama ada dilisan mahu pun dihati ,
kerana selagi ia manusia ,
ia bukan lah tuhan , jika menyebut
perkataan itu ia adalah palsu dan bidaah ...
2 / Al - hallaj ahli sufi yang kontraversi
dengan ucapan " ana al - haq " itu dituduh
sesat dan menyesatkan ..
Akhirnya ia dihantar ketiang kematian
lantaran ana al - haq nya itu ...
beribu - ribu ulama menuduh beliau
sesat dan menyesatkan namun
beribu - ribu juga ulama mengatakan
beliau ( al - hallaj ) itu benar ....
Dari beribu - ribu ulama yang membelanya
termasuk sulthanul awliya
( penghulu segala wali ) syekh abdul qader
jelani ....
berkata syekh abdul qader jelani :-
" seandainya aku ada dizaman Al - hallaj
dibunuh , maka aku lah yang menurunkan
dia dari " tiang kematian " itu dan
mencegah orang - orang dari
membunuhnya ....

W U J U D

UJUD bermaksud " ada " , yang ada
hanya Allah , sedangkan makhluk ibarat
" fatamorgana " , yakni ujud fana' atau
binasa ....
Ketika kita menyedari yang ujud@ada
hanya Allah , ketika itu kita mengetahui
1 / yang ada@Allah yang hidup
sedangkan makhluk bersifat mati ..

2 / yang ada@Allah itu lah yang berkuasa
sedangkan makhluk itu tak berdaya ...
3 / yang ada@allah itulah yang berilmu
sedangkan makhluk jahil ...
4 / yang ada@Allah itu lah yg beriradat
sedangkan makhluk itu hampa ...
5 / yang ada@Allah itulah yg mendengar
sedangkan makhluk itu tuli / pekak ..
6 / Yang ada@allah itulah yang berkalam
sedangkan makhluk bisu ..
7 / yang ada@Allah itu lah yang melihat
sedangkan makhluk itu buta ...
Maka orang - orang yang arif itu
dikurniakan " mata hati " yang tajam ,
ia dapat melihat kedalam diri , segala
sifat 7 ( sifat maani ) itu ada lah
" penzahiran " atau " penyata " bagi
Allah yg merupakan rahasia pada
manusia ..
Jasad itu yang menanggong rahasia
( amanah ) Allah . ketika ia menanggong
rahasia itu ia digelar manusia@insan
dan ini telah dijelaskan dalam hadis qudsi
" insan rahasia ku , aku rahasianya "
dan dalam surah al - ahzab 3 : 72
Allah berfirman :
" sesungguhnya kami telah menawarkan
suatu amanah kepada langit , bumi
dan gunung , tetapi mereka enggan
memikulnya , dan mereka tidak sanggup
lalu hanya manusia sahaja yg menerima .

Setelah amanah ( rahasia Allah ) diterima
oleh manusia ( diri bathin@ruh ) untuk
tujuan ini maka ADAM dizahirkan dan
sampai alam ini mengalami kiamat maka
rahasia itu kembali kepada Allah ..
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAAJIUN
Maksudnya kita berasal dari Allah
akan kembali kepada Allah ...
Aku akhiri dengan mutiara hikmat dari
sufi besar hujatul islam yang bergelar
" lautan ilmu " imam al - gazali ..
" KENALI DIRI MU NISCAYA KENAL
TUHANMU "



AKU

Janganlah mencari " aku "
sesungguhnya aku bukannya hilang ..
tetapi kenali lah " aku "
kerna aku sangat dekat padamu
dekat mata hitam dan puteh malah
" aku " lebih dekat dari itu ..
antara kita jauh tidak berjarak
dan dekat tidak bersentuh ...
" Aku " meliputi dirimu dan segala sesuatu ...
Kenali lah " aku " , aku berada diqalbumu ..
aku lah yang berqudrat dan iradat
keatas mu ...

" Aku " tajjali sifat 7@ sifat maani
pada jasadmu ....
DIDALAM DADA ADA QALBU ...
DIDALAM QALBU ADA RASA .....
DIDALAM RASA ADA RAHASIA ...
DIDALAM RAHASIA TERSIRAT " A K U " .....

MATA HATI / RASA ....


Memandang ( mengenal ) Allah itu bukan
dengan mata zahir tetapi dengan
" mata hati " ...
Apakah yang dimaksudkan dengan
" mata hati " ? mata hati itu bermaksud
memandang dengan " rasa " , mata hati itu
adalah " rasa " kepada kita ...
Lihatlah gunung itu , Allah meliputi gunung itu.
Runtuhkan lah gunung itu ( binasa ) ..
setelah gunung itu runtuh ( binasa ) dan
bekas runtuhan gunung@ ruang kosong ,
maka ia ( yg meliputi ) itu tetap " ada "
disitu ...
Pandang lah gunung itu dengan matahati
hanya matahati / merasa " ada " nya
dibalik gunung itu .....

2 / Gunung itu berasal dari nur muhammad
segala sesuatu itu berasal dari
nur muhammad , jika ada nur muhammad
maka pasti ada nurallah..
Pandang gunung kepada nur muhammad
dan nur muhammad kepada nurallah ...
ini lah dikatakan " ushul makrifat "..
kalau sudah kenal nur muhammad
memandang apa sahaja pun maka
Allah juga yg dipandang .....
Tetapi kunci semua itu selaraskan dulu
matamu dengan " pandangan Allah "
MANA MUNGKIN MAKHLUK MELIHAT
ALLAH ... Allah itulah yg melihat sedang
makhluk itu bersifat buta ....
Maka kenali diri mu , kenali erti fana'
kerana ketika fana' hanya Allah yang ada ..
dengan deminkian separti dalam istilah
" HANYA ALLAH MELIHAT ALLAH "...

MENGENAL DIRI / DIRI BATHIN


Kita selalu merujuk diri kita sebagai
" aku " .. kita berkata ini " ini aku "
" ini aku punya " , " ini jasad aku "
" nama aku " , tetapi sebenarnya siapakah
aku itu ?

Sebenarnya " aku " kita ini adalah ruh kita ,
bukan badan kasar kita ( jasad )..
Sekiranya tiada ruh badan kita hancur
binasa , ruh ini hidup dan tidak akan mati ..
Ruh ini limpahan dari yang maha hidup ,
Dia mempunyai sifat hidup , maka hidup
lah ruh , hidup ruh atas limpahannya jua ..
Ruh ini juga digelar " bayang " yang
maha hidup , ruh itu adalah bayang dari
yang punya bayang , yang punya bayang
itu Allah dan ruh kita adalah umpama
" bayangan " Allah itu ...
Aku ruh sangat hampir dengan Allah ,
Aku dengan Allah tidak bercerai dari
dulu kini dan selamanya ..
ibarat OMBAK TIDAK BERCERAI
DENGAN LAUT ...
Aku adalah sinaran dari " matahari ketuhanan "
Aku hanya lah satu ombak dari lautan
( arrahman )..
Aku itu adalah RUH , ruh itu adalah diri ,
Aku tidakb tertakluk pada ruang dan
waktu..
Aku bukan tua atau muda , tua atau muda
itu hanya bagi jasmani dan keadaan didunia
sahaja.....
Ruh tercipta serentak sekali gus kemudian
itu lahir kedunia melalui rahim ibu dengan
badan kita sebagai sangkar atau sarungnya ..
Ia dilahirkan kedunia menurut masa yang
ditentukan , siapa yang ditaqdirkan
lahir dahulu ia lah yang tua dan siapa yang
lahir kemudian dia lah yang muda ,
dari segi kebadanan atau fizikal ada tua
dan muda tetapi dari segi ruh sebaya sahaja .
Aku juga bukan tertakluk kepada bangsa
Aku atau ruh bukan berbangsa itu
atau berbangsa ini , bangsa - bangsa itu
hanya wujud dalam dunia nyata ini ...
Dialam " aku " tiada bangsa - bangsa...
aku adalah " penzahiran " sifatNYA ,
deminkian aku tenggelam dalam yang
maha aku ( ia itu Aku ia itu Allah swt )
Badan kita ini berasal dari unsur - unsur
tanah , api , air dan angin.. tetapi aku
bukan unsur-unsur itu , aku berasal dari
tempat yang lebih mulia , aku berasal dari
yang maha aku ( alam ahdah )
Aku dan alam semesta adalah
" penzahiran Allah " , aku ini adalah
alam kecil ( sogir ) dan semua perkara yang
ada dalam alam besar ( qabir ) ini adalah
salinannya atau penzahiran dalam alam
kecil.. alam semesta ini digelar alam
( insan qabir ) kerna semua yang ada dalam
sogir ada kenyataannya dalam alam
besar ( qabir )...
Dalam alam dunia ini kita katakan sianu
dari bandar , sianu dari kampung , sianu
berada dalam pejabat atau rumah , itu semua
menunjukkan tempat dalam alam nyata..
tetapi bagi ruh itu semua tidak ada , ia bebas
dari tempat dari arah atau masa atau waktu ..
ruh bukan dalam badan atau diluar badan ...
Aku ruh berasal dari ilahi tidak bercerai
walaupun seinci atau sesaat , aku tetap
bersama setiap masa denganNYA ..
dan akan datang pun akan bersama
denganNYA
Aku tidak takut mati ( berpisah nyawa dari
badan ) kerna mati itu hanyalah perpindahan
alam , dari alam dunia kealam barzakh ..
Aku tetap aku juga , walaupun jasad hancur
tetapi aku tidak hancur , aku akan kembali
sedar kerana hijab - hijab dari jasad
telah lenyap...
Aku inilah khalifah Allah atau wakil Allah
yang mengurus makhluk dengan isinya ..
segala yang ada dibumi dan langit untuk aku
kalau dunia ini ladang aku lah mengurusnya
dan Allah pemilik ladang itu..
Aku tetap mengisbatkan Allah dalam segala
hal dan tindak tanduknya , maksudnya
aku tetap nampak allah disebalik yang
maujud perkara yang ada ( perkara yg ada )
ini , dan nampak Allah ..dan aku berkata
( tiada nyata hanya Allah )..
Aku sebenarnya hanya mengesakan dan
mengagongkan Allah semata - mata ...
Aku itu lah ruh yang ketika sudah berada
pada jasad adam seluruh malaikat dan azazil
( pada ketika itu ketua para malaikat )
diperintahkan sujud , bukan sujud pada
jasad adam tetapi aku didalam adam ...
bukankah menyembah selain Allah itu
syirik ? tetiba Allah memerintahkan sujud
kepada Adam yang AKU berada didalam
adam .kenapa???? kerana aku itulah yang
hidup merupakan sifat baginya..
sifat dan zat itu tidak terpisah , umpama
wap dengan air panas , wap bukan lah
air panas tetapi tidak lain ( berasal ) dari
air panas ...fana aku , maka ujud maha aku ..
Aku adalah diri yg sebenar - benar diri ,
aku adalah ROHULLAH yang datang dari
ZATULLAH menyatakan akan UJUDULLAH
AKU lah yg dinamakan AMAr ROBBI
ia itu urusan tuhan ....
tatkala zatulhaq ingin menyatakan akan
dirinya maka dia ( zatulhaq ) mentajjalikan
akan nurnya yang dinamakan kini
ROHULLAH atau AKU ... kini aku lah yang
nyata dan akulah merupakan sifatNYA ...
sebagaimana firmanNYA :
" setiap ruh itu urusan ku "
Ramai mencari aku tetapi jarang bertemu
ini kerana aku jauh berada didalam
" RASA " ( QALBU MUKMIN BAITULLAH )
kalau ada yang mahu mencari aku maka
katakan lah aku ADA tetapi TIADA ....
Ada pada hakikat namun tiada pada rupa ..
Akhir sekali untuk mencari aku maka
carilah guru mursyid, berkata hujatul
islam imam al - gazali "
" KENALI DIRIMU NISCAYA KENAL
TUHANMU "
( DENGAN STATUS DIATAS MAKA
PERJALANAN KU DIALAM MAYA SUDAH
MENGHAMPIRI GARISAN PENAMAT..
HANYA TINGGAL SELANGKAH LAGI...
MENDEKAT GARISAN PENAMAT ...
NAMUN KALIAN TETAP SAUDARAKU . )