Laman

Senin, 17 Agustus 2015

Kehidupan Alam Barzah, Setiap Hari Alam Barzah Rindu Orang Mati

Kisah tentang sifat kehidupan alam barzah, bermula ketika Rasulullah SAW berangkat ke Masjid. Beliau hendak melaksanakan Shalat berjamaah. Saat Beliau tiba di Masjid mendapati pemuda dan para sahabat sedang tertawa riuh rendah, hingga tertawa itu sambung menyambung. Menyaksikan hal itu, Baginda Rasulullah SAW bersabda; "Wahai sahabat sahabatku, seandainya engkau sempat mengingat mati, pastilah engkau tidak akan sempat tertawa tertawa seperti hari ini. Sepanjang hidupmu akan terkesan oleh proses mati itu (karena sangat memprihatinkan), setiap hari pekuburan menanti kedatangan orang orang yang akan dikuburkan - Aku merupakan semak semak atau debu yang angker, penuh dengan serangga (maksudnya, menunggu  orang mati).

Saat, alam barzah melihat orang orang yang beriman meninggal dunia,  maka alam barzah bergembira sambil mengucapkan; "Aku sampaikan selamat datang wahai orang mukmin, diantara manusia yang ada di bumi, hanya engkaulah manusia yang aku senangi. Bagus benar hatimu, sebab engkau dikuburkan di tempatku. Kini, lihatlah bagaimana aku (barzah) menghibur dan menyenangkan hatimu. Pada saat itu, liang kubur yang sempit itu melebarkan dirinya (barzah) seluas luasnya dengan pemandangan yang sangat indah untuk orang yang beriman tersebut. Salah satu pintu pintu surga terbuka dan membawa keharuman semerbak dan wewangian menerpa si mukmin yang bahagia. 

Namun sebaliknya, jika yang mati orang orang yang tidak beriman. Maka barzah menjadi geram dan marah. Maka ia berkata; Wahai engkau, sungguh malang nasibmu, engkaulah manusia yang paling aku benci. Sekarang rasakanlah pembalasanku di kubur ini. Lantas, kubur yang sangat sempit itu makin menyempit dan menghimpit manusia yang tidak beriman tersebut. Seluruh tubuh dan tulang belulang si kafir  saling berhimpitan, jerit dan tangis si kafir tak dihiraukan oleh kubur.. (naudzubillah min dzalik). Setelah itu, datanglah 70 ekor ular naga dan binatang berbisa  menyiksa si kafir hingga hari kiamat.

Jika ular naga itu melepasakan racunnya ke bumi, maka tak selembar daunpun dari pohon dan rerumputan di bumi bisa hidup, saking dahsyatnya. Begitulah, orang orang yang tidak beriman  menangis dam menjerit melolong-lolong mendapat siksa, akibat perbuatannya sewaktu di dunia.

Alam Barzah, Pintu Awal Alam Akhirat  


Dalam sebuah Hadits, Rasulullah SAW bersabda;
"innal qabra awwalu manazilil aakhirati fain najaa minhu famaa ba'dahu aisara minhu wain lam yanzu minhu famaa ba'dahu asyhaddu minhu"
 "Sesungguhnya alam kubur itu merupakan awal dari alam akhirat. Siapa yang selamat dalam tahab pertama itu, untuk selanjutnya akan lebih ringan. Namun, siapa yang tidak selamat, maka untuk tahab tahab selanjutnya akan lebih berat." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim).

Rasul SAW juga bersabda,"kubur itu bisa menjadi surga bagi orang yang baik amalnya, dan bisa jadi neraka bagi orang orang yang dzalim".

Abu Laits menasehati kita, "Barangsiapa yang yakin adanya mati, maka seharusnya bersiap-siap membawa bekal yang banyak, beramal shaleh di dalam kehidupan ini dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ayat Al Quran Tentang Kematian, Sebuah Renungan

Inilah beberapa ayat Al Quran tentang kematian, semoga dapat menjadi renungan bagi kita semua; 
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.  Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (QS. Ali 'Imran : 185)
"Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada dalam benteng  yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)", Katakanlah:"Semuanya (datang) dari sisi Allah", maka mengapa orang orang itu (orang munafik) hampir hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun." (QS. An Nisaa' : 78)

"Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun  dari makhluk  yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya." (QS. An Nahl : 61) 


"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan tertentu waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang orang yang bersyukur." (QS. Ali 'Imran : 145)  
"Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Al Jumu'ah : 8)

Kematian Sebuah Proses Alami


Setiap makhluk yang berjiwa (bernyawa) pasti dan haq mengalami kematian. Dan kematian itu, sangat ditakuti setiap manusia. Sebab, mereka belum pernah mengalami kematian. Kalau kita tengok kebelakang, sebenarnya manusia pernah mengalami kematian. Ya kematian (ketiadaan manusia) di muka bumi adalah juga sebuah kematian. Kenapa, karena kematian yang akan dihadapi setiap manusia adalah kematian (ketiadaan) manusia dari muka bumi dan akan mati (berpindah) ke dalam bumi. Setiap kita, pasti! secara lahir akan membayangkan tentang bagaimana tempat baru kita di dalam kubur; sebuah tempat yang hanya seluas dua meter atau bahkan bisa kurang dan lebih. Tanpa penerangan, tanpa teman, tanpa ranjang dan tanpa tanpa yang lain. Begitu pula, bayangan kita tentang kematian, ketika kita melihat gambaran dari media tv maupun internet tentang tengkorak dan tulang belulang manusia yang telah mati.


Jika kita mau merenung sejenak, pada hakikatnya kematian yang kita takut kan itu adalah sebuah proses alami dari hukum Allah (Sunnatullah). Bukankah, kehidupan ini? diciptakan berpasang-pasang; ada laki ada perempuan, ada siang ada malam, ada langit ada bumi, ada hidup ada mati. Bukankah sudah klop? Saling berpasangan. Saya teringat sebuah motto, disebuah buku yang dicetak oleh Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, "Berani hidup, tak takut mati; Takut hidup mati saja", Tapi jangan dibalik "Takut mati, hidup saja".

Demikian, Ayat Al Quran Tentang Kematian, Sebuah Renungan. Semoga Bermanfaat.

Referensi Ayat:  http: www.quran.com

Tasawuf, Pengertian Tasawuf dan Thoriqoh


Kita ketahui di masyarakat terdapat gerakan Tasawuf dan Thoriqoh, apa sebenarnya pengertian Tasawuf dan Thoriqoh dan apa pula tujuan daripada Thoriqoh dan Tasawuf. 

Tasawuf

Tasawuf, kata Thasawuf dapat diambil dari dua arti kata, yaitu : dari kata shofwun-shofaaun-shofwatun diartikan "kejernihan, pilihan, yang  terbaik. Shofaa-yashfuu-shofwan, artinya "jernih".

Dari kata Shofwaatun-shuufiyun-shuufun, artinya: pakaian dari wol, sufi pedagang wol."(Kamus Arab-Indonesia-Inggris. Abd. bin Nuh dan Osman Bakry, Mutiara Jakarta 1964, halam 159-162).
Dari pengertian yang kedua itu, ada gerakan tasawuf yang mengharuskan pengikutnya berpakaian wol putih bersih lambang kesucian hatinya. Dan umumnya orang-orang pengikut gerakan tasawuf menggemari pakaian putih, karena Rasulullah SAW juga menyukai pakaian putih.

Setengah ahli bahasa dan riwayat pada akhir-akhir ini, ada yang berpendapat bahwa perkataan "shufi" itu bukanlah bahasa Arab, melainkan dari bahasa Yunani lama yang telah di-Arab-kan, berasal dari kata theosofie, artinya "Ilmu Ketuhanan", kemudian di-Arab-kan, kemudian diucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi Tasawuf (Tasauf Modern-Hamka-1980 Jakarta, halaman 7).

Ada lagi setengah ahli yang mengambil dari nama kaum "shuffah", ialah segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan diri dari satu tempat terpencil di Masjid Nabi. Ada lagi yang mengambil makna dari kata "shufanah" ialah sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang pasar tanah Arab.

Thoriqoh

Perkataan Thoriqoh, sering ditulis Tarekat dan akhirnya menjadi bahasa Jawa Tirakat, berasal dari kata "thoriq" (Arab) artinya "Jalan". Dalam sejarah ada seorang Panglima Perang bernama Thariq bin Ziyad yang memimpin serangan ke Spanyol melalui selat yang sampai sekarang bernama "Jibral Tar", ini adalah berasal dari pengabdian nama Panglima itu.

Di dalam Al Qur'an, kita jumpai sebuah Surat bernama "Ath-Thoriq" (Surat 86). Dalam Al Qur'an dan Terjemahnya Proyek Departemen Agama. "Ath-Thaariq" diterjemahkan "yang datang pada malam hari" (ayat 1), dan dijelaskan pada ayat 3 "(yaitu) bintang yang cahayanya menembus".
Dalam "Tafsir Al-Azhar", Buya Hamka, juz xxx 1986, dalam menafsiri Surat Ath-Thariq (S.86); At-Thariq diartikan "yang mengetok" (ayat 1). Dibuatkan misal, jalan raya yang keras (beraspal) dilalui kuda atau kaki manusia "diketok". Juga seperti suara keras orang mengetok pintu supaya yang di dalam bangun. Tetapi pada ayat 3 dijelaskan "Ath-Thariq" ialah suatu bintang yang menembus.

Dapatlah diambil kesimpulan dari deretan ketiga ayat ini, bahwa di dalam cakrawala itu ada suatu bintang yang melancar dengan keras dan cepat, laksana mengetok pintu yang terkunci sehingga orang yang enak tidur jadi terbangun. Sifatnya ialah menembus. Yang ditembus adalah kegelapan malam". (halaman 100).

Kapan dan Siapa Yang Memulai Thoriqoh dan Tasawuf?

Siapa yang mula-mula mengambil inisiatif untuk mengadakan gerakan Thoriqoh, masih perlu penelitian lebih lanjut. Tetapi kalau menurut Buya Hamka dalam bukunya "Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya" Tahun 1973 antara lain diterangkan : "Bahwa tumbuhnya gerakan tasawuf di Indonesia bersamaan dengan masuknya Madzab (sekte-sekte dalam Islam). Tahun berapa? Dalam sejarah Islam adanya madzab-madzab, dapat diteliti menurut catatan berdirinya madzhab. Seperti Hanafi (699-767 M), Maliki (714-798 M), Syafi'i (767-854 M) dan Hambali (780-885 M).

Thoriqoh adalah bagian dari Tasawuf. Thoriqoh merupakan jalan atau cara untuk menuju pada kesucian atau keheningan hati dalam usaha makrifatullah (mengenal Allah)

Pertanyaannya, Apakah kalau orang tidak masuk Thoriqoh, ibadahnya dianggap belum sempurna?
Untuk menentukan suatu ibadah itu sempurna atau tidak, diterima atau tidak diterima oleh Allah SWT, itu sepenuhnya menjadi wewenang Allah SWT sendiri. Berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada dua syarat yang harus terpenuhi bagi ibadah yang diterima oleh Allah, dua syarat tersebut yaitu :
Pertama, Ikhlas. Maksudnya bahwa ibadah itu harus dilakukan dengan penuh ketulusan, semata-mata mengharap dan mendambakan keridhaan Allah saja. Tidak boleh dicampuri dengan noda syirik sedikitpun. Sebagai dasar antara lain firman Allah : 
"Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan mengamalkan agama yang lurus". (QS. 98:5)
"Maka barangsiapa yakin akan perjumpaan (dengan) Tuhan-nya, hendaklah ia kerjakan amal shaleh dan janganlah ia menyekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhan-nya". (QS. 18:110).
Kedua, sesuai dengan syariat. Maksudnya dalam mengamalkan ibadah harus sesuai dengan tuntunan dan aturan syariat, tidak boleh menyebal dari padanya. Sebagai landasan atau dalil antara lain firman Allah : 
"Dan barangsiapa menghendaki selain Islam sebagai agama (aturan), maka tidak akan diterima (amal ibadah) dari padanya, dan di akhirat (kelak) termasuk orang-orang yang merugi".(QS, 3:85)
Nabi SAW sendiri bersabda :
"Barangsiapa mengamalkan suatu amalan (ibadah) yang tidak didasarkan atas perintah Kami, maka amalan itu akan tertolak". (HR. Muslim)

Kesimpulan

Dalam situasi makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, memang tidak dapat dihindari percampuran pengertian dari suatu istilah, dengan pengertian atau paham lain, karena dunia ilmu pengetahuan makin terbuka, juga tidak terkecuali dalam tasawuf atau thoriqoh.

Oleh karena itu, supaya tidak kehilangan tongkat, sebaiknya kita kembali berpangkal pada sumber aslinya, bahwa seluruh ibadah dalam Islam dasarnya bersumber dari Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW, bisa saja kita mempelajari dari ajaran-ajaran lain sebagai perbandingan untuk memperluas wawasan dan pandangan hidup kita.
Yang terang, Tasawuf itu mengarah kepada kesucian dan keheningan batin atau hati. Sedangkan Thoriqoh adalah jalan atau sistem menuju ke sana, dalam rangkaian makrifatullah, untuk mengkhususkan diri dalam beribadah kepada Allah, sehingga menemukan hakikat yang kita sembah. Wallahu 'alam
Demikian,  Tasawuf, Pengertian Tasawuf dan Thoriqoh. Baca juga "Pengertian Tasawuf, Oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj ". Semoga Bermanfaat
Sumber : Asah Asuh MPA 

Sabtu, 15 Agustus 2015

Bai’at

lilin_kecilAbu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi Wafat dan sebelum jenazah beliau di makamkan. Itulah antara lain yang menyebabkan kemarahan keluarga Nabi, khususnya Fatimah, putri tunggal beliau.
Pada hari itu Umar Bin Khattab mendengar berita bahwa kelompok ansar mendengar berita sedang melangsungkan pertemuan di Saqifah atau Balai pertemuan Bani Saidah, Madinah, Untuk mengangkat Saad Bin Ubadah, seorang tokoh ansar dari suku khazraj, sebagai khalifah. Dalam keadaan gusar umat cepat cepat pergi kerumah kediaman Nabi dan menyuruh seseorang untuk menghubungi Abu Bakar, yang berada dalam rumah, dan memintanya supaya keluar. Semula Abu Bakar menolak denagan alsan sedang sibuk. Tetapi akhirnya dia keluar setelah di beritahu telah terjadi peristiwa penting yang mengharuskan kehadiran Abu Bakar.
Sampai di balai pertemuan ternyata sudah datang pula sejumlah orang Muhajirin, dan bahkan telah terjadi perdebatan sengit antara kelompok Ansar dan kelompok Muhajirin. Lalu Abu Bakar dengan nada tenang mulai berbicara. Kepada kelopok Ansar beliau mengingatkan bukan kah Nabi pernah bersabda bahwa kepemimpinan umat islam itu seyogianya berada pada tengah suku Quraisy, dan bahwa hanya pada di bawah pimpinan itulah akan terjamin keutuhan, keselamatan dan kesejahteraan bangsa Arab. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy untuk dipilih sebagai khalifah, Umar Bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarah. Orang orang ansar tampaknya sangat terkesan oleh ucapan Abu Bakar itu, dan Umar tidak menyia nyiakan momentum yang sangat baik itu. Dia bangun dari tempat duduknya dan menuju ke tempat Abu Bakar untuk ber baiat dan menyatakan kesetiaannya kepada Abu Bakar sebagai Khalifah, seraya menyatakan bahwa bukanlah Abu Bakar yang selalu di minta oleh Nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat bilamana Nabi sakit, dan bahwa Abu Bakar adalah sahabat yang paling di sayangi oleh Nabi. Gerakan Umar itu diikuti oleh Abu Ubaidah bin Jarah. Tetapi sebelum kedua tokoh Quraisy itu tiba di depan Abu Bakar dan mengucapkan baiat, Basyir bin Saad, seorang tokoh Ansar dari suku Khazraj, mendahului mengucapkan baiatnya kepada Abu Bakar. Barulah kemudian Umar dan Abu Ubaidah serta para hadirin, baik dari kelompok Muhajirin maupun kelompok Ansar dari Aus. Baiat terbats ini kemudian terkenal dala sejarah Islam dengan nama Bai’at Saqifah atau baiat di balai pertemuan. Para sahabat senior tersebut kemudian seorang demi seorang, kecuali Zubair, dengan sukarela berbaiat kepada Abu Bakar. Zubair memerlukan tekanan dari Umar agar bersedia berbaiat. Adapun Ali bin Abu Thalib, menurut banyak ahli sejarah baru berbaiat kepada Abu Bakar setelah Fatimah, istri Ali, dan putri tunggal Nabi wafat 6 bulan kemudian. (Helmi Dakwah)
Abu Bakar di pilih oleh sahabat dan ummat zaman tersebut sebagai pemimpin berdasarkan petunjuk dari Nabi baik berupa ucapan maupun kepercayaan yang diberikan Nabi kepada Abu Bakar sehingga menjadikan beliau sebagai sahabat yang paling utama. Setelah Abu Bakar wafat, para sahabat berbai’at kepada Umar bin Khattab, kemudian Usman bin Affan dan kemudian Ali bin Abi Thalib, mareka 4 orang dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin.
Secara sederhana, arti bai’at itu adalah janji atau sumpah setia. Ibnu Khaldun di dalam kitabnya, Al Muqadimah, mengatakan, bahwa “Bai’at ialah janji untuk taat. Seakan-akan orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikitpun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”
Sebagaimana pula tercatat dalam sejarah Islam, adanya bai’at Aqabah pertama, dimana terjadi bai’at antara Nabi Muhammad dengan 12 orang dari Yatsrib yang kemudian mereka memeluk Islam. Bai’at ‘Aqabah ini terjadi pada tahun kedua belas kenabiannya. Kemudian mereka berbaiat (bersumpah setia) kepada Muhammad. Isi baiat itu ada tiga perkara, yaitu: Tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, Melaksanakan apa yang Allah perintahkan, Meninggalkan apa yang Allah larang.
Jadi Bai’at atau sumpah setia itu merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman Nabi, sebagaimana hadist ini :
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Dahulu kami berbai’at pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar (menerima perintah) dan taat pada pemimpin kaum muslimin. Beliau bersabda pada kami, “Hendaklah engkau taat semampu engkau.” (HR. Bukhari)
Secara khusus dalam ilmu tarekat, Bai’at bisa bermakna pelantikan, peresmian, penobatan (tahbis) seorang yang memiliki keseriusan dalam menempuh jalan pengetahuan (makrifat) Allah melalui seorang Mursyid yang diyakini memiliki hubungan khusus secara jasmani dan ruhani kepada Rasulullah Saw. Bai’at, talqin, pemberian ijazah atau inisiasi spiritual dikaitkan dengan peristiwa Bai’atur Ridwan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Ketika itu para sahabat menyatakan janji setia dalam kondisi apapun untuk mengabdi kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) (Q.S Al-Fath, 18)
Bai’at atau sumpah setia dari murid kepada Guru Mursyid bermakna bahwa dia akan melaksanakan apa yang diperintahkan Gurunya dan meninggalkan apa yang diarang oleh Gurunya dengan ikhlas hati. Ini memerlukan proses yang panjang, bukan serta merta. Tidak mungkin sumpah setia berlaku pada level “murid-murid-an”, pada level coba-coba, juga tidak berlaku pada murid yang tidak mengerjakan hal paling sederhana seperti ibadah wajib dan sunnat, termasuk zikir yang diamanahkan Guru kepadanya. Sumpah Setia merupakan kepasrahan dan keikhlasan, bukan keterpaksaan.
Guru saya pernah berkata bahwa bai’at itu hanya berlaku untuk murid yang sudah “jadi”, murid yang telah mengetahui hakikat dari Guru Mursyid, sebelum sampai kesana tidak ada janji apa-apa. Dari sekian banyak murid, hanya sedikit yang bisa memahami hakikat Guru dan dari sedikit itu pula yang dengan ikhlas menyatakan kesetiaan kepada Guru secara zahir dan bathin.
sMoga kita semua menjadi murid yang taat kepada Guru, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, amin ya Rabbal ‘Alamin.

Guru mu MENGETAHUI……

Jika kau merasa lelah dan tak berdaya dari usaha  melawan ego yang sepertinya sia-sia…
Guru mu mengetahui betapa keras engkau sudah berusaha.

Ketika kau sudah menangis sekian lama dan hatimu masih terasa pedih…
Guru mu sudah menghitung airmatamu.

Jika kau pikir bahwa hidupmu sedang menunggu sesuatu dan waktu serasa berlalu begitu saja…
Guru mu sedang menunggu bersama denganmu.

Ketika kau merasa sendirian dan teman-temanmu terlalu sibuk untuk menelepon.
Guru mu selalu berada disampingmu.

Ketika kau pikir bahwa kau sudah mencoba segalanya dan tidak tahu hendak berbuat apa lagi…
Guru mu punya jawabannya.

Ketika segala sesuatu menjadi tidak masuk akal dan kau merasa tertekan…
Guru mu dapat menenangkanmu.

Jika tiba-tiba kau dapat melihat jejak-jejak harapan…
Guru mu sedang berbisik kepadamu.

Ketika segala sesuatu berjalan lancar dan kau merasa ingin mengucap syukur…
Guru mu telah mendoakanmu .

Ketika sesuatu yang indah terjadi dan kau dipenuhi ketakjuban…
Guru mu telah tersenyum padamu.

Ketika kau memiliki tujuan untuk dipenuhi dan mimpi untuk diwujudkan…
Guru mu sudah membuka matamu dan memanggilmu dengan namamu.

Ingat bahwa dimanapun kau atau kemanapun kau menghadap…
Guru mu  MENGETAHUI ………

TUHANKU TUHANMU TUHAN KITA


Kenapa kita berdoa selalu menengadahkan tangan dan memandang ke atas? Karena kita meyakini Tuhan berada di atas sana, berada di langit yang tinggi dan sulit di jangkau oleh makhluknya. Seluruh agama mempunyai ajaran seperti itu dan hampir semua kita mempunyai persepsi yang sama tentang Tuhan yaitu: Tinggi, Agung, Mulia dan tak terjangkau. Islam menggambarkan sifat-sifat Tuhan dalam 20 sifatnya, Wujud, Qadim dan seterusnya juga menggambarkan nama-Nya lewat Nama-Nama Tuhan yang baik yang kita sebut dengan Asma Al Husna yang berjumlah 99 Nama. Setelah kita menghapal nama-nama-Nya, mengetahui sifat-sifat-Nya, sudahkah kita benar-benar mengenal-Nya? Bisahkah kita mengenal sesuatu tanpa melihat? Mungkinkah Tuhan yang Maha Tinggi itu tidak bisa dilihat? Lalu untuk apa Dia menciptakan kita kalau memang Dia selalu berada pada posisi untouchable?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak mungkin bisa di jawab lewat akal dan kita tidak bisa menemukan jawaban dengan sendirinya. Agama (dalam tataran syariat) mengajarkan kita tentang Tuhan tapi tidak secara langsung memberikan kita tuntunan kepada-Nya. Akal akan menemukan kebuntuan bila berhadapan dengan yang namanya Tuhan karena akal memiliki keterbatasan. Akal hanya bisa mengolah informasi yang diterima dari Panca Indera, padahal Tuhan adalah diluar jangkauan panca indera.
Kita sering kali melupakan pertanyaan “Bagaimana cara kita berjumpa dengan Tuhan?” karena kita lebih tertarik memperdebatkan “Apakah Tuhan bisa dilihat?” atau tentang “Bisakah Tuhan dilihat di dunia ini?. Kedua pertanyaan terakhir memberikan gambaran kepada kita tentang seseorang yang bingung dan putus atas belum bisa keluar dari keterbatasannya. Orang yang mempertanyakan tentang kemungkinan melihat Tuhan tidak akan menemukan jawaban apa-apa selain bertambah nafsunya dalam menemukan dalil-dalil yang mengingkari bahwa Tuhan bisa dilihat. Saya pernah mengalami hal serupa, dimana pertanyaan saya sebenarnya bukan untuk menemukan jawaban akan tetapi justru untuk mendukung argumen saya bahwa Tuhan memang tidak bisa dilihat sama sekali.
Hampir sebagian besar penganut agama di dunia ini bisa dengan mudah menemukan Tuhan mereka, Yesus Kristus, Sidharta Gautama, Krisna atau Dalai Lama adalah orang-orang yang di posisikan sebagai Tuhan atau manifestasi Tuhan atau inkarnasi dari Tuhan. Lalu bagaimana dengan Islam?
Islam hanya mengenal Tuhan yang bernama Allah, yang tidak pernah bisa dilihat dan tidak pernah bisa dijangkau. Al Islamamu ya’lu walaa yu’la ‘alayhi, Islam adalah agama tertinggi dan penutup semua agama, begitulah Nabi bersabda dan demikian juga kita semua meyakininya. Lalu apakah makna ketinggian itu berarti Islam juag mempunyai Tuhan yang sangat tinggi sehingga tidak pernah terjangkau dan tersentuh oleh hamba-Nya? Apakah memang pemahaman Tuhan seperti ini yang di inginkan Tuhan atau yang diajarkan Nabi Muhammad kepada ummatnya? Atau ajaran sebenarnya dari Rasulullah tentang Tuhan sangat rahasia sehingga tidak semua orang Islam mengetahuinya. Ajaran Islam tentang Tuhan yang sangat rahasia ini akhirnya tergeser oleh pemahaman syariat semata sebagai arus besar dan kenderaan politik dinasti-dinasti Islam tempo dulu.
Saya lebih cenderung dengan pendapat bahwa Rasul mengajarkan kepada para sahabat-Nya untuk berjumpa dengan Allah bukan hanya menyebut nama dan menghapal sifatnya saja. Ketika bilal diletakkan batu di atas perutnya dan ditanya siapa Tuhannya, dengan penuh percaya diri dia menyebut “Ahad” seakan-akan dia melihat sang Ahad. Saat peristiwa itu terjadi, sayangnya kita tidak berada disana, kita hanya membaca riwayat yang di tulis kemudian, apakah Bilal benar-benar mengucapkan kata “Ahad” atau “Ahmad”? Kalau Bilal mengucapkan nama Ahmad yang tidak lain sama dengan Muhammad berarti Bilal telah mengucapkan nama Tuhan lewat nama kekasih-Nya.
Al Qur’an menceritakan kepada kita ketika tukang sihir Fir’aun berhasil dikalahkan oleh Musa, kemudian mereka sujud kepada Musa dan Harun sambil berkata, “Kami beriman kepada Tuhan Musa dan Tuhan Harun”. Apakah mereka beriman kepada Tuhannya Nabi Musa dan Tuhannya Nabi Harun atau mereka mengakui Musa dan Harun sebagai perwujudan Tuhan sebagaimana juga Fir’aun. Sebutan Tuhan Musa bisa jadi sama dengan sebutan Tuhan Allah atau Tuhan Yesus seperti yang diyakini oleh ummat Kristiani.
Seluruh Agama mempunyai Tuhan yang amat nyata untuk disembah, hanya Islam yang tidak pernah nyata Tuhannya, siapa yang benar dan siapa yang salah?
Kita tidak akan menemukan jawabannya dalam syariat, karena kalau kita memandangnya dari kacamata syariat maka langsung timbul selera kita untuk berdebat menyalahkan tuhan-tuhan agama lain dan menganggap Tuhan kita yang gaib itu yang paling benar. Sebenarnya kalau kita dengan teliti mempelajari agama, Tuhan dengan sangat jelas memberikan kepada kita penjelasan bahwa Tuhan itu amat nyata namun kita belum bisa dengan benar menangkap pelajaran itu.
Kalau anda mempelajari Tasawuf dengan cara ber guru kepada seorang Mursyid dan terus menerus berzikir sampai Tuhan berkenan memperkenalkan diri-Nya, maka anda akan merasakan betapa Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya, betapa agung dan hebatnya Islam dan betapa Mulia dan luar biasanya para Ulama pewaris Nabi yang mampu menyimpan rahasia terbesar dari Agama dan kemudian mampu menyalurkan kepada ummat Islam agar terbebas dari kegelapan.
Tapi sayang seribu kali sayang, tidak semua ummat Islam tertarik dengan Tasawuf bahkan ada sebagian kelompok dengan bangga mencaci maki pengamal Tasawuf/Tarekat dan menganggap sebagai aliran sempalan. Kemudian mereka dengan bangga menyembah Tuhan menurut pikiran mereka. Tidak pernah sedikitpun terpikir dalam hati apakah caranya menyembah Tuhan ini sudah benar. Memang tidak semua pengamal Tasawuf sampai kepada Makrifatullah, berjumpa dengan Allah, paling tidak jalan yang ditempuhnya sudah benar dan minimal dia bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya.
Kalau kita belum sepenuhnya mengenal Tuhan dan dengan nyata melihat-Nya, maka Shalat tidak ubahnya seperti senam ala Arab, bertawaf keliling Kabah hanya meneruskan tradisi zaman zahiliyah semata. Seluruh ibadah kita tanpa sadar semuanya menyekutukan Tuhan. Tidak ada dosa yang paling besar yang tidak terampuni selain dari Syirik (menyekutukan Tuhan). Maksud hati menuduh pengamal Tasawuf berbuat syirik tanpa sadar kita sendiri penuh dengan kemusyrikan.
Saya masih ingat pertanyaan kedua yang ditanyakan ketika ingin menekuni Tarekat adalah, “Apakah anda pernah menuntut ilmu kiri (perdukunan), pernah ke dukun, mengambil jimat-jimat dari dukun?”. Kalau pada saat itu masih ada jimat di badan langsung di suruh lepaskan dan dijelaskan juga bahwa yang Haq dengan yang Bathil tidak akan pernah bertemu. Satu kali kita mendatangi dukun/paranormal maka 40 hari ibadah tidak diterima Tuhan. Itulah dasar Tauhid dalam Tasawuf yang saya pelajari. Kemudian banyak sekarang praktek perdukunan dicampur adukkan dengan ajaran Agama termasuk dengan ilmu Tasawuf agar bisa diterima masyarakat inilah yang merusak ilmu Tasawuf sehingga masyarakat menganggap Tasawuf identik dengan kesaktian dan gaib semata. Jika anda ingin menekuni sebuah Tarekat selidiki terlebih dahulu nama Tarekatnya apakah termasuk kedalam salah satu Tarekat muktabarah dan apakah Mursyidnya mempunyai silsilah (tali keguruan) yang bersambung sampai ke Rasulullah SAW. Dua hal ini sangat penting sekali agar kita tidak terjebak ke jalan yang keliru.
Lalu bagaimana dengan kami yang belum mengenal Allah?
Teruskanlah ibadah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan tidak ada satupun diantara kita yang berhak mengklaim tentang kebenaran. Seringlah bershalat Tahajud bermohon kepada-Nya agar dipertemukan dengan orang yang bisa mengantarkan kepada-Nya. Orang yang belum bertemu dengan Wali Mursyid adalah orang disesatkan Tuhan (maka segeralah menjadi orang yang diberi petunjuk agar rahmat dan karunia-Nya senantiasa mengalir selebat hujan dari langit). Carilah metode yang bisa mengantarkan langsung kepada-Nya, bersungguh-sungguh dijalan itu. Pastilah mendapat kemenangan dunia dan akhirat!
Tulisan ini semoga dapat menjadi obat dan membangunkan kita dari ketidaksadaran untuk segera dengan sungguh-sungguh mencari dan keluar dari keterbatasan.
Semoga Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim membukakan hijab siapapun yang membaca tulisan ini.
Amin Ya Rabbal Alamin…

Pentingnya seorang Guru

“Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa bimbingan Syekh (Guru Mursyid) maka wajib setan Gurunya” (Abu Yazid al-Bisthami).
Ucapan tokoh besar sufi diatas di khususkan untuk yang berhubungan dengan kerohanian, mistik dimana jika kita belajar tanpa ilmu maka setan akan mudah menyusup dalam setiap ilmu yang kita pelajari. Tidak ada Guru menyebabkan tidak ada yang menegur, membimbing dan mengarahkan agar kita agar tetap berada di jalan yang benar.
Betapa banyak orang menerima ilmu gaib dari sumber-sumber yang tidak jelas, baik Guru maupun asal ilmu. Ada orang menerima ilmu sakti dari mimpi, didatangi sosok yang mengaku sebagai wali Allah kemudian diajarkan ilmu tertentu dan biasanya berupa ayat-ayat yang harus diamalkan, kemudian dia menjadi sakti.
Kesaktian yang diperolehnya tersebut kemudian dibungkus dengan ibadah-ibadah, penampilan yang shaleh, untuk memikat banyak orang agar mau mengikuti jalannya yang keliru. Lebih parah lagi, dia tidak menyadari kalau yang diamalkan itu berasal dari setan.
Ada juga orang yang pengetahuan agamanya luas, karena ingin Nampak ‘keramat”, hebat dan disegani orang, kemudian dia mencari ilmu gaib dari sumber-sumber yang dilarang oleh agama. Bertapa di gunung atau menyendiri di pinggir laut sehingga kemudian dia menjadi orang sakti mandraguna.
Setan sangat mudah memperdaya manusia dengan menawarkan kehebatan-kehebatan karena sifat dasar manusia ingin selalu hebat dan lebih dari yang lain. Setan membuat jebakan-jebakan gaib yang diawalnya Nampak benar tapi akhirnya membawa kita kepada kesesatan.
Manusia suka cepat, instan, tidak perlu bersusah payah langsung ingin dapat hasil. Karena itu setan menawarkan bukan yang instan juga, tidak perlu bersusah payah zikir di tarekat tapi langsung menawarkan kepada makrifat. Makrifat yang instan itu perlu dipertanyakan kebenarannya. Jangan anda silap, Iblis sebagai mantab malaikat bukan hanya bisa keluar masuk surga tapi bahkan dia bisa mengcopy paste bentuk surga dan kemudian menawarkan kepada manusia.
Ada yang memperoleh kesaktian dari amalan-amalan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti mengamalkan Ayat Kursi dan lain-lain. Apakah kehebatan yang dia peroleh tersebut murni? Atau kekuatan yang diperolehnya melalui setan?
Disinilah pentingnya kita mempunyai Guru Pembimbing, yang sudah mencapai tahap Makrifatullah, seorang Guru yang Arifbillah, sudah sangat berpengalaman melewati jalan kepada Tuhan sehingga bisa memberikan kepada kita pentunjuk agar bisa selamat sampai ke tujuan. Tidak cukup hanya dengan mambaca AL-Qur’an dan menghapal hadist serta memiliki kecerdasan untuk bisa berkenalan dengan Allah SWT. Untuk membuktikan bahwa Allah ada diperlukan dalil Aqli (Akal) dan Dalil Naqli (Ayat-ayat) akan tetapi untuk bisa sampai kehadirat-Nya tidak cukup hanya dengan dalil, anda memerlukan pembimbing rohani yang akan membimbing anda agar sampai kehadirat-Nya.
Itulah sebabnya kenapa orang yang hanya belajar dari bacaan akan memperoleh hasil berupa bacaan pula. Sementara orang yang belajar dari seorang Guru yang Ahli akan memperoleh hasil yang berwujud, sesuai dengan apa yang telah dijanjikan Allah di dalam Al-Qur’an.
Jangankan ilmu berkomunikasi dengan Allah, ilmu makrifatullah yang sangat halus dan tak terhingga hebatnya, ilmu biasapun anda harus mempunyai Guru yang ahli. Anda bisa mempelajari ilmu ekonomi dari bacaan akan tetapi anda tidak akan bisa menjadi seorang sarjana ekonomi hanya dengan membaca. Anda memerlukan Guru (Dosen) yang akan membimbing, menguji, sehingga anda diakui sebagai seorang Sarjana. Begitu juga dengan ilmu kedokteran, anda bisa memperoleh ilmu-ilmu tentang kedokteran dengan cara membaca buku-buku yang diajarkan di fakultas kedokteran, akan tetapi anda tidak akan pernah bisa menjadi dokter atau diakui sebagai dokter jika anda tidak mempunyai Guru (dosen) yang akan membimbing dan menguji anda. Kalau anda memaksakan diri menjadi dokter (tanpa menuntut ilmu dari yang ahli) maka anda akan menjadi dokter gadungan yang akan menyusahkan banyak orang.
Orang yang mengatakan bisa makrifatullah (mengenal Allah) hanya dengan membaca saja dan kemudian mengingkari posisi penting Guru Mursyid tidak lain karena kesombongannya semata. Memang anda akan mengetahui banyak ilmu tentang ayat-ayat, dalil-dalil, teori-teori akan tetapi anda tidak akan bisa memperoleh “rasa” bertuhan hanya dengan sekedar membaca.
Guru Mursyid yang akan membimbing anda adalah orang yang telah memperoleh pengakuan dari Guru sebelumnya, dan Guru sebelumnya telah memperoleh juga pengakuan dari Guru sebelumnya, secara sambung menyambung sampai kepada Rasulullah SAW. Hakikatnya, Rasulullah SAW lah atas izin Allah yang memberikan ijazah kepada Guru Mursyid untuk mengajar para murid-muridnya diseluruh dunia agar bisa mengenal Allah dengan sebenar kenal sebagaimana Rasulullah membimbing ummat di zaman ketika Beliau masih hidup.
Terakhir, anda bisa mengetahui tentang riwayat hidup Rasulullah SAW dengan membaca hadist-hadist dan sejarah hidup Beliau yang banyak ditulis oleh para ahli, akan tetapi untuk bisa berhampiran, akrab dan mesra dengan Rasulullah, rohani anda harus ada yang menuntun berhampiran dengan rohani Rasulullah yang hidup disisi Allah, sehingga setiap saat Rasul begitu dekat dengan anda, mengisi hidup anda dan selalu dihati anda walaupun jarak antara kita dengan Rasulullah dipisah berabad-abad.
Demikian!

Jumat, 14 Agustus 2015

TUJUAN HIDUP HAKIKI

TUJUAN HIDUP HAKIKI

Sepanjang perjalanan hidup dan kehidupan, seorang hamba senantiasa dituntut untuk berusaha menjaga, memperbaiki dan meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan dalam menghambakan diri kepada Allah swt. Di mana mereka harus sadar akan posisi dirinya sebagai hamba Allah (‘abid) yang harus taat dan tunduk terhadap segala titah-Nya, sebagai yang disembah (al-ma’bud) dalam kondisi apa pun adanya. Dalam menuju kesana banyak cara yang ditempuh sesuai dengan cara dan pendekatan bermacam-macam dan berbeda-beda, antara lain, dengan mengasingkan diri dari keramaian, menjauhkan diri dari kehidupan materi, memilih hidup sederhana. Aktifitas-aktifitas semacam itu kemudian disebut dengan kehidupan asketis (zuhud). Semua perjalanan yang dilalui itu adalah semata-mata dalam rangka menemukan tujuan hidup hakiki yang merupakan kebahagiaan yang kekal dan abadi.
Dalam perkembangan selanjutnya, perjalanan spiritual yang demikian itu kemudian dikenal dengan perjalanan dan pengalaman sufistik. Sedangkan tujuan dari perjalanan sufistik tersebut adalah semata-mata untuk memperoleh hubungan langsung dan didasari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di Hadirat Allah swt. Intisari dari ajaran sufisme ini adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Allah dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Adapun kesadaran berada dengan Allah itu dapat mengambil bentuk ittihad (penyatuan diri dengan Tuhan), hulul (manifestasi Tuhan dalam diri manusia), ma’rifat (Melihat-Nya) ataupun mahabbah (Mencintai-Nya).
Dengan berbagai metode dan pendekatan yang ditempuh seorang sufi seperti itu, maka dalam kaitan ini, Imam Jakfar Ash-Shadiq pernah mengatakan, bahwa dalam beribadah kepada Allah akan ditemui tiga macam bentuk: Pertama, kaum yang menyembah Allah karena takut. Yang demikian itu adalah ibadahnya hamba sahaya; Kedua, kaum yang menyembah Allah kerena untuk mengharapkan imbalan. Yang demikian adalah ibadahnya para pedagang; dan Ketiga, kaum yang menyembah Allah karena rasa cinta (mahabbah). Yang demikian adalah ibadahnya orang merdeka. Inilah ibadah yang paling utama. Dengan demikian, jelaslah bahwa menyembah Allah karena cinta adalah ibadah tingkat tinggi dalam rangka mencari ridha Allah swt.
Pada dasarnya tuntunan dan ajaran tasawuf adalah menekankan pada asfek esoteris (batin) dan bukan pada eksoteris (lahir), maka dalam praksisnya seseorang salik (pelaku tasawuf) senantiasa ingin mensucikan dirinya dari hal-hal yang kotor yang masih melekat pada hati dan jiwanya. Dia berusaha mengisinya dengan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, sehingga tidaklah berlebihan apabila seorang salik hatinya tidak bisa dilepaskan dari keinginan untuk mendekat kepada kekasihnya, yaitu Allah swt. Banyak jalan yang ditempuh olehnya, antara lain dengan banyak berdzikir kepada Allah, maupun memperbanyak amalan-amalan shalih lainnya.
Oleh karena itu, terdapat ungkapan yang berbunyi, “Apabila Islam dipisahkan dari aspek esoterisme-nya, maka ia hanya menjadi kerangka formalitas saja, sehingga orang-orang yang rasionalistik hanya menerima Islam sebagai keformalan semata. Apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging dan kemudian dihidupkan, sesungguhnya keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan.
Dalam tradisi keberagamaan ummat Islam, motivasi ibadah ummat awam lebih cenderung bersifat simbolistik-formalistik. Mereka beribadah hanya bermotifkan mencari pahala surga dan menjauhi neraka. Mereka menganggap surga dan neraka adalah tujuan akhirnya. Mereka tidak tahu bahwa tujuan yang lebih berarti dan bermakna dari ibadah tersebut. Ibarat seorang anak kecil yang dipaksa masuk sekolah (SD) oleh ibunya, karena sang anak tidak tahu tujuan dari pendidikan maka ibu memberikan motivasi berupa hadiah, kalau anaknya mau masuk sekolah akan diberikan baju baru, dan kalau naik kelas akan diberikan sepeda mini, dan terus sampai anaknya tamat SD masih tetap dimotivasi dengan hadiah-hadiah dan kalau sang anak tidak mau sekolah akan diancam dengan hukuman. Ketika sang anak sudah masuk SMP, dia sudah mulai tahu hakikat sekolah, dia mulai mengerti untuk apa sekolah, tujuannya bukan untuk mendapatkan sepeda mini, bukan untuk menghindari hukuman, tapi tidak lain untuk mencerdaskan dirinya sebagai bekal dalam menempuh kehidupan. Sungguh, betapa banyak ummat Islam beragama seperti anak kecil yang masuk sekolah karena hadiah, dan sangat disayangkan akan terus demikian tanpa tahu hakikat beragama.
Tentang hakikat beragama, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa kitab ibarat tongkat yang diperlukan untuk berlatih agar bisa  berjalan, ketika sudah pandai berjalan maka tongkat itu tidak diperlukan lagi dan justru akan memperlambat perjalanan. Betapa banyak orang yang terus memeluk dengan erat kitab/buku, terus asyik dengan dalil sampai akhir hayatnya, merasa sudah pandai barjalan padahal tidak pernah menempuh perjalanan.
Tujuan hidup yang hakiki adalah menemukan Allah, memandang keindahan wajah-Nya yang kekal abadi, barulah kemudian menghambakan diri dan mencintainya dengan sebenar-benar cinta, dari sanalah sumber hikmah dan karunia mengalir dengan deras, laksana guyuran air hujan dari langit.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah merupakan benih kebahagiaan, dan kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah swt (ma’rifatullah).
Menurut Jalaluddin Rumi, kebahagiaan tertinggi dalam perjalanan hidup adalah terletak pada pengetahuan sejati tentang Allah swt (Ma’rifatullah). Yang dapat diperoleh langsung melalui pengalaman bathin, yaitu hati (intuisi) yang bersih dan jernih akan materi-materi lewat bimbingan seorang Guru Mursyid yang Kamil dan sangat pengerti keadaan spiritual muridnya. Bukan dengan pendekatan intelektual-teologi, filsafat, atau indera lahiriah semata.
Rumi juga memandang bahwa ma’rifat adalah buah dari fana’. Dengan kata lain, ke-fana’-an adalah ma’rifat itu sendiri. Disinilah Rumi menemukan kebahagiaan tertinggi, yaitu ketika ia sampai pada tahap ke-fana’-an atau penyaksiaan kesatuan.
Sesaat engkau fana pada-Ku, lebih baik itu pada dari engkau beramal seribu bulan”, fana’  itulah hakikat dari Lailatul Qadar, apabila orang menemukan malam itu lebih baik dari beribadah selama 1000 bulan.
Adapun bagi Rabi’ah al-Adawiyah, kebahagiaan tertinggi adalah terletak pada kasyf (terbuka hijab untuk bisa melihat Allah), yang terungkap dalam syairnya tentang cintanya, yaitu :
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu
Mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat
Dengan demikian, tujuan cinta Rabi’ah adalah pencarian Kasyf (dapat melihat Allah) itu sendiri, sehingga tak tampak sedikitpun selain-Nya. Seperti yang di Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 113:
“….dimanapun engkau memandang disitulah Wajah Allah
Al-Qur’an telah menggambarkan kepada kita betapa Maha dasyatnya memandang wajah Allah swt, surga dan seluruh isinya tidak akan bisa mengalahkan kebahagiaan memandang wajah-Nya, bahkan digambarkan kebahagiaan tertinggi penduduk surga adalah memandang wajah-Nya.
Masihkah kita berusaha berebut kapling di surga kalau sudah tahu bahwa kebahagiaan itu bukan disana? Kebahagiaan itu adalah disaat kita bersama-Nya, menikmati perjamuan-Nya, memandang wajah-Nya, dari sanalah timbul rasa cinta yang menggelora, cinta yang menggetarkan seluruh jiwa dan raga, cinta yang tidak mampu ditulis walau seluruh air laut jadi tinta dan ranting kayu jadi pena. Cinta yang membuat Saidina Ali tidak merasakan pedih kakinya saat panah dicabut, cinta yang membuat Rabi’ah tidak merasakan pedih matanya tertusuk duri.
Inilah jalan kesufian, jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang benar-benar bisa merasakan kehadiran-Nya, merasakan getaran cinta-Nya setiap saat, inilah tujuan hidup hakiki…. Yaitu Berjumpa dengan SANG KEKASIH.

APA TANDA KITA DEKAT DENGAN TUHAN?

Ketika suluk berakhir, seorang Khalifah Senior (umur Beliau lebih kurang 65 tahun) duduk diantara para peserta suluk dengan gaya santai setelah selesai bergotong-royong membersihkan surau baik di bagian dalam maupun bagian luar. Selaku orang yang baru dalam Tarekat, pengalaman-pengalaman murid-murid senior dari Guru sangat menyenangkan untuk didengar dan banyak sekali pelajaran yang bisa diambil karena yang mereka ceritakan bukan hasil dari bacaan tapi merupakan pengalaman nyata. Dalam suasana penuh keakraban, khalifah senior bertanya kepada khalifah yang lain, “Abang-abang sekalian, apa tanda kita dekat dengan Tuhan?”.
Demikian khalifah senior bertanya kepada kami yang masih muda dan memang di surau sangat dijaga hadap (sopan santun) walaupun usia kita lebih tua tetap memanggil Abang kepada saudara seperguruan. Pertanyaan sederhana itu tidak ada yang bisa menjawab, semua diam dan memperhatikan dengan seksama wajah dari khalifah senior tersebut. Saya hadir disitu dan peristiwa itu lebih kurang 10 tahun yang lalu. Khalifah Senior dengan senyum berkata, “Semakin dekat kita dengan Tuhan maka semakin kita tidak bisa meminta kepada-Nya, seorang yang dekat dengan Tuhan ibarat seorang bayi dipangkuan ibunya, dia tidak pernah berprasangka buruk kepada ibunya, apakah ibunya memberikan makan atau tidak, membiarkan dia haus atau bahkan ibu membuangnya begitu saja, dia tetap pasrah dalam pangkuan ibunya
Kata-kata Khalifah Senior itu sangat berbekas dalam hati saya dan kata-kata ini memberikan sebuah kesadaran kepada saya bahwa sampai saat ini saya belum dekat dengan Tuhan karena begitu banyak permintaan dalam doa, begitu banyak pula hasrat untuk menggengam dunia ini. Keluhan kalau mengalami sakit dan derita menandakan kita belum dekat dengan Tuhan. Mungkin kita telah mengenal-Nya, telah bersimpuh dikaki-Nya, telah merasakan betapa nikmat memandang wajah-Nya namun kita masih tergolong orang-orang yang dekat dihati-Nya.
Lalu bagaimana dengan ucapan Nabi bahwa kita harus selalu meminta kepada Tuhan dan orang yang tidak mau meminta digolongkan kepada orang-orang yang sombong? Bagi orang yang jauh dari Tuhan maka dia akan selalu meminta untuk kepentingan dirinya, tidak pernah dia mau berdoa untuk orang lain.
Khalifah Senior tersenyum diantara kebingungan para jamaah suluk, kemudian saya memberanikan diri bertanya, “Abangda, kalau ukuran dekat dengan Tuhan tidak bisa meminta kepada-Nya, bagaimana dengan Guru kita yang selalu mendo’akan kita, bukankah Beliau juga meminta kepada Tuhan? Dan yang saya tahu Guru kita sangat dekat dengan Tuhan
Masih dengan senyum yang khas Beliau berkata, “Anak Muda, Seorang yang dekat dengan Tuhan itu tidak bisa meminta untuk dirinya tapi doanya sangat makbul untuk orang lain dan dia selalu berdoa untuk orang lain, seperti Guru kita. Guru kita hanya memikirkan murid-muridnya, mana pernah Beliau berdoa agar diri nya kaya? Sudah puluhan tahun saya mengikuti Beliau dan saya tahu persis bahwa yang Beliau doakan hanya muridnya, ya… kita-kita ini yang selalu menjadi beban Beliau dan terkadang tidak tahu diri….” Ucapan terakhir tidak lagi disertai senyum namun dengan wajah sedih dan linangan air mata.
Beliau melanjutkan, “Kita ini lah yang harus mendoakan Guru kita, agar semua cita-citanya dikabulkan Tuhan, itulah bukti rasa cinta dan kasih kita kepada Beliau….
Berulang kali saya berbuat kesalahan kepada Beliau, tapi selalu Beliau memaafkannya ….
Kemudian Khalifah Senior melanjutkan nasehatnya, “Jangan pernah abang-abang sekalian durhaka kepada Guru kita karena kalau durhaka kepada Guru tidak akan beruntung selama-lamanya…
Setelah saya memahami hakikat Ketuhanan dan kebenaran dari Tariqatullah dan saya meyakini bahwa betapa hebatnya Ilmu zikir yang dapat mengantarkan orang kepada Allah, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Guru, “Guru, begitu hebatnya ilmu zikir dalam tarekat ini, kenapa tidak semua manusia mau mengikuti jalan ini?
Guru tersenyum dan berkata, “Hanya sedikit orang yang bisa bersyukur….
Saat itu saya tidak begitu paham dengan apa yang beliau sampaikan baru sekarang saya memahaminya, bahwa begitu banyak karunia diberikan oleh Allah kepada manusia namun sedikit sekali yang mau menyembah-Nya dengan cara yang benar, sedikit sekali orang yang sungguh-sungguh mencari jalan untuk kembali kepada-Nya, sedikit sekali orang yang bersyukur. Saya jadi ingat kisah Nabi yang shalat semalaman dan ketika ditanya oleh Aisyah kenapa Beliau shalat begitu banyak sampai kaki bengkak padahal Beliau sudah dijamin masuk surga dan nabi menjawab, “Aku ingin menjadi ABDAN SYAKURA (hamba yang pandai bersyukur)

Memandang Tuhan dalam Segelas Kopi

Saya termasuk salah seorang penggemar dan penikmat kopi, dengan segelas kopi akan lebih mudah bagi saya untuk menulis dan menuangkan ide tentang apa saja. Biasanya saya menulis tulisan-tulisan untuk sufimuda antara 5-15 menit dan ditemani oleh segelas kopi. Pada umumnya para penikmat kopi sekaligus perokok tapi saya bukan termasuk jenis perokok. Saya sejak kecil berusaha menjadi perokok agar bisa disebut Lelaki Sejati yang gagah he he , tapi sayangnya ketika merokok kelas 1 SMP dada sakit dan nafas sesak, sejak saat itu sampai sekarang saya tidak pernah merokok lagi kecuali terpaksa dan dipaksa oleh kawan-kawan. Syukur Alhamdulillah sampai saat ini Lembaga Ulama tidak memberikan fatwa apa-apa tentang kopi artinya minum secangkir atau dua cangkir kopi dalam sehari tidak was was merasa bersalah dan berdosa. Seperti halnya rokok, bisa jadi suatu saat ada pihak-pihak yang membisikkan kepada Lembaga Ulama agar kopi di haramkan dan tentu saja ulama yang bergabung dalam lembaga tersebut biasanya suka mencari perhatian layaknya ABG dan senang mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversi yang membuat ummat seringkali kaget dan bingung.
Andai ulama yang tergabung dalam Lembaga tersebut mengeluarkan fatwa haram minum kopi saya akan tetap minum kopi sama halnya ketika ulama mengerluarkan fatwa haram mengggunakan Facebook, saya tetap memakai facebook sebagai alat dakwah menyampaikan kebenaran.
Sambil menikmati segelas kopi yang alhamdulillah masih halal, saya ingin membahas tentang Tuhan dengan segala misteri-Nya. Lalu apa hubungan menum segelas kopi dengan memandang wajah Tuhan?
Alam dan seluruh isinya adalah wujud dari cahaya Tuhan, karya Agung yang tidak terlepas dari diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya sebagian orang menemukan Tuhan dari kehebatan dan keagungan Alam yang mengangumkan manusia, menyadarkan manusia betapa Maha Hebat nya sosok di atas sana yang menciptakan alam sedemikian teratur.
Sebagian manusia lain menemukan Tuhan lewat filsafat dan perenungan diri. Kehebatan akal manusia akan menuntun kepada Sang Maha Hebat yaitu sosok yang menciptakan akal itu sendiri secara luar biasa. Descartes seorang Filosof berkata, “Aku berfikir karena itu aku ada”, dengan pernyataannya yang terkenal itu Descartes telah membuat sebuah prinsip yang menjadikan kesadaran berfikir sebagai parameter bagi segala sesuatu untuk dianggap sebagai ‘ada’. Keberadaan kita didunia ini disadarkan oleh akal, tanpa akal maka manusia tidak akan mengenal apa-apa, tidak akan mengenal Alam, Agama dan Tuhan.
Pencarian tentang Tuhan lewat akal kadang kala mengalami jalan buntu dan putus asa sehingga orang yang paling cerdas pun akhirnya menyerah dan mengambil kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada. Dengan tanpa rasa bersalah Karl Mark mengatakan bahwa Agama adalah Candu Masyarakat. Baginya, agama di zamannya tidak lebih dari sesuatu yang hanya menawarkan kesenangan sesaat tanpa memberikan banyak solusi berarti terhadap berbagai masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakatnya di zaman itu. Dengan janji-janji surga, penebusan yang akan segera datang, agama hanya berperan seperti candu yang memberikan kenyamanan sesaat namun tidak pernah bisa menyelesaikan masalah apapun. Agama yang seperti ini tentu saja hanya akan mampu mengakomodir kepentingan kelas-kelas borjuis dan penguasa. Kelas-kelas berjuis dan penguasa pada hakekatnya sudah hidup dengan cukup mapan dan tidak mengalami ketertindasan apapun. Oleh sebabnya, mereka tidak lagi membutuhkan apa yang disebut dengan “hiburan semu”. Lain halnya jika agama ini dilihat dari kacamata mereka yang tertindas secara ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Bagi mereka, agama ini berperan sebagai penyelamat yang nantinya akan membebaskan mereka dari ketertindasan dan melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang telah menindas mereka. Daripada bergulat dengan kejamnya hidup, mereka lebih memilih untuk menyandarkan diri kepada agama yang dinilai dapat memberikan sebuah penghiburan terhadap ketertindasan.
Karen Amstrong bahkan dengan berani menulis buku yang sangat terkenal yaitu “History of God”, buku yang mengupas sejarah Tuhan. Memangnya Tuhan punya sejarah? Dari buku tersebut kita mengetahui bahwa sejarah Tuhan di setiap peradaban hampir sama dan persepsi orang tentang Tuhan tidak terlepas dari pengaruh budaya dan zaman dimana manusia berada.
Berbicara tentang Tuhan, Agama adalah sumber yang paling bisa dipercaya karena tujuan manusia beragama adalah untuk mengenal Tuhan dan menyembah-Nya sampai ajal menjemput. Nabi Muhammad SAW bernah berkata, “Aku melihat wajah Allah dalam rupa seorang pemuda”, dan perkataan serupa pernah dikemukakan oleh seorang tokoh sufi Ibnu Arabi ketika tawaf di ka’bah beliau berkata, “Aku melihat Allah dalam wajah seorang wanita”.
Dalam Al-Qur’an disebutkan, “…dimanapun engkau memandang disitu Wajah Allah”. Lalu bagaimana manusia bisa memandang wajah Allah di alam kalau belum pernah mengenal dan melihat-Nya dalam Kegaiban-Nya? Disinilah diperlukan seorang pembimbing sebagaimana Rasulullah SAW di bimbing oleh Jibril as dan Ibnu ‘Arabi dibimbing oleh Gurunya sehingga setelah mengenal Allah dengan benar maka dimanapun mereka memandang akan bisa menemukan wajah Tuhan disana.
Pun tidak terkecuali ketika tulisan ini saya tulis dan ditemani oleh segelas kopi, saya merasakan ketenangan dan kedamaian di tengah hiruk pikuk warung kopi, ditengah riuh kendaraan lalu lalang, sayang merasakan “Sunyi dalam Keramaian” karena saya merasakan ada getaran Tuhan hadir setiap saat kapan dan dimana saja.  Saya melihat kopi dalam gelas yang tinggal setengah, saya tersenyum karena saya bisa memandang wajah Tuhan disana…

Selamat Idul Fitri, sMoga Mencapai Derajat Taqwa dan Ikhlas.

Hari ini adalah hari terakhir kita berada di bulan suci Ramadhan, bulan ampunan, rahmat dan pembebasan dari siksa neraka. Ramadhan mengajarkan kepada kita banyak hal, tentang hikmah lapar dan dahaga, tentang saling berbagai kepada saudara dan yang terpenting adalah tentang keikhlasan dalam beribadah kepada Allah SWT. Derajat Taqwa sebagai buah dari pelaksanaan ibadah di bulan Ramadhan mudah-mudahan bisa kita raih.
Taqwa dalam arti sederhana adalah patuh melaksanakan perintah Allah dalam kondisi tanpa beban. Selepas Ramadhan ibadah kita semakin berkualitas, ruh ibadah hadir dalam diri kita semua sehingga tidak ada yang memberatkan sama sekali. Dalam bulan Ramadhan kita telah berlatih shalat di malam hari, berpuasa di siang hari, memperbanyak membaca al-Qur’an, Zikir dan memperbanyak ibadah sunnah karena nilai pahala diberikan Allah sangat besar, itulah motivasi awal kita.
Selanjutnya setelah Ramadhan, latihan yang telah kita laksanakan membuat kita semakin bergairah dalam ibadah walaupun tidak mendapat pahala sebesar di bulan Ramadhan. Karena hakikat hidup menjadi hamba Allah, tentu kedudukan itu tidak dengan serta merta di capai oleh seluruh manusia. Diperlukan latihan yang tekun dan sungguh-sungguh, secara istiqamah sehingga kita semua benar-benar menjadi seorang hamba Allah.
Seorang hamba adalah milik tuannya, hidup dan mati terserah kepada tuannya, diperlakukan bagaimana pun tetap wajib diterima. Belajar menjadi seorang hamba kemudian naik derajat menjadi seorang pecinta yang beribadah tanpa mengharapkan apa-apa. Derajat pecinta ini yang harus kita capai, karena apapun yang dilakukan atas dasar cinta, semua menjadi indah.
Setelah mencapai maqam taqwa buah dari Ramadhan, selanjutnya mendaki kepada maqam Ikhlas di luar Ramadhan, beribadah dengan senang hati, tanpa mengharapkan apa-apa. Seseorang hanya bisa menjadi ikhlas kalau dalam dirinya telah ada Nur Ilahi yang menyinari hari dan seluruh tubuhnya. Nur tersebut terpancar dari seluruh badannya dan apapun yang bersentuhan denganya akan ikut merasakan bahagia, ikut merasakan getaran Allah SWT.
Di penghujung Ramadhan ini, saya mengucapkan selamat kepada sahabat semua atas perjuangannya yang tanpa henti dan tanpa mengenal lelah beribadah di bulan mulia ini, semoga kita semua benar-benar dinaikkan derajat oleh Allah kepada maqam Taqwa dan dibimbing-Nya menjadi seorang yang ikhlas.
ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR,  ALLAHU AKBAR, LAA ILAA HA ILLA ALLAHU WA ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR WA LILLAAHILHAMD
Artinya : Allah Maha besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada Tuhan (yang wajib disembah) kecuali Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan segala puji hanya milik Allah.
Dengan linangan air mata kita kumandangkan takbir menyambut kemenangan, rasa bahagia yang begitu dalam, menyambut suasana baru, menjalani hidup baru kita. Rasa gembira dan semangat beribadah ini menjadi modal besar dalam mengarungi kehidupan di bulan-bulan selanjutnya. Kehidupan yang selalu dalam rahmat dan karunia-Nya.
Saya, Sufimuda, mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1436 H, mohon maaf kepada sahabat semua atas kesalahan dan kekhilafan dari saya, mohon maaf atas ketidaksempurnaan saya dalam menyampaikan kata lewat tulisan-tulisan yang selama ini sahabat baca.
Semoga Allah SWT senantiasa mengampuni kita semua, melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, menjadikan kita semua sebagai saudara, dari dunia sampai akhirat kelak, amin ya Rabbal ‘Alamin.

Bahaya di Balik slogan “Kembali ke al-Qur’an dan Sunnah”

alquranAnda mungkin sering mendengar kata-kata seperti judul di atas, anda di nasehati untuk kembali ke Al-Qur’an dan Hadist. Sekilas nasehat tersebut baik, tentu saja baik karena kita dianjurkan untuk menjadikan al-qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup, tapi kalau direnung lebih dalam kita juga wajib bertanya, apakah semua orang diberi kebebasan untuk menafsirkan al-Qur’an? Kalau anda ada persoalan kemudian buka al-Qur’an dan Hadist kemudian memahami sendiri? Lalu dimana anda mau letakkan pendapat para ulama yang telah menyusun tafsir dan penjelasan lengkap selama 1400 tahun?
Ciri khas aliran yang muncul 100 tahun lalu di tanah arab tidak lain menjauhkan ummat dengan Ulama dengan berbagai cara, mulai dengan menghancurkan kuburan ulama dengan dalih syirik, melarang menghormati ulama dengan alasan dalam ajaran Islam dilarang mengkultuskan manusia, termasuk slogan di atas, “Kembali ke al-Qur’an dan Hadist” dengan slogan itu ummat tidak lagi perlu bertanya ke ulama, setiap manusia diberi kedudukan yang sama di hadapan Allah termasuk dalam menafsirkan al-Qur’an.
Slogan ini kemudian melahirkan orang-orang yang “sok tahu” tentang al-qur’an, kemudian dengan mudah menvonis orang dengan ayat-ayat yang dipahami dengan keterbatasan ilmunya. Saya sendiri sudah kenyang melihat jenis ulama gadungan, baru rajin shalat 3 bulan dan membaca al-Qur’an terjemahan, kemudian dengan mudah mengeluarkan “fatwa”, yang ini sesat, ini bid’ah, ini tidak sesuai al-Qur’an dan Hadist dst.
Lahirnya orang-orang yang dangkal memahami agama ini memang dirancang oleh kelompok tertentu, saya tidak berani menuduh mereka Yahudi atau orientalis, anda bisa menyebut mereka dengan sebutan yang anda sukai, dengan tujuan agar ummat ini mudah di ombang ambing seperti buih di lautan. Terputusnya ummat dengan Ulama Pewaris Nabi akan mudah bagi mereka kemudian menyodorkan ulama versi mereka, andai pun memahami al-Qur’an hanya sebatas tekstual, yang tertulis semata.
Selama 100 tahun ummat Islam telah berhasil di perdaya, coba anda lihat hasilnya, ayat-ayat tentang jihad dimaknai apa adanya, maka lahirnya al-Qaida, kemudian ISIS dan lain-lain, diantara sesama muslim jadi saling mencurigai, ini hasil unggul produk “Kembali ke al-Qur’an dan Hadist” yang di dengungkan 100 tahun lalu, slogan yang tidak pernah ada sebelumnya.
Tulisan ini tolong dipahami dengan kepala dingin, saya tidak sedang mengkritik al-Qur’an dan Sunnah dan tidak pula melarang orang berpedoman kepada keduanya, yang saya kritik adalah cara orang memahami keduanya, memahami tanpa dengan bimbingan. Menafsirkan al-Qur’an dengan akal pikiran akan membuat manusia tersesat, Nabi memberikan nasehat :
“Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka” (HR. Muslim)
Dari awal Nabi sudah khawatir akan muncul suatu generasi yang dengan sekehendak hatinya menafsirkan ayat al-Qur’an. Siapa yang paling paham dengan firman Allah? Tentu saja Nabi dan siapa orang paling paham dengan Nabi? Tentu sahabat, dan siapa yang paling paham dengan sahabat? Tentu saja orang yang pernah hidup dengan sahabat Nabi, hubungan berantai itu yang menyebabkan Islam lestari hingga hari ini.
Paham yang di usung 100 tahun lalu tersebut kemudian menafikan mazhab, dengan alasan karena mazhab ummat ini terpecah, kemudian dengan alasan ini pula slogan “Kembali ke al-Qur’an dan Sunnah” terasa sangat masuk akal, akhirnya seluruh orang dengan gaya masing-masing menartikan al-Qur’an menurut akal pikirannya, hasilnya TERSESAT!.
Pemikiran paham yang muncul 100 tahun lalu tersebut memang rancu, satu sisi anda di suruh mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, mengikuti ulama salaf, tapi sisi lain anda dilarang mengikuti mazhab, bukankah Imam Mazhab tersebut termasuk ulama salaf?
Imam Mazhab menurut saya ibarat ahli masak, Koki terkenal yang mempunyai resep masak, kemudian resep itu diwariskan dan dipakai sekian lama dan terbukti memang sangat enak. Ibarat masak kambing, ada berbagai jenis seperti: kari, rendang, sop dan sate, ke empat jenis ini mempunyai keungulan dan kelemahan masing-masing, silahkan anda mengikuti menurut kebutuhan masing-masing. Bagi sebagian orang kari kambing adalah makanan yang sangat cocok untuk mereka, bahan-bahan pendukung seperti kelapa dan rempah-rempah kebetulan banyak di daerahnya, sebagian yang tinggal didaerah tanpa buah kelapa, sate atau sop adalah pilihan paling bagus. Semua jenis masakan berdasarkan resep warisan koki terkenal tersebut sangat baik, karena telah diteliti oleh mereka.
Kemudian muncul satu golongan (100 tahun lalu) yang menolak bahkan membuang resep-resep bagus ahli masak yang telah terbukti selama 1000 tahun ampuh dan hebat, mereka membuang semua resep, bagi mereka gara-gara resep masakan kita jadi tidak kompak, semua orang harus kembali ke alamiah, tidak perlu bumbu-bumbu, itu semua bid’ah. Akhirnya orang disuruh makan daging mentah, hasilnya: hambar dan sakit perut!
Cara terbaik agar kita selalu mendapat bimbingan dari Allah adalah berguru kepada orang yang mempunyai hubungan baik dan dekat dengan Allah, orang-orang yang memahami firman Allah dengan hati yang disinari oleh cahaya-Nya. Menutup tulisan ini saya kutip firman Allah dalam surat an-Nahl 43 :
“…Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak mengetahui” [An Nahl 43]

Cobaan Tuhan???

Cobaan Tuhan???

Tuhan menciptakan Alam dan seluruh isinya dan kemudian Tuhan juga menciptakan hukum-hukum di alam yang disebut dengan Sunatullah. Sunatullah itu bersifat universal dan berlaku untuk semua tanpa membedakan orang per orang.
Tuhan menciptakan udara dan air sebagai sumber kehidupan, siapun yang hidup di dunia ini apakah dia beriman atau tidak, menyembah Allah atau tidak tetap bisa menikmati yang namanya air dan udara.
Tuhan menciptakan bumi, menciptakan tanah beserta hukum hukumnya, siapa yang menabur biji dia akan menuai. Kalau yang ditanam padi maka sesuai hukum Alam apabila rawat sesuai rukun dan syaratnya akan mendapatkan hasil berpuluh atau beratus kali lipat.
Siapun yang menanam, apakah dia Islam, Kristen, Yahudi atau bahkan penyembah berhala sekalipun apabila memenuhi syarat syarat yang telah ditentukan oleh Allah sebagai pencipta dan pemilik alam akan mendapatkan hasil.
Sunatullah tidak ada hubungan dengan yakin atau tidak kepada Tuhan, taat atau lalai, beriman atau kafir.
Tidak hanya hukum alam, hal hal lain juga Tuhan telah mengatur sesuai dengan aturannya.
Sebagai contoh sederhana misalnya untuk menanak beras agar bisa menjadi nasi agar bisa dimakan harus memenuhi rukun syaratnya. Hal2 yang harus dipenuhi dalam menanak nasi :
  • Ada beras, tanpa beras apa yang mau dimasak?
  • Ada wadah (periuk, belanga, dll) tanpa wadah maka beras akan berserakan tidak akan pernah bisa di masak.
  • Ada air, tanpa air maka beras akan menjadi gosong tak akan pernah menjadi nasi.
  • Ada api (listrik) tanpa ada api atau alat untuk memanaskan maka sampai kiamat beras tidak akan pernah menjadi nasi.
  • Ada ahli masak (orang yang memasak), 4 syarat telah terpenuhi (beras, wadah, air dan api) kalau tidak ada yang memasak maka beras tidak akan bisa berubah menjadi nasi.
Pertanyaannya apakah menanak nasi ada hubungan dengan akidah, keyakinan, keimanan?
Jawabannya: TIDAK?
Orang yang taat ibadah sekalipun kalau tidak paham cara menanak nasi maka sampai kiamat pun nasi itu tidak akan jadi sebaliknya orang jahat, atheis atau penyembah berhala sekalipun kalau dia mengetahui ilmu menanak nasi maka dia akan mendapatkam nasi.
Begitu juga dengan hal lain, semua ada aturan dan hukum hukumnya.
Itulah sebabnya kenapa orang orang yang ahli di dunia ini kebanyakan non muslim, karena mereka belajar, menyelidiki dengan sungguh2 tentang hukum hukum yang berlaku di alam.
Tuhan telah menciptakan manusia dengan sempurna dan memberikan manusia kemampuan untuk berfikir sehingga manusia bisa memahami hukum yang ada di alam dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Orang yang menjaga kesehatan pasti akan mendapatkan kesehatan sebaliknya orang yang tidak menjaga kesehatan akan mengalami sakit, ini tidak ada hubungan dengan ibadah.
Rasulullah SAW junjungan kita termasuk orang yang sehat sepanjang hidup bahkan Beliau hanya pernah sakit satu kali. Kenapa? Karena dalam keseharian Beliau menerapkan pola hidup sehat. Pola makan Nabi juga sehat, Beliau bersabda, “”Perut itu rumah (sumber) penyakit. Dan obatnya adalah pencegahan” dalam riwayat lain Nabi menganjurkan agar perut kita isinya dibagi menjadi 3 yaitu sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara atau anjuran Beliau makanlah sesudah lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Cara makan Nabi juga ada adab atau kesopanan yang selalu diterapkan oleh Nabi setiap saat.  Pertama-tama, makan dalam keadaan bersih, setidaknya, tangan harus sudah dicuci bersih. Makanan agar jangan terlalu panas. Selanjutnya membaca basmalah. Kemudian memakan sedikit garam. Makan dengan tangan kanan dan jangan menyuap makanan dalam jumlah yang banyak ke dalam mulut. Melainkan sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam mulut.
Selanjutnya, harus mengunyah makanan sampai halus, jangan minum di tengah-tengah makan, duduk yang lama, mengambil makanan yang lebih dekat, jangan menatap mata, dan disunnahkan setiap kali suapan, dalam pikiran kita mengucapkan rasa syukur atas rezeki dari Allah swt.
Adab makan lainnya adalah menggunakan jari dan sebisa mungkin tidak menggunakan sendok atau garpu kecuali makanan yang mengharuskan untuk itu. Nabi juga menganjurkan melengkapi makanan dengan sayur mayur. Sebelum minum, hendaknya makan sedikit garam lagi. Selesai makan, mengelus perut dari atas ke bawah. Jika ada sisa makan pada jari, dianjurkan untuk dijilat. Dan terakhir, mencuci tangan. Siapapun yang mengikuti pola hidup sehat seperti Nabi akan bisa sehat walaupun ibadahnya kurang bahkan tidak beribadah sama sekali.
Saya pernah membaca, seorang dokter non muslim sejak umur 20 tahun sampai umur 70 tahun, selama 50 tahun tidak pernah mengalami sakit walaupun hanya sekali sementara orang yang ibadahnya sangat rajin karena tidak mengetahui ilmu bagaimana menjaga kesehatan dengan baik sering kali mengalami sakit. Sekali lagi masalah kesehatan tidak ada hubungan sama sekali dengan ibadah atau keimanan.
Sering kali kita mengatakan sebagai “cobaan Tuhan” ketika kita gagal, padahal kegagalan itu terjadi karena kita tidak mengetahui hukum-hukum yang telah ditetapkan Tuhan atau salah menerapkan hukum yang telah dibuat oleh Tuhan. Seorang Guru Sufi mengatakan, “Tuhan hanya memberikan cobaan dan ujian kepada Wali-Nya, sedangkan orang awam apa yang dialami akibat kesalahannya sendiri”. Dari pada kita fokus kepada cobaan yang belum tentu itu sebuah cobaan, lebih baik kita merenungi, memperbaiki hal-hal yang membuat kita gagal dalam segala aspek kehidupan. “Salah dulu baru Benar” begitu nasehat Guru kepada saya, nasehat itu menjadikan semangat bagi kita untuk terus belajar, belajar dan belajar dalam segala hal agar kita terus bertumbuh, berkembang menjadi manusia yang lebih sempurna.
Tulisan ini mudah-mudahan bisa menjadi renungan kita semua agar tidak dengan mudah menyalahkan Tuhan ketika kita mengalami hal-hal buruk dalam hidup atau mengalami kegagalan.