Laman

Sabtu, 08 Februari 2014

Para Syeikh dari tharikat ini mengatakan soal tauhid.


Sesungguhnya Al-
Haq adalah Maujud, Qadim, Esa, Maha
Kuasa, Maha Perkasa, Maha Kasih, Maha
Menghendaki, Maha Mendengar, Maha
Agung, Maha Luhur,Maha Bicara, Maha
Melihat, Maha Besar, Maha Hidup, Maha
Tinggi, Maha Abadi dan selagalanya
bergantung kepada-Nya.

Allah Maha Mengetahui dengan sifat
Ilmu, Maha Kuasa dengan sifat Qudrat,
Maha Menghendaki dengan sifat Iradat,
Maha Mendengar dengan sifat Sama’, Maha
Melihat dengan sifat Bashar, Maha Bicara
dengan Kalam, dan Maha Hidup dengan
Hayat, serta Maha Abadi dengan Baqa’
Allah mempunyai Dua Hasta
kekuasaan (Dua Yad) yang merupkan sifat-
sifat yang dengannya menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya.

Maha Suci Allah dari
segala keharusan menentukan, dan hanya
bagi-Nya " wajah"yang bagus.

Sifat-sifat Dzat-Nya hanya khusus
bagi Dzat-Nya, tidak bisa dikatakan bahwa
sifat tersebut adalah Dia, dan bukan pula
sifat-sifat tersebut sebagai bujukan bagi-
Nya. Tetapi adalah sifat-Nya Yang Azali dan
Abadi.

Allah adalah Tunggal Dzat-Nya. Yang
tidak disamai oleh segala ciptaan, dan tidak
diserupai oleh semua makhluk.
Allah bukan jasad, materi, benda dan
bukan sifat baru, tidak tergambar oleh
khayal, tak terjangkau akal, tidak berpenjuru
dan bertempat.

Tiada waktu dan zaman
yang berlaku bagi-Nya. Dan tidak ada
penambahan dan pengurangan bagi sifat-
sifat-Nya.

Allah tidak dikhususkan oleh bentuk,
tidak dipotong oleh pangkal dan batas, tidak
ditempati yang baru, tidak didorong ketika
berbuat. Tiada warna dan tempat bagi-Nya,
dan tidak ada pula pertolongan untuk
menolong-Nya.

Dari kekuasaan-Nya tidak muncul
yang terkira, dan dari hukum-Nya tidak
diragukan oleh penyimpangan. Dari Ilmu-
Nya tidak tersembunyi oleh yang diketahui-
Nya. Dan Dia tidak dicaci atas pekerjaan-
Nya, bagaimana dia mencipta dan apa yang
dicipta.

Tidak bisa dikatakan kepada-Nya :
Di mana Dia, dan bagaimana Dia? Dan
wujud pun tidak akan berupaya membuka-
Nya, sehingga muncul kata-kata Kapan
ada? Keabadian-Nya tidak ada pangkalnya,
sehingga didkatakan : “Melampaui kekinian
dan zaman.”

Tetapi Allah tidak bisa
dikatakan : “Mengapa Dia berbuat terhadap
sesuatu ?” Kenapa, tidak ada sebab
langsung terhadap pekerjaan-Nya.”

Allah juga tidak bisa dipertanyakan :
Apakah Dia? Karen Allah bukanlah jenis
yang ditandai oleh sejumlah tanda
bentuknya. Dia melihat bukan dengan cara
berhadapan. Dan Dia melihat kepada selain
Diri-Nya, bukan dengan penyerupaan. Dia
mencipta, tidak dengan langsung dan
mencoba-coba.

Dia memiliki Asmaul Husnah dan
Sifat-sifat Luhur. Dia melakukan sesuai
dengan kehendak-Nya, dan memberi
kehinaan kepada hamba-Nya lewat hukum-
Nya.

Dalam kerajaan-Nya tidak ada yang
berjalan kecuali atas kehendak-Nya, dan
tidak terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan
yang telah didahului Qadha’. Apa yang
diketaui dari ciptaan-Nya, maka hal itu
dikehendaki-Nya. Dan apa yang diketahui
sebagai sesuatu yang tidak terjadi dari apa
yang wenang. Dia berkehndak untuk tidak
terjadi.

Allah adalah Pencipta rezeki hamba-
hamba-Nya, kebaikan dan keburukan rezeki
itu. Allah pula yang menciptakan alam dari
materi dan submateri. Allah yang mengutus
utusan untuk para ummat bukan sebagai
kewajiban bagi-Nya.

Allah sebagai Dzat
Yang disembah manusia melalui lisan Para
Nabi as, tidak seorang pun berpeluang
untuk mencaci dan mentang-Nya. Dan Nabi
kita Muhammad saw. ditetapkan melalui
mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang
cemerlang, yang tidak memberi keuzuran,
dan memberi penjelasan meyakinkan serta
mengenalkan mana yang mungkar.

Khulafaur
Rasyidin yang menjaga kemilaunya Islam
setelah wafat Nabi saw. selanjutnya dijaga
oleh generasi yang memagari kebenaran
dan penolongnya yang menjelaskan lewat
hujjah agama melalui lisan para Auliya-Nya.
Umat Nabi saw. terjaga dari kesesatan
ketika melakukan “IJMA”. Dan rekayasa
kebatilan sirna melaui dalil-dalil yang
ditegakkan.

Semuanya dilakukan oleh para
pejuang agama, karerna firman Allah swt :
“ Agar Dia memenangkannya di atas
segala agama-agama, meskipun orang-
orang musyrik benci .” (Qs. As-Shaff

Perjalanan Mencari Yang Haq


Ada dua jalan yang ditempuh orang dalam mencari yang haq dengan masing-masing dalilnya :
1. Man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu :
Barang siapa mengenal dirinya maka pasti dia akan kenal Tuhannya. (Dalil ini yang sangat populer dikalangan sufi, meditator , filosof, teolog)
2. Man `arafa rabbahu faqad `arafa nafsahu :
Barang siapa yang kenal Tuhannya pasti dia akan kenal dirinya.

JALAN PERTAMA,
Biasanya di lakukan oleh para PENCARI MURNI, mereka belum memiliki panduan tentang tuhan dengan jelas. Dia hanya berfikir dari yang sangat sederhana …yaitu ketika ia melihat sebuah alam tergelar, muncul pemikiran pasti ada yang membuatnya atau ada yang berkuasa dibalik alam ini, mustahil alam ini ada begitu saja dan alam merupakan jejak-jejak penciptanya … Dengan filsafat inilah orang akhirnya menemukan kesimpulan bahwa Tuhan itu ada.
Sebagian meditator atau ahli sufi menggunakan pendekatan filsafat ini dalam mencari Tuhan, yaitu tahapan mengenal diri dari segi wilayah-wilayah alam pada dirinya, misalnya mengenali hatinya dan suasananya, pikiran, perasaannya, dan lain-lain sehingga dia bisa membedakan dari mana intuisi itu muncul, apakah dari fikirannya, dari perasaannya, atau dari luar dirinya… ?

Akan tetapi penggunaan jalur seperti ini sering kali membuat orang mudah tersesat, karena pada tahapan-tahapan wilayah ini manusia sering terjebak pada ‘kegaiban’ yang dia lihat dalam perjalanannya, yang kadang-kadang membuat hatinya tertarik dan berhenti sampai disini, karena kalau tidak mempunyai tujuan yang kuat kepada Allah pastilah orang itu menghentikan perjalanannya. Karena disana dia bisa melihat fenomena / keajaiban alam-alam dan mampu melihat dengan Kasyaf apa yang tersembunyi pada alam ini, akhirnya mudah muncul ‘keakuannya’ bahwa dirinyalah yang paling hebat …akan tetapi jika dia kuat terhadap Tuhan adalah tujuannya, pastilah dia selamat sampai tujuannya…..

Teori yang dilakukan tersebut adalah jalan terbalik, karena dalam pencariannya ia telusuri jejak atau tanda-tanda yang ditinggalkannya (melalui ciptaan / alam), … ibarat seseorang mencari kuda yang hilang, yang pertama di telusuri adalah jejak tanda kaki kuda, kemudian memperhatikan suara ringkik kuda dan akhirnya di temukan kandang kuda dan yang terakhir dia menemukan wujud kuda yang sebenarnya. Hal ini sebenarnya sangat menyulitkan para pelaku pencari Tuhan, karena terlalu lama di dalam mengidentifikasi alam-alam yang akan di laluinya ….

JALAN KEDUA :
Adalah melangkah kepada yang paling dekat dari dirinya, yaitu Yang Maha Dekat, langkah ini yang paling cepat di tempuh dibanding dalil pertama. Karena dalil pertama banyak dipengaruhi oleh para filosof pada jaman pertengahan dalam hal ini filsafat Yunani. Teologi Kristen dan Hindu telah banyak mempengaruhi filsafat ini. sehingga Al Ghazali gencar mengkritik kaum filosof dengan menulis kitab tentang tidak setujunya dengan ide filsafat masa itu yaitu Tahafut Al Falasifah / kerancuan filsafat ….
Al-ghazali membantah pemikiran yang dimulai dengan rangkaian berfikir TERBALIK, beliau mengajukan gagasan bahwa ummat islam harus memulai pemikirannya dari sumber pangkal ilmu pengetahuan yaitu Tuhan, BUKAN dimulai dari luar yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, artinya sangat berbahaya karena di dalam filsafat memulai berfikirnya dari tahapan yang real menuju esensi dibalik semuanya berasal.

Sedangkan di dalam Islam menunjukkan keadaan Tuhan serta jalan yang akan di tempuh sudah di tulis dalam Alqur’an agar ummat manusia tidak tersesat oleh rekaan-rekaan pikiran yang belum tentu kebenarannya…
Pencarian kita telah di tulis dalam Alqur’an dan Allah menunjukkan jalannya dengan sangat sederhana dan mudah tidak menunjukkan alam-alam yang mengakibatkan menjadi rancu dan bingung karena alam-alam itu sangat banyak dan kemungkinan menyesatkan kita amat besar…

Mari kita perhatikan cara Tuhan menunjukkan para hamba yang mencari Tuhannya .
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perinta-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan menusia dan mengetahui apa yang di bisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS. Al Qaaf: 16)

Ayat-ayat diatas, mengungkapkan keberadaan Allah sebagai wujud yang sangat dekat, dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara utuh. Alqur’an mengungkapkan jawaban secara dimensional dan dilihat dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia seutuhnya. Saat pertanyaan itu terlontar, dimanakah Allah ? Maka Allah menjawab: Aku ini dekat, kemudian jawaban meningkat sampai kepada, Aku lebih dekat dari urat leher kalian .atau dimana saja kalian menghadap di situ wujud wajah-Ku dan Aku ini maha meliputi segala sesuatu ….
Sebenarnya tidak ada alasan bagi kita jika dalam mencari tuhan melalui tahapan terbalik.

Tahap pertama beliau nampak alam dan segala kejadian adalah satu bersama Allah SWT. dan pada
Tahap kedua nampak alam sebagai bayangan Allah; dan pada
Tahap ke tiga beliau nampak Allah SWT adalah berasingan dari pada segala sesuatu di alam ini.

Kalau hal ini hanya sebatas penjelasan terstruktur kepada muridnya, saya anggap hal ini tidak menjadi persoalan, akan tetapi jika tahapan-tahapan ini merupakan METODOLOGI dalam mencari tuhan, saya kira ini BERBAHAYA, karena yang akan berjalan adalah fikirannya atau gagasannya, yang akhirnya timbul khayalan atau halusinasi.

Di dalam islam memulainya dengan pengenalan kepada Allah terlebih dahulu yaitu dengan dzikrullah (mengingat Allah), kemudian kita di perintah langsung mendekati-Nya, karena Allah sudah sangat dekat..tidak perlu anda mencari jauh-jauh melalui alam-alam yang amat luas dan membingungkan ..alam itu sangat banyak dan bertingkat-tingkat. Tidak perlu kita memikirkannya…cukupkan jiwa ini mendekat secara langsung kepada Allah karena orang yang telah berjumpa alam-alam belum tentu ia tunduk kepada Allah, karena alam disana tidak ada bedanya dengan alam di dunia ini karena semua adalah ciptaan-Nya !!

Akan tetapi jika anda memulai dengan cara mendekatkan diri kepada Allah, maka secara otomatis anda akan diperlihatkan / dipersaksikan kepada kerajaan Tuhan yang amat luas. Maka saya setuju dengan dalil yang KEDUA, barang siapa kenal TUHANNYA (ALLAH SWT)maka dia akan kenal dirinya. Sebab kalau kita kenal dengan pencipta-Nya, maka kita akan kenal dengan keadaan diri kita dan alam-alam dibawahnya, karena semua berada dalam genggaman-Nya…karena Dia meliputi segala sesuatu …karena Dia ada dimana saja kita ada, … dan Dia sangat dekat.

dan bagi yang tidak kenal Alqur’an akan mudah sekali berhenti dan tersesat kepada alam-alam itu karena intuisi itu amat banyak yang muncul dari segala suara alam-alam tersebut

(Kesimpulan (buat my best Friend Josie Boleh Dong Kalo Saya Menyimpulkan, tapi jangan Diketawain ya:

Islam mengajarkan didalam mencari tuhan, telah diberi jalan yang termudah dengan dalil barang siapa kenal Tuhannya maka dia akan kenal dirinya … hal ini telah ditunjukkan oleh Allah bahwa Allah itu sangat dekat, atau dengan dalil …

“barang siapa yang sungguh-sungguh datang kepada Kami, pasti kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami… (QS: Al ankabut: 69 )
“Wahai orang-orang yang beriman jika kamu bertakwa kepada Allah niscaya dia akan menjadikan bagimu furqan (pembeda).“ (QS : Al Anfaal: 29)

Ayat-ayat ini membuktikan di dalam mendekatkan diri kepada Allah tidak perlu lagi melalui proses pencarian atau menelusuri jalan-jalan yang di temukan oleh kaum filsafat atau ahli spiritual di luar islam, karena mereka di dalam perjalanannya harus melalui tahapan-tahapan alam-alam. Islam di dalam menemuhi Tuhannya harus mampu memfanakan alam-alam selain Allah dengan konsep laa ilaha illallah … laa syai’un illallah … laa haula wala quwwata illa billah … tidak ada ilah kecuali Allah … tidak ada sesuatu (termasuk alam-alam) kecuali Allah, … tidak ada daya dan upaya kecuali kekuatan Allah semata ….maka berjalanlah atau melangkahlah kepada yang paling dekat dari kita terlebih dahulu bukan melangkah dari yang paling jauh dari diri kita ….

Mari kita endapkan keterikatan kita terhadap ‘isme’ yang kita miliki sekarang, sebab tidak akan objektif jika hal ini masih anda sandang karena kebenaran itu akan tetap benar walaupun keluar dari kotoran anjing. (maaf saya tidak bermaksud mengeluarkan keimanan anda). Saya ingin anda melihat sesuatu itu apa adanya, tidak bercampur dengan anggapan / mitos, karena kebenaran itu meliputi segala sesuatu Tidak ada yang terbebas dari kekuasaan yang maha mutlak. Walaupun saya mengungkapkan dengan kata-kata wahyu dalam alqur’an , saya akan tetap berbicara keuniversalan.

Sebelum kita memasuki kepada persoalan kebenaran MUTLAK, saya akan mengajak anda untuk memperhatikan gejala-gejala yang dialami oleh manusia, mulai dari gejala fisik, anda akan melihat sesuatu yang sama pada diri manusia. Fisik merupakan miniatur alam jagad raya, dimana dia tercipta dari untaian materi yang saling mengikat, bergerak, berevolusi, kemudian tumbuh dan berkembang. Juga anda perhatikan degup jantung, desah nafas, kedipan mata, yang bergerak bukan kemauan dirinya, semua ada diluar kekuasaan dirinya, itulah kebenaran adanya “kekuasaan” yang meliputi dirinya. Satu hal kebenaran yang bisa dirasakan bersama, baik orang hindu, islam, budha, atau kristen…( Allah meliputi orang-orang kafir ; QS. Al Baqarah:19).

Dari segi kejiwaan, dalam dirinya ada rasa, senang, cinta, bahagia, kebencian, dan kepuasan. Jika kesadaran akan kejiwaannya berkembang maka akan ditemui keistimewaan jiwa yang amat luas, misalnya seorang meditator mampu melihat jarak jauh dengan kekuatan fikiran (telepati), tidak terbakar oleh panasnya api dll, semua nya adalah fenomena yang bisa terjadi kepada siapa saja jika digali dengan latihan kesadaran yang benar … Kebenaran itu juga telah terjadi kepada orang yang tekun melatih kejiwaannya maupun fisik dengan baik, sehingga muncul kekuatan yang timbul seperti mukjizat (jika hal ini terjadi kepada seorang yang terdoktrin dengan suatu agama maka dia akan menyandarkan kekuatan itu kepada apa yang menjadi kepercayaannya)

Seperti halnya orang yang melatih pernafasan dengan baik, ia mengolah energi bioelektrik dalam tubuhnya sehingga mampu memberikan kekuatan yang luar biasa. Tidak heran jika seorang yang telah mahir menghimpun daya elektrik ia mampu memecahkan balok es, mematahkan besi baja, mampu mendeteksi barang yang tersembunyi, tahan pukul benda keras maupun senjata tajam ..dll
Semua itu ada terjadi kepada manusia penganut agama apapun, akan tetapi mereka menyandarkan kekuataan itu kepada apa yang di yakininya apakah itu kepada Yesus, Hyang Widhi, Tao, Sang Budha, Allah, dewa-dewa, dll, tergantung kepada doktrin kepercayaannya, tetapi pada hakikatnya kekuatan itu ada, tidak bisa dipungkiri.

Pada tatanan fenomena fisik dan psikhis, mungkin kita akan mengalami kesamaan dengan perjalanan meditator..penyembuh, pastor atau pendeta, biksu yang tekun berkonsentrasi kepada apa yang diyakininya (dalam hal ini Tuhan/ dewa-dewa) atau kadang juga sama dengan penggali olah jiwa yang tidak menggunakan pengertian ketuhanan sama sekali seperti orang-orang yang mengembangkan kekuatan psikologisnya telepati, hipnotisme dan olah rasa. Pengalaman-pengalaman ini bukanlah penentu sebuah klaim kebenaran agama tertentu, sehingga menganggap agama lain tidak mampu berbuat demikian, tidak !! Akan tetapi hal ini sebagaimana ilmu-ilmu yang lainnya bersifat universal, seperti perasaan rindu, cinta, sedih, bahagia dan ketenangan.

Keadaan ini bisa disebut sebagian dari pengalaman perasaan rohani. Yang tidak bisa di klaim sebagai milik orang islam saja, atau orang Kristen dan yang lain. Banyak pendeta yang berdoa digereja memohon kesembuhan bagi sipenderita sakit parah ia bisa sembuh, pendeta budha pun demikian, dan tidak sedikit pula dari kalangan islam yang bukan kyai bisa berdoa untuk yang sakit, iapun bisa sembuh !!

Lalu apakah sebenarnya yang terjadi terhadap mereka ini, sehingga apa yang mereka lakukan tampak tidak ada bedanya walaupun cara mereka berbeda dalam melakukan ritual, bahkan berbeda kepercayaan ketuhanannya !!

Allah dan Mahasuci-Nya


Sekalian alam, semua itu Mahasucinya Allah. Kalau Allah Mahasuci, alam itu pun mahasuci juga. Mahasucinya Allah itu, berupa zat wajiba alwujud (zat yang wajib Ada). Inilah wujud Qadim dan wujud muhaddas (baharu), artinya, wujud yang boleh ada, boleh di-ada-kan, boleh juga tidak di-ada-kan.

Wujud muhaddas ini terdiri atas empat:
1. Jirim Sesuatu yang berbentuk: dapat dlihat dan diraba dengan pancaindera.
Seperti diri manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda lainnya.
2. Jisim Sesuatu yang tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba dengan pancaindera, Seperti angin, bebauan, iblis, jin, setan <= jisim latif
3. Jawhar Sesuatu yang berbentuk cahaya-cahaya. Malaikat termasuk golongan ini.
4.`Arad Sekalian sifat-sifat makhluk (baharu), seperti tinggi, rendah, putih, legam, keras, lunak, kasar, dsb.

Allah tidak berupa jirim, jisim, jawhar, dan `arad ini. Kalau ada yang mempersamakan-Nya dengan jirim, jisim, jawhar, dan `arad, kemudian meyakininya, kafirlah dia!

Muakal-muakal, khodam-khodam, dan sebagainya itu, itu semua jin! Makhluk jisim.

Allah mengingatkan iblis, setan, jin itu sesungguhnya musuh-musuh kamu. Jauhilah! Mengapa ada manusia yang mau memberi sesajen ini-itu, bahkan ada yang mau berdatukkan para jin. Nauzubillah! Enyahkanlah perbuatan yang membawa kepada kesesatan.

Lihat kasus lumpur Lapindo itu, berapa kepala kerbau dilemparkan dan berapa banyak sesajen lainnya dipersembahkan, mengapa tidak surut juga?
Lihatlah batu (Gunung Merapi) disembah Mbah Maridjan diberi sesajen ini itu, kenapa masih meletup juga?

Sadarlah! Manusia itu laqad khalaqnal insaana fi ahsani taqwim. Manusia itu makhluk yang seindah-indah kejadian. Mengapa manusia mau menjatuhkan derajatnya di bawah Iblis, jin, setan?!!

Junayd, dan berguru kepada ibrahim al- Maristany. Di antara nasihat bliau :

Ahmad al-adamy

Abul Abbas – Ahmad bin Muhammad
bin Sahl bin Atha’ al-Adamy (wafat 309
H/921 M.), salah seorang tokoh terkemuka
di kalangan kaum Sufi, dan tergolong ulama
mereka.
Al-Kharraz sangat mengagungkan
perilakunya. Ahmad termasuk teman al-
Junayd, dan berguru kepada ibrahim al-
Maristany.
Di antara nasihat bliau :

“ Siapa mendisiplinkan diri pada etika
syariat, Allah swt. melimpahkan cahaya di
hatinya dengan nur ma’rifat.

Tidak ada
maqam yang lebih mulia dibanding
mengikuti sang kekasih Muhammad saw.
dalam segala perintah, perbuatan dan
akhlaknya .”

“Kealpaan terbesar adalah kealpaan
hamba terrhadap Tuhannya – Azza wa Jalla
– kemudian alpa dari perintah dan larangan-
Nya, dan alpa dari adab bermuamalat
dengan-Nya.”

“Segala yang Anda tanyakan, maka
carilah dalam kebajikan ilmu; bila Anda
tidak menemukan, carilah di medan hikmah.
Bila tidak Anda temukan, maka timbanglah
dengan tahuid. Masih saja tidak Anda
temukan pada ketiga tempat di atas, maka
pukulkan ke muka setan!.”

"Tobatnya Nabi Adam as"


Surah al-Baqarah ayat 37-39 "Tobatnya Nabi Adam as"

Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

"37. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya,maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."

Setelah keluar dari lingkungan yang tenang dan penuh kenikmatan, dan turun ke bumi yang penuh jerih payah, Adam memahami kesalahannya akibat tipuan Setan. Karena itu, ia menyesali perbuatannya dan bertekad untuk bertaubat. Namun bagaimana ia harus bertaubat sehingga diterima oleh Allah? Di sini Allah juga tidak melepaskan Adam. Allah mengajarkan beberapa kata dan kalimat untuk melahirkan penyesalan hatinya.

Kalimat-kalimat ini termaktub dalam surat al-A'raf ayat 23 yang artinya, "Keduanya berkata, "Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami, dan apabila Engkau tidak mengampuni kami dan tidak mengasihani kami, maka kami benar-benar termasuk orang-orang yang merugi."

"Taubat" menurut bahasa berarti kembali. Sewaktu kata ini dinisbatkan kepada manusia dimaksudkan kembali dari dosa, dan sewaktu dinisbatkan kepada Allah berarti kembalinya rahmat ilahi. Yakni, suatu rahmat yang dicabut oleh Allah lantaran dosa yang diperbuat oleh seseorang, dikembalikan kepadanya sebagai lanjutan kembalinya orang itu dari dosa.

Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 222, (Innallaha yuhibbut tawwabin) artinya, "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat."

Dari Umar Ibnul khaththab,ia berkata bahwa Rosulullah saw bersabda "Setelah adsm melakukan kesalahan ,maka ia berkata ,'Ya Tuhanku,aku memohon kepada-Mu melalui kebenaran Muhammad,kiranya Engkau mengampuni ku' Allah SWT berfirman 'Wahai Adam,bagaimana kamu mengetahui Muhammad,padahal ia belum aku ciptakan ? 'adam menjawab,'Tuhankusetelah Kau ciptakan aku,aku mengangkat kepala ku dan melihat tulisan dibeberapa saka guru 'Arasy yang berbunyi "Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah" maka aku menjadi tahu bahwa Engkau tak akan mengabungkan nama-Mu kecuali dengan makhluk yang paling Engkau Cintai.'maka Allah berfirman 'kamu benar hai Adam,sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling Aku cintai,jika kamu memohon kepada-Ku melalui kebenaran namanya,niscaya kaudiampuni,dan kalau bukan karena Muhammad,Aku takkan mencintai mu."

Oleh sebab itu manusia tidak boleh putus asa dari rahmat ilahi, bahkan harus senantiasa sebagai orang yang bertaubat dan memohon ampun. Karena bila hal itu dilakukannya, maka rahmat ilahi senantiasa bersamanya.

Dari ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sebagaimana taufik untuk bertaubat berasal dari Allah, cara dan jalan pelaksanaannya pun harus kita ambil dari Allah. Hal ini diajarkan Allah terkait ayat mengenai taubat Adam, kalimat dan kata-kata taubat diajarkan Allah kepadanya.
2. Apabila manusia benar-benar bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya, sebab Dia Maha Penerima taubat.
3. Penerimaan ampunan Allah diikuti dengan rahmat dan kasih sayang, bukan cacian, umpatan dan pencemaran harga diri.
4. Apabila kita merusak taubat dan melakukan dosa, maka janganlah kita berputus asa dari rahmat Allah, sebab Dia Maha Penerima taubat. Apabila kita bertaubat lagi, maka Allah menerima taubat kita lagi.

Ayat ke 38-39

قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

artinya :
ayat 38 "Kami berfirman: "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

ayat 39 "Adapun orang-orang yang kafir, dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka
itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."

Kelanjutan dari taubat Adam dan diterimanya taubat tersebut oleh Allah, sekali lagi dijelaskan dengan adanya perintah "Ihbituu yang berarti turunlah". sehingga jangan disangka bahwa taubat akan menyebabkan Adam, kembali ke taman surgawi itu. Ampunan Allah menghilangkan hukuman dosa, adapun akibat-akibat alami dosa tersebut tidak hilang dengan ampunan ilahi. Keluarnya Adam dari taman surgawi adalah akibat alami dari memakan buah terlarang, yang tidak dapat hilang dengan taubat.

Pada intinya, Adam dan isterinya harus keluar dari surga, dan tinggal di bagian lain bumi yang tidak memiliki sarana-sarana seperti itu. Keluarnya Adam dari taman itu mengakibatkan keluarnya keturunannya selama-lamanya. Karena itu, perintah "turunlah" ditujukan kepada semua manusia, tetapi selanjutnya disebutkan hidayah manusia, dimana Allah berfirman, "Aku mengirimkan sarana-sarana hidayah untuk kamu, baik kitab petunjuk maupun rasul petunjuk. Namun manusia menjadi dua kelompok; satu kelompok mengikuti, sedangkan kelompok yang lain mengingkari."

Pada permulaan penciptaan, Allah mengajarkan nama-nama segala sesuatu dan hakikat-hakikat wujud kepada Adam. Allah meletakkan potensi penyerapan ilmu, yang ilmu tersebut menjadi dasar kelebihannya dari para malaikat. Namun pengetahuan dan naluri akal ini tidak menjadi dasar keselamatan dirinya dari rayuan dan godaan setan, dan pada permulaan tersebut Adam tertipu dan tersesat. Lantaran itu, setelah menerima taubatnya dan menetapkannya di Bumi, Allah menyiapkan sarana-sarana petunjuk-Nya sehingga manusia dapat membedakan yang hak dari yang batil dan kebaikan dari kejahatan.

Turunnya wahyu adalah nikmat besar ilahi yang dikaruniakan Allah kepada manusia di samping akal. Meskipun turunnya wahyu dan sarana-sarana hidayah adalah suatu kelaziman bagi Allah, namun hidayah dapat diperoleh dengan ikhtiar manusia, bukan hidayah takwini dan ijbari (paksaan). Karena Allah tidak memaksa manusia untuk menerimanya. Jadi manusia bebas memilih jalannya dan ia dapat mengikuti petunjuk ilahi atau berpaling darinya. Kegelisahan terbesar manusia ialah kegelisahan terhadap masa depannya, baik masa depan di dunia maupun di akhirat.

Perhatian terhadap masa lalu dan umur yang telah terbuang menyebabkan kesedihan dan penyesalan atas hilangnya pelbagai kesempatan dan sarana. Namun setiap orang yang menerima hidayah ilahi, maka Allah pasti menjamin masa depannya dan ia tidak perlu lagi merasa gelisah. Demikian pula ia tidak akan mempersoalkan masa lalunya. Sebab ia berbuat segala sesuatu menurut tugasnya, meski perbuatannya belum mencapai hasil dan belum membuahkan keberhasilan-keberhasilan secara lahiriah.

Di samping mereka yang menerima hidayah ilahi melalui ikhtiar dan berakhir dengan kebaikan, terdapat segolongan manusia yang berpaling dari ayat-ayat ilahi dan mendustakannya atas dasar pengingkaran dan kekufuran. Sebab-sebab hidayah Allah adalah ayat-ayat-Nya yang jelas dan terang. Namun orang yang memandangnya atas dasar kekufuran dan penolakan kebenaran, tidak hanya menolaknya, bahkan mendustakan kebenarannya dan membohongkan kedatangan wahyu tersebut dari Allah Swt.

Akhirnya, pada Hari Kiamat orang-orang seperti ini merupakan korban api neraka. Karena pengingkaran dan pembangkangan merupakan sifat dan perilaku mereka selamanya, maka neraka akan menjadi tempat abadi bagi mereka. Ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa Allah juga menyiapkan sebab-sebab hidayah untuk orang-orang kafir, tapi mereka tidak mau menerima hidayah tersebut. Akibatnya api nerakalah yang menjadi bagian mereka untuk selama-lamanya.

Dari dua ayat tadi terdapat lima poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Terkadang satu perbuatan salah, akibatnya meliputi satu keturunan dan bangsa. Adam tidak melakukan lebih dari satu kesalahan, namun ia dan keturunannya dikeluarkan dari surga.
2. Allah sama sekali tidak menjauhkan rahmat-Nya dari manusia, meski Adam melanggar. Tapi Allah juga menetapkan jalan taubat dan menyediakan sarana-sarana hidayah baginya.
3. Hidayah ilahi bermula dan bersamaan dengan tinggalnya manusia di muka bumi. Satu-satunya hidayah hakiki ialah yang berasal dari sisi Allah.
4. Ikhtiyar merupakan kekhususan manusia. Manusia tidak dipaksa menerima hidayah. Oleh karena itu, di antara mereka ada yang menjadi kelompok mukmin dan kelompok kafir.
5. Orang-orang yang mendapat hidayah dan petunjuk ilahi berakhir dalam kebahagian hakiki dan jauh dari segala bentuk kegelisahan dan kegoncangan.

Maha Benar Allah DEngan SEgala Firman-Nya

semoga bermanfaat 
 

Makrifat Allah Tidak Ada Kaitannya dengan Amalmu


Jika Tuhan membukakan untuk mu pintu makrifat, jangan
kaupertanyakan amalmu yang sedikit. Karena Dia tidak
akan membukakan pintu makrifat, kecuali karena ingin
memperkenalkan Diri-Nya kepadamu. Tahukah kau
bahwa makrifat merupakan anugerah-Nya untukmu,
sedangkan amalmu adalah persembahan untuk-Nya. Tentu,
persembahanmu takkan sebanding dengan anugerah-Nya.

- Ibnu Atha'illah al-Iskandari -

DALAM PERJALANAN menuju Tuhannya, seorang salik harus memperbanyak amal untuk menekan dorongan-dorongan nafsu syahwat sehingga ia bisa sampai kepada Allah. Di sisi lain, seorang salik dituntut juga untuk ber-mujahadah dalam waktu lama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan di sela-sela itu ia merasa malas melakukan sebagian ibadah dan wirid yang diharuskan. Sehingga ia pun diterpa kegalauan dan frustasi, bahkan mungkin pula tergerak untuk meninggalkan semuanya. Padahal, di saat yang sama, ia telah sampai pada satu tahapan makrifatullah.

Oleh karena itu, Ibnu Athaillah menasihatinya bahwa jika Allah membukakan untuknya satu dari sekian pintu makrifat-seperti merasakan kehadiran dan pengawasan Allah atau menyadari bahwa pelaku ibadah sesungguhnya adalah Allah dan menyadari dirinya hanyalah objek penampakan perbuatan-Nya-maka saat itu ia tidak perlu lagi merasa heran dan bertanya-tanya mengapa itu bisa terjadi sementara amal yang dilakukannya baru sedikit? Karena tujuan dari semua amal adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dibukakannya pintu makrifat adalah bukti bahwa Allah mengasihi dan menyayanginya. Bisa jadi, seseorang sedikit melakukan amal karena memang ia sedang sakit. Jika orang ini mendapatkan makrifat, misalnya dengan mengetahui bahwa sakit baginya lebih baik ketimbang sehat dan bahwa Allah Maha Melakukan Apa yang DikehendakiNya, saat itu ia tidak perlu lagi mempertanyakan sedikit amalnya.

Allah membukakan untukmu pintu makrifat karena Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu, memberimu karunia-Nya, mendekatimu, dan menampakkan sifat-sifat dan asma'Nya untukmu. Tentu saja makrifat adalah karunia yang lebih besar dan agung untukmu dibandingkan dengan amalan-amalan lahirmu untuk-Nya. Hadiah dari seorang budak, walaupun bernilai tinggi, tetap hina dan kecil dibandingkan dengan hadiah dari seorang tuan walaupun itu sedikit. Hadiah dari seorang budak manfaatnya hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri, bukan tuannya.

Kesimpulannya, amal ibadah yang sedikit namun diiringi makrifat lebih baik daripada amal ibadah yang banyak tanpa makrifat. Jika seorang salik mendapatkan makrifat, ia harus segera menghadapkan hatinya kepada Tuhannya agar karunia makrifat dari Tuhannya itu ditambah. Ia juga harus lebih memedulikan makrifat tersebut ketimbang amalan-amalan lahir yang dilakukannya. Oleh sebab itu, amalan lahir para 'arif yang dilakukan di akhir usia mereka cenderung menurun. Mereka selalu merindukan masa-masa dahulu ketika mereka mendapat banyak cahaya karena banyaknya amal yang mereka lakukan.

Munajatnya Para Pecinta



Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Ya Ilahi, sekalipun bekalku tuk menuju-Mu kecil, namun prasangka baikku membuatku bertawakal pada-Mu 1

Sekalipun dosaku membuatku merinding akan siksa-Mu, namun harapanku telah membuatku merasa aman dari murka-Mu,
Sekalipun dosaku telah menyediakan diriku tuk menerima hukuman-Mu, namun kuatnya keyakinanku pada pahala-Mu telah mendukungku.

Sekalipun kelalaianku menidurkanku dari bersiap diri tuk bertemu dengan-Mu, namun pengetahuan telah membangkitkanku akan kemuliaan dan nikmat-nikmat-Mu,
Sekalipun dosa dan pemberontakan yang berlebih lebihan telah mengasingkanku dari-Mu, namun kabar gembira tentang ampunan dan ridha-Mu membuatku tenang

Aku memohon kepada-Mu dengan cahaya wajah-Mu dan sinar kesucian-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kelembutan rahmat dan kebaikan-Mu,
Tuk mewujudkan angan angan yang menjadi harapanku, yakni agungnya kemuliaan-Mu, indahnya nikmat-Mu, bisa dekat di samping-Mu dan melihat-Mu

Aku di sini menggadaikan diri agar bisa memperoleh kesegaran dan kelembutan-Mu, menengadah tuk menunggu hujan kemurahan dan kebaikan-Mu,
Aku lari dari murka-Mu menuju ridha-Mu, lari dari-Mu menuju-Mu 2 mengharap yang terbaik di sisi-Mu, menyandarkan diri pada pemberian-Mu,benar benar membutuhkan penjagaan-Mu.

Ya Ilahi, sempurnakanlah karunia-Mu yang telah kau mulai, jangan kau angkat anugerah-Mu yang telah kau beri, jangan kau buka apa yang dengan kebijakan-Mu telah kau tutupi, dan ampunilah segala perbuatan burukku yang telah kau ketahui

Ya Ilahi, aku memohon syafaat dari-Mu kepada-Mu, aku berlindung dari-Mu kepada-Mu, aku mendatangi-Mu tuk mengharap kebaikan-Mu, memohon kemurahan-Mu, aku mencari air dari melimpahnya keanggunan-Mu.
Mengharap hujan dari mendung keutamaan-Mu memohon ridha-Mu, berjalan menuju-Mu, mencapai jalan dukunngan-Mu, mencari sesuatu yang agung di sisi-Mu.
Sampai di hadapan keindahan-Mu tuk mengharapkan wajah-Mu, mengetuk pintu-Mu, merendah di hadapan kebesaran dan keagungan-Mu.

Dengan rahmat-Mu berbuatlah untukku sekehendak-Mu akan ampunan dan rahmat, jangan berbuat sesuai kemauanku berupa azab dan kesusahan, wahai Yang Pengasih.

Ruh Amal adalah Ikhlas


Jenis amal itu bermacam-macam karena asupan hati juga beragam.

- Ibnu Atha'illah al-Iskandari -

YANG DIMAKSUD asupan hati di sini adalah makrifat Tuhan dan rahasia ruhani yang masuk ke dalam relung hati. Asupan hati ini akan mendorong munculnya sifat-sifat dan ahwal (keadaan) terpuji. Ada yang membuahkan karisma. Ada yang mendorong kelembutan. Ada pula yang memupuk kedermawanan.
Kerapkali kaudapati sebagian murid yang rajin shalat, ada pula yang rajin puasa, dan sebagainya. Sebabnya adalah perbedaan asupan Ilahi yang mengakibatkan perbedaan kecenderungan seseorang. Setiap orang harus beramal sesuai dengan kecenderungannya jika ia belum mendapat bimbingan dari gurunya. Sebaliknya, apabila ia telah mendapat bimbingan guru, ia tidak boleh beramal, kecuali dengan izin sang guru.
Kesimpulannya, beragamnya wirid dan zikir yang dilakukan para murid adalah akibat dari beragamnya asupan yang masuk ke hati mereka. Setiap murid harus beramal sesuai dengan asupan hatinya atau sesuai bimbingan guru. la tidak boleh beramal berdasarkan asupan hati orang lain. Orang lain pun tidak boleh menentangnya hanya karena tidak melakukan apa yang dilakukannya.
Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.

- Ibnu Atha'illah al-Iskandari -

AMAL ITU ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Keikhlasan setiap orang berbeda-beda. Keikhlasan para 'abid (ahli ibadah) berbentuk bersihnya amal mereka dari sifat riya' yang nyata maupun yang tersamar dan dari niat yang didasari hawa nafsu. Mereka beramal karena Allah, mengharap pahala-Nya, serta ingin selamat dari azab dan siksa-Nya. Namun demikian, mereka menisbatkan amal itu pada diri mereka dan menjadikannya sebagai tempat bergantung untuk meraih apa yang mereka inginkan.
Sementara itu, bentuk keikhlasan para muhibbin (pencinta Allah) tergambar dalam niat amal mereka yang ditujukan sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka terhadap Allah; yang memang layak mendapatkannya. Dalam beramal, mereka tidak bertujuan mendapat pahala atau takut dari siksa-Nya.
Oleh sebab itu, Rabi'ah Al-Adawiyah berkata, "Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau berharap surga-Mu."
Sementara itu, keikhlasan para 'arif berbentuk kesaksian dan pandangan mereka bahwa Allah semata yang menggerakkan dan mendiamkan mereka. Mereka tidak merasa memiliki daya dan upaya dalam hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak beramal, kecuali dengan bantuan Allah, bukan dengan daya dan kekuatan mereka. Tingkat keikhlasan para 'arif ini merupakan tingkat keikhlasan tertinggi.
Kemudian, dalam hikmah berikut, Ibnu Athaillah memberi tips bagaimana cara meraih dan menumbuhkan keikhlasan.

Orang Arif Tidak Mencampuri Urusan Allah


Tekad yang kuat takkan mampu menembus dinding takdir.

- Ibnu Atha' illah al-Iskandari -

TEKAD ADALAH kekuatan jiwa yang bisa mempengaruhi segala sesuatu. Orang-orang sufi menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa-apa, kecuali dengan takdir dan ketentuan Allah.
Hikmah di atas menguatkan hikmah sebelum dan sesudahnya.
Seakan Ibnu Athaillah ingin menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya bila berbeda dengan keinginan Tuhanmu. Jika tekad yang kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kecuali dengan takdir dan izin Allah, apalagi tekad yang lemah, seperti halnya tekadmu, wahai murid. Hikmah ini ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yang menyala-nyala di dalam hatimu yang selalu yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada usahamu sendiri dan pasti berhasil.

Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu.
Urusan yang telah diatur Allah tak perlu kausibuk ikut campur.

- Ibnu Atha'illah al-Iskandari -

SESEORANG KERAP merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai dengan keinginan nafsunya. Kemudian, untuk menggapai rencana yang telah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai pekerjaan yang menyibukkan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yang telah direncanakannya itu tidak berhasil diwujudkan.

Dengan menggunakan lafaz "istirahat", Ibnu Athaillah ingin menjelaskan kepada para murid bahwa mereka dituntut untuk meninggalkan segala perkara yang menyebabkan keletihan dan penderitaan. Kecuali, jika perencanaan atau pengaturan tersebut ditujukan untuk sekadar memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan diri. Bahkan, pepatah mengatakan, "Perencanaan adalah setengah dari kehidupan."

Urusan-urusan yang telah diatur Allah hendaknya dijauhi oleh seorang murid. la tak perlu lagi sibuk mengurusi apa yang telah ditangani Allah karena tindakan semacam itu termasuk sikap "sok tahu" yang tak layak dilakukan oleh orang yang berakal. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan prinsip rububiyah (kepengaturan) dan takdir Allah, selain juga bisa melalaikan ibadah.

Hikmah di atas ditujukan sebagai peringatan bagi para murid karena biasanya apabila seorang murid sedang menghadap Tuhannya dan sibuk dengan zikir-zikir dan ibadah-ibadahnya, seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah, setan datang dan mulai membisikinya, mengiming-iminginya dengan berbagai hal yang sebagian besarnya tidak akan pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murid lalai, bahkan meninggalkan kebiasaan zikir dan ibadah. Tips untuk menghindari hal itu ialah banyak berzikir dan riyadhah (olah jiwa). Dengan zikir dan riyddhah, seorang murid akan dijauhi setan dan terhindar dari kesibukan menyusun rencana ini dan itu yang membuatnya letih.

Kegigihanmu dalam mencari apa yang telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu.

- Ibnu Atha'illah al-Iskandari -

MAKSUD DARI "apa yang telah dijamin" ialah rezeki dan karunia Allah.
Allah swt. berfirman, "Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allahlah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui," (QS. Al-'Ankabut [29]: 60).

Sementara itu, maksud dari "kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu" ialah kekurangan dalam melaksana-kan amalan-amalan yang bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu, seperti zikir, shalat, dan wirid. Allah swt. berfirman,
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku," (QS. Al-'Ankabut [291: 56)

Yang dituntut dari seorang murid ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan zikir-zikir kepada Allah dan melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya; bukan memberi makan yang lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.

Buta mata hati maknanya, hati tidak lagi bisa melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara-perkara indrawi.

Sikap Orang `Arif Ketika Khilaf


Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf.
- Ibnu Atha'illah al-Iskandari -

AMAL YANG DIMAKSUD di sini ialah amal ibadah, seperti shalat dan zikir. Ada dua kelompok orang yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah mereka (bukan pada Allah secara murni). Mereka itu adalah para 'abid (orang yang tekun beribadah) dan para murid (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.
Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik ('arif). Mereka tidak bergantung sedikit pun pada amal ibadah yang mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah swt. semata, sedangkan mereka hanyalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah swt.
Dalam hikmah di atas, Ibnu Athaillah menyebut salah satu tanda orang-orang yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka lakukan, bukan pada Allah secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah Yang Maharahmat yang akan memasukkannya ke surga, menyelamatkannya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap termasuk golongan 'abid atau murid. Namun, apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan 'arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan 'arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah atas dirinya.
Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah (merasa melihat Tuhan), golongan 'arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf, karena ia telah tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutnya kepada Allah, dan ketaatan pun tidak menambah rasa harapnya kepada-Nya.
Maka dari itu, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) 'arif dengan banyak melakukan olah batin (riyadhah) dan wirid.
Melalui hikmah di atas, Ibnu Athaillah ingin mendorong para
salik (peniti jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah; termasuk bergantung pada amal ibadah.

Beramal Demi Pahala adalah Berpindah dari Alam ke Alam

Beramal Demi Pahala adalah Berpindah dari Alam ke Alam, dan Perpindahan Terbaik adalah dari Alam ke Pencipta Alam

Jangan kaupergi dari satu alam ke alam lain sehingga kaumenjadi seperti keledai penggilingan yang berputar- putar; tempat yang ia tuju adalah tempat ia beranjak.
Namun, pergilah dari alam menuju Pencipta alam.
"Sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan," (QS. An-Najm [53]: 42).
— Ibnu Atha' illah al-Iskandari —

Maksudnya adalah beramal disertai dengan sifat riya' atau sifat- sifat tercela lainnya dan tidak bernilai syar'i. Jika seorang murid ber-mujahadah, lalu berhasil menjauhi sifat-sifat tercela, tetapi pada saat yang sama ia mengharapkan pahala dan ketinggian derajat atau maqam, ia masih dianggap tercela di mata para 'arif. Yang terpuji adalah yang meniatkan setiap amalnya hanya karena Allah semata.
Ibnu Atha'illah mengumpamakan kepergian dari satu alam ke alam lain dengan perjalanan keledai penggilingan yang hanya berputar-putar di tempatnya. Demikian pula dengan amal yang tidak ditujukan karena Allah. Orang yang beramal demi mengharap pahala, misalnya, dianggap sebagai orang yang bepergian dari satu alam, yakni alam riya', menuju alam lain, yakni alam pahala. Semua alam adalah sama; sama-sama materi.
Yang benar adalah kau harus pergi dari alam menuju Pencipta alam dengan cara mengikhlaskan amalmu hanya untuk-Nya dan tidak berharap balasan, baik langsung maupun tak langsung. Siapa yang beramal untuk mendapatkan kedudukan atau maqdm tertentu maka dia akan menjadi budak kedudukan itu. Siapa yang beramal karena Allah semata maka dia akan menjadi hamba Allah. Ini sama dengan kepergiannya dari alam menuju Pencipta alam.
"Sesungguhnya, Tuhanmu adalah puncak segala tujuan." Maksudnya, perjalananmu akan berakhir di hadirat-Nya sehingga keinginanmu terwujud. Sebaliknya, orang yang pergi dari satu alam ke alam lain, perjalanannya tidak akan pernah berujung kepada Allah dan ia tidak pernah akan sampai kepada-Nya.

44
Dengarlah sabda Rasulullah, "Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasulnya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul- Nya. Dan siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraihnya atau kepada perempuan yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya." Pahamilah sabda Rasulullah ini dan perhatikan hal tersebut jika kaumemiliki kecerdasan dan pemahaman.
— Ibnu Atha' illah al-Iskandari —

Hadis ini menegaskan makna hikmah sebelumnya. Hadis ini patut diperhatikan dan dicamkan baik-baik, terutama pada bagian akhir, yaitu bahwa hijrah seseorang akan berakhir di tempat yang menjadi tujuan hijrahnya. Maknanya, orang yang hijrahnya kepada dunia saja tidak akan meraih pencapaian dan kedekatan yang diraih oleh orang-orang yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya. Seakan Rasulullah memperingatkan kita tentang pengaruh buruk dunia dan perempuan terhadap jiwa bila kita terlalu terobsesi pada dunia dan perempuan.
Sabda beliau "maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya" bermakna pergi dari alam menuju Pencipta alam. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Adapun makna ungkapan "maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya" adalah tetap berada di alam, tidak ke mana-mana, dan hanya berputar-putar di tempat.

Kesimpulannya, kita dituntut untuk menguatkan tekad, menjauhkan keinginan dari makhluk, dan menggantungkan diri kepada Yang Maha Haq. Tentu, faktor yang bisa memudahkan kita sampai pada maqam ini ialah pergaulan dengan kaum 'arif yang mengenal Allah.

Berbaik Sangka Kepada Allah



Jika kau tidak bisa berbaik-sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifat-Nya, berbaik-sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakuan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu memberimu yang baik-baik dan mengaruniaimu berbagai kenikmatan?
— IbnuAtba'illah al-Iskandari —

Dalam hikmah ini, Ibnu Athaillah mengisyaratkan bahwa dalam berbaik sangka kepada Allah, manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan khusus dan golongan awam.
Golongan khusus berbaik sangka kepada Allah atas sifat-sifat-Nya yang baik. Sementara itu, golongan umum berbaik sangka kepada Allah atas perlakuan-Nya yang baik terhadap diri mereka, berupa karunia dan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka.
Ada perbedaan yang mencolok antara dua maqam tersebut. Ibnu Atha illah seakan berkata, "Wahai murid, kau harus berbaik sangka kepada Allah secara mutlak, baik itu atas manfaat yang telah diberikan-Nya maupun bahaya yang telah dijauhkan-Nya darimu. Kau tidak boleh berpaling kepada selain-Nya. Jika kau tak sanggup berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang khusus, kau bisa berbaik sangka kepada-Nya menurut tnaqam orang awam. Sikap berbaik sangkamu kepada Allah atas kebaikan sifat-sifat-Nya akan menumbuhkan cinta dan tawakal yang benar kepada-Nya. Baik sangkamu kepada-Nya atas perlakuan-Nya yang baik terhadapmu akan membuahkan syukur atas nikmat dan rahmat-Nya."

Sungguh aneh! Orang menghindar dari sosok yang tak bisa dihindari, lalu mencari sesuatu yang tidak kekal. "Sesungguhnya, mata kepala itu tidak buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada," (QS. Al-Hajj [22]: 46).
— Ibnu Atha" illah al-Iskandari —
Sungguh mengherankan! Orang ingin menghindari Allah dengan tidak melakukan apa yang sudah ditetapkan-Nya untuknya dan lebih suka mencari dunia dan perkara-perkara selain-Nya karena mengikuti hawa nafsu.

Tindakan seperti ini bersumber dari kebutaan mata hati dan kebodohannya tentang Tuhannya karena ia menukar sesuatu yang teramat baik dengan sesuatu yang hina. Ia juga lebih mengutamakan yang fana daripada yang kekal dan tak bisa dihindarinya. Sekiranya ia memiliki mata hati yang tajam, niscaya ia takkan melakukan hal itu.

Perintah Agama Tentang Sifat-sifat Manusia


Keluarkanlah sifat-sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan kehambaanmu agar kaumudah menyambut panggilan Yang Haq (Allah) dan dekat dengan-Nya.
— Ibnu Atha' illah al-Iskandari —

Keluarkanlah dari dirimu sifat-sifat kemanusiaan yang tercela dengan riyadhah dan mujahadah; baik itu sifat-sifat tercela yang lahir (seperti suka melakukan gibah, mengadu domba, membunuh, dan merampas) maupun yang batin (seperti sombong, ujub, riya,sum'ah [ingin terkenal], dengki, gila kehormatan, gila harta, dan sebagainya).
Jauhkan dirimu dari sifat-sifat yang bertentangan dengan predikat kehambaanmu agar kaumudah menjawab seruan Yang Haq. Ketika kauberhasil mengeluarkan sifat-sifat tercelamu dan menyisakan sifat- sifat baikmu (seperti tawadhu' [rendah hati] karena Allah, khusyuk di hadapan-Nya, mengagungkan perintah-Nya, menjaga hukum- hukum-Nya, takut kepada-Nya, dan ikhlas dalam menyembah-Nya), maka di saat datang seruan kepadamu, "Wahai hambaku!" kau pun akan dengan mudahnya menjawab, "Labbaik, Tuhanku!" Kau pun akan tulus dan ikhlas dalam menjawab seruan itu karena sifat-sifat yang bertentangan dengan kehambaanmu itu telah hilang darimu. Kau pun akan dekat dengan-Nya sehingga Dia akan menjagamu dari dosa (mahfuz) dan memudahkan segala amalmu yang kelak akan kaunikmati hasilnya.
Ada perbedaan makna antara mahfuz (terjaga dari dosa) dengan lafaz ma'shum (terlindungi dari dosa). Bedanya adalah, ma'shum sama sekali tidak pernah menyentuh dosa, sedangkan mahfuz terkadang melakukan kesalahan dan kekeliruan, tetapi tidak selamanya demikian. Saat keliru, seorang yang mahfuz akan langsung bertobat.

Ketahuilah, di mata ahli tarekat, menjauhi sifat buruk dan memiliki sifat mulia merupakan hakikat dan tujuan dari suluk. Hal itu tidak akan bisa diraih, kecuali oleh orang yang diberi taufik dan bimbingan Allah untuk mengenali dirinya sendiri dan mengetahui sifat-sifat buruknya. Karena siapa yang sudah mengenali dirinya dan sifat-sifat buruknya, ia akan waspada dan berusaha menghindari sifat-sifat buruknya. Jika tidak demikian, secara tidak disadarinya, ia akan terjerumus ke dalam hal-hal yang dibenci Tuhannya.

Tidak Ada Sesuatupun yang Menghijabi Allah, Manusialah yang Terhijab dari Allah



Yang Maha Haq (Allah) tidaklah terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga kau tak bisa melihat-Nya karena jika Dia dikatakan terhijab, itu artinya, sesuatu menutupi-Nya. Jika Dia tertutupi sesuatu, itu artinya, wujud-Nya terbatas. Segala sesuatu yang terbatas adalah lemah, padahal, "Dia adalah Mahakuasa (qahir) atas segala sesuatu." (QS. Al'An'am [6]: 18).
— Ibnu Atha 'illah al-Iskandari —

Terhijab bukanlah sifat Allah swt. Yang memiliki sifat terhijab hanyalah dirimu sendiri. Jika kauingin sampai kepada-Nya, kauharus mencari dan mengobati semua kekuranganmu, niscaya kau akan sampai kepada-Nya dan melihat-Nya dengan mata batinmu.
Hikmah di atas menepis anggapan yang menyatakan bahwa tidak mustahil Allah terhalang oleh hijab karena hijab biasa digunakan oleh para pembesar atau raja untuk memperlihatkan keagungan dan kemuliaannya. Jawaban terhadap anggapan ini adalah, sekiranya Allah terhijab oleh sesuatu, seperti halnya para pembesar dan raja, niscaya Allah terkurung di dalam hijab itu, terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah swt., berdasarkan firman-Nya, "Dan dialah yang berkuasa atas sekalian hattiba- hamba-Nya dan Dialah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui," (QS. Al-An'am [6]: 18).

Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah


Alangkah bodohnya orang yang menghendaki sesuatu terjadi pada waktu yang tidak dikehendaki-Nya.

— Ibnu Atha 'illah al-Iskandari —

Jika hati atau tubuh seorang murid sedang berada dalam satu keadaan (ahwal) tertentu, ia harus tetap menjaga kesopanan di hadapan Allah dengan merelakan diri untuk tetap berada pada ke­adaan tersebut sampai Allah sendiri yang memindahkannya dari sana. Dengan satu catatan: keadaan tersebut tidak bertentangan dengan syariat.

Misalnya, jika ia sedang berada dalam keadaan terlepas dari keduniaan (tajrid), ia harus menahan diri untuk terus berada dan rela dalam keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang memindahkannya ke keadaan yang lain. Jika tebersit di hatinya keinginan untuk mencari penghidupan (kasab), itu artinya ia tidak sopan kepada Tuhannya karena ia sudah menolak keadaan yang dikehendaki-Nya untuknya. Demikian pula, seorang murid dianggap tidak sopan terhadap Tuhannya, jika ia sedang berada dalam satu pekerjaan, namun ingin pindah ke pekerjaan lain, atau sedang berada dalam keadaan miskin, namun ingin menjadi kaya.

Empat puluh tahun silam, seseorang berkata kepadaku, "Bila Allah menempatkanku pada satu kondisi (ahwal), tidak pernah sedikit pun aku kesal. Bila Dia memindahkanku ke kondisi lain, tidak pernah sekali pun aku menolaknya." Ungkapan ini adalah buah dari ilmu dan pengetahuan (makrifat) tentang Allah dan ketuhanan-Nya.

Jika seseorang membenci keadaan dirinya saat ini, lalu ia bersi­kukuh ingin pindah dari keadaan itu dan menghendaki keadaan lain yang berbeda dengan apa yang ditampakkan Allah kepadanya, itu artinya, ia tidak mengenali Tuhannya sama sekali dan sudah bersikap tidak sopan terhadap-Nya. Tentu ini adalah tindakan menentang "hukum waktu" yang diisyaratkan oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi, menentang "hukum waktu" merupakan dosa paling besar.

Jangan meminta Allah untuk mengeluarkanmu dari satu kondisi agar kau bisa dipekerjakan-Nya. Jika memang Dia menghendaki, niscaya Dia akan mempekerjakanmu tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi itu.

— Ibnu Atha 'illah al-Iskandari —

Jika kau mengira bahwa keberadaanmu di satu kondisi telah meng­hambatmu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, jangan meminta-Nya mengeluarkanmu dari kondisi itu karena jika Allah mencintaimu dan kau termasuk ahli iradah (yang dikehendaki Allah), Allah akan mempekerjakanmu dengan penuh kasih sayang, membimbingmu

untuk melakukan amal-amal saleh, dan menyibukkan hatimu dengan- Nya, tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi lamamu.

Jika seorang murid berada dalam satu kondisi yang tidak sesuai dengan tujuannya (namun dari sudut pandang syariat, kondisi itu tidak terlarang), tak layak baginya untuk menghendaki keluar dari kondisi itu dan menentang "hukum waktu" —sebagaimana dijelaskan dalam hikmah di atas. Ia juga tidak layak meminta Tuhannya untuk segera mengeluarkannya dari sana agar bisa dipekerjakan-Nya pada kondisi lain karena kondisi itu adalah pilihan Allah dan ia tidak perlu bingung dalam hal ini.

Yang patut dilakukannya adalah tetap menjaga etika dan ke­sopanannya terhadap Tuhannya serta mendahulukan kehendak-Nya atas pilihannya sendiri. Jika Tuhannya melihat sikap baiknya ini, Dia akan mempekerjakannya tanpa perlu mengeluarkannya dari kondisi tersebut. Dengan demikian, ia pun beramal sesuai dengan kehendak Allah, bukan berdasarkan kehendaknya sendiri. Tentu, itu lebih baik baginya daripada mengedepankan pilihannya sendiri. Akan lebih baik lagi baginya bila ia juga meyakini bahwa ia akan mencapai tujuannya tanpa harus keluar dari kondisi tersebut.

Lain lagi halnya jika ia berada dalam kondisi yang tidak sesuai dengan syara'. Dalam hal ini, ia harus segera keluar dari kondisi tersebut dan meminta Tuhannya agar memindahkannya ke kondisi yang lebih diridhai-Nya.

Perbedaan Salik yang Diterangi Cahaya Tawajjuh

Perbedaan Salik yang Diterangi Cahaya Tawajjuh dan Washil yang Didatangi Cahaya-cahaya Muwajahah

"Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki (yaitu orang yang telah sampai kepada Allah) memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya (yaitu orang yang tengah menuju Allah) hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya,"
(QS. Ath-Thalaq [65]: 7).
— Ibnu Atha" illah al-Iskandari —
"Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki memberi nafkah menurut kemampuannya." Ini adalah gambaran tentang kondisi orang-orang yang telah sampai kepada Allah. Yakni orang-orang yang telah terbebas dari penjara pandangan keduniaan, dan telah sampai kepada alam tauhid dan kesempurnaan mata batin. Karena itulah, mereka dianugerahi rezeki berupa berbagai ilmu dan rahasia ilahi serta pandangan yang luas dan jauh ke depan. Sehingga, mereka pun dibebaskan untuk membantu orang lain, dengan mengajarkan ilmu dan pemahaman mereka, sekehendak hati mereka.
Sementara itu, orang yang disempitkan rezekinya adalah orang- orang yang sedang menuju kepada-Nya. Mereka tidak diberi keluasan rezeki berupa ilmu dan pemahaman. Mereka masih terkungkung dalam ruang sempit khayalan dan imajinasi. Sekalipun demikian, mereka masih diperbolehkan menafkahkan karunia Allah berupa ilmu dan pemahaman yang sedikit itu kepada orang lain. Namun dengan catatan: sebatas apa yang Allah ajarkan kepada mereka

Orang-orang yang sedang menuju Allah mendapat petunjuk melalui cahaya perjalanan, sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya mendapat petunjuk melalui cahaya pertemuan dengan-Nya. Golongan pertama mendatangi cahaya, sedangkan golongan kedua didatangi oleh cahaya. Allah swt. berfirman, "Katakan Allah', lalu biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya," (QS. Al-An'am [6]: 92).
— Ibnu Atha" illah al-Iskandari —
Cahaya yang didapat golongan pertama ialah cahaya yang didapat dari ibadah dan riyadhah (olah batin) yang dijadikannya sebagai jalan menuju Allah karena biasanya perjuangan akan membuahkan cahaya di dalam hati. Dengan cahaya itu, mereka akan berjalan menuju Allah.
Adapun untuk golongan kedua, justru cahaya Allahlah yang mendatangi mereka sehingga mereka akan mudah mengenali Allah tanpa perjuangan dan susah payah.
Golongan pertama akan menjadi budak cahaya dan amat membutuhkannya untuk sampai kepada tujuan dan keinginan mereka. Sementara itu, golongan kedua akan dengan sendirinya didatangi cahaya itu sehingga ia tidak perlu bersusah payah dalam mendapatkannya.
Adapun maksud firman "Katakan 'Allah'" ialah menghadaplah kepada-Nya semata dan jangan cenderung kepada cahaya-cahaya atau hal-hal selain-Nya. Kemudian, maksud "biarkan mereka bermain- main dalam kesibukannya" ialah bahwa tindakan memurnikan tauhid, setelah menyingkirkan kebendaan, merupakan sikap yang didasari haqqul yac\in (keyakinan yang kokoh), sedangkan melihat kepada selain Allah hanyalah permainan dan leha-leha. Tentu itu adalah sifat orang-orang mahjub (terhalang).

Usahamu untuk mencari-cari kekurangan yang tersembunyi di dalam dirimu lebih baik daripada usahamu untuk menyibak tirai gaib yang terhijab bagimu.
— Ibnu Atha' illah al-Iskandari —
Contoh kekurangan diri ialah sifat r iya', tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan, dan haus akan kedudukan. Maknanya, kau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyddhah dan mujdhadah, serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus di bawah bimbingan seorang guru. Langkah di atas lebih baik daripada usahamu dalam
menelusuri takdir yang terselubung, pelajaran yang tersembunyi, rahasia-rahasia Ilahi, ilmu laduni atau karamah. Biasanya, itu semua ditujukan demi kepuasan dirimu, bukan demi Tuhanmu.
Oleh karena itu, jangan kaucari semua itu dengan amalan- amalanmu. Jangan sibukkan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karamah tersebut karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu.
Oleh sebab itu, orang-orang berkata, "Jadilah pencari istiqamah, jangan menjadi pencari karamah." Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karamah, padahal Tuhanmu menuntutmu untuk istiqamah. Untuk itu, menunaikan hak Tuhanmu lebih baik ketimbang kaumenunaikan keinginanmu sendiri.

Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah Sebagi Bukti Keberadaan Alam

Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah Sebagi Bukti Keberadaan Alam dan Orang yang Menjadikan Alam Sebagai Bukti Keberadaan Allah

Betapa jauh bedanya antara orang yang berdalil bahwa
adanya Allah menunjukkan adanya alam dan orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah. Orang yang menyatakan bahwa "adanya Allah menunjukkan adanya alam" adalah orang yang telah mengenal al-Haqq (Allah) dengan kepatutan-Nya. Karena itulah, ia menetapkan keberadaan alam ini dari keberadaan pangkal (Dzat) yang membuatnya ada. Sementara itu, yang berdalil bahwa "adanya alam menunjukkan adanya Allah" adalah orang yang belum sampai kepada-Nya. Sebab, sejak kapan Allah itu gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan wujud alam dan kapan Allah itu jauh sehingga semesta ini harus menjadi pengantar menuju-Nya?
— Ibnu Atha ‘illah al-Iskandari —
Orang-orang yang dekat kepada Allah ada dua golongan, yaitu murad (yang dikehendaki Allah) atau majdzub (yang ditarik Allah untuk didekatkan kepada-Nya) dan murid (yang menghendaki Allah) atau salik (yang meniti jalan menuju Allah). Para murad atau majdzub adalah ahli syuhud.
Adapun para murid atau salik, perjalanan mereka menuju Tuhan masih terhalang akibat pandangan mereka terhadap dunia dan alam semesta. Di mata mereka, semesta teramat lahir, sedangkan Allah itu gaib. Mereka tidak melihat-Nya, karena itu mereka berdalil bahwa wujud alam semesta ini membuktikan wujud Allah.
Sementara itu, para murad atau majdzub, mereka langsung didekati Allah dengan Wajah-Nya Yang Mulia. Allah akan mengenalkan Diri- Nya kepada mereka. Karena itu, mereka pun akan mengenali-Nya. Semua makhluk dan alam semesta akan hilang dari pandangan mereka karena mereka berdalil bahwa wujud Allah adalah bukt dari wujud semesta. Mereka itulah kaum 'arif. Mereka termasuk orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya.
Namun, karena sikap istiqamah mereka terhadap kondisi mereka, tanda didekatkannya mereka kepada Allah (jadzab) tidak tampak pada diri mereka. Oleh sebab itu, ada yang mengatakan, "Akhir perjalanan seorang salik adalah awal perjalanan seorang majdzub."
Manusia yang paling kuat jadzab-nya adalah para nabi dan rasul. Inilah perbedaan antara dua kelompok tersebut.
Orang yang menggunakan Allah sebagai dalil wujud alam akan mengenal Allah sebagai wujud yang wajib. Dengan kata lain, wujud itu milik Allah semata. Adapun benda-benda yang hadits (baru), aslinya tidak berwujud. Oleh karena itu, mereka menetapkan bahwa semua yang hadits berasal dari wujud asal, yaitu Allah swt. Mereka menganggap bahwa wujud makhluk bersumber dari wujud Khaliq yang tampak pada diri makhluk. Jika tidak, makhluk itu tidak akan ada. Demikian menurut pandangan ahli syuhud.
Berbeda halnya dengan orang yang menggunakan alam untuk membuktikan wujud Allah. Ia menggunakan sesuatu yang tidak diketahui (majhul) sebagai dalil untuk membuktikan perkara yang sudah diketahui (ma'lum), menggunakan ketiadaan ('adam) untuk membuktikan keberadaan (wujud), atau menggunakan perkara yang tersembunyi (khafiyy) untuk membuktikan hal yang lahir dan nyata. Hal itu dikarenakan adanya hijab pada diri orang tersebut sehingga ia lebih suka menelusuri sebab-sebab daripada mencari Sang Pembuat Sebab.
Sejak kapan Allah gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan sesuatu yang hadir? Sejak kapan Allah jauh sehingga alam semesta inilah yang akan mendekatkan kita kepada-Nya, padahal alam semesta ini tadinya tidak berwujud? Demikian pertanyaan yang diajukan para ahli syuhud.
Sementara itu, orang-orang mahjub (yang terhalang dari-Nya) menjadikan alam semesta sebagai bukti wujud Allah. Mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu kaum awam dan para salik yang belum mencapai maqam ahli syuhud.

Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalangi oleh Sesuatu


Semesta itu seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh
wujud Allah. Siapa yang melihat semesta, namun tidak melihat'Nya di sana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya-cahaya lain dan terhalang dari surya makrifat karena tertutup tebalnya awan dunia.

— Ibnu Atha' illah al-Iskandari —

Di mata para ahli syuhud (orang yang menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu), dunia ini tidak berwujud. Yang membuat dunia ini nampak hanyalah wujud Allah semata, persis seperti pancaran sinar matahari yang masuk ke dalam sebuah lentera berkaca. Tak ada wujud, kecuali wujud Yang Mahabenar. Dengan kemunculan Allah pada segala sesuatu, semuanya menjadi ada, sesuai dengan tabiatnya masing-masing. Aslinya, mereka tidak berwujud dengan sendirinya.

Jika demikian, barang siapa yang melihat alam semesta ini tanpa merasakan kehadiran Allah di sana, berarti ia telah kehilangan nur Ilahi (cahaya Allah) yang membuatnya mendapat musyahadah. Di samping itu, ia juga tidak mungkin akan mendapat makrifat karena ia telah disilaukan oleh semesta ini.

Di sini Ibnu Athaillah menyinggung tentang bermacam-macam tingkatan ahli syuhud dalam memandang Allah. Di antara mereka ada yang menyaksikan sang Pencipta terlebih dahulu sebelum menyaksikan ciptaan-Nya. Jika pandangannya jatuh pada suatu benda, ia akan menyaksikan keberadaan Yang Maha benar dan bahwa hanya Dia yang menggerakkan dan mendiamkannya. Itu terjadi sebelum di benaknya tebersit apakah benda itu manusia ataukah domba, tinggi ataukah pendek, dan sebagainya.

Ada juga yang menyaksikan Tuhan setelah tahu bahwa benda yang disaksikannya itu adalah binatang. Ada yang menyaksikan Tuhan tepat di saat ia menyaksikan sebuah benda. Ada pula yang menyaksikan Tuhan pada benda itu.

Hikmah ini teramat sulit untuk dijabarkan karena semua pe­ngalaman di atas tidak bisa diungkapkan melalui ucapan atau tulisan, namun hanya bisa dirasakan. Orang yang mengalami syuhud akan kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya.

Di antara tanda kekuasaan Allah adalah Dia mampu menghalangimu dari melihat-Nya dengan sesuatu yang tidak ada.
— Ibnu Atha'illah al-Iskandari —

Para 'arif sepakat bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tidak ada. Segala sesuatu selain Allah dianggap tidak berwujud dibanding­kan dengan wujud-Nya.

Seorang 'arif berkata, "Para muhaqiq (peraih maqam makrifat) menolak untuk memandang selain Allah karena mereka telah berhasil menyaksikan kuasa dan keabadian Allah dalam mengatur dan meliputi segala sesuatu."

Semua hal selain Allah dianggap tidak ada, namun mengapa ia menjadi penghalang bagi manusia untuk dapat menyaksikan Allah? Mengapa saat manusia menyaksikan alam semesta, mereka hanya melihat wujud alam semesta tanpa melihat siapa yang mewujudkannya? Padahal alam itu tidak berwujud sama sekali karena yang mewujudkannya hanyalah Allah swt. Inilah yang amat mengherankan.

Kemudian, pada hikmah di bawah ini, Ibnu Athaillah menyebut­kan dalil-dalil yang menegaskan bahwa seorang 'arif tidak layak terhijab oleh semesta karena kondisi ini hanya dialami oleh orang- orang awam.

Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia yang menampakkan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu?

Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu? Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu1 Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak sebelum keberadaan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yang bersama-Nya? Bagaimana mungkin

Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal jika bukan karena Dia, wujud segala sesuatu tidak akan ada? Sungguh aneh, bagaimana mungkin keberadaan (wujud)

bisa tampak dalam ketiadaan ('adam)?! Atau, bagaimana bisa sesuatu yang baru bersanding dengan Yang Maha Dahulu?!

— Ibnu Atha'illah al-Iskandari —

Allah menampakkan segala sesuatu dengan cahaya wujud dari gelapnya ketiadaan. Dengan kemunculan cahaya-Nya dalam segala sesuatu, semuanya menjadi tampak. Jika wujud segala sesuatu bergantung pada cahaya-Nya, mustahil sesuatu itu menutupi-Nya sehingga membuat-Nya terselubung dan tidak tampak. Tindakan "menampakkan" meniscayakan penampakan Dzat yang melakukan­nya. Aliahlah yang menampakkan segala sesuatu agar orang-orang yang berakal menjadikannya sebagai bukti keberadaan-Nya.

Allah swt. berfirman, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS. Fushshilat [41]: 53).

Menurut ahli syuhud, Allah tampak pada segala sesuatu dengan penampakan dzat-Nya. Sementara itu, menurut ahli hijab, Dia tampak pada segala sesuatu dengan penampakan sifat dan asma1 Nya. Segala sesuatu hanyalah objek penampakan dari makna-makna asma'dan sifat-Nya. Pada benda atau orang yang mulia, tampaklah sifat Mahamulia ('aziz) milik-Nya dan pada benda atau orang yang hina, terlihatlah sifat Maha Menghinakan (mudzill) milik-Nya.

Pada setiap makhluk hidup tampak jelas sifat Maha Menghidup­kan (muhyi) milik-Nya. Saat Allah mencabut nyawa, tampaklah sifat Maha Mematikan (mumit). Saat memberi, terlihatlah sifat Maha Memberi (mu'thi). Saat menahan pemberian, terlihat sifat Maha Menahan (mani). Saat memberi karunia, tampak sifat Maha Memberi Karunia (karun). Saat mengabulkan doa, tampak sifat Maha Pengabul Doa (mujib). Saat menimpakan bahaya atau mendatangkan manfaat, tampaklah sifat Maha Pemberi Bahaya (dharr) dan Maha Pemberi Manfaat (nafi'), dan sebagainya.

Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia muncul atau tampak pada segala sesuatu sehingga bisa dikenali. Karena itulah, seluruh semesta alam bersujud dan bertasbih kepada-Nya, tetapi kita tidak mendengar dan memahami tasbih mereka. Semua makhluk di alam ini, baik itu yang bernyawa maupun yang tidak, mengenali Allah, namun itu bergantung pada kadar penampakan Allah yang dilihatnya. Jika ada makhluk yang tidak mengagungkan Allah sesuai kadar keagungan-Nya, maka hal itu disebabkan oleh lemahnya makrifat (pengenalan) tentang-Nya, bukan karena ketiadaan makrifat sama sekali.

Bagaimana mungkin Tuhan terhalangi sesuatu, sedangkan Dia Zahir sebelum wujud segala sesuatu? Karena osma-Nya sudah tampak sejak azali. Kemunculan Allah sendiri sudah merupakan sifat asli-Nya (zdhir), tidak didapat dari luar, tidak beralasan, dan tidak diserap dari mana saja. Sementara itu, kemunculan alam semesta adalah akibat kemunculan Allah di sana dengan sifat zahir-Nya. Jika demikian, bagaimana mungkin semesta dapat menghalangi-Nya?

Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Karena dalam setiap kondisi, wujud (keberadaan) lebih tampak daripada 'adam (ketiadaan), juga karena kemunculan substansial lebih kuat daripada kemunculan aksidental. Kemunculan yang bersumber dari diri sendiri lebih kuat daripada kemunculan yang diakibatkan faktor luar. Kemunculan mutlak lebih kuat daripada kemunculan relatif. Kemunculan yang abadi lebih kuat daripada kemunculan yang fana.

Wujud Tuhan tidak diketahui akal karena kemunculan-Nya amat dahsyat. Kemunculan dahsyat itu tak akan bisa diketahui oleh orang-orang lemah. Seperti halnya seekor kelelawar yang hanya mampu melihat di kegelapan malam, sedangkan di siang hari ia tidak mampu melihat apa-apa. Hal itu dikarenakan kuatnya kemunculan siang. Sementara itu, penglihatan mata kelelawar amat lemah. Ia tak sanggup melawan pancaran cahaya matahari. Kuatnya kemunculan siang dan lemahnya penglihatan itulah yang menjadi sebab kelelawar tak mampu melihat di siang hari.

Seperti itulah akal, ia amat lemah di hadapan kemunculan Ilahi yang sinar dan cahaya-Nya menyilaukan. Kuatnya kemunculan Ilahi inilah yang menjadi sebab ketersembunyian-Nya dari segala sesuatu.

Bagaimana mungkin sesuatu akan menghalangi Allah, padahal Dia Yang Esa dan tak ada sesuatu pun yang bersama-Nya? Karena segala sesuatu selain Allah tidak ada dan tidak berwujud. Dengan demikian, tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya karena semua wujud hakiki hanya milik Allah, bukan milik selain-Nya.

Bagaimana mungkin Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Karena Dia mampu meliputi dan mengaturmu. Allah swt. berfirman, "Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya," (QS. Qaf [50]: 16).

Menurut ahli syuhud, Dzat Allah amat dekat kepada kita. Adapun menurut ahli hijab, Tuhan dekat kepada kita dalam pengertian dekat ilmu, kekuasaan, dan sifat-sifat-Nya yang lain.

Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal tanpa Dia, segala sesuatu tidak akan ada? Sampai-sampai para musydhidun (yang merasa menyaksikan Allah) menjadikan Allah sebagai dalil untuk membuktikan keberadaan segala sesuatu.

Allah swt. berfirman, "Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS. Fushshilat [41]: 53).

Sungguh aneh, bagaimana mungkin wujud (keberadaan) tidak tampak dalam 'adam (ketiadaan)? 'Adam adalah kegelapan, sedangkan wujud adalah cahaya. Keduanya mudah dibedakan.

Bagaimana bisa sesuatu yang baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha Dahulu (qadim)? Bagaimana mungkin sesuatu yang baru muncul bersamaan dengan yang memiliki sifat qidam. Yang baru itu bathil, sedangkan Allah itu Haq (Mahabenar). Kebathilan akan sirna dengan adanya kebenaran.

Allah swt. berfirman, "Dan katakanlah, 'Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap.' Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap," (QS. Al-Isra'[17]: 81)

Sosok yang lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq, Allah swt., bukan alam semesta. Tak ada yang berwujud, kecuali Allah karena Dia yang tampak dan menampakkan, yang mawjud dan berbeda dari segala penampakan lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang bernada keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh mereka yang pernah merasakan pengalaman syuhud. Oleh karena itu, semakin kuat pengalaman syuhud yang dirasakan seseorang maka semakin sirnalah alam semesta ini dari pandangannya.

Hijrah menuju derajat orang shalih.


Ibrahim bin adham
Abu Ishaq – Ibrahim bin Adham bin
Manshur (1616 H.778 M.), dari daerah
Balkh. ( Balkh adalah daerah di bawah
kekuasaan Khurasan, yang kemudian
menjadi pusat kebudayaan dan keagamaan
masa kerajaan Thakharistan.
Dibuka oleh
Ahmad bin Qais pada tahun 653m ). Ibrahim
merupakan salah seorang anak raja. Suatu
hari ia keluar untuk berburu. Ia sangat
menginginkan memburu kelinci.
Lalu ada
sebuah bisikan, “hai Ibrahim, apakah untuk
itu engkau diciptakan? Apakah dengan
(perburuan) itu engkau diperintah?”
Kemudian bisikan itu muncul kembali,
“Tidak untuk itu engkau diciptakan, dan
tidak pula untuk tindakan demikian
diperintahkan.”

Ibrahim langsung turun dari kudanya.
Ia menemui penggembala yang bekerja
untuk ayahnya. Baju won penggembala itu
diambil dan dipakai. Sementara kuda dan
apa yang dimilikinya diberikan kepada
penggembala itu. Ia pergi melintasi padang
pasir, sampai masuk di Mekkah.

Di sana ia
berguru kepada Sufyan ats-Tsaury dan al-
Fudhail bin ‘Iyadh.
Lalu mukim di Syam
dan meninggal di sana.

Ibrahim makan dari hasil jerih
payahnya sendiri, seperti bekerja sebagai
pengetam dan pekerjaan lain di kebun-
kebun, serta yang lainnya.

Suatu ketika ia pernah di pdang
pasir berjumpa seseorang yang mengajari
Asma Allah Yang Agung. Kemudian ia
berdoa dengan Asma Allah tersebut, setelah
itu tiba-tiba ia melihat nabi Allaah Khidhr, a.s. yang
berkata kepadanya, “Orang yang
mengajarimu Asma Allah Yang Agung itu
adalah saudaraku Daud.”
Kami
mendapatkan kisah ini dari Abu
Abdurrahman as-Sulamy,

“Ibrahim bin
Bisyar berkata : “Aku belajar kepada
Ibrahim bin Adham, dan aku bertanya
kepadanya, “Kabarkanlah tentang awal mula
perjalanan ruhanimu
” Lalu Ibrahim
menyebutkan kisah tersebut.”

Doa yang sering dibaca adalah : “ Ya
Allah, pindahkanlah diriku dari kehinaan
maksiat kepada-Mu menuju keagungan taat
kepada-Mu !.”

Suatu ketika ia pernah berkata
kepada seseorang yang sedang thawaf,
“Ketahuilah, Anda tidak akan memperoleh
derajat orang-orang saleh, sampai Anda
melampaui enam langkah ini 1(Pertama) ,
Anda menutup pintu nikmat dan membuka
pintu bencana.

2(Kedua) : Anda menutup pintu
kemuliaan dan membuka pintu kehinaan.

3(Ketiga) , Anda menutup pintu istirahat dan
membuka pintu ketekunan.

4(Keempat), Anda
membuka pintu tidur dan membuka pintu
jaga/tdak tdur.

5(Kelima), Anda menutup pintu kekayaan
dan membuka pintu kefakiran/kemiskinan.

6( Keenam ),
Anda menutup pintu angan-angan dan
membuka pintu persiapan kematian.”

Suatu hari Ibrahim sedang menjaga
tanaman anggur. Seorang tentara lewat, dan
meminta,
“Berikan kami anggur itu!” Ibrahim
menjawab, “Pemiliknya tidak menyuruhku
memberikan kepada Anda.” Seketika itu
pula tentara tadi memukul Ibrahim dengan
cemetinya. Namun demikian Ibrahim justru
menyodorkan kepalanya, sembari berkata,
“Pukullah kepalaku yang selalu maksiat
kepada Allah saw. ini(sambil menyodorkan kepala)”

Tentara itu pun
lunglai dan pergi berlalu begitu saja.

Sahl bin Ibrahim berkata : “Aku
bertemu dengan Ibrahim bin Adham, lantas
aku sakit. Ia memeberikan nafkahnya untuk
diriku. Suatu saat aku ingin sekali pada
sesuatu, lantas Ibrahim menjual kudanya,
dan uangnya diberikan kepadaku. Ketika aku
ingin minta penjelasan, “Hai Ibrahim, mana
kudanya? Ia menjawab, ‘Sudah kujual!’
Kukatan, ‘Lantas aku naik apa?’
Dijawabnya, “Saudaraku, engkau naik di
atas leherku.’ Dan benar, sepanjang tiga
pos ia menggendongku.”

Dzun Nuun Al-Mishry: Konsep CINTA dan MAKRIFAT


Tokoh yang amat gemilang di abad ke sembilan dan sepuluh adalah Abdul Faidh Dzun Nuun Al-Mishry. Beliau berasal dari Naubah, yaitu negeri di antara negara Sudan dan Mesir. Boleh dikatakan bahwa beliaulah puncaknya kaum sufi dalam menuju Allah. Tujuan beliau adalah "mencintai Allah, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut akan berpaling jalan."
Ketika ditanya apa sesungguhnya hakikat cinta itu beliau menjawab,"Bahwa engkau harus mencintai apa yang dicintai Allah SWT, engkau membenci apa yang dibenci-Nya, engkau memohon ridho-Nya, engkau tolak apa sekalian yang akan merintangi engkau menuju Dia. Dan jangan takut kebencian orang yang membenci. Dan janganlah melihat diri sendiri. Karena dinding yang amat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri."
Pada suatu hari beliau berjumpa dengan seorang rahib. Kemudian Dzun Nuun bertanya kepadanya,"Apa arti cinta menurut pendapat tuan?"
Kemudian rahib tersebut menjawab,"Cinta sejati tidak mau dibelah dua. Kalau cinta telah tertumpah kepada Allah, tidaklah ada cinta kepada yang lain lagi. Kalau cinta bertumpah kepada yang lain, tidaklah mungkin dipersatukan cinta itu kepada Allah. Oleh karena itu bertafakkurlah engkau meneliti dirimu siapakah sesungguhnya yang engkau cintai?"
Kemudian Dzun Nuun meminta pula supaya diterangkan apa sebenarnya sari (inti) cinta. Rahib itu menjawab,"Akal pergi, air mata jatuh, mata tak mau tidur, rindu dendam memenuhi jiwa, dan kecintaan berbuat apa yang sekehendak."
Setelah itu Dzun Nuun pun berkata lagi:"Kami pun berpisah. Beberapa lama ketika aku menunaikan ibadah haji ke Mekkah aku melihat rahib itu sedang tawaf. Aku temui dia. Badannya terlihat lebih kurus dibandingkan dahulu. Ia berkata kepadaku:"Hai Abdul Faidh! Janji perdamaian telah ditandatangani, pintu telah terbuka dan Dia telah menganurahikan jalan bagiku agama Islam..."
Menurut Dzun Nuun Al-Mishry, Makrifat terbagi tiga :
1. Makrifat orang mukmin biasa;
Orang ini mengenal Allah karena ajaran yang memang telah diterimanya.
2. Makrifat orang yang ahli bicara (Mutakallimun) dan hukama (Filosof);
Mereka mencari Allah dengan perjalanan akalnya.
3. Makrifat Waliyullah ;
Yang dekat kepada ALLAH, dan kenal akan ALLAH dari qalbunya. Pandangan cinta dan makrifat inilah yang menjadi sandaran para ahli tasawuf/tarekat sesudahnya.

Rahasia Cinta dan Cinta Rahasia


Rasulullah S.a.w., ketika bersabda: “Pandangan seorang anak kepada kedua orang tuanya adalah ibadah.”
Dalam hadits mulia ini ada rahasia pengagungan cinta kepada Allah Ta’ala, sebagaimana menanjaknya cinta-cita para pecinta kepada Allah ta’ala. Maka memandang pada Allah adalah ibadah.
Anak-anak sekalian. Perlu kalian ketahui bahwa alam rahasia para pecinta, dan hasrat para perindu, adalah kebajikan kaum ‘arifin di dunia, dengan menyebut keluarnya dari dunia, sebagaimana disebutkan keabadian syurga bagi kebaikan ahli syurga. Tak ada yang lebih dicintai oleh pecinta dibanding bertemu Sang Kekasih. Seandainya bukan karena ajal yang telah ditentukan Allah Ta’ala bagi para perindu, pasti sudah mati nyawanya di badannya, karena dahsyatnya rindu kepadaNya.
Anas ra, berkata, “Ditanyakan kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah! Jika saja Allah berkehendak mengabadikan abadi pada para waliNya di dunia?”
Rasulullah Saw, menjawab, “Allah tidak ingin mengabadikan wali-waliNya di dunia, namun Allah memilih wali-wali dan kekasih-kekasihNya, untuk meraih kemuliaan utamaNya. Tidakkah kamu tahu bahwa pecinta selalu merindukan kekasihnya? Sungguh elok bagi orang yang ruhnya dan arahnya adalah bertemu Allah.”
Dalam suatu kisah Abu Hurairah ra, berkata pada kawannya, “Mau pergi kemana kamu?” Kawannya menjawab, “Aku mau membeli sesuatu untuk keperluan keluargaku.”
Lalu Abu Hurairah ra berkata, “Belikan aku kematian, kalau kamu bisa, lakukanlah. Karena begitu lama rinduku kepada TuhanKu. Sedangkan mati lebih kucintai dibanding minum air dingin bagi orang yang kehausan, dan lebih manis ketimbang madu.” Lalu beliau menangis sekeras-kerasnya, sembari berkata, “Duh rindunya aku….kepada Yang Melihatku, tetapi aku tak melihatNya…”. Lalu beliau pingsan.
Uwais ra ditanya, “Bagaimana kabarmu pagi ini?”
“Bagaimana ada kabar pagi bagi orang yang ketika pagi hari tidak ingin datangnya sore hari, dan ketika sore hari tidak ingin datangnya pagi, sedangkan rindunya panjang hingga ke relung hati?” jawabnya.

Kondisi Para Perindu
Malik bin Dinar ra, mengatakan, “Aku sedang berjalan di padang Bashrah, lalu kulihat pemuda berambut gimbal yang sedang sakit, menghadap kiblat sembari berkata, “Oh Matahatiku, betapa panjang rinduku padaMu, kapankah aku bertemu padaMu? Sampai kapan Engkau penjara aku untuk tidak menemuiMu?”
“Hai pemuda! Apakah sekarang ini waktunya pertemuan antara pecinta dengan kekasihnya?” Tanya Malik.
“Kekasih dalam segala waktu selalu ada, tak pernah tiada. Bahkan saat ini Dia tampakkan cintanya dengan membakar rindu cintanya, dan para perindu membuka rahasia-rahasia mereka dengan luapan api rindunya pada harapannya.”
Ada seorang dari penduduk Bashrah sedang menangis hingga matanya buta, lalu berkata, “Tuhanku oh Tuhanku kapankah aku bertemu denganMu? Maka demi kebesaranMu, seandainya antara diriku dengan DiriMu terbentang neraka yang menjilat pun, aku tak akan pernah surut padaMu —dengan pertolongan dan taufiqMu— sampai aku bertemu denganMu, dan aku tidak rela tanpa diriMu.”
Fath al-Maushily ra, mempunyai dua anak perempuan yang ma’rifat. Keduanya pergi haji, ketika kedua matanya memandang Baitullah, salah satu diantara keduanya pada berkata, “Duh, amboi, inikah rumah Tuhanku?!”
Saudarinya yang lain menjawab, “Benar.”
Lalu penanya tadi berteriak kencang, sampai akhirnya mati saat itu juga.
Kemudian saudarinya bermunajat, “Oh Tuhan, kuadukan diriku padaMu, dan begitu lama aku merindukanMu…Ah..Ah…Ah…..” Demikian akhir kata perempuan itu, lalu mati pula.
Dikatakan kepada abu Bakr al-Wasithy ra, “Apakah tirai Al-Quds?”

“Ia adalah tirai dinding yang dijadikan Allah Ta’ala agar didengar KalamNya dan Munajat padaNya, serta memandang WajahNya, sekehendak metreka dan kapan saja.”
Lalu beliau membaca ayat: “Dan bagimu di dalamnya apa yang engkau senangi oleh selera dirimu.”

Ibrahim bin Adham ra berkata, “Aku masuk ke bukit Lebanon, tiba-tiba ada pemuda yang berdiri sembari berkata, “Wahai Dzat yang hatiku terus mencintaiNya! Wahai yang nafsuku terus berkhidmah padaNya, dan rinduku begitu dahsyat padaNya. Kapankah aku menemuiMu?”

“Semoga Allah merahmatimu. Apa sesungguhnya tanda mencintai Allah?” tanyaku.
“Cinta berdzikir padaNya,” jawabnya.
“Tanda perinduNya?”
“Hendaknya ia tak pernah melupakanNya dalam segala situasi dan kondisi,” jawabnya.
Suatu ketika sebagian ahli ma’rifat sedang menjelang wafat, lalu isterinya menangis.
“Apa yang kau tangisi?” tanyanya.
“Bagaimana aku tidak menangis, sedangkan aku akan sendiri.”
“Duh kamu ini. Sejak empat puluh tahun aku sangat menangis penuh rindu untuk hari seperti ini. Inilah hari sampainya diriku, hari kesenangan dan bebasku. Duhai selamat datang hari penantian!”

Al-Hasan al-Bashri ketika sedang menjelang wafat, mereka sedang menalqin syahadat padanya. Lalu dua matanya terbuka dan berkata, “Sampai kapan kalian mendoakan aku kepadaNya, sedangkan aku terbakar rindu padaNya sejak dua puluh tahun?”
Sahl bin Ali ra, ditanya mengenai debaran hati Ibrahim al-Khalil, dan deru hati Kanjeng Al-Mushtofa Saw.?
“Debarannya datang dari rasa takut, dan deru hatinya dari rasa rindu.”
Rabiah Adawiyah ra menangis ketika menjelang matinya, dan tertawa ketika saat itu tiba. Maka ditanya kenapa demikian?

“Soal tangisku, karena aku segera berpisah dengan dzikir di tengah malam dan siangku. Sedangkan tertawaku, saking gembiranya hatiku segera bertemu denganNya.”. Lalu beliau wafat saat itu pula.

Abu Barda’ ra, sakit. Ia ditanya, “Maukah kami panggilkan dokter yang bias mengobatimu?”

Dia menjawab, “Dokter malah menyakitiku. Sudah begitu lama rinduku pada Tuhanku, dan rinduku pada pujaan hatiku Muhammad Saw, serta rinduku pada kawan-kawanku yang sudah mendahuluiku. Aku sangat takut jika berpisah dengan mereka.”

Dzun Nuun al-Mishry munajat, mulai malam hingga pagi: “Duhai Sang Penolong, duhai Sang Penolong….”. Lalu ia terdiam. Maka ia ditanya tentang hal itu.
“Semalam aku melihat dengan mata batin mengenai kinerja Allah Swt, hingga Dia menghamparkan latar cintaNya kepadaku, hingga aku tersengat rindu dahsyat, lalu aku mohon pertolongan padaNya agar segera keluar dari dunia, sebagaimana keinginan ahli neraka untuk keluar dari neraka.
Lalu aku melihat bahagianya para Mujtahid di dunia, dan para penempuh JalanNya di kegelapan malam, dan bagaimana mereka menggelar keningnya di hadapan Allah Yang Maha Tahu Yang ghaib, dengan kebeningan hati mereka. Baru aku merasa tenang.
Uqbah bin Salamah ra, berkata, “Tak ada saat yang paling mendekatkan hamba kepada Allah Swt dibanding ketika ia bersujud, dan tak ada yang lebih dicintai Allah dari seorang hamba dibanding hamba yang rindu menemuiNya.”
Dalam hadits disebutkan, “Sebaik-baik persembahan bagi mukmin adalah pertemuan dengan Tuhannya.”
Muhammad bin Yusuf ra, berkata, “Kalau aku harus memilih antara harus hidup di dunia seratus tahun, terus menerus beribadah dan sama sekali sekejap mata pun tidak bermaksiat, dibanding aku mati, sungguh aku memilih mati.”

“Kenapa demikian?” ia ditanya.
“Karena saking rinduku kepadaNya.”