Laman

Jumat, 11 April 2014

Orang Hebat

Seorang laki-laki paruh baya, suatu ketika lewat di depan sebuah masjid. Kebetulan di dalam masjid, sedang dilangsungkan tabligh akbar. Seorang Ustad muda, nampak berada di atas mimbar. Dengan menggebu-gebu, Ia menyampaikan banyak hal, salah satunya tentang tema karomah.

”Banyak cerita, para kekasih Allah yang lantaran karomahnya, wali tadi bisa berjalan mengambang diatas air, ada juga yang bisa terbang ke awang-awang, nglempit bumi juga bisa, merekalah orang-orang hebat” tandas Ustadz muda.

Hadirin tampak terpaku mendengar setiap keterangan sang Ustadz. Mereka tak beranjak dari tempat duduknya hingga acara tabligh usai.

Dan setelah sekian menit berlalu, acara di masjid itupun ditutup. Sebelum mengucap salam, Ustadz muda berdoa dan hadirin pun mengamini.

Satu persatu hadirin pun mulai meninggalkan masjid. Berbeda dengan lelaki paruh baya yang sejak tadi berada di teras masjid. Ia bermaksud menunggu keluarnnya Ustad muda untuk sekedar mengajak berbicara.

Usai disalami oleh beberapa hadirin, Ustad muda pun bergegas untuk keluar dari masjid untuk pulang. Tapi tanpa dinyana, baru sampai di teras masjid, langkahnya tertahan oleh sapaan salam.

Assalamu’alaikum Ustadz”

Wa’alaikumussalam, masyaallah Kiai,” ustad muda terkejut. Ia tak menyangka Kiainya di pesantren bisa berada di tempat itu. Ia segera menyalami gurunya.

“Nak, nak,…. seorang yang bisa terbang itu biasa, wong burung saja bisa terbang. Seorang yang bisa berjalan diatas air itu biasa, karena ikan pun bisa melakukannya, bahkan menyelam di air pun ikan bisa. Apalagi seorang bisa nglempit bumi, itu tidaklah hebat, setan musuh orang beriman itu secepat kilat bisa melakukannya,” Sang Kiai langsung berbicara.

Ustad muda, yang ternyata santri pak Kiai ini pun segera mafhum dengan maksud pembicaraan Kiainya. Ia menunduk sadar telah melakukan kesalahan saat berbicara di atas podium tadi.

”Orang hebat di zaman ini, bukanlah orang yang bisa melakukan berbagai hal-hal diluar nalar kebiasaan, tapi orang yang saat memiliki atau bahkan berkelebihan harta, ketika harta itu raib dan hilang tanpa jejak, hatinya tak sedikit pun peduli, dan bahkan berkata “Alhamdulillah”, orang-orang inilah yang layak disandangi orang hebat karena mereka memiliki sifat zuhud,” jelas Pak Kiai.

Mahabbah Dalam Bermujahadah


Mahabbatullah
Allah menerangkan Diri-Nya sebagai Yang Lahir dan Yang Batin (QS. Al-Hadid 57 : 3). Dunia dan isinya adalah pancaran dan alamat dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, semua realitas dunia memiliki aspek lahir dan aspek batin.
Demikian pula dengan kehidupan manusia, kehidupan lahir memang tidak sia-sia, namun berpuas diri semata-mata dengan masalah lahiriah, merupakan pengingkaran terhadap kodrat manusia yang sebenarnya, karena dasar-dasar terdalam keberadaannya untuk melakukan perjalanan diri yang lahir ke yang batin.
Bagi kaum sufi, pendalaman dan pengalaman batin adalah sesuatu yang paling utama dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriah yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa itu merupakan hasil usaha dan perjuangan (mujahadah) yang tidak henti-hentinya, sebagai cara perilaku perseorangan yang terbaik dalam mengontrol dirinya, setia dan senantiasa merasa dihadapan Allah SWT. Pencapaian kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pendidikan dan latihan mental (riyadhah) yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dari pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
Al-Ghazali mengumpamakan jiwa manusia bagaikan cermin, cermin yang mengkilap bisa saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda-noda hitam maksiat (dosa) yang diperbuat manusia (QS. Al-Muthaffifin 83 : 14). Apabila seseorang senantiasa menjaga kebersihannya, maka titik noda itu akan hilang dan niscaya cermin itu gampang menerima apa-apa yang bersifat suci dari pancaran Nur Ilahi, dan bahkan lebih dari itu, jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.
Memang diakui oleh para ulama tasawuf bahwa manusia dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya (QS. Yusuf : 53). Agar hawa nafsu seseorang dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadhah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) sebagai sarana untuk melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak. Langkah pertama adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruk sifat-sifat tercela dan kotoran hati itu, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka kebahagiaan akan diperoleh seseorang (QS. Asy-Syams 91 : 9-10).
Sifat-sifat tercela itu antara lain sifat hasud (dengki atau iri hati), hirsh (keinginan yang berlebih-lebihan), takabur (sombong), ghadlab (marah), riya’ (sikap pamer), sum’ah (ingin di dengar kebaikannya), ‘ujub (bangga diri), dan syirik (menyekutukan Allah).
Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan menghayati akidah (keimanan) dan ibadah kita, mengadakan latihan dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkannya dengan cara mencari waktu yang tepat untuk itu, serta melakukan koreksi diri (munasabah) dan berdo’a kepada Allah SWT.
Jenjang kedua ialah tahalli, yakni menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dan akhlak karimah. Untuk membangun benteng dalam diri masing-masing individu, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi ini perlu dibangun dan diperkokoh sifat tauhid (mengesakan Allah secara mutlak), ikhlas (beramal karena Allah semata), taubat (kembali ke jalan yang baik) , zuhud (sikap mental lebih mementingkan Allah/akhirat), khub (cinta Allah semata), wara’ (menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas kehalalannya), sabar (tabah), faqr (merasa butuh kepada Allah SWT), syukur (berterima kasih dengan jalan mempergunakan nikmat dan rahmat Allah SWT, secara fungsional dan proporsional), ridha (rela terhadap karunia-Nya), tawakkal (pasrah diri setelah berusaha) dan sebagainya.
Setelah seorang mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketenteraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya Nur Ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan demikian, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang batil dan mana yang haq. Dan secara khusus, tajalli berarti ma’rifatullah, melihat Tuhan dengan matahati, dengan rasa. Ini adalah puncak kebahagiaan seseorang, sehingga berhasil mencapai thuma’ninatul qalb.
Sifat-sifat yang tidak terpuji yang ada pada diri manusia juga dapat dihilangkan dengan menggunakan cara teori mahabbah.
Mahabbah adalah cinta, dan yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai berikut:
- Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya
- Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
- Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi, yang dimaksud dengan yang dikasihi disini ialah Tuhan.
Diantara ulama ada yang menempatkan mahabbah (cinta) sebagai bagian dari maqamat tertinggi yang merupakan puncak pencapaian sufi, dimana keseluruhan jenjang yang dilakui bertemu dalam maqom mahabbah.
Menurut as-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:
Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan, serta senantiasa memuji Tuhan.
Cinta orang yang shiddiq (الصديق), yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
Cinta orang yang ‘arif (العارف), yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang damai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Imam Junayd ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, sehingga tak satupun yang tertinggal kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.
Paham mahabbah mempunyai dasar al-Qur'an, umpamanya:
...فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ...
“…maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya…”.
Juga ada hadits yang membawa paham demikian, misalnya:
وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا
“Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.
Adapun cara-cara kita menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah ialah:
Dengan cara mengenali semua nama-nama Allah dan semua sifat-sifat-Nya tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah
Berfikir tentang ciptaan Allah, dengan cara memikirkan segala ciptaan-Nya maka pasti kita akan menyadari betapa besarnya kekuasaan Allah. Dengan cara merenungi ciptaan Allah tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah.
Sufi yang termasyhur dalam sejarah tasawuf dengan mahabbahnya adalah seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta yang mendalam kepada Tuhan memalingkan dia dari segala sesuatu selain Tuhan. Di dalam doanya ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak pula dimasukkan dalam surga. Yang ia pinta adalah dekat dengan Tuhan. Ia mengatakan “aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut terhadap neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tapi aku mengabdi karena takut kepada-Nya”. Ia bermunajat “Tuhanku jika aku puja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah karena engkau”.
Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwanya sehingga ia menolak semua tawaran kawin, dengan alasan bahwa dirinya adalah milik Tuhan yang dicintainya, dan siapa yang ingin kawin dengan dia haruslah meminta izin dari Tuhan.
Penulis sufi menetapkan beberapa tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah yaitu keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian meskipun tahap cinta dianggap sebagai tahap tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang ahli yang menyelaminya. Termasuk di dalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns). Ridho mewakili pada satu sisi ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan dari seorang pecinta terhadap kehendak yang dicintainya. Al-Hujwiri membagi empat golongan manusia yang ridho kepada Allah.
- Mereka yang ridho dengan pemberian-pemberian Allah, yaitu ma’rifat
- Mereka yang ridho kebahagiaan, yaitu dunia ini
- Mereka yang ridho terhadap penderitaan
- Mereka yang ridho menjadi pilihan Tuhan, yaitu cinta.
Syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan sang kekasih, dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu.
Adapun cinta menurut Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:
1. Cinta Ilahiyah: yang pada satu sisi ialah cinta khaliq kepada makhluk dimana ia menciptakan dirinya, yakni menerbitkan bentuk tempat dia mengungkapkan dirinya dan pada sisi lain cinta makhluk kepada Khaliqnya yang tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk, rindu untuk kembali pada Dia, setelah dia merindukan sebagai makhluk yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog abadi antara pasangan ilahi manusia.
2. Cinta spiritual: terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud dimana bayangnya dia cari dalam dirinya atau yang didapati olehnya bahwa bayangan itu adalah dia sendiri. Inilah dalam diri makhluk cinta yang tidak memperdulikan, mengarah atau menghendaki apapun selain cukup sang kekasih.
3. Cinta alami: yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih.
Cinta dan pengampunan Allah kepada manusia adalah rahmat. Sedangkan cinta manusia kepada Allah adalah suatu kualitas yang dimanifestasikan di dalam hati para mukmin. Sehingga dia akan selalu berusaha memuaskan kekasihnya, merasa serentak dan tanpa henti-hentinya untuk dapat memandang Allah serta tidak dapat dialihkan kepada siapapun kecuali Allah. Akan selalu merasa akrab dengan mengingat-ingatnya dan bersumpah tidak akan mengalihkan ingatannya kepada selainnya.
Para mukmin yang mencintai Allah terdapat dua macam:
1. Mereka yang menganggap bahwa kebaikan dan kedermawanan Allah kepada mereka dan dibimbing oleh anggapan tersebut untuk mencintai sang dermawan.
2. Bagi mereka yang tertawan hatinya oleh cinta dimana mereka berpendapat bahwa semua kebaikan-kebaikan Allah bagaikan sebuah hijab dan menganggap Allah sebagai dermawan akan membimbing pada perenungan kebaikan-kebaikan Allah.
Uraian di atas menjelaskan bahwa untuk menghilangkan sifat-sifat tercela seperti hasud, hirsh, takabur, ghadhab, riya’, sum’ah, ujub, dan syirik dan sebaginya, yaitu dengan cara pembinaan melalui tiga tahapan, yaitu takhalli, tahalli, tajalli.
Selain ketiga tahapan tersebut, dapat juga dengan cara menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah. Dengan adanya rasa cinta kepada Allah, maka apapun perbuatan yang kita lakukan semata-mata karena Allah. Jadi, untuk berbuat atau melakukan hal-hal yang tercela kita akan berfikir bahwa perbuatan tercela itu dibenci oleh Allah, maka karena rasa cinta kita kepada Allah kita akan menjauhi perbuatan tercela itu. Dan atas dasar rasa cinta kita kepada Allah, kita akan lebih merasa dekat dengan Allah dan rasa syukur kita akan apa yang diberikan Allah semakin bertambah. Kita akan merasa apa yang diberikan Allah kepada kita adalah karunia dan cobaan yang diberikan kepada kita itu atas dasar Allah masih sayang kepada kita dan masih memperhatikan kita.

Al-Fana dan al-Baqa


Fana - Baqa - Ittihad
Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah tokoh sufi pertama yang memperkenalkan konsep al-fana dan al-baqa serta konsep ittihad. Fana adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangan seorang sufi. Di mana ia tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu yaitu Allah. Dan Baqa adalah merupakan konsekuensi dari adanya fana, ketika seseorang bersatu dengan Tuhan (ittihad), dalam hal ini baqa mengandung pengertian kekal dalam kebaikan. Sehingga apa yang diupayakannya bisa tercapai yaitu bisa bersatu dengan Tuhan, yang dalam bahasa Abu Yazid disebut dengan istilah ittihad.
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu, dan al-fana jauh lebih berbeda dengan al-fasad (rusak), fana artinya tidak kelihatannya sesuatu, sedang al-fasad adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Konsep ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Sina di mana ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan bersifat alam, di mana ia mengambil konklusi bahwa keberadaan benda alam itu berdasarkan permulaannya, bukan perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lain, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana bukan dengan fasad.
Adapun makna fana dalam pandangan kaum sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya dan dari makhluk lainnya. Sebenarnya dirinya tetap sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya. Dalam konteks lain, fana mengandung pengertian gugurnya sifat-sifat tercela, makna lainnya bergantung sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana an-nafs). Fana an-nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah.
Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathahat) yang dia ungkapkan, seperti : “Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.
Al-Busthami pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang ia lihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya, kemudian ia naik haji lagi, maka selain melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhan Ka’bah. Pada haji ketiga, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhan Ka’bah.
Tentang kefanaan Syaikh Abu Yazid al-Busthami ini, pernah dikisahkan oleh sahabatnya, Dzun Nun al-Mishri yang mengutus seseorang untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan itu sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid, terjadilah percakapan antara utusan Dzun Nun dengan Abu Yazid :
Abu Yazid : “Siapa di luar?”
Utusan : “ Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid”
Abu Yazid : “Abu Yazid siapa? Dimana dia? Saya pun mencari Abu Yazid
Rombongan utusan itu pun pulang dan kemudian memberitahukan kepada Dzun Nun. Mendengar keterangan itu Dzun Nun berkata: “Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana."
Kejadian yang menimpa Abu Yazid ini disebabkan keinginannya untuk selalu dekat dengan Tuhan. Bahkan ia selalu berusaha untuk mencari jalan agar selalu berada di hadirat Tuhan. Ia pernah berkata: “Aku bermimpi melihat Tuhan”, Aku pun bertanya: “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?”. Ia menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah.”
Menurut Abu Yazid ada empat situasi gradual dalam proses fana, yakni:
-Tingkatan fana yang paling rendah yaitu fana yang dicapai atau dihasilkan melalui mujahadah
-Tingkatan fana terhadap kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka
-Fana terhadap pemberian Allah
-Fana terhadap fana itu sendiri (fana al-fana)
Apabila seseorang telah mencapai fana pada tahap akhir, seseorang akan secara totalitas lupa terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi padanya. Hatinya sudah tidak lagi terisi oleh kesan apapun yang ditangkap oleh panca indera.
Konsekuensi dari terjadinya fana itu, maka terjadi pulalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan dalam kaca mata sufi, baqa mengandung makna kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Sedangkan menurut Abu Yazid, baqa adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan yang dirasakan hanyalah sifat-sifat Tuhan yang kekal dalam dirinya dengan kata lain merasa hidupnya selaras dengan sifat-sifat Tuhan, sistem kerja fana-baqa ini selalu beriringan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli tasawuf.
“Apabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal”
Kata al-Busthami, “Ia telah membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan aku pun hidup”, aku berkata: "Bila pada diriku adalah kehancuran (fana) sedang gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup (baqa)”. Al-Busthami juga berkata: “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, sampai aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku hidup."
Untuk mencapai station al-baqa ini seseorang perlu melakukan perjuangan dan usaha-usaha yang keras dan kontinyu, seperti dzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji. Jika dilihat dari sisi lain, yang disebut fana dan baqa itu dapat pula disebut sebagai ittihad.
Situasi ittihad itu diperjelas dalam ungkapannya: “Tuhan berkata: semua mereka kecuali Engkau, adalah makhluk-Ku. Akupun berkata: Aku adalah engkau, Engkau adalah Aku”.
Ungkapan kata Abu Yazid ini telah mendapat tanggapan, bahkan kecaman dari para ulama di zamannya. Bagi para ulama yang toleran menilainya sebagai suatu penyelewengan, tetapi bagi ulama yang ekstrim menilainya sebagai suatu kekufuran. Namun ada pula yang menilainya merupakan kasus tertentu bagi seorang sufi dan kata-kata yang dilontarkan adalah kata-kata yang terlontar di kala kondisi kejiwaannya tidak stabil. Dalam kondisi seperti ini, seorang sufi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan diri pribadinya, dan dia pada saat itu tidak mampu lagi mengendalikan dirinya.
Karena keinginan yang mendalam untuk selalu dekat dengan Tuhan, mengakibatkan seakan-akan Abu Yazid merasa bersatu dengan Tuhan. Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan sang Khaliq, ini dapat dicermati dari syathahat yang diucapkannya, dan dalam hal ini ucapan tersebut tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum. Karena orang yang berkata pada waktu itu sedang mabuk. Mabuk oleh fananya, oleh tiada sadar diri lagi, sebab tenggelam dalam tafakkur. Ungkapan Abu Yazid tentang fana dan ittihad menurut al-Taftazani: “memang terlalu berlebih-lebihan”, antara lain seperti yang diucapkan Abu Yazid: “Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah Aku”.
Abu Yazid juga pernah mengatakan: Tuhan berfirman: “Semua mereka, kecuali Engkai adalah Aku, dan Aku adalah Engkau"
Secara harfiah ungkapan-ungkapan Abu Yazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Abu Yazid pribadi. Dialog yang terjadi pada waktu itu pada hakekatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana an-nafs. Pada saat bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud, yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapannya itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan :
“Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya, sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana.”
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan oleh Fir’aun. Proses ittihad ini menurut Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang terlihat.
Sudah banyak usaha dilakukan untuk menjelaskan kepribadian dan ucapannya yang penuh teka-teki, yang terbaik kata Schimmel, adalah sebuah telaah pendek namun mendalam yang dilakukan oleh Helmut Ritter, R.C. Zaehner telah menekankan kemungkinan adanya pengaruh India pada Abu Yazid. Tampaknya R.A. Nicholson juga cenderung berpendapat bahwa Abu Yazid, khususnya faham fana dipengaruhi oleh ajaran India yang diterima dari Abu Ali al-Sindi. Annemarie Schimmel meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Abu Yazid menerima ajaran dari Abu Ali al-Sindi.
Memang di kalangan para sufi sendiri terjadi perbedaan pendapat, namun demikian, kita tidak bisa begitu saja khususnya di kalangan mujtahid untuk terus berkiprah berusaha menggali tasawuf dari sumber aslinya untuk mencari kemurnian tasawuf itu hingga saat ini, seperti Muhammad Iqbal, Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dan sebagainya. Dan hasil pengkajian mereka itulah, maka ajaran tasawuf seperti fana dan ittihad dan sejenisnya bisa dikaji ulang untuk dikembalikan pada bentuk aslinya pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat.
Perlu juga diketahui bahwa paham ini jauh berbeda dengan faham hulul-nya Husain bin Manshur al-Hallaj. Di mana dalam faham hulul ini Tuhan lah yang mencari dan mengambil tempat tubuh manusia tertentu untuk ditempatinya, dengan kata lain Tuhan sendiri yang melebur dalam diri manusia, setelah manusia telah mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana, sedangkan kalau ittihad, manusia yang berusaha sendiri untuk menarik diri Tuhan melalui metode al-fana.

Ekspresi Abu Lahab atas Kelahiran Muhammad SAW


Suatu hari, Senin, Tsuwaibah datang kepada tuannya Abu Lahab seraya memberikan kabar tentang kelahiran bayi
mungil bernama Muhammad, keponakan barunya. Abu Lahab pun bersuka cita. Ia melompat-lompat riang gembira seraya
meneriakkan kata-kata pujian atas kelahiran keponakannya tersebut sepanjang jalan.
Sebagai bentuk luapan kegembiraan, ia segera mengundang tetangga - tetangga dan para kerabat dekatnya untuk merayakan
kelahiran keponakan tercintanya ini: Bayi laki-laki yang mungil, lucu, sempurna.
Tidak cukup sampai di situ, Sebagai penanda suka citanya, ia berkata kepada budaknya Tsuwaibah di hadapan khalayak
ramai yang mendatangi undangan perayaan kelahiran keponakannya, ”Wahai Tsuwaibah, sebagai tanda syukurku atas kelahiran keponakanku, anak dari saudara laki-lakiku Abdullah,
maka dengan ini kamu adalah lelaki merdeka mulai hari ini.
Demikian dikisahkan dalam kitab Shahih Bukhari. Ini pada hari Senin pada satu tahun yang kemudian dikenal dengan Tahun Gajah.
Kelak Abu Lahab tampil menjadi salah satu musuh Muhammad SAW dalam berdakwah. Bahkan sosoknya yang antagonis dikecam dalam satu surat tersendiri dalam Al-Qur'an. Ia ingkar terhadap risalah
kenabian.
Namun karena ekspresi kegembiraannya menyambut kelahiran keponakannya, menurut satu riwayat, Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa kubur, yakni pada setiap hari Senin.

S I I R


Sirr juga temasuk nuansa halus dalam
hati manusia, sebgaimana arwah.
Akarnya
menunjukkan bahwa sirr adalah temepat
musahadah, sebagaimana arwah tempat
mahabbah.
Sedangkan kalbu tempat ma’rifat.

Para Sufi berkata aL “Sirr" adalah
sessuatu yang membuat Anda mulia.

Sedangkan rahasia sirr, adalah sesuatu yang
tidak bisa terungkap selain Allah Yang Haq.”

Dari kesimpulan para kaum Sufi, kita
memandang bahwa sirr lebih lembut
dibanding ruh.
Dan ruh lebih mulia dibanding
kalbu.

Mereka berkata : “Sirr selalu merdeka
dari belenggu tipudaya, baik dari pengaruh
dunia maupun kesenangan.”

Kata sirr diucapkan bagi segala hal
yang terjaga dan termasuk antara hamba
dengan Allah swt. dalam ihwal ruhani.
Dalam
hal ini, ucapan seseorang yang mengatakan,
“Rahasia-rahasia kami adalah keperawwanan
yang masih suci.
Sedang mereka ragu,”
masuk kategori ucapan sirr.

Mereka mengatakan : “Hati orang-orang
merdeka, selalu menerima rahasia-rahasia
jiwa (asraar).

Status penutup...
Wassalamualaikum..

Isi kandungan ini semua saya Ambil dari kitab Risalatul Qusyairiyyah ..
Bagian 2 selesai..
Besok sambung bagian 3 ..(insyaAllah)

Kisah Ayah Imam Syafii


Seorang pemuda bernama Idris berjalan menyusuri sungai. Tiba-tiba ia melihat buah delima yang hanyut terbawa air. Ia
ambil buah itu dan tanpa pikir panjang langsung memakannya. Ketika Idris sudah menghabiskan setengah
buah delima itu, baru terpikir olehnya, apakah yang dimakannya itu halal? Buah
delima yang dimakan itu bukan miliknya. Idris berhenti makan.

Ia kemudian berjalan ke arah yang berlawanan dengan
aliran sungai, mencari dimana ada pohon delima. Sampailah ia di bawah pohon delima yang lebat buahnya, persis di
pinggir sungai. Dia yakin, buah yang dimakannya jatuh dari pohon ini. Idris lantas mencari tahu siapa pemilik pohon delima itu, dan bertemulah dia
dengan sang pemilik, seorang lelaki setengah baya. “Saya telah memakan buah delima anda. Apakah ini halal buat saya? Apakah anda
mengihlaskannya?” kata Idris.
Orang tua itu, terdiam sebentar, lalu menatap tajam. “Tidak bisa semudah itu. Kamu harus bekerja menjaga dan
membersihkan kebun saya selama sebulan tanpa gaji,” katanya kepada Idris. Demi memelihara perutnya dari makanan yang tidak halal, Idris pun langsung menyanggupinya.
Sebulan berlalu begitu saja. Idris kemudian menemui pemilik kebun. “Tuan, saya sudah menjaga dan membersihkan kebun anda selama sebulan. Apakah tuan sudah menghalalkan delima yang sudah saya makan?” “Tidak bisa, ada satu syarat lagi. Kamu harus menikahi putri saya; Seorang gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh.” Idris terdiam. Tapi dia harus memenuhi persyaratan itu. Idris pun dinikahkan dengan gadis yang disebutkan. Pemilik menikahkan sendiri
anak gadisnya dengan disaksikan beberapa orang, tanpa perantara penghulu.
Setelah akad nikah berlangsung, tuan pemilik kebun memerintahkan Idris
menemui putrinya di kamarnya. Ternyata, bukan gadis buta, tulis, bisu dan lumpuh
yang ditemui, namun seorang gadis cantik yang nyaris sempurna. Namanya Ruqoyyah.
Sang pemilik kebun tidak rela melepas Idris begitu saja; Seorang pemuda yang
jujur dan menjaga diri dari makanan yang
tidak halal. Ia ambil Idris sebagai menantu, yang kelak memberinya cucu bernama
Syafi’i, seorang ulama besar, guru dan panutan bagi jutaan kaum muslimin di dunia.

Musyahadah - Menyaksikan Allah Ta'ala


Musyahadah
Kata melihat disebut dengan berbagai versi dalam bahasa Arab, dan Al-Qur'an. Melihat berarti dengan mata kita. Sedangkan mata kita ada tiga. Mata kepala, mata analisa fikiran, mata hati. Dalam konteks hubungan dengan "Melihat Allah" dan "Seakan-akan melihat Allah", maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin melihat Allah. "Musa as berkata: Ya Tuhan, tampakkan diri-Mu padaku, aku ingin memandang-Mu." Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu." (QS. Al-A'raf 143).
Ayat lain menyebutkan: "Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka lepaskanlah sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci." (QS. Thaha 12)
Dan dia berkata, "Sesungguhnya aku akan menyaksikan Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya Aku bebas dari kemusyrikan kamu pada-Ku, melalui selain Dia."
Ayat lain menyebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."(QS. Al-Baqarah 115)
"Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan." (QS. Al-An'aam 79)
Nabi Musa as, gagal ketika hasratnya menggebu ingin melihat Allah, lalu Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihat-Ku." Dengan kata lain "Kamumu" atau "Akumu" tidak bisa melihat-Ku. Karena itu Abu Bakar ash-Shiddiq ra berkata, "Aku melihat Tuhanku dengan Mata Tuhanku." yang berarti bahwa hanya dengan Mata Ilahi saja kita bisa Melihat-Nya. Dimaksud dengan "Mata Ilahi" adalah Mata Hati kita yang diberi hidayah dan inayah oleh Allah SWT untuk terbuka, dan senantiasa di sana hanya Wajah Allah yang tampak, sebagaimana dalam Al-Qur'an. Ibnu Atha'illah menggambarkan secara bijak:
"Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh mendung-mendung duniawi semesta."
Karena itu soal "Menyaksikan Allah" hubungannya erat dengan tersingkapnya tirai hijab, yang menghalangi diri hamba dengan Allah, walaupun Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah. Oleh sebab itu, dalam menggambarkan Musyahadah (penyaksian Ilahi) ini, Rasulullah Saw menggunakan kata, "seakan-akan", karena mata kepala kita dan mata nafsu kita, keakuan kita pasti tak mampu. Kata-kata "seakan-akan" lebih dekat sebagai bentuk kata untuk sebuah kesadaran jiwa dan kedekatan hati. Tetapi ketika Rasulullah Saw bersabda, "Jika kamu tidak melihat-Nya, kamu harus yakin bahwa Dia melihatmu.". Rasulullah Saw tidak menyabdakan, "Seakan-akan melihatmu."
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihat-Nya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandang-Nya. Kesadaran Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat haliyah ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing. Ada yang menyadari dalam pandangan tingkat Asma' Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifat-Nya, kemudian Asma'-Asma'-Nya, lalu melihat semesta makhluk-Nya.
Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Syaikh Abu Yazid al-Busthami, "Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah SWT. Karena sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk."
Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek Muraqabah, Musyahadah maupun Ma'rifah.
Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu Atha'illah dalam al-Hikam:
"Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah. Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemeseraan dengan-Nya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah."
Ibnu Atha'illah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran:
Mufatahah, artinya permulaan hamba menghadap-Nya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma', Sifat dan keagungan Dzat-Nya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersama-Nya.
Muwajahah, artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak pun berpaling dari-Nya, tanpa alpa dari mengingat-Nya. Allah menemui dengan Cahaya-Nya dan hamba menghadapnya dengan Sirr-nya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk melihat selain-Nya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.
Mujalasah, artinya menetap dalam majlis-Nya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakan-Nya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah SWT berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir pada-Ku."
Muhadatsah, maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia batin) dengan mengingat-Nya dan menghadap-Nya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahaya-Nya meluas dan rahasia-rahasia-Nya bertumpuan. Inilah yang disabdakan Rasulullah Saw, "Pada umat-umat terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada umatku pun ada, maka Umar diantaranya."
Musyahadah, adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."
Muthala'ah, adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, ketaatan dan batin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul rahasia-Nya karena keparipurnaan-Nya.
Maka Hadrat Ilahi, telah menjadi kehidupan hatinya, dimana mereka tentram dan tinggal. Mari kita renungkan semua ini dengan hati yang suci.

Insan Kamil


Insan Kamil artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofi ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis. Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad Saw sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad Saw sebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/ruh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam as. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan ruhani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan ruhani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Ilahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (Nur Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad Saw sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi MuhammadSaw. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan ruhani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi.