Laman

Senin, 29 September 2014

Keutamaan Cinta Dalam Ibadah


Ibnu Qayyîm al-Jawziyyah menghimpun banyak ungkapan dari para sufi besar berkenaan dengan cinta dan prioritasnya dalam peribadatan yang benar:
• Junaid mengatakan:
Saya mendengar al-Harits al-Muhâsibi berkata, cinta itu terjadi apabila engkau merasa condong secara penuh terhadap sesuatu, dan kemudian engkau lebih menyukai hal tersebut melampaui dirimu, jiwamu dan milikmu sendiri, kemudian kerelaanmu atas hal itu sepenuh lahir dan batin, dan kemudian engkau mengetahui kelemahanmu dalam cintamu kepada-Nya.
• ‘Abd Allâh Ibn al-Mubarak
Barang siapa diberi sebagian dari cinta dan ia tidak diberi rasa kagum dengan jumlah yang sama, maka ia telah tertipu.
• Yahya Ibn al-Mu`adz al-Razi berkata:
Cinta seberat atom lebih aku sukai daripada tujuh puluh tahun ibadah tanpa cinta.

• Abu Bakrah al-Qaththani berkata:
Pada musim haji terjadi diskusi tentang cinta di kota Mekah dan para syekh berbicara tentang hal itu. Junaid adalah yang termuda usianya di antara mereka. Mereka berkata kepada Junaid, “Katakanlah apa yang engkau miliki, wahai orang Irak.” Ia menundukkan kepalanya penuh hormat dan kedua matanya penuh airmata, kemudian berkata, “Seorang hamba meninggalkan dirinya sendiri, tak putus mengingat Tuhannya, terus-menerus memenuhi tugas-tugasnya, memandang kepada-Nya dengan hatinya, hati yang terbakar oleh cahaya Keagungan-Nya, dan minumannya begitu jernih dari gelas cinta-Nya. Apabila ia berkata, itu karena Allah dan apabila ia berucap itu dari Allah, apabila ia berpindah itu karena perintah dari Allah dan apabila ia diam ia bersama Allah. Ia oleh Allah, ia untuk Allah dan ia bersama Allah (fa huwa billâhi wa lillâhi wa ma`allâhi).” Para syekh itu lantas menangis keras dan berkata, “Tidak ada lagi cinta di atas itu, semogalah Allah menguatkanmu, wahai Mahkota para Pengenal (Tâj al-`ârifîn–penj.)!”
• Junaid juga mengatakan:
Orang yang mengenal Allah tidaklah dianggap sebagai orang yang mengenal sampai ia menjadi seperti tanah; sama saja baginya apakah orang baik atau orang jahat yang menginjak-nginjaknya; atau seperti hujan, ia memberi tanpa membeda-bedakan, baik kepada mereka yang ia sukai atau pun tidak ia sukai.
• Sumnun mengatakan:
Para pecinta Allah memperoleh kemuliaan di dunia dan di akhirat. Nabi saw bersabda, “Manusia itu bersama orang yang dicintainya,” Mereka bersama Allah baik selagi di dunia atau pun di akhirat.
• Yahya Ibn Muadz juga mengatakan:
Bukanlah orang yang benar seseorang yang menganggap diri mencintai-Nya seraya melanggar larangan-larangan-Nya.
• Ia juga mengatakan:
Orang yang mengenal Allah akan meninggalkan kehidupan duniawi ini dan ia tidak pernah merasa cukup dengan dua hal: menangisi dirinya sendiri, dan menangisi kerinduannya kepada Tuhannya.
• Penempuh jalan penyucian diri lainnya mengatakan:
Pengenal Allah tidaklah dikatakan pengenal sehingga apabila kekayaan Sulaiman diberikan kepadanya, kekayaan itu tidak akan sekejappun membuatnya sibuk dengan selain Allah.

Al Hikam : Hakikat Cinta Kepada Allah


Mengenai hakikat cinta kepada Allah s.w.t. menurut pandangan hakikat hikmah Tauhid dan Tasawuf, sebagaimana telah diungkapkan oleh Maulana Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut:
"Orang yang begitu sangat cintanya bukanlah orang yang mengharapkan balasan sesuatu dari pihak yang dicintainya atau dia menuntut sesuatu maksud dari pihak yang ia cintai, karena orang yang begitu sangat cintanya itu ialah orang yang memberi buat anda, bukanlah orang yang begitu sangat cintanya itu merupakan orang dimana anda memberi buatnya."
Kalam Hikmah ini, sepintas lalu sulit juga menangkapnya, apabila tidak kita berikan penjelasan sebagai berikut:
Apabila cinta dapat dilukiskan melalui huruf, tulisan dan maksud-maksud tertentu, pada hakikatnya itu tidak dapat dikatakan cinta atau mahabbah. Karena cinta yang demikian, adalah cinta yang dapat dibuat, demi untuk sampai kepada tujuan yang dikehendaki. Karena itu, barangsiapa yang mencintai seseorang supaya seseorang itu memberikan sesuatu kepadanya atau menolak sesuatu yang tidak baik daripada yang mencintai, berarti orang yang mencintai itu adalah mencintai dirinya sendiri, bukan mencintai orang yang dicintai. Karena kalau bukanlah sesuatu yang dituju oleh dirinya sendiri tidak ada, maka pastilah dia tidak akan mencintai orang yang dicintainya itu.
Karena itulah, hakikat cinta pada orang yang mencintai, adalah memberikan keseluruhan yang ada pada dirinya demi untuk mendapatkan kerelaan daripada pihak yang dicintainya. Tanpa ada sesuatu yang ia ingin capai, berupa sesuatu yang sifatnya lahiriah dari pihak yang dia cintai. Sehingga tidak ada apa-apa lagi yang dimiliki olehnya, selain semuanya itu ia serahkan kepada pihak yang ia cintai. Atau boleh dikatakan, bahwa yang mencintai adalah dibunuh oleh kecintaannya itu, sehingga tidak ada tujuannya selain daripada kerelaan dari pihak yang dicintai. Misalnya saja seperti yang diungkapkan oleh pengarang Iqazul Himam fi Syarhil Hikam, tentang contoh seorang laki-laki mencintai seorang wanita. Laki-laki itu berkata: "Aku betul-betul cinta padamu." Wanita itu menjawab: "Betapa anda cinta kepada saya, padahal yang duduk di belakang anda itu adalah lebih baik."
Mendengar itu, si pria tadi memalingkan mukanya melihat wanita yang ada di belakangnya, maka setelah wanita itu melihat bahwa pria itu memalingkan mukanya melihat wanita yang ada dibelakangnya, dia berkata: "Anda ini adalah manusia yang tidak baik. Anda mengatakan begitu cinta kepadaku, tetapi anda palingkan muka anda melihat kepada selainku."
Itulah sebuah contoh dan apabila contoh ini kita kiaskan kepada hubungan cinta kita selaku hamba Allah kepada Tuhan Pencipta alam, Allah s.w.t., juga demikian. Kita mengatakan, kepada diri kita dan kepada orang lain, bahwa kita cinta kepada Allah, tetapi juga hati kita memalingkan cintanya kepada sesuatu yang selainNya, atau merasakan sesuatu selain Allah, yang mempengaruhi hati kita. Maka ini menunjukkan cinta kita kepada Allah tidak full, tetapi adalah tidak lebih daripada dakwaan semata-mata.
Selanjutnya Apabila kita begitu mencintai sesuatu, maka hendaklah jiwa raga kita itu, kita berikan buat sesuatu itu. Demikian pula, kecintaan seseorang kepada orang yang dia cintai, dia harus memberikan segala-galanya kepada pihak yang dia cintai. Dan bukanlah kebalikannya.
Demikianlah kecintaan kita kepada Allah s.w.t., tidak boleh dipalingkan kepada selainNya. Karena itu, apabila kita beribadah karena mengharapkan syurgaNya berarti kita mencintai Syurga. Dan bukan mencintai Allah. Sebab hakikat cinta kepada Allah, hanya tertuju semata-mata kepada Allah dan kita lupa kepada hal-hal yang lain selain dariNya. Apakah itu merupakan keuntungan kita berupa pahala dari Allah ataukah itu merupakan hajat-hajat kita kepadaNya.
Ada sebuah contoh kejadian, yang telah terjadi pada seorang Waliyullah bernama Ibrahim bin Adham. Beliau berkata: Pada suatu hari, saya bermohon kepada Allah, seraya saya mengucapkan "Wahai Tuhanku, jika Engkau telah memberikan kepada seseorang dari orang-orang yang cinta kepadaMu ketenteraman hati sebelum bertemu dengaMu, maka Engkau berikan pulalah kepadaku yang demikian. Karena hatiku susah sedemikian rupa, demi cintaku kepadaMu."
Ibrahim bin Adham meneruskan katanya: Setelah sering aku berdoa demikian aku bermimpi, seolah-olah aku diperintahkan Allah berdiri di hadapanNya, dan Dia 'berkata' kepadaku: Hai Ibrahim (bin Adham), tidaklah engkau bermalu kepadaKu, bahwa engkau memohon kepadaKu, supaya hatimu tenteram sebelum bertemu denganKu. Apakah begitu orang yang sangat rindu hatinya akan dapat tenteram, kalau tidak bertemu dengan yang dicintainya .
Apakah orang yang begitu cinta hatinya akan dapat tenang, tanpa bertemu dengan yang ia rindukan? Ibrahim (bin Adham) menjawab: "Wahai Tuhanku, aku bingung, dalam cinta terhadapMu. Maka aku tidak tahu, apa yang aku katakan, karena itu Engkau ampunkan dosaku, Engkau ajarlah aku ya Allah, apa yang seharusnya aku mesti katakan." Tuhan menjawab: Katakanlah olehmu:
"Wahai Tuhan, Engkau ridhailah aku dengan keputusan-keputusanMu, Engkau sabarlah aku atas cubaan-cubaanMu, Engkau ilhamkanlah kepadaku, untuk mensyukuri nikmat-nikmatMu."

Al Hikam : Hati Sumber Cahaya


Dalam tulisannya mengenai hati, Syaikh Ahmad Ibn'Athaillah mengatakan bahwa "Tempat terbitnya berbagai cahaya itu adalah hati dan rahasia-rahasianya".
Cahaya ilmu, cahaya ma'rifat dan cahaya tauhid tempat terbit dan memancarnya ada di dalam hati orang-orang yang ma'rifat dan di dalam rahasia-rahasia mereka (di dalam jiwa mereka). Cahaya-cahaya ini merupakan cahaya yang hakiki karena lebih kuat daya pancarnya daripada cahaya yang terpancar dari berbagai macam bintang.
Rasulullah saw. telah bersabda di dalam menceritakan firman Allah :
"Tidak akan memuat Aku bumi-Ku dan langit-Ku, dan bisa memuat Aku hati hamba-Ku yang beriman".
Sebagian orang-orang ma'rifat berkata : "Seandainya Allah menyingkap tempat terbit cahaya hati orang-orang yang menjadi kekasih-Nya, niscaya terlipatlah cahaya matahari dan bulan karena kuatnya cahaya hati mereka".
Asy Syadzili berkata : "Seandainya disingkap cahaya orang mukmin yang maksiat, pasti akan memenuhi seluruh langit dan bumi. Maka bagaimanakah perkiraanmu mengenai cahaya orang mukmin yang ta'at ?". Ketahuilah bahwa cahaya bulan dan matahari masih bisa terkena gerhana dan bisa terbenam. Akan tetapi cahaya hati kekasih Allah tidak mengenal adanya gerhana dan terbenam.Oleh sebab itu Syaikh Ahmad bin 'Athaillah selanjutnya berkata :
"Cahaya yang tersimpan di dalam hati sumbernya dari cahaya yang dating langsung dari berbagai gudang kegaiban".
Cahaya keyakinan yang tersimpan di dalam hati terus bertambah-tambah sinarnya yang bersumber dari cahaya yang datang dari perbendaharaan gaib.
Yaitu berupa cahaya sifat=sifat azali. Apabila Allah telah membuka sifat-sifatNya, maka bertambah-tambahlah cahaya itu yang dihasilkan dari hati para kekasih Allah. Yang demikian itu merupakan suatu petunjuk bahwa Allah telah memberi pertolongan kepada mereka.
Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata:
"Cahaya yang diperoleh dengan panca indera bisa membuka kepadamu akan semua keadaan yang terjadi (benda-benda di alam ini), sedang cahaya yang tersimpan di dalam hati bisa membuka kepadamu akan sifat-sifat Allah yang azali".
Cahaya itu ada dua macam, yaitu :
1. Cahaya yang diperoleh dengan panca indera dengan adanya sinar matahari. Maka cahaya ini bisa memperlihatkan barang-barang yang ada di alam raya dan bermacam-macam kedaan manusia. Cahaya ini bukan yang menjadi perhatian orang-orang ahli hakekat, melainkan hanya sebagai petunjuk adanya Allah Yang Maha Pencipta.
2. Cahaya yang tersimpan dalam hati yang disebut sebagai cahaya keyakinan. Cahaya inilah yang bisa membuka sifat-sifat Allah yang azali sehingga menjadi nyata dan terang. Dengan cahaya hati ini
benar-benar oarng menjadi ma'rifat kepada Allah.
Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :
"Terkadang hati terhenti bersama-sama dengan cahaya, sebagaimana terhalangnya nafsu sebab tebalnya benda-benda (syahwat)".
Penghalang hati untuk menuju kepada Allah itu ada dua macam, yaitu :
1. Nurani, yang berupa bermacam-macam ilmu dan ma'rifat. Apabila hati berhenti padanya dan cenderung kepadanya sehingga ilmu dan ma'rifat itu dijadikan pokok tujuannya, maka dia akan terhalang untuk menuju kepada Allah.
2. Zhulmani (kegelapan), yang berupa bermacam-macam keinginan nafsu dan kebiasaan-kebiasaanya. Karena hati masih terpengaruh oleh keinginan-keinginan nafsu inilah maka dia menjadi terhalang untuk
menuju kepada Allah.
Maka hati bisa terhalang oleh berbagai macam cahaya sebagaimana nafsu bias terhalang oleh berbagai kegelapan. Sedang Allah berda di belakang itu semua.
Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :
"Allah menutupi cahaya hati dengan bermacam-macam keadaan lahiriyah karena memuliakannya untuk (tidak) diberikan secara terang atau (khawatir) untuk dipanggil atasannya dengan lisan kemasyhuran".
Allah menutup hati para kekasih-Nya (para wali) sebagai rahmat-Nya kepada sekalian orang-orang yang beriman. Sebab jikalau rahasia kewalian itu terbuka kepada seseorang, pasti akan mewajibkan orang yang sudah terlahir kewaliannya.
---------------------------------------------------------------------
Syaikh Ahmad Ibn' Atahaillah dalam "Al-Hikam" Al -Ustadz Mahfudli Shaly

Sufi Road : Kesiapan Menerima Pancaran Cahaya


Datangnya anugerah itu menurut kadar kesiapan jiwa, sedangkan pancaran cahayaNya menurut kadar kebeningan rahasia jiwa.
Anugerah, berupa pahala dan ma’rifat serta yang lainnya, sesungguhnya terga tung kesiapan para hamba Allah. Rasulullah saw, bersabda:
“Allah swt berfirman di hari qiamat (kelak): “Masuklah kalian ke dalam syurga dengan rahmatKu dan saling menerima bagianlah kalian pada syurga itu melalui amal-amalmu.” Lalu Nabi saw, membaca firman Allah Ta’ala “Dan syurga yang kalian mewarisinya adalah dengan apa yang kalian amalkan.” (Az-Zukhruf: 72)
Adapan pancaran cahaya-cahayaNya berupa cahaya yaqin dan iman menurut kadar bersih dan beningnya hati dan rahasia hati. Beningnya rahasia hati diukur menurut kualitas wirid dan dzikir seseorang.
Dalam kitabnya Lathaiful Minan, Ibnu Athaillah as-Sakandary menegaskan, “Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala menanamkan cahaya tersembunyi dalam berbagai ragam taat. Siapa yang kehilangan taat satu macam ibadah saja dan terkaburkan dari keselarasan Ilahiyah satu macam saja, maka ia telah kehilangan nur menurut kadarnya masing-masing. Karenanya jangan mengabaikan sedikit pun atas ketaatan kalian. Jangan pula merasa cukup wirid anda, hanya karena anugerah yang tiba. Jangan pula rela pada nafsu anda, sebagaimana diklaim oleh mereka yang merasa dirinya telah meraih hakikat dalam ungkapannya, sedangkan hatinya kosong…”Jangan keblinger dengan Cahaya atau bentuk Cahaya sebagaimana tergambar dalam pengalaman mengenai Cahaya lahiriyah, baik yang berwarna warni atau satu warna. Cahaya batin sangat berhubungan erat dengan kebeningan batin, tidak ada rupa dan warna yang tercetak. Melainkan pancaran Cahaya keyakinan total kepadaNya.Perihal pancaran Cahaya ini, beberapa item pernah kita ungkap di edisi 2006, namun masih relevan untuk kita renungkan kembali, dan tertuang dalam kitab Al-Hikam:
“Bagaimana hati bisa cemerlang jika wajah semesta tercetak di hatinya? Bagaimana bisa berjalan menuju Allah sedangkan punggungnya dipenuhi beban syahwat-syahwatnya? Bagaimana berharap memasuki hadhirat Ilahi sedangkan ia belum bersuci dari jinabat kealpaannya? Atau bagaimana ia faham detil rahasia-rahasiaNya, sedangkan ia tidak taubat dari kelengahannya?”
Semesta kemakhlukan adalah awal dari hijab Cahaya, dan ikonnya ada pada nafsu syahwat dan kealpaannya.
“Siapa yang cemerlang di awal penempuhannya akan cemerlang pula di akhir perjalannya.” Kecemerlangan ruhani dengan niat suci bersama Allah dalam awal perjalanan hamba, adalah wujud pantulan Cahaya yang diterima hambaNya, karena yang bersama Allah awalnya akan bersama Allah di akhirnya.
“Orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menuju kepada Allah menggunakan petunjuk Cahaya Tawajuh (menghadap Allah) dan orang-orang yang sudah sampai kepada Allah, baginya mendapatkan Cahaya Muwajahah (limpahan Cahaya). Kelompok yang pertama demi meraih Cahaya, sedangkan yang kedua, justru Cahaya-cahaya itu bagiNya. Karena mereka hanya bagi Allah semata, bukan untuk lainNya. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Katakan, Allah” lalu tinggalkan mereka (selain Allah) terjun dalam permainan.” Itulah hubungan Cahaya dengan para penempuh dan para ‘arifun, begitu jauh berbeda.
“Cahaya adalah medan qalbu dan rahasia qalbu. Cahaya adalah pasukan qalbu, sebagaimana kegelapan adalah pasukan nafsu. Bila Allah hendak menolong hambaNya, maka Allah melimpahkan padanya pasukan-pasukan Cahaya, dan memutus lapisan kegelapan dan tipudaya.”
Wilayah Cahaya adalah qalbu, ruh dan sirr. Cahaya akan memancar sebagai instrument, wujud adalah hakikat yaqin yang memancar melalui instrumen pengetahuan yang dalam tentang Allah.
“Allah mencahayai alam lahiriyah melalui Cahaya-cahaya makhlukNya. Dan Allah mencahayai rahasia batin (sirr) melalui Cahaya-cahaya SifatNya. Karena itulah cahaya semesta lahiriyah bisa sirna, dan Cahaya qalbu dan sirr tidak pernah sirna.”
“Pencerahan Cahaya menurut kebeningan rahasia batin jiwa”.
“Sholat merupakan tempat munajat dan sumber penjernihan dimana medan-medan rahasia batin terbentang, dan di dalamnya Cahaya-cahaya memancarkan pencerahan.” Karena itu cita dan hasrat anda, hendaknya pada penegakan sholat, bukan wujud sholatnya.
“Apabila cahaya yaqin memancar padamu, pasti anda lebih dekat pada akhirat dibanding jarak anda menempuh akhirat itu sendiri. Dan bila anda tahu kebaikan dunia, pasti menampakkan gerhana kefanaan pada dunia itu sendiri.” Maksudnya, nuansa ukhrowi menjadi lapisan baju anda, yang melapisi Nuansa Ilahi. Segalanya terasa dekat tanpa jarak padamu.
“Tempat munculnya Cahaya adalah hati dan rahasia jiwa. Cahaya yang ditanamkan dalam hati adalah limpahan dari Cahaya yang menganugerah dari khazanah rahasia yang tersembunyi. Ada Cahaya yang tersingkapkan melalui makhluk-makhluk semesta, dan ada Cahaya yang tersingkapkan dari Sifat-sifatNya. Terkadang hati berjenak terhenti dengan Cahaya-cahaya, sebagaimana nafsu tertirai oleh alam kasar dunia.” Itulah ragam Cahaya, ada Cahaya muncul dari kemakhlukan ada pula Cahaya SifatNya. Tetapi, jangan sampai Cahaya jadi tujuan, agar tidak terhijabi hati kita dari Sang Pemberi Cahaya, sebagaimana terhijabinya nafsu oleh alam kasar dunia.
“Cahaya-cahaya rahasia jiwa ditutupi oleh Allah melalui wujud kasarnya alam semesta lahiriyah, demi mengagungkan Cahaya itu sendiri, sehingga Cahaya tidak terobralkan dalam wujud popularitas penampakan.” Itulah Cahaya yang melimpahi para ‘arifin, auliya’ dan para sufi, yang dikemas oleh cover tampilan manusia biasa. Sebagaimana Rasulullah saw, disebutkan , “Bukanlah Rasul itu melainkan manusia seperti kalian, makan sebagaimana kalian makan, minum sebagaimana kalian minum.” Ini semua untuk menjaga agar para hamba tidak berambisi popularitas, dan merasa bahwa Cahaya itu muncul karena upayanya.
“Cahaya-cahaya para Sufi mendahului wacananya. Ketika Cahaya muncul maka muncullah wacana” Para Sufi dan arifun berbicara dan berwacana, bukan karena aksioma logika, tetapi karena limpahan Cahaya, baru muncul menjadi mutiara kata. Sementara para Ulama, wacananya mendahului cahayanya.
“Ada Cahaya yang diizinkan untuk terbiaskan, ada pula Cahaya yang diizinkan masuk di dalam jiwa.” Ada Cahaya yang hanya sampai di lapis luar hati, tidak masuk ke dalam hati, sebagaimana orang yang menasehati tentang hakikat tetapi dia sendiri belum sampai ke sana. Ada Cahaya yang menghujam dalam jiwa, dan dada menjadi meluas, dengan ditandainya sikap merasa hampa pada negeri dunia penuh tipudaya, dan menuju negeri keabadian, serta menyiapkan diri menjemput maut.
“Janganlah anda menginginkan agar warid menetap terus menerus setelah Cahaya-cahayanya membias dan rahasia-rahasiaNya tersembunyi.” Itulah perilaku para pemula, biasanya ingin agar Cahaya-cahaya warid itu menetap terus menerus. Padahal suatu kebodohan tersendiri, karena penempuh akan lupa pada Sang Pencahaya.
“Sesungguhnya suasana keistemewaan itu ibarat pancaran matahari di siang hari yang muncul di cakrawala, tetapi Cahaya itu tidak dari cakrawala itu sendiri, dan kadang muncul dari matahari Sifat-sifatNya di malam wujudmu. Dan kadang hal itu tergenggam darimu lalu kembali pada batas-batas dirimu. Siang (Cahaya) bukanlah darimu untukmu. Tetapi limpahan anugerah padamu.”
“Cahaya-cahaya qalbu dan rahasia jiwa tidak diketahui melainkan di dalam keghaiban alam malakut. Sebagaimana Cahaya-cahaya langit tidak akan tampak melainkan dalam alam nyata semesta” Orang yang mampu memasuki alam malakut adalah yang dibukakan Cahaya-cahaya qalbu dan jiwanya. Begitu juga nuansa pencerahan Cahaya qalbu dan rahasia qalbu itu, merupakan rahasia tersembunyi di alam Malakut.
Dan lain sebagainya, yang menggambarkan soal pencahayaan ini. Karena berbagai ragam, bisa memberikan sentuhan Cahaya, apakah Cahaya qalbu, Cahaya ruh dan Cahaya Sirr yang memiliki karakteristik berbeda-beda dalam kondisi ruhani para hamba Allah

Sekuntum Mawar Hati


Penanya: Apa yang dimaksud dengan hati terbuka? Mengapa hati harus dibuka? Dan apa yang menyebabkan hati terbuka?
Bawa Muhaiyaddeen: Hanya ketika sekuntum mawar mengembang dan merekah, barulah keharumannya menyebar. Bukankah begitu? Sebelum merekah bisakah engkau merasakan keharuman mawarnya? Tidak, engkau tidak bisa. Bisakah engkau melihat keindahan mawarnya? Tidak bisa, ia hanyalah sebuah kuncup. Hanya tatkala mawarnya merekah barulah keindahan dan keharumannya terpancar.
Lubuk hati yang paling dalam, atau qolbu, adalah seperti sekuntum bunga mawar. Walaupun ia ada di sana, selama ia masih dalam keadaan kuncup, engkau tidak akan bisa merasakan keindahan mawarnya, warnanya atau keharumannya. Hanya ketika mawar qolbu merekah barulah engkau akan mengetahui kebahagiaan ketika mencium dan melihatnya. Pada saat itulah keindahan, keharuman, kebenaran dan keagungan qolbu diketahui. Hal-hal ini tidak bisa dilihat tatkala mawar masih dalam keadaan kuncup. Untuk itulah mengapa mawar qolbu tersebut harus dibuka. Ia harus merekah.
Sebuah taman mawar haruslah dikunci agar binatang tidak masuk dan merusaknya. Oleh sebab itu, kita harus membuka kuncinya, memasukinya dan merawatnya. Kita harus menyiram tanamannya, memberinya pupuk, dan menjaga mereka. Dengan hal yang sama, menggunakan kunci hikmah kebijaksanaan dari kebenaran, kita harus membuka taman mawar dari hati dan masuk ke dalamnya. Ketika di dalam, kita harus mengetahui apa yang dibutuhkan agar kuncup bisa merekah. Kita harus memberinya pupuk sifat-sifat Tuhan, tindakan Tuhan, perbuatan-Nya, kemulian-Nya, dan cinta-Nya. Dan kita harus menyiramnya dengan sifat-sifat Tuhan. Inilah hal-hal yang harus kita berikan kepada tanamannya.
Seiring kita melaksanakan tugas-tugas ini, suatu keindahan yang menakjubkan akan mulai merekah, dan kita akan mulai merasakan keharumannya. Itulah taman mawar dari hati. Dan Sang Penjaga dari taman ini adalah “Tuhanku!” Kita akan dapat melihat Penjaganya dan merasakan keindahan dan keharuman mawarnya di sana. Inilah mengapa kita harus membuat bunganya merekah. Inilah cara yang harus kita lakukan.