Laman

Kamis, 30 Mei 2013

IKHLAS KARENA ALLAH...



Apapun yang kita lakukan kalau konsentrasi kita hanya kepada Allah, itulah ikhlas...

Allah berfirman,
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.(Al-Baqarah[2]: ayat 264)

Orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima oleh Allah. Seorang Da’i yang tulus ikhlas tidak perlu merekayasa kata-kata agar penuh pesona, penuh rasa humor, tapi setiap kata yang ia ucapkan benar-benar menjadi kata yang disukai oleh Allah.Dan dalam menyampaikan kebenaran itu hendaknya dilakukan semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah saja dan bukan karena amplopnya. Bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, selebihnya terserah Allah. Kalau ikhlas walaupun sederhana kata-kata yang ia ucapkan, Allah-lah yang akan memberi petunjuk kepada siapa yang Allah kehendaki. Oleh karena itu, jangan terjebak oleh rekayasa-rekayasa manisnya ucapan. Allah sama sekali tidak membutuhkan rekayasa apapun dari manusia. Allah Maha Tahu segala isi hati manusia, Maha Tahu segalanya.

Seorang hamba yang ikhlas akan merasakan ketentraman dan kebersihan jiwa, ketenangan lahir dan batin. Betapa tidak? Karena ia tidak diperbudak oleh penantian untuk mendapatkan pujian, penghargaan, dan imbalan. Kita tahu bahwa penantian adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Begitu pula menunggu diberi pujian, juga menjadi sesuatu yang tidak nyaman. Lebih getir lagi kalau yang kita lakukan ternyata tidak dipuji, pasti kita akan kecewa. Tapi bagi seorang hamba yang ikhlas, ia tidak akan pernah mengharapkan apapun dari siapapun...

Orang yang tidak ikhlas akan sering tersinggung dan kecewa karena ia memang terlalu banyak berharap. Karenanya biasakanlah saudara-saudaraku yang dirahmati Allah, kalau sudah berbuat sesuatu, kita lupakan perbuatan itu. Kita titipkan saja disisi Allah yang pasti aman. Jangan pula disebut-sebut, diingat-ingat, nanti malah berkurang atau bahkan hilang sama sekali nilai pahalanya.
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita semua dengan hati yang selalu ikhlas. Betapapun kita melakukan sesuatu amalan hingga menghabiskan jutaan rupiah, bersimpuh keringat, habis tenaga dan pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya di hadapan Allah SWT. Seseorang yang menginfaqkan hampir seluruh harta yang dimilikinya, kalau hanya ingin disebut sebagai dermawan, ia pun tidak akan memiliki nilai apapun. Mengumandangkan adzan setiap waktu shalat, tapi selama adzan bukan Allah yang dituju, hanya sekedar ingin memamerkan keindahan suaranya supaya dikagumi para jamaah, maka itu hanya teriakan-teriakan yang tidak bernilai di hadapan Allah SWT.

Ikhlas, terletak pada niat dihati. Luar biasa sekali pentingnya niat ini, karena niat adalah pengikat amal. Orang-orang yang tidak pernah memperhatikan niat yang ada di dalam hatinya, siap-siaplah untuk membuang waktu, tenaga, pikiran dan harta. Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi amat penting dan akan membuat hidup ini sangat mudah, indah, nyaman dan bermakna.


Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan pribadi atau imbalan duniawi dari apa yang ia lakukan. Konsentrasi orang yang ikhlas cuma satu, yaitu bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT.

Sebagai contoh disaat kita sedang memasukkan uang ke dalam kotak infaq, maka fokus pikiran kita tidak ke kiri dan ke kanan, tapi pikiran kita terfokus bagaimana agar uang yang kita infaqkan itu diterima di sisi Allah SWT, kalau perlu tidak usah kita lihat berapa rupiah yang kita ambil dari dompet dan kemudian kita masukkan kedalam kotak amal...

Semoga kita semua dalam beramal shalih, baik yang secara terang-terangan ataupun yang tersembunyi benar-benar kita lakukan ikhlas hanya karena Allah SWT,dengan hanya mengharap ridha-Nya,dan tidak mengharapkan pujian dari siapapun...

Salam..........

Rabu, 29 Mei 2013

Menggapai Cinta Allah



Bahasa sehari-hari mengenal istilah Allah yang di atas, atau Allah yang di langit. Langit sering didefinisikan sebagai batas pandangan mata. Dalam al Quran langit disebut dengan nama sama' atau samawat. Dalam bahasa Arab, sama' mengandung dua artinya, pertama, ma `ala ka, apa yang di atasmu. Dari pengertian ini maka plafon di rumah kita di sebut langit-langit. Ke dua, langit adalah ungkapan tentang sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal kita. Jika disebut surga berada di langit artinya akal kita tidak akan mampu melacak keberadaannya. Surga dapat dilacak dengan keyakinan atau iman, bukan dengan rasio. Bahasa sehari-hari juga suka menggunakan istilah langit meski kurang tepat, misalnya menyebut kecantikan luar biasa dari seorang gadis dengan menyebut cantiknya selangit, kekayaan yang sangat banyak disebut kayanya selangit , dan ungkapan semisal lainnya.

Orang beriman meyakini bahwa di balik alam raya ini ada alam langit atau `alam malakut satu tempat yang sangat tinggi dimana blue print alam raya dengan segala kehidupannya itu berada dan dikendalikan, dan Allah bersemayam di `arasy Nya mengendalikan kekuasaanya melalui sistem sunnatulllah, dan Dia mengontrolnya secara detail hingga jatuhnya selembar daunpun berada dalam kontrol Nya.

Di mana letak alam malakut dan dimana `arasy Allah, akal kita tidak mungkin menjangkaunya, karena Allah Maha Tinggi sedangkan kita sebagai hamba memiliki keterbatasan yang sangat banyak. Meski demikian, dengan sifat Rahman dan Rahim Nya Allah memberi infrastruktur kepada kita untuk dapat mendekat kepada Nya. Allah menempatkan sifat ilahiah pada setiap diri kita, apa yang dalam Islam disebut nasut. Allah juga menempatkan cahaya (nur) Nya pada setiap hati (qalb) kita, disebut nuraniyyun (hati nurani) yang memiki kapasitas pandangan batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala, oleh Al Quran disebut bashirah (Q/75:14-15).

Jika sifat Allah al Bashir mengandung arti Allah mampu melihat sesuatu secara total tanpa alat bantu, maka bashirah nya kita atau hati nurani kita juga dapat menembus dinding-dinding pembatas, secara internal melihat diri sendiri, introspeksi secara jujur dan hati nurani tidak bisa diajak berdusta, sedangkan secara ekternal, nurani dapat menerobos ke alam malakut bercengkerama dengan ruhaniyyun (malaikat atau arwah manusia) dan bahkan bisa bercengkerama dengan Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. D

Dengan sifat Nasut itulah kita pada suatu ketika rindu kepada Allah. Sifat Nasut itu bagaikan api yang selalu menyala ke atas. Orang yang sedang rindu kepada Allah, maka pandangannya selalu ke atas mencari Dia Yang Maha Tinggi di 'alam atas'. Kerinduan kepada ALlah itu memuncak ketika seseorang berhasil bekerja keras mensucikan jiwanya (tazkiyyat an nafs) hingga jiwanya mencapai tingkat nafs al muthma'innah, yakni jiwa yang tenang, atau ketika Allah berkenan mendekati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki Nya sehingga orang itu dalam waktu cepat tersucikan jiwanya (Q/ 4:49)

Di sisi lain, Allah senantiasa merindukan kehadiran kita ke haribaan rahmat Nya. Allah sangat antausias menyongsong hambanya. Jika kita mendekati Allah dengan jalan kaki, maka Allah akan menyongsongnya dengan berlari. Itulah yang menyebabkan ada orang yang sudah sejak kecil menjadi muslim tetapi tak kunjung berkualitas, sementara ada orang yang belum lama menjadi muaallaf tetapi sudah mencapai pencerahan Ilahiah, karena ia disongsong oleh Sang Khaliq. Di satu pihak, kita memang memiliki bakat kerinduan kepada Allah dan untuk itu ia berusaha naik ke atas(taraqqi), di pihak lain, Allah yang merindukan kehadiran kita, berlari turun dari atas(tanazul) menyongsong setiap hambaNya yang berusaha keras mendekat (taqarrub). Ada tiga jalan yang kita bisa tempuh untuk menggapai cinta Allah.

Pertama: Thariqat as Syar`iy, jalan syari'at. Siapa saja yang berusaha keras konsisten mengikuti syari'at Islam, sholatnya, puasanya, berdagangnya, berpolitiknya, dan seluruh aspek hidupnya, maka dijamin ujungnya adalah dar al muqarrabin, wisma khusus untuk orang-orang dekat. Siapa saja yang secara konsisten mengikuti petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam hidupnya, yakni mengikuti aturan Allah tentang halal-haram, mengerjakan perintahNya dan menjauhi larangan Nya, maka ia berpeluang untuk mendapatkan Cinta Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Kedua: Thariqat ahl az zikr, jalannya ahli zikir. Barang siapa yang dalam hidupnya selalu berzikir maka ia akan sampai ke tingkat dekat dengan Allah. Zikir artinya menyebut atau mengingat. Orang awam berzikir dengan mulutnya dalam bentuk menyebut asma Allah atau kalimah thayyibah, meski hatinya belum tentu ingat Allah. Lihatlah orang yang ikut zikir bersama Arifin Ilham, ia bisa menangis haru interospeksi. Jika zikir itu dipelihara, dikerjakan secara sistemik, maka lama-kelamaan hatinya menjadi dekat dengan Allah yang selalu disebutnya. Sementara orang khawas berzikir dengan hatinya. Keadaan apapun yang dihadapinya dalam hidup, hatinya tetap mengingat Allah. Ada beberapa tingkatan zikir, yaitu zikir jahr, zikir keras-keras, kemudian meningkat ke zikir khofiy, zikir yang tidak mengeluarkan suara tetapi penuh d dalam hati, kemudian tafakkur, berkelana secar ruhaniyyah merenungkan kebesaran Allah, dan yang tertinggi adalah tadabbur, yakni melihat benda atau alampun langsung terbayang Sang Pencipta (tadabbur `alam).

Ketiga: Thariqat mujahidat as Syaqa, memilih jalan yang sulit. Bagi penganut jalan ini, hidup secara biasa itu berarti tidak tahu diri dan kurang bersyukur nikmat Allah. Ia paksakan dirinya mengerjakan yang sunnah karena yang wajib sudah lewatinya dengan riang gembira, ia haramkan untuk dirinya apa yang subhat. Ia lebih suka tidur di kasur yang sederhana, meski memiliki kamar yang mewah, ia memakan makanan yang tidak enak meski tersedia makanan lezat, ia pergi ke masjid dengan jalan kaki meski punya mobil, semua yang sulit menjadi pilihannya untuk menggapai cinta Allah. Baginya menempuh kesulitan dalam perjalanan mendekat kepada Allah itu satu kenikmatan, dan baginya pula, menggunakan fasilitas kemudahan dalam perjalanan rasanya malu dihadapan Allah. Jalan yang tidak mudah, tidak semua orang sanggup memilih jalan sulit untuk menggapai cinta Allah.

Senin, 27 Mei 2013

HAKIKAT SHOLAT



Adapun kemudian daripada itu, yakni dari pada memuji Allah dan mengucapkan shalawat kepada Rasulullah SAW, maka inilah suatu kitab yang sudah dipindahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, supaya mudah bagi orang yang baru belajar menginginkan Allah. Bahwasanya diceritakan dari Abdullah Bin Umar r.a, katanya adalah kamu berduduk pada suatu orang kelak ke hadapan Rasulullah SAW, minta belajar ilmu Jibril a.s, daripada ilmu yang sempurna dunia dan akhirat, yaitu membiasakan dari hakikat didalam shalat lima waktu yaitu wajib bagi kita untuk mengetahuinya.

Yang harus mereka ketahui pertama kali hakikat shalat ini supaya sempurna kamu menyembah Allah, bermula hakikatnya didalam shalat itu atas 4 (empat) perkara :

1. BERDIRI (IHRAM).
2. RUKU’ (MUNAJAH).
3. SUJUD (MI’RAJ).
4. DUDUK (TABDIL).

Adapun hakikatnya :

1. BERDIRI ( IHRAM)

itu karena huruf ALIF asalnya dari API, bukan api pelita dan bukan pula api bara. Adapun artinya API itu bersifat JALALULLAH, yang artinya sifat KEBESARAN ALLAH TA’ALA, yang terdiri atas 2 (dua) perkara :
• KUAT.
• LEMAH.
Yang merupakan kudrat dan iradat-Nya juga, karena hamba itu tidak mempunyai KUAT dan LEMAH karena hamba itu di-KUAT-kan dan di-LEMAH-kan oleh ALLAH, bukannya kudrat dan iradat Allah itu lemah. Adapun kepada hakikatnya yang sifat lemah itu shalat pada sifat kita yang baru ini. Adapun yang dihilangkan tatkala BERDIRI itu adalah pada segala AP’AL (perbuatan) hamba yang baru.

2. RUKU’ (MUNAJAH)

 itu karena huruf LAM Awal, asalnya dari ANGIN, bukannya angin barat dan bukan pula angin timur. Adapun artinya ANGIN itu bersifat JAMALULLAH yang artinya sifat KEELOKAN ALLAH TA’ALA, yang terdiri atas 2 (dua) perkara :
• TUA.
• MUDA.
Yang merupakan kudrat dan iradat-Nya juga. Adapun hamba itu tidak mempunyai TUA dan MUDA. Adapun yang dihilangkan tatkala RUKU’ itu adalah pada segala ASMA (nama) hamba yang baru.

3. SUJUD (MI’RAJ)

itu karena huruf LAM Akhir, asalnya dari AIR, bukannya air laut dan bukan pula air sungai. Adapun artinya AIR itu bersifat QAHAR ALLAH yang artinya sifat KEKERASAN ALLAH TA’ALA, yang terdiri atas 2 (dua) perkara :
• HIDUP.
• MATI.
Yang merupakan kudrat dan iradat-Nya juga. Adapun hamba itu tidak pun mempunyai HIDUP dan MATI. Adapun yang dihilangkan tatkala SUJUD itu adalah pada segala NYAWA (sifat) hamba yang baru.

4. DUDUK (TABDIL)

itu karena huruf HA, asalnya dari TANAH, bukannya pasir dan bukan pula tanah lumpur. Adapun artinya TANAH itu bersifat KAMALULLAH yang artinya sifat KESEMPURNAAN ALLAH TA’ALA, yang terdiri atas 2 (dua) perkara :
• ADA.
• TIADA.
Yang merupakan kudrat dan iradat-Nya juga. Adapun hamba itu tidak ADA dan TIADA. Adapun yang dihilangkan tatkala DUDUK itu adalah pada segala WUJUD/ZAT hamba yang baru, karena hamba itu wujudnya ADAM yang artinya hamba tiada mempunyai wujud apapun karena hamba itu diadakan/maujud, hidupnya hamba itu di-hidupkan, matinya hamba itu di-matikan dan kuatnya hamba itu di-kuatkan.
Itulah hakikatnya shalat. Barangsiapa shalat tidak tahu akan hakikat yang empat tersebut diatas, shalatnya hukumnya KAFIR JIN dan NASRANI, artinya KAFIR KEPADA ALLAH, ISLAM KEPADA MANUSIA, yang berarti KAFIR BATHIN, ISLAM ZHAHIR, hidup separuh HEWAN, bukannya hewan kerbau atau sapi. Tuntutan mereka berbicara ini wajib atas kamu. Jangan shalat itu menyembah berhala !!!.

 
BAB “ SHOLAT “

Dalam agam Islam tidak dikenal istilah sembahyang.Yang ada ialah Sholat.Kata sholat ini kita temukan dalam kitab Suci AL QUR’AN dengan kata sholat/sholati.Sedangkan kata sholat menurut ilmu nahu terjamahan kedalam bahas Indonesia ialah Sholeh.
Sholat Agama Islam ialah berkiblat ke Baitullah,Berkiblat disini yang tersirat disini ialah
Menghadap ke Baitullah bukannya yang ada bengunannya dinegara Arab,melainkan Baitullah yang ada pada diri manusia .Yang letaknya diatas perut,diujung jantung
( QOLBU ).
Bila masjid terdapat bedug yang dahulunya dibuat dari kulit sapi betina,itu mengikuti bedug yang ada di Baitullah (qolbu )kita.Itu pula sebabnya maka orang jawa mengatakan kulit itu dengan kata kalep.Berasal dari kata QOLB (qolbu )
Mengapa masjid dinamakan Masjidil Haram?sehingga ada pertanyaan mengapa kalau haram dimasuki bukan dijauhi?
Riwayatnya : Para sahabat Nabi Muhammad SAW,sangat kasihan bila melihat Nabi
Besholat dengan kepanasan .Oleh sebab itu lalu dibuatkan sebuah bangunan.
Ketika hendak sholat,para sahabat lalu mempersilahkan untuk mempergunakan bangunan itu,sekalian diberi nama.

Setelah melakukan sholat dibangunan hasil karya para sahabat itu,Rosulullah lalu memberinya nama : Masjidil Haram.Maksudnya agar umat Islam tidak mengutamakan atau menilai bahwa dengan bersholat dibangunan semacam itu,pasti sholatnya diterima aleh ALLAH.Tetapi maksud ini tidak dapat dibaca oleh para sahabat.Dan para sahabatpun tidak ada yang menanyakan mengapa Rosulullah menamakannya Masjidil Haram.

Itulah sebabnya maka setiap bangunan yang dipergunakan untuk sholat umat Islam lalu meniru bentuk Masjidil Haram yang dibangun oleh para sahabat Nabi.Sudah barang tentu bangunan yang sekarang ini sudah beberapa kali mengalami perbaikan.Baik dalam bentuk maupun bahannya.
 
Dalam AL QUR’AN ada perintah ALLAH bahwa umat Islam bila melaksanakan sholat yang fardhu wajib melakukannya di BAITULLAH ( rumah ALLAH ).Dan dalam sebuah sabda Rosulullah dalam Hadist mengatakan :
“SESUNGGUHNYA SEAMPUH-AMPUHNYA SHOLAT BILA DILAKUKAN DENGAN TIDAK DIKETAHUI OLEH ORANG LAIN “
Kalau kita pikirkan selintas antara firman ALLAH dengan Hadist diatas sangat berlawanan.Sebab sholat fardhu di BAITULLAH ( kalau diartikan masjid )
tentunya dengan sholat berjamaah.Tetapi Hadist mengatakan Sholat yang ampuh bilatidak diketahui oleh orang lain.Tidak diketahui bukan berarti tidak dilihat,Bukan !
Dalam kebingungan ini maka sebagian orang Syari’at menuduh Hadist itu adalah Dho’if ( palsu ).Padahal sebenarnya Hadist itu benar adanya.

Sesungguhnya Sholat Nabi Muhammad SAW itu sendiri terdiri dari 3 macam dan kita sebagian umat Islam juga wajib melakukannya.
1.Sholat Syari’at : Dilakukan 5 kali sehari dengan 17 Roka’at
2.Sholat Tauhid : Dilakukan 24 jam ( 5waktu )di BAITULLAH
3.Sholat Dha’im : dilakukan sewaktu-waktu bila diperlukan untuk berhubungan
langsung dengan Sang Pencipta ( ALLAHU AKBAR ).

1.SHOLAT SYARI’AT

Sholat ini sesungguhnya biasa dilakukan oleh mereka dari golongan Syari’at.Mereka
Melakukan 5 kali sehari semalam.iaitu waktu SUBUH, DHUHUR,AS’HAR, MAGRIB, ISYA.

Yang tersirat dari perintah ALLAH disini ialah :

1.Sholat Subuh: 2 rokaat,dan dapat dilakukan secara berjamaah.Sholat ini
memperingati saat kita dilahirkan kea lam fana ini.Kita lahir terdiri dari
2 bagian : lahir dan batin.Lagi pula kita lahir tidak sendirian.Disaksikan
oleh Bidan/Dokter/Dukun bayi,Bapak,Ibu.itu sebabnya maka sholat
subuh ini biasa dilakukan secara berjamaah
2.Sholat Dhuhur :4 rokaat.Tujuannya ialah untuk mencari nafkah (Lahir maupun Batin)
Dalam mencari nafkah,maka memerlukan ke 4 hawa nafsu :nafsu
amarah,luamah supiyah,mutmainah
Bisa dilakukan berjamaah bila sholat Jum’at : dilakukan hanya 2
roka’at,karena yang 2 roka’at pertama sudah dipergunakan untuk
khotbah.Dan khotbah itu wajib diikuti,karena merupakan rejeki batin
( Santapan rokhani )
3.Sholat as’har : 4 Roka’at .Tujuannya untuk berbuat amal.Dalam berbuat amal lahir
dan amal batin,maka dipergunakan jasad,nyawa,rokh,dan rokhani
4.Sholat maghrib : 3 roka’at.Tujuannya untuk mati.Tiga roka’at karena orang mati itu
melepaskan :Dzad,Nur dan Sir
5.Sholat Isya :4 roka’at.Karena Tujuannya untuk hijrah ( pindah dari Alam Fana ke Alam
Akherat ), maka jasad harus membawa roh jasmani/hewani,roh
nabati,dan roh rewani
-nyawa harus membawa Roh Rahmani dan Roh Nurani
-Roh harus membawa Roh Kudus
-Rokhani harus membawa Roh Rabbani dan Roh Burhani

2.SHOLAT TAUHID

Sholat Tauhid ini dipergunakan sebagai pengisi waktu luang antara ke 5 sholat sayari’at.Hal ini untuk memenuhi persyaratan Firman Allah :
“ BARANG SIAPA SELALU INGAT KEPADAKU,MAKA AKU AKAN SELALU INGAT KEPADANYA
Maka para penganut ilmu MA’RIFAT mengutamakan sholat Tauhid dari pada sholat
Syari’at
Padahal Sholat syari’at itu jaga termasuk sholat Muhammad SAW.Dan ada maksud dan tujuannya .Dikarenakan kebanyakan mereka tidak mengerti maksud dan tujuannya,maka sholat syari’at banyak ditinggalkan oleh orang Mari’fat.
Sholat Tauhid dilakukan dengan melakukan ( Dzikir Qolbu ).Dengan Dzikir Qolbu
Ini,maka senua nafsu diimami oleh Rosul/Nur Muhammad dan juga semua Alif Mutakalimun Arif melakukan sholat di Baitullah.Ini adalah sholat fardu yang dilakukan berjamaah di Baitullah.Dan ini pula yang dimaksud dengan sholat paling ampuh yang tidak diketahui oleh orang lain !

Keterangan : Mula-mula mereka sholat di Baitul Muharam (Tenggorokan ),lalu pindah ke Baitul Muqadis ( Puser ) terus ke Baitul Ma’mur ( kening ),lalu pindah lagi ke Baitul Muqadas ( Kemaluan ) dan akhirnya sholat di Baitullah ( Ulu Hati )
Oleh karena adanya sholat ini,maka baik bayi lahir maupun orang mati tidak pernah tepat jamnya.Kalau tidak lebih sekian detik atau menit,ya kurang sekian detik atau menit.Yang hanya Sholat di Baitullah,Tidak berpindah-pindah ialah ke4 nafsu yang diimami oleh Rosul/Nur Muhammad.

3. SHOLAT DHA’IM

Sewaktu di Gua Rahim,semua umat manusia pernah melakukan sholat.Dan sholatnya adalah Dha’im Mul Haq.Oleh sebab itu tidak benar bahwa masih ada orang kafir hidup dialam Fana ini.
Karena ketika lahir kita ini kehilangan HAQ,maka lalu LAHAULA WALA QUWATA ILLA BILLAHIL ALIYIL’AD
ZIM ( Tiada daya apa-apa kecuali ALLAH yang punya kuasa ),tidak bias lagi KUNFAYAKUN.Maka selama hidup ini kita ikhtiar untuk mandapatkan HAQ yang hilang itu.Agar kita dapat berbuat amal dengan sempurna

Minggu, 26 Mei 2013

NUR DI ATAS NUR

Ilahi Anta Maqshudi
Dalam praktik-praktik keruhanian Tasawuf, selalu ada unsur-unsur yang tidak memberi ruang yang bisa dijangkau akal-rasional. Karena dimensi “operatif” dari Tasawuf ini sebagian besar berlangsung di wilayah batin yang tidak berurusan dengan dimensi empiris, maka akal-rasional, pada level tertentu, tidak bisa dijadikan dasar untuk memverifikasi kebenaran suatu doktrin Sufi. Artinya, walaupun pada taraf tertentu akal tetaplah harus hidup dan dipakai, tetapi ada masa-masa ketika akal dan nalar-rasional harus diistirahatkan sepenuhnya, dan beralih secara bertahap ke penggunaan “mata hati yang bercahaya” atau qalb. Sebab, seperti firman Allah dalam hadis qudsi, “hanya hati (qalb) orang beriman yang mampu menampung-Ku, alam semesta tidak bisa.” Juga, “Allah tidak melihat pada bentukmu, tetapi pada hati-Mu.”

Dari ungkapan ini setidaknya ada dua hal penting. Karena tujuan utama dari Sufi adalah Allah, yang dikatakan “bertahta” di dalam hati (qalb), maka perhatian utama dari Sufi adalah pada hati sebagai organ spiritual yang memendam misteri-misteri ilahi. Dan dalam hati inilah berlangsung perjalanan menuju kesempurnaan diri, sebagai sebuah diri yang utuh.

Hati itu perangainya tidak tetap, sebab ia bisa condong kepada kebaikan atau kepada kejahatan—”Hati putra Adam berada di antara dua jari Yang Mahakuasa.” Hati berada di antara dua kekuatan, ruh yang suci dan ilahiah, dan jiwa (nafs) yang rendah dan kotor—Demi jiwa dan penyempurnaannya, lalu Tuhan mengilhamkan setiap jiwa keburukan dan kebaikan (QS. 91:7-8).
Ketika hati mendekati ruh, maka ruh akan mengalahkan jiwa. Sebagai “Tahta” Tuhan, hati memiliki bentuk dan realitas (hakikat). Bentuk lahiriahnya adalah segumpal daging yang terdapat di dada kiri. Sedangkan realitas sejatinya adalah kelembutan ilahi (lathifah rabbaniyyah). Pada kelembutan (lathifah) inilah zikir Sufi difokuskan . Zikir Sufi dimaksudkan untuk memperkuat cahaya ruh, agar bisa mengalahkan jiwa “yang menyeru kepada kejahatan” (nafs al-amarah) dan bisa membangkitkan potensi cahaya ruh dalam setiap lathifah rabbaniyyah yang berhubungan dengan Allah, sehingga mencapai jiwa yang tenang (nafs al-muthmainah).Ketika pikiran dan keinginan duniawi muncul dalam diri kita, maka hati akan bergerak ke jiwa rendah sehingga memperkuat nafs al-amarah. Mereka akan memunculkan hijab yang menyelimuti lathifah rabbaniyah yang bening bercahaya dan suci. Dosa akan menyebabkan muncul noda hitam di cermin hati, demikian nabi pernah bersabda. Seperti sampah, jika tak bersihkan setiap hari, noda itu akan makin banyak dan tebal. Karenanya Cahaya ilahi itu hanya menyala di lubuk hati saja, dan hati menjadi gelap. Dan inilah awal dari tabir pemisah antara Allah dengan manusia.

hati yang berkarat, atau bernoda, bisa dibersihkan dengan zikir. Nabi saw berkata bahwa “pembersih hati adalah zikir.” Melakukan zikir adalah seperti menggosok cermin yang buram hingga bisa bening dan terang, sehingga mampu memantulkan bayangan dengan jelas. Zikir adalah cahaya. Ia adalah seperti pelita ilahi yang menerangi ruang-ruang hati yang gelap, sehingga dengan cahayanya itu tampaklah semua “isi” hati. Dengan zikir, cahaya ilahi yang tersimpan dalam lathifah-lathifah akan menyala dan membawa hati “masuk” ke realitas Tahta hati itu sendiri, yang darinya ia akan masuk ke wilayah-wilayah dunia yang tak terlihat oleh indra eksternal. Dengan kata lain, dengan zikir, misteri dari hati, yakni rahasia-rahasia ilahi, akan kelihatan dengan jelas.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan rahasia dari efek zikir ini dalam sebuah surat yang menjadi pembuka salah satu kitab karyanya yang luar biasa, Sirrul Asrar. Penjelasan ini berkaitan dengan tafsir “ayat cahaya” dalam Surah An-Nur: 35:

Hatimu adalah cermin. Bersihkan cermin itu dari debu yang menabirinya, sebab cermin itu ditakdirkan untuk memantulkan cahaya rahasia ilahi. Ketika cahaya dari Allah (Dzat) yang merupakan Cahaya langit dan bumi mulai menyinari wilayah hatimu, maka pelita hati akan menyala. Pelita hati itu ada dalam kaca; kaca yang laksana bintang yang bersinar terang … Kemudian di dalam hati muncul sinar makna yang bukan muncul dari Timur dan juga dari Barat, yang menyala berkat pohon zaitun yang diberkati … yang memancarkan cahaya menerangi pohon pencerahan, begitu jernihnya sehingga bersinar walau tak disentuh oleh api. Lalu menyalalah pelita kearifan. Mana mungkin pelita itu tak menyala bila cahaya rahasia Allah menyinarinya? … Langit-langit gelap ketidaksadaran akan jadi terang berkat kehadiran ilahi dan kedamaian serta keindahan purnama yang akan muncul dari cakrawala yang memancarkan cahaya di atas cahaya.

Menurut kaum Sufi, seseorang tak bisa mencapai Allah tanpa mengingat-Nya (zikir) terus-menerus. Zikir adalah langkah dasar dalam Tasawuf, dan bahkan paling penting. Seorang wali Allah adalah hamba yang paling utama, yang oleh Rasulullah disebut “hamba yang paling banyak berzikir”. Hati yang kosong dari mengingat Allah tidak akan memiliki “magnet” spiritual untuk menyerap cahaya ilahi. Allah berfirman, “Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian” (QS. 2: 152).

ayat ini menunjukkan adanya hubungan timbal-balik antara zikir dengan Allah. Allah adalah Cahaya, dan karenanya menyebut atau mengingat Nama-Nya akan memunculkan “kandungan” cahaya yang ada dalam setiap Asma atau ayat Al-Quran yang dibaca dan disebut-sebut. Ketika orang berzikir maka ia akan mengeluarkan cahaya dari lathifah rabbaniyah yang meliputi dirinya, mempengaruhi hati, dan menerangi dirinya. Menurut seorang ahl al-kasyaf yang pernah penulis temui, cahaya yang memancar dari pezikir bukan sekadar metafora, tetapi “nyata” dari sudut pandang mukasyafah. Bagi banyak orang yang sudah kasyaf, baik itu yang sudah sampai kedudukan wali atau belum, mereka bisa melihat perubahan cahaya dalam diri sang pezikir. Tetapi cahaya ini harus dibedakan dari “aura” sebab cahaya zikir lebih halus dan dalam, karena bersumber dari lubuk hati yang suci (sirr). Bahkan seorang wali yang telah mencapai kedudukan tinggi tanpa diberi tahu lewat lisan bisa mengetahui zikir macam apa yang diamalkan seorang murid hanya berdasarkan cahaya yang memancar dari lathaif (bentuk jamak dari lathifah) di dalam dirinya. Semakin intens seorang berzikir sehingga melampaui semua tahapan dalam berzikir, semakin terang cahayanya dirinya.

Orang mesti melewati beberapa tahap agar cahaya dirinya bisa menarik cahaya ilahi. Pertama orang berzikir dengan lisan, kemudian meningkat menjadi zikir qalb (kalbu). Saat lisan seseorang berzikir, maka ia melakukan zikir seperti benda-benda mati—nabi bersabda bahwa batu juga berzikir, tetapi kita, orang awam, tidak bisa mendengarkannya. Inilah tahap awal zikir. Kemudian dia berzikir dengan qalb, maka seseorang meningkat ke zikir alam semesta (makhluk bernyawa dan tak bernyawa). Tetapi zikir qalb masih ada lanjutannya, yakni zikir nafs, kemudian zikir ruh, dan zikir sirr. Masing-masing tingkatan akan membuat seorang pezikir menyadari bahwa zikirnya selalu diiringi oleh alam yang bertingkat-tingkat. Alam semesta, zikir malaikat, zikir makhluk di alam arwah, arasy, dan akhirnya yang tertinggi, sirr. Ini adalah tahap ketika singgasana (arasy) bergetar akibat zikir seseorang dan ikut berzikir mengiringi zikir orang itu. Tetapi ketika zikir itu sampai ke zikir sirr yang paling tersembunyi (akhfa al-khafi) atau mendekati sempurna, maka zikir itu tak bisa didengar lagi bahkan oleh malaikat sekalipun. Sebab, ketika arasy bergetar maka zikir seseorang akan langsung tersambung dengan Dzat Allah. Ketika segala sesuatu telah “menyentuh” pada taraf Dzat-Nya, yakni pada tahap ahadiyyah, yang tak bisa dipahami , sesuatu itu akan sirna di dalam Tuhan. Demikian pula zikir itu akan gaib dari pendengaran malaikat, bahkan dari perasaan dan pemahaman si pezikir itu sendiri.

Pada saat inilah proses kimiawi ruhani, yang menyalakan sumber cahaya dalam hati, mencapai puncaknya. Cahaya si pezikir bukan lagi aspek eksternal dari seorang pezikir, tetapi menjadi substansinya sendiri, yang muncul dari dalam dirinya, sebab ia telah bersambung dengan Dzat Sumber Segala Cahaya. Hati sepenuhnya berubah menjadi cahaya.

Karena diri seorang pezikir telah “menjelma” menjadi sumber cahaya, maka pancaran cahayanya tidak akan pudar, selama ia istiqamah dalam berzikir, dan cahaya itu terus melesat ke langit menyongsong sumber dari segala sumber dari cahaya itu, yakni Allah karena Dialah Cahaya langit dan bumi. Pada saat inilah substansi cahaya pezikir akan sama dengan substansi dari Yang Maha Bercahaya. Lalu dalam seketika substansi cahaya di langit (Allah) itu akan merindukan cahaya dari hati hamba-hambanya—”ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian.” Maka, cahaya hati dari hamba melesat naik, dan Cahaya dari Arasy melesat turun ke bawah. Kedua cahaya saling menyongsong—cahaya dari atas (Tuhan) menyongsong cahaya dari bawah (hamba)—dan jadilah cahaya di atas cahaya! (QS. 24: 35)

Sabtu, 25 Mei 2013

ALLAH SWT, Ciptakan Kita Semua Sama


Awal di tiupkan Ruh ke dlm rahim...
Lalu engkau hidup menjadi janin..
Tak beda, tidak berbentuk lain..,
Satu janin berkepala satu, tak berkepala seribu...
Dan tak bergolongan apapun...
Semua SAMA....

Awal engkau muncul dipermukaan dunia..
Engkau hidup menjadi manusia yg utuh..
Ada 2 mata, 1 hidung, 2 telinga, 1 mulut ..,
2 kaki, 2 tangan dan seluruh anggota tubuhmu..
Berjumlah yg sama, tdk ada yg lebih ataupun kurang..
Semua SAMA...menjadi makhluk sempurna.. Alhamdulilah.

Awal engkau diperjalankan ke bumi..
Untuk meramaikan seisi bumi ini..
Dengan tugas yg beragam corak..
Dengan lakon hidup yg berbeda2..

Ada petani, ada pejabat, ada pemasak makanan,
Ada pemasok barang, ada pula pengangguran..
Dan siapapun mereka para pelakon dunia...
Mereka semua SAMA..
Sama-sama mempunyai hati, akal dan pikiran..

Awal enggkau mengenal agama ..
Memahami makna dari semua agama..
Menelaah maksud beragama dan
Mencoba mengamalkan dari kaidah2 agama yg ada..
Lalu menjalankannya dgn indah dan khusyuk...
Nah itu yg Semua TIDAK SAMA...
Amalyiah masing2 manusia tergantung dari volumenya..

Ya amalyiah manusia itu berbeda-beda..
Semua sesuai dari pemahamannya, penghayatannya..
Pengertiannya, dan kelakuan apa yg di buatnya..
Besarkah atau kecilkah apa yg di kerjakannya.
Amalyiah manusia tdk semua manusia SAMA.

Sahabat Terkasih...
Jadi jelas apa yg membedakan itu semua..
Hanya amalyiah yg bisa membedakan
Yang bisa memisahkan dan yang bisa menentukan
Golongan mana dia berada...

Bukan harta-mu..
Bukan kekayaan-mu..
Bukan pula jabatan-mu..
Dan bukan kemiskinan-mu
Bukan Ke'minderan-mu..
Bukan ketiadaan diri-mu..
Juga bukan pula kehinaan-mu...

Tidak satu pun semua itu menjadi pokok terpenting di mata Allah..
Tidak satupun perkara itu di pandang Allah..
Dan tidak sezahra-pun status itu dalam hitungan-Nya..

Sadarlah wahai sahabat terkasih..
Kita semua SAMA..
Kita semua dalam produk yg SAMA..
Dalam Dzat yg SAMA...
Dalam naungan yg SAMA...
Dalam tempurung yg SAMA...
Semua dalam GENGGAMAN_NYA yg SAMA...
Hanya DIA lah yg menggenggamkan seluruh makhluk2Nya..

Sahabat Terkasih...
Plissss...
Bangkitlah dari rasa kegelisahan hati-mu..
Bangkitlah dari rasa Keminderan-mu..
Dari rasa tak berdaya atas kondisi-mu..
Dari semua rasa buruk yg tdk baik kau rasakan..

Aku Sulbi adalah sahabat-mu..
Sahabat dalam duka dan duka..
Sahabat dlm setiap pelakon2 dunia..
Sahabat dlm kegundahan dan kegelisahan-mu..

Ulurkan tangan-mu agar cepat ku gapai hati-mu...
Jangan kau gundah, resah dan sungkan...
Aku akan selalu ada pada setiap kesedihan-mu..
Semampu membantu keresahan-mu..

Akulah ibu-mu, kakak-mu..
Adik-mu, saudara-mu, tante-mu..
Apapun itu lakonnya..
Aku tetap sahabat kasih-mu..
Tak membeda-bedakan derajat diri manusia...

Sahabat terkasih.. KITA SEMUA SAMA....
Yaa kita semua SAMA...
Memang SAMA..

SAMA-SAMA mempunyai Tuhan yg SAMA yaitu 'ALLAH SWT..'
SAMA-SAMA mempunyai Nabi suci yg SAMA yaitu 'Rasulullah Saw- Muhammad Saw'..
SAMA-SAMA beragama yg SAMA namanya yaitu 'ISLAM'..
SAMA-SAMA Rahmatan Lil' Alamin..

Yaa kita semua SAMA hidup dalam Dunia-Nya..
Dan akan wafat masuk ke dalam Akherat-Nya..
Hanya Amalyiah kita yg membedakan..

Hanya amalyiah yg membedakan kita..
Golongan kanan 'kah atau golongan kiri 'kah..
Sadarlah sahabat.... Semua milik-Nya..
Tak ada satupun kepunyaan kita..
Kita SAMA-SAMA MISKIN...
Tak punya apa2.. Alhamdulilah....

"Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan" (QS 90:17-18)

"Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh" (.QS 27:19)

Wassalamu'alaikum wr wb

APA KRITERIA MENJADI ULAMA DAN ILMUNYA



Assalamu'alaikum wr wb.
Saya punya beberapa pertanyaan.
1. Apakah definisi ulama? Kapankah seseorang bisa dikatakan ulama?
2. Misalkan mayoritas ulama berpendapat A dan ada beberapa ulama berpendapat B, bolehkah kita mengikuti pendapat B karena itu lebih mudah bagi kita? Apakah hal tersebut bisa dikategorikan sebagai mengikuti hawa nafsu, karena kita mengambil sesuatu berdasarkan mudahnya saja?
Untuk itu saya meminta penjelasan juga dari Ustadz
Terima kasih atas jawaban Ustadz

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata 'aalim. 'Aalim adalah isim fail dari kata dasar:'ilmu. Jadi 'aalim adalah orang yang berilmu, maksudnya ilmu syariah. Dan ulama adalah orang-orang yang punya ilmu ke dalam di bidang ilmu-ilmu syariah.
Dan secara istilah, kata ulama mengacu kepada orang dengan spesifikasi penguasaan ilmu-ilmu syariah, dengan semua rinciannya, mulai dari hulu hingga hilir.

Keutamaan dan Kedudukan Para Ulama
Al-Quran memberikan gambaran tentang ketinggian derajat para ulama,
Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah: 11)
Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir: 28)
Sedangkan di dalam hadits nabi disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan peninggalan dan warisan oleh para nabi.
Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu.(HR Ibnu Hibban dengan derajat yang shahih)
Di dalam kitab Ihya'u Ulumud-din karya Al-Imam Al-Ghazali disebutkan bahwa manusia yang paling dekat derajatnya dengan derajat para nabi adalah ahlul-ilmi (ulama) dan ahlul jihad (mujahidin). Karena ulama adalah orang yang menunjukkan manusia kepada ajaran yang dibawa para rasul, sedangkan mujahid adalah orang yang berjuang dengan pedangnya untuk membela apa yang diajarkan oleh para rasul.

Kerancuan Istilah Ulama
Namun istilah ulama di masa kini sering kali menjadi rancu dan tertukar-tukar dengan istilah lain yang nyaris beririsan. Padahal keduanya tetap punya perbedaan mendasar. Misalnya, seorang yang berprofesi sebagai penceramah, seringkali disebut-sebut sebagai ulama, meski tidak punya kapasitas otak para ulama. Kemampuannya di bidang ilmu syariah, jauh dari kriteria seorang ulama.
Penceramah adalah sekedar orang yang pandai berpidato menarik massa, punya daya pikat tersendiri ketika tampil di publik, mungkin sedikit banyak pandai menyitir satu dua ayat Quran dan hadits, tetapi begitu ditanyakan kepadanya, apa derajat hadits itu, ada di kitab apa, siapa saja perawinya, dan seterusnya, belum tentu dia tahu.
Bahkan tidak sedikit penceramah yang buta dengan huruf arab, alias tidak paham membaca kitab berbahasa arab. Padahal sumber-sumber keIslaman hanya terdapat dalam bahasa arab.
Namun penceramah tetap dibutuhkan oleh masyarakat awam, yang betul-betul kurang memiliki wawasan dan pemahaman atas agama Islam. Jadi meski seorang penceramah hanya punya ilmu agama pas-pasan, tetapi tidak ada rotan, akar pun jadilah.
Bahkan terkadang terjadi fenomena sebaliknya, banyak orang yang sudah sampai kepada level ulama, punya ilmu banyak dan mendalam, tetapi kurang fasih ketika berbicara di muka publik. Bahkan boleh jadi figurnya malah kurang dikenal. Sebab beliau tidak mampu berpidato di TV untuk menjaring iklan. Padahal dari sisi ilmu dan kedalamanannya atas kitabullah dan sunnah rasul-Nya, tidak ada yang mengalahkan.
Ulama Satu Bidang Ilmu
Di zaman sekarang ini, nyaris kita tidak lagi mendapatkan ulama dengan penguasaan di berbagai disiplin ilmu syariah. Kita hanya menemukan para ulama yang pernah belajar beberapa bidang ilmu, namun hanya menguasai satu atau dua cabang ilmu.
Misalnya, kita mengenal ada Syeikh Nashiruddin Al-Albani yang tersohor di bidang kritik hadits. Buku yang beliau tulis cukup banyak, namun kita tahu bahwa beliau bukan seorang yang ekpert di bidang lain, misalnya ilmu ushul fiqih, juga bukan jagoan ahli dibidang ilmu istimbath ahkam fiqih secara mendalam.
Kalau mau tahu apakah sebuah hadits itu shahih atau tidak, silahkan tanya beliau. Tetapi kalau tanya kaidah ushul fiqih, tanyakan kepada ulama lain yang ahli di bidangnya. Namun demikian, kita tetap harus hormat dan takzim kepada beliau atas ilmunya.

Ilmu-Ilmu Yang Harus Dikuasai Oleh Ulama
Idealnya, ilmu syariah dan cabang-cabangnya itu harus secara mendalam dikuasai, terlebih olehpara ulama. Sekedar gambaran singkat, di antaranya ilmu-ilmu syariah dan keIslaman yang harus dikuasai seorang ulama antara lain:
1. Ilmu Yang Terkait Dengan Al-Quran
  • Ilmu tajwid yang membaguskan bacaan lafadz AL-Quran
  • Ilmu qiraat (bacaan) Al-Quran, sepertiqiraah-sab'ah yang bervariasi dan perpengaruh kepada makna dan hukum.
  • Ilmu tafsir, yang mempelajari tentang riwayat dari nabi SAW tentang makna tiap ayat, juga dari para shahabat dan para tabi'in dan atbaut-tabi'in.
  • Ilmu tentang asbababun-nuzul, yaitu sebab dan latar belakang turunnya suatu ayat.
  • Ilmu tentang hakikat dan majaz yang ada pada tiap ayat Quran
  • Ilmu tentang makna umum dan khusus yang dikandung tiap ayat Quran
  • Ilmu tentang muhkam dan mutasyabihat dalam tiap ayat Quran
  • Ilmu tentang nasikh dan mansukh dalam tiap ayat Quran
  • Ilmu tentang mutlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum
  • Ilmu tentang i'jazul quran, aqsam, jadal, qashash dan seterusnya
2. Ilmu Yang Terkait dengan Hadits Nabawi
  • Ilmu tentang sanad dan jalur periwayatan serta kritiknya
  • Ilmu tentang rijalul hadits dan para perawi
  • Ilmu tentang Al-Jarhu wa At-Ta'dil
  • Ilmu tentang teknis mentakhrij hadits
  • Ilmu tentang hukum-hukum yang terkandung dalam suatu hadits
  • Ilmu tentang mushthalah (istilah-istilah) yang digunakan dalam ilmu hadits
  • Ilmu tentang sejarah penulisan hadits yang pemeliharaan dari pemalsuan
3. Ilmu Yang Terkait dengan Masalah Fiqih dan Ushul Fiqih
  • Ilmu tentang sejarah terbentuknya fiqih Islam
  • Ilmu tentang perkembangan fiqh dan madzhab
  • Ilmu tentang teknis pengambilan kesimpulan hukum (istimbath)
  • Ilmu ushul fiqih (dasar-dasar dan kaidah asasi dalam fiqih)
  • Ilmu qawaid fiqhiyah
  • Ilmu qawaid ushuliyah
  • Ilmu manthiq (logika)
  • Ilmu tentang iIstilah-istilah fiqih istilah fiqih madzhab
  • Ilmu tentang hukum-hukum thaharah, shalat, puasa, zakat, haji, nikah, muamalat, hudud, jinayat, qishash, qadha', qasamah, penyelenggaraan negara dan seterusnya.
4. Ilmu Yang Terkait dengan Bahasa Arab
  • Ilmu Nahwu (gramatika bahasa arab)
  • Ilmu Sharaf (perubahan kata dasar)
  • Ilmu Bayan
  • Ilmu tentang Uslub
  • Ilmu Balaghah
  • Ilmu Syi'ir dan Nushus Arabiyah
  • Ilmu 'Arudh
5. Ilmu Yang Terkait dengan Sejarah
  • Tentang sirah (sejarah nabi Muhammad SAW)
  • Tentang sejarah para nabi dan umat terdahulu dan bentuk-bentuk syariat mereka
  • Sejarah tentang Khilafah Rasyidah
  • Sejarah tentang Khilafah Bani Umayyah, Bani Abasiyah, Bani Utsmaniyah dan sejarah Islam kontemporer.
6. Ilmu Kontemporer
  • Ilmu politik dan perkembangan dunia
  • Ilmu ekonomi dan perbankan
  • Ilmu sosial dan cabang-cabangnya.
  • Ilmu psikologi dan cabang-cabangnya
  • lmu hukum positif dan ketata-negaraan
  • Ilmu-ilmu populer
Di masa lampau, orang yang disebut dengan ulama adalah orang-orang yang menguasai dengan ahli cabang-cabang ilmu di atas tadi. Namun di zaman sekarang ini, nyaris kita tidak lagi menemukannya.
Maka di zaman sekarang ini, para ulama dari beragam latar belakang keilmuwan yang berbeda perlu duduk dalam satu majelis. Agar mereka bisa melahirkan ijtihad jama'i (bersama), mengingat ilmu mereka saat ini sangat terbatas. Sementara ilmu pengetahuan berkembang terus.

Perbedaan Pendapat di Kalangan UIlama
Masalah perbedaan pendapat di kalangan ulama, barangkali yang anda maksud adalah pendapat fiqih dan fatwa-fatwa.
Sebelum kita memilih pendapat mereka yang menurut anda berbeda-beda, anda harus tahu terlebih dahulu latar belakang keilmuan mereka.
Untuk jawaban masalah hukum fiqih, maka janganlah bertanya kepada ulama hadits, atau ulama tafsir, atau ulama bahasa, atau ulama sejarah. Anda salah alamat. Kalau pun mereka jawab, jawaban mereka tetap kalah dibandingkan dengan jawaban ahlinya.
Misalnya, di Mesir saat ini ada ulama yang berfatwa tentang hukum wanita menjadi kepala negara. Sayangnya, beliau bukan ahli fiqih, tetapi doktor di bidang ilmu pendididikan. Tentu saja fatwanya aneh bin ajaib. Para ulama fiqih tentu terpingkal-pingkal kalau mendengar isi fatwanya.
Masalah fiqih tanyakan kepada ulama yang ahli di bidang ilmu fiqih. Sebab ilmu yang mereka miliki memang lebih menjurus kepada ilmu hukum fiqih.

Faktor Perbedaan Kasus dan Fenomena Sosial
Kalau para ahli fiqih berbeda pendapat, maka anda harus melihat pada konteks ketika mereka menjawab masalah itu. Apakah fatwa yang mereka keluarkan sesuai kondisi sosialnya dengan kondisi sosial di mana anda berada.
Misalnya ketika Syeikh bin Bazz mengeluarkan fatwa haramnya ziarah kubur, maka anda harus tahu bahwa fenomena ziarah kubur di negeri tempat tinggalnya memang sulit untuk dibilang tidak syirik. Sebab orang-orang di sana memang nyata-nyata menyembah kuburan, baik dengan jalan mencium, mengusap, meratap dan meminta rezeki kepada kuburan. Wajar sekali bila Syeikh bin Baz mengharamkan ziarah kubur.
Tetapi fatwa haramnya ziarah kubur versi beliau tidak bisa digeneralisir di semua tempat, yang fenomenanya berbeda.
Kalau di negeri kita ada orang yang ziarah kubur, namun tanpa menyembah dan melakukan hal-hal yang dinilai syirik, maka kita tidak bisa mengharamkannya. Karena ziarah kubur itu sunnah nabi, namun harus dengan cara yang dibenarkan.
Terkadang kesalahan bukan datang dari para ulama, tetapi dari orang awam yang salah kutip dan salah penempatan sebuah fatwa.
Faktor Perbedaan Nash dan Dalil
Terkadang perbedaan pendapat itu dilatar-belakangi oleh perbedaan nash dan dalil. Bila perbadaan pendapat itu memang berangkat dari perbedaan nash, yang oleh para ulama memang sejak dulu sudah menjadi titik perbedaan pendapat, maka kita dibolehkan untuk memilih yang mana saja dari pendapat yang berbeda itu.
Misalnya, ada dua hadits yang sama-sama shahih namun berbeda isi hukumnya. Hadits pertama mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW sujud dengan meletakkan lutut terlebih dahulu baru kedua tanggannya. Hadits kedua mengatakan sebaliknya, beliau meletakkan tangan terlebih dahulu baru kedua lututnya. Maka yang mana saja dari hadits ini yang kita pakai, keduanya boleh digunakan. Toh keduanya sama-sama didasari oleh hadits shahih.

Faktor Perbedaan Dalam Menilai Keshaihan Hadits
Ada juga perbedaan pendapat karena perbedaan dalam menilai keshahihan suatu riwayat hadits. Sebab keshahihan suatu hadits memang sangat mungkin menjadi perbedaan pendapat. Seorang Bukhari mungkin saja tidak memasukkan sebuah hadits ke dalam kitab shahihnya, karena mungkin menurut beliau hadits itu kurang shahih. Namun sangat boleh jadi, hadits yang sama justru terdapat di dalam shahih Muslim.
Maka perbedaan dalam menilai keshahihan suatu hadits adalah hal yang pasti terjadi dan lumrah serta wajar.
Seperti dalam kasus hadits bahwa nabi Muhammad SAW diriwayatkan selalu melakukan qunut shalat shubuh hingga akhir hayatnya. Sebagian ulama menerima keshaihannya dan sebagian lainnya menolaknya.
Maka dalam hal ini, kita pun boleh menerima yang mana saja dari kedua pendapat itu, karena masing-masing jelas punya argumentasi yang kuat atas pendapat keshahihan riwayat itu.
Pendeknya, ketika sebuah pendapat dari seorang ulama memang betul-betul telah mengalami proses ijtihad dengan benar, meski pun sering kali tidak sama, maka pendapat yang mana pun boleh kita pakai.
Bahkan meski tidak konsekuen dalam menggunakan pendapat seorang ulama. Kita dibolehkan untuk mengambil sebagian pendapat dari seorang ulama dan dibolehkan juga untuk meninggalkan sebagian pendapatyang lainnya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,