Laman

Minggu, 19 Januari 2014

SHALAT-SHALAT SUNNAT YANG DITUNAIKAN SEHARI-HARI

Oleh : Syaikh Khalid al Husainan

[a]. Shalat-Shalat Sunnat Rowatib

Sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Tidaklah seorang muslim mengerjakan shalat karena Allah setiap hari 12 rakaat shalat
sunnah karena Allah, kecuali Allah akan membangunkan sebuah rumah baginya di Surga atau
dibangunkan baginya sebuah rumah di Surga” [HR. Muslim no. 728]

Rinciannya sebagai berikut:
Sholat empat rakaat sebelum shalat dzuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah
shalat maghrib, dua rakaat setelah shalat isya dan dua rakaat sebelum shalat subuh.

namun untuk rawatib zhuhur ada riwayat lain :
"Barang siapa yang sholat 4 rakaat (Qobliyah) sebelum Dzuhur dan 4 rakaat (Ba'diyah)
sesudahnya, maka diharamkan baginya api neraka". (SHAHIH. HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, di Shahihkan oleh Albani)

Wahai saudaraku tercinta…“Tidakkah engkau mempunyai rasa rindu untuk dibangunkan rumah di Surga?!!”

Peliharalah nasehat yang datang dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tetap mengerjakan shalat sunnah sebanyak 12 rakaat.

[b]. Shalat Dhuha

Shalat ini sebanding dengan 360 shadaqah. Hal ini bisa terwujud karena di dalam tubuh
manusia ada 360 sendi (persendian)[1] setiap sendi tersebut membutuhkan shadaqah setiap
harinya[2]. Shadaqah yang diperuntukkan pada persendian sebagai perwujudan rasa syukur
atas nikmat, untuk mencukupi semuanya maka dua rokaat dari shalat dhuha dapat sebagai
sarananya.

Faedahnya
Sebagaimana terdapat dalam shohih Muslim bahwa Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pada setiap pagi, pada tiap-tiapp ruas persendian [3] di antara kalian memiliki hak,
yaitu shadaqoh. Setiap tasbih (subhanallah) adalah shadaqoh, setiap tahmid adalah
shadaqoh, setiap tahlil adalah shdaqoh, setiap takbir adalah shadaqoh, amar ma’ruf
termasuk shadaqoh, mencegah dari kemungkaran termasuk shadaqoh, maka yang mencukupi
demikian itu adalah shalat dhuha dua rokaat.” [HR. Muslim dalam kitab Shalat al-
Mufasirin wa Qashriha, bab Istihbab Shalat adh-Dhuha no. 720. Pent]

Dan penjelasan yang lain ada pada hadits dari Abu HurairAh Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya
ia berkata :

“Aku telah diberikan nasehat oleh kekasihku (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
dengan tiga hal, yaitu berpuasa tiga hari (13-15), pada setiap bulan (Hijriyyah), dua
rakaat shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum aku hendak tidur. [HR. Bukhari, Kitab
Ash-Shaum, bab: Puasa al-Biedh tanggal 13,14, dan 15 tiap bulan no. 1981; dan Muslim
dalam kitab Shalatu Musafirin, bab: Dianjurkannya shalat Dhuha, no: 721. Pent]
Waktunya sholat dhuha mulai terbitnya matahari dari ¼ jam setelah terbitnya matahari
sampai kurang lebih ¼ jam sebelum shalat zhuhur.

Waktu yang paling utama untuk menunaikannya adalah ketika terik matahari mulai makin
menyengat.[4]

Jumlah raka’atnya paling sedikit dua rakaat. Sedangkan jumlah maksimalnya 12 rakaat dan
ada pendapat lain bahwa jumlah maksimal raka’at dhuha tidak ada batasannya.

[c]. Shalat Sunnat Sebelum Shalat Ashar

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Semoga Allah memberi rahmat kepada seseorang yang shalat sunnah sebelum Ashar empat
raka’at” [HR. Ahmad 2/117, Abu Dawud dalam kitab At-Tathawwu’ bab Shalat sebelum Ashar
no. 1270, Tirmidzi dalam kitab As-Shalah bab Riwayat tentang Empat Raka’at Sebelum
Ashar, no. 430. Pent]

[d]. Shalat Sunnat Sebelum Shalat Maghrib

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Shalatlah sebelum shalat Maghrib”. Pada ucapan yang ketiga beliau Shalallahu ‘alaihi
wa sallam menambahkan: “Bagi siapa yang mau.” [HR. Bukhary no.1183 dan no. 7368. Pent]

[e]. Shalat Sunnat Isya’

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
”Di antara dua adzan ada shalat, diantara dua adzan ada shalat.” Pada ucapan ketiga,
beliau bersabda: “Bagi siapa yang mau.” [HR. Bukhary Kitab Adzan bab Diantara dua adzan
ada shalat no. 624, 627 dan Muslim kitab Shalatu Musafirin, bab , bab: Diantara dua
adzan ada shalat no. 838]

Imam Nawawy berkata: “Yang dimaksud dengan dua adzan adalah adzan dan iqamah”

_________
Foot Note
[1]. Lihat Shahih Muslim no. 1007 dalam kitab az-Zakat bab: Bayaanu anna Ismash
Shadaqah Yaqa'u Ala Kulli Nau'in Minal Ma'ruuf.
[2]. Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Manusia memiliki tiga ratus enam puluh sendi
dalam tubuhnya. Hendaknya ia bersedekah untuk semua sendi tersebut.” Diriwayatkan oleh
Abu Dawud dalam kitab Al Adab bab Imathatuk Adza ‘Anith- Thariq no. 5242 dan Ahmad
5/354 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/984, Irwa’ul Ghalil
2/213.
[3]. aslinya tulang jari jemari dan telapak tangan kemudian di pergunakan buat seluruh
tulang-tulang badan dan persendiannya, lihat syarah An-Nawawi atas Shahih Muslim 5/272.
[4]. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Shalat orang-orang
yang khusyu’ beribadah adalah ketika anak-anak unta (fishal) kepanasan” Riwayat Muslim
dalam kitab Shalat Mufasirin, bab Shalat Al-Awwabin hina Tarmidhul Fishal no. 748.

[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia
Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan,
Penerjemah Zaki Rachmawan]

--------------------------
-------------------------------------------------------

SUNNAH-SUNNAH DALAM SHALAT MALAM
Oleh : Syaikh Khalid al Husainan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa bulan muharram dan sebaik-baik
shalat setelah shalat wajib adalah shalat lail.” [Hadits Riayat. Muslim no. 1163]

[a]. Sebaik-baik jumlah raka’at dalam shalat lail adalah sebelas raka’at atau tiga
belas raka’at dengan pengerjaan shalat yang lama. Berdasarkan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat lail sebanyak 11 raka’
at
, maka yang demikian itu adalah shalat beliau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1147]
Riwayat yang lain menyebutkan.

“Rasulullah shalat malam sebanyak 13 raka’at” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1138
dan Muslim no. 764]

[b]. Disunnahkan bagi orang yang mengerjakan shalat lail untuk bersiwak dan membaca
ayat-ayat terakhir dari surat Ali Imran mulai dari firman Allah
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [ Ali Imran : 190]
...........Dibaca sampai akhir surat

[c]. Disunnahkan kepada orang yang mengerjakan shalat malam untuk berdoa dengan doa
yang shahih yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ya Allah, bagiMu segala puji, Engkaulah Penegak langit dan bumi dan segala isinya.
BagiMu segala puji, milikMu kerajaan langit dan bumi serta segala isinya. bagiMu segala
puji (Engkau) Pemberi cahaya langit dan bumi (serta segala isinya). bagiMu segala puji,
Engkau penguasa langit dan bumi. bagiMu segala puji Engkau lah Yang Mahabenar, janji-Mu
itu benar adanya dan pertemuan dengan-Mu itu benar adanya. FirmanMu itu benar, surga
itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, Nabi Muhammad itu benar (utusanMu),
kamat itu benar adanya. Ya Allah, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku kembali,
kepadaMu aku mengadu dan kepadaMu aku berhukum. Ampunilah dosaku di masa lalu, masa
yang akan datang, yang tersebunyi serta yang nampak (Karena Engkau adalah Maha
Mengetahui itu daripada aku). Engkau lah Yang terdahulu dan Yang terakhir (Engkau
Tuhanku) dan tidak ada Tuhan kecuali Engkau atau tidak ada Tuhan (bagiku) kecuali
Engkau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1120, 6317, 7385 dan Muslim no. 2717]

[d]. Sunnah memulai shalat lail dengan dua raka’at yang ringan (pendek). Hal itu
dilakukan hingga datangnya semangat untuk memanjangkan raka’atnya setelah dua rakaat
yang pendek tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila salah seorang diantara kalian mendirikan shalat lail hendaklah membuka
shalatnya dengan shalat dua raka’at yang ringan (surat-surat yang dibaca pendek. Pent)
[Hadits Riwayat. Muslim no. 768]

[e]. Merupakan sunnah, memulai shalat malam dengan doa yang shahih dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb
yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan)
apa yang mereka (orang-orang Nasrani dan Yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada
kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan
pada jalan yang lurus bagi orang-orang yang Engkau kehendaki” [Hadits Riwayat. Muslim
no. 770, Abu Dawud no. 767, Ibnu Majah no. 1357]

[f]. Disunnahkan untuk mempanjangkan shalat malam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Shalat apakah yang paling baik?”
Rasulullah menjawab : “Yang panjang qunutnya (lama berdirinya)” [Hadits Riwayat. Muslim
no.756]

Yang dimaksud qunut[1] adalah berdiri yang lama

[g]. Disunnahkan untuk bertaawudz (minta perlindungan kepada Allah) ketika membaca ayat
tentang adzab dengan ucapan:

“Aku berlindung kepada Allah dari Adzab Allah”

Dan memohon rahmat kepada Allah ketika membaca ayat tentang permohonan dengan ucapan

“Ya Allah aku meminta kepadaMu dari karuniaMu”

Dan bertasbih ketika membaca ayat-ayat yang mengandung pujian tentang keMahasucian
Allah.

Hal tersebut berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (ayat) dengan tartil apabila beliau
melewati satu ayat tasbih maka beliaupun membaca tasbih. Apabila melewati ayat
permohonan(tentang rahmat,-ed) maka beliaupun memohon. Dan apabila melewati ayat
memohon perlindungan, maka beliaupun memohon perlindungan (bertaawudz)…” [Hadits
Riwyat. Muslim no. 772]

Sebab-sebab agar mendapatkan kemudahan untuk shalat malam

[a]. Berdoa
[b]. Menjauh kan (diri) dari begadang
[c]. Tidur di siang harinya
[d]. Meninggalkan kemaksiyatan
[e]. erkeinginan diri yang kuat untuk melakukan shalat malam

_________
Foot Note
[1]. Qunut dalam hadits itu memiliki banyak arti berdasarkan banyak riwayat. Dalam
Hadyus Saari Muqaddimah dari Fathul Baari oleh Ibnu Hajar hal. 305 (Cet. Daar Abi
Hayyaan) pasal Qaf Nun disebutkan tentang makna qunut antara lain do’a, berdiri,
tenang, diam, ketaatan, shalat, kekhusu’an, ibadah, dan memperpanjang berdiri. Pent.


Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih
Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah
Zaki Rachmawan]

---------------------------------------------------------------------------------

BENTUK-BENTUK WITIR DAN JUMLAH RAKA’ATNYA
Oleh : Dr Said bin Ali bin Wahf Al-Qathani.

Witir memiliki jumlah raka’at dan bentuk-bentuk yang bermacam-macam sebagai berikut.

[a]. Sebelas Raka’at, Dengan Salam Pada Setiap Dua Raka’at Dan Berwitir Satu
Raka’at.

Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang menceritakan : “Rasulullah biasanya
shalat malam sebelas raka’at, berwitir dari shalat itu dengan satu raka’at” Dalam
riwayat lain : “Rasulullah biasanya shalat antara usai shalat Isya –yakni yang disebut
sebagai atamah- hingga fajar sebanyak sebelas raka’at, mengucapkan salam antara dua
rak’aat, dan berwitir satu raka’at” [1]

[b]. Tigabelas Raka’at, Setiap Dua Raka’at Salam, Dan Berwitir Satu Raka’at
Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan cara
shalat Nabi. Dalam hadits itu tercantum : “… Maka akupun berdiri di sebelah kiri
beliau. Tiba-tiba beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas kepalaku, dan memegang
telingaku serta memutar tubuhku hingga berada di sebelah kanannya, kemudian beliau
shalat dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at dan dua raka’at,
kemudian beliau melakukan witir, lalu berbaring hingga datang muadzin. Setelah muadzin
datang, beliau bangkit dan shalat dua raka’at ringkas, kemudian baru beliau keluar
menuju jama’ah dan shalat shubuh” [2]

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia menceritakan : “Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam tiga belas raka’at,
kemudian baru keluar untuk shalat shubuh. [3]

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia pernah berkata
: “Aku betul-betul memperhatikan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
malam hari. Beliau shalat dua raka’at ringkas, kemudian shalat dua raka’at yang panjang
sekali, panjang sekali, panjang sekali, kemudian shalat lagi dua raka’at, namun tidak
sepanjang yang pertama. Kemudian shalat lagi dua raka’at, juga tidak sepanjang dua
raka’at yang sebelumnya. Kemudian shalat lagi dua raka’at namun juga tidak sepanjang
dua rakaat sebelumnya. Kemudian shalat lagi dua raka’at, namun tidak sepanjang dua
raka’at sebelumnya. Kemudian baru beliau melakukan witir. Jumlah semuanya tiga belas
raka’at” [4]

[c]. Tiga Belas Raka’at, Dengan Salam Pada Tiap Dua Raka’at, Dan Berwitir Lima Raka’at
Sekaligus

Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang menceritakan : “Rasulullah
apabila shalat malam, melakukannnya tiga belas raka’at. Dari semua itu beliau berwitir
lima raka’at, hanya duduk di akhirnya saja” [5]

[d]. Sembilan Raka’at Hanya Duduk Di Raka’at Kedelapan, Kemudian Langsung Masuk
Raka’at Kesembilan.

Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang menceritakan : “Kami biasa
menyiapkan siwak dan air bersuci beliau. Allah membangunkan pada waktu yang Allah
kehendaki di waktu malam. Beliau bersiwak dan berwudhu, lalu shalat sembilan raka’at,
hanya duduk di raka’at yang kedelapan. Lalu berdzikir kepada Allah, berdo’a kepadaNya
(tahiyyat pertama), kemudian baru bangun dan tidak mengucapkan salam. Kemudian beliau
bangkit dan melakukan raka’at kesemblian. Setelah itu baru beliau duduk dan berdzikir,
bertahmid dan berdo’a kepada Allah (tahiyyat kedua), kemudian salam dengan suara yang
dapat kami dengar” [6]

[e]. Tujuh Raka’at Dengan Tanpa Duduk Kecuali Diakhirnya.

Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang tercantum di dalamnya : “Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan mulai gemuk, beliau
shalat dengan witir tujuh raka’at” [7]

Dalam riwayat lain : “Hany duduk di akhirnya saja “ [8]

[f ]. Tujuh Raka’at Dengan Hanya Duduk Pada Raka’at Yang Keenam
Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyalahu ‘anha, yang menceritakan : “Kami biasa
mempersiapkan siwak dan air wudhu Rasulullah. Lalu beliau bangun dalam waktu yang Allah
kehendaki di malam hari. Kemudian beliau bersiwak dan berwudhu, baru kemudian shalat
tujuh raka’at, hanya duduk di raka’at keenam, lalu duduk dan berdzikir kepada Allah
serta berdo’a” [9]

[g]. Lima Raka’at Dengan Hanya Dududk Diraka’at Terakhir
Dasarnya adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Witir itu hukum yang berlaku bagi setiap muslim. Barangsiapa yang suka melakukan witir
lima raka’at, hendaknya ia melakukannya. Dan barangsiapa suka melakukan witir 3 raka’at
maka lakukanlah. Dan barangsiapa yang suka berwitir satu raka’at hendaknya ia
melakukannya” [10]

Telah diriwayatkan dengan shahih dari hadits Aisyah Radhiyallahu anha, bahwa bentuk
shalat semacam itu dilakukan secara sekaligus dengan hanya duduk di raka’at kelima
saja. Dalam hadits itu tercantum : “Dalam shalatnya itu beliau berwitir lima raka’at,
dengan hanya duduk di raka’at terakhirnya” [11]

[h]. Tiga Raka’at Dengan Salam Setelah Dua Raka’at, Kemudian berwitir Satu
Raka’at

Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma bahwa ia menceritakan :
"Nabi biasa memisahkan antara raka'at genap dan ganjil dengan salam yang dapat kami
dengar" [12]

Telah diriwayatkan dengan shahih dari Abdullah bin Umar secara mauquf. Dari Nafi',
bahwa Abdullah bin Umar biasa melakukan witir dengan salam antara dua raka'at pertama
dengan satu raka'at terakhir, sehingga beliau sempat memerintahkan beberapa hal dari
kebutuhannya [13] Hadits mauquf itu bisa menguatkan hadits marfu'. Penulis sendiri
pernah mendengar guru kita Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah tentang
Witir tiga raka'at, bahwa itu dilakukan dengan dua kali salam : "Itu lebih utama, bagi
orang yang ingin shalat tiga raka'at, dan inilah yang mendekati kesempurnaan" [14]

[I ]. Tiga Raka’at Secara Langsung, Dengan Hanya Duduk Diraka’at Terakhirnya

Dasarnya hadits Abu Ayyub Radhiyallahu 'anhu yang tercantum di dalamnya : "Barangsiapa
yang ingin berwitir tiga raka'at, hendaknya ia melakukannya" [15]

Juga hadits Abdullah bin Ka'ab Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pada waktu witir membaca " Sabbihis Marabbikal A'la", pada raka'at kedua membaca
" Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun". Dan pada rakaat ke tiga membaca " Qul Huwallahu Ahad" Usai
salam, beliau mengucapkan " Subhanal Malikil Quddus" tiga kali [16]
Akan tetapi tiga rakaat itu beliau lakukan sejaligus, dengan hanya satu kali tasyahhud di akhirnya.
Karena kalau dilakukan degan dua kali tasyahud, akan mirip dengan shalat Maghrib [17]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melarang shalat sunnah diserupakan
dengan shalat Maghrib [18], berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda : "Janganlah
kalian berwitir tiga raka'at. Berwitirlah lima rakaat atau tujuh raka'at. Jangan
serupakan dengan shalat Maghrib. [19]

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahulah menggabungkan antara hadits-hadits dan riwayat yang
membolehkan witir tga rakaat dalam penafsiran bahwa ketiga rakaat itu dalam shalat
hingga akhir, dengan hadits-hadits yang melarang witir tiga raka’at dalam penafsiran
bahwa itu dilakukan dengan dua kali tasyahud, hingga menyerupai shalat Maghrib" [20]

Di antara dalil yang munnjukkan. Witir tiga rakaat adalah hadits Al-Qasim dari Abdullah
bin Umar, bahwa ia berkata : Rasulullah bersabda : "Shalat pada waktu malam itu dua-dua
raka'at. Bila engkau hendak menyelesaikannya, hendaknya shalat satu raka'at itu bisa
menjadi witir dari shalat yang sudah kamu lakukan".

Al-Qasim menyatakan : "Kami sendiri pernah melihat banyak orang semenjak kami nalar,
yang melakukan witir tiga raka'at. Sesungguhnya masalah ini cukup luas. Aku kira tidak
ada yang salah dari semua cara itu. [21]

[j ]. Satu Raka’at

Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Witir adalah satu raka’at di akhir malam” [22]

Dari Abu Mijlaz diriwayatkan bahwa ia menceritakan : “Aku pernah bertanya kepada Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tentang witir. Beliau menjawab : “Aku pernah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Satu raka’at di akhir malam”.
Aku juga pernah bertanya kepada Ibnu Umar. Beliau menjawab : “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Satu raka’at di akhir malam” [23]

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa itu merupakan dalil sahnya witir dengan satu raka’at,
dan dianjurkan untuk dilakukan di akhir malam” [24]
Penulis sendiri pernah mendengar Imam Abdul Aziz bin Baz menyatakan : “Akan tetapi
semakin banyak jumlah raka’atnya, semakin baik. Namun bila hanya melakukan satu raka’at
saja, juga tidak makruh” [25]

Di antara yang menunjukkan bahwa witir satu raka’at itu boleh adalah hadits Abu Ayyub
Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, di situ tercantum.

“Barangsiapa yang suka berwitir satu raka’at, hendaknya ia melakukannya” [26]

__________
Foot Note
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 736
[2]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab
Al-Witr, bab : Riwayat Tentang Witir, no. 992, demikian juga beberapa jalur riwayat
lain, no. 117, 138, 6316. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab :
Shalat Nabi dan Doa Beliau pada Malam Hari, no. 182, 763
[3]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab Shalat Nabi dan Do’a
Beliau di Malam Hari, no. 764
[4]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab Shalat Nabi dan Do’a
Beliau di Malam Hari, no. 765
[5]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab Shalat Malam dan
Jumlah Raka’at Nabi pada Malam Hari, bahwa witir itu Satu Raka’at, no. 737.
[6]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab : Jami’u Shalati no. 746
[7]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab : Jami’u Shalati no. 746
dan ini adalah bagian dari hadits itu.
[8]. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab Qiyaamul Lail dan Tathawwu di Siang Hari,
bab : Witir Tujuh Raka’at, no. 1718, dishahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih An-Nasa’i
I : 375. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad VI : 290 dari hadits Ummu Salamah
Radhiyallahu ‘anha dengan lafazh : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berwitir tujuh atau lima raka’at, tidak memisahkannya dengan ucapan atau salam.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dalam kitab Iqamatush Shalah, bab : Riwayat
tentang witir, lima, tujuh atau sembilan raka’at no. 1192, dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Ibnu Majah I : 197
[9]. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya {ihsan] dengan no. 2441. Al-Arnaaut
menyatakan dalam catatan kaki Ibnu Hibban VI : 195 : “Sanadnya shahih berdasarkan
persyaratan Al-Bukhari dan Muslim, lafazhnya adalah lafazh Muslim. Diriwayatkan juga
oleh Ahmad yang senada dengan itu I : 54
[10]. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan no. 1442. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dengan no
1712. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan no 1192. Dan diriwayatkan juga oleh Ibnu
Hibban dalam shahihnya [ihsan] dengan no. 670. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-
Mustadrak I : 302-303
[11]. Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 737
[12]. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban [Ihsan} dengan No. 2433,2434,2435. Diriwayatkan
juga oleh Ahmad II : 76 dari itab bin Ziyaad. AL-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan dalam
Fathul Baari II : 482 :"Sandanya kuat". Al-Albani Rahimahullah menyatakan : "Hadits ini
memiliki riwayat penguat yang marfu'. Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha diriwayatkan bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melakukan witir dengan memisahkan antara dua
raka'at dengan satu raka'at". Sanadnya Shahih, berdasarkan persyaratan Al-Bukhari dan
Muslim. Beliau juga menisbatkan hadits ini kepada Ibnu Abi Syaibah. Lihat Irwaaul
Ghalil II : 150.
[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Witr, bab : Riwayat Tentang Witir, no.
991. Diriwayatkan juga dalam Al-Muwatha' Imam Malik I : 125.
[14] Penulis mendengarnya secara langsung ketika beliau menjelaskan Ar-Raudhul Murbi II
: 187 tertanggal 1:11: 1419H.
[15] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan no. 1422. Diriwayatkan oleh An-Nasa'I dengan
no. 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan no. 1192. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban
dalam Shahih-nya dengan no. 670. Diriwayatkan oleh Al-Hakim
I : 302
[16] Diriwayatkan oleh An-Nasa'i dalam kitab Qiyamullail dan Shalat Sunnah Siang, bab
Ikhtilafin naqilan li khabar Ubay Ibnu Ka'b fii witri 1201 dan dishahihkan dalam Shahih
Sunnan An-Nasa'i oleh Al-Albani 1/372, dan lihat Nailul Authar 2/211, dan lihat Fathul
Bari karya Ibnu Hajar ada syawahid disana 2/481 dan Nailul Authar Asy-Syaukani 2/212.
[17] Saya dengan ini dari Imam Abdul Aziz Ibnu Baz ketika mensyarah Ar-Raudh Al-Murbi'
2/188 dikala membasah witir 3 rakaat dengan satu salam, beliau berkata : "Namun jangan
siserupakan dengan Maghrib, langsung saja".
[18] Lihat Asy-Syarh Al-Mufti Al-'Alamah Ibn Utsaimin 3/21.
[19] Ibnu Hibban (Al-Ihsan] 2429, Ad-Daruquthni 2/24, Al-Baihaqi 3/31, Al-Hakim
menshahihkan dan disetujui Adz-Dzahabi 1/304, Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath 2/481,
isnadnya sesuai syarat Syaikhan berkata dalam At-Talkish 2/14 no. 511 isnadnya semuanya
tsiqat dari tidak mengapa pemauqufan orang yang mengnggapnya mauquf.
[20] Lihat Fathul Baari Syarah dari Shahih Al-Bukhari, oleh Ibnu Hajar II :481 dan juga
Nailul Authar oleh Asy-Syaukani II : 214.
[21] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan ini
lafazhnya dengan no. 993. Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 743 dan telah ditakhrij
sebelumnya.
[22]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab : Shalat Malam Itu
Dua-dua Raka’at, Dan Witir Itu Satu Raka’at di Akhir Malam no. 752
[23]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab dan bab yang sama sebelumnya no. 753
[24] Syarah Muslim oleh An-Nawawi VI : 277
[25] Penulis mendengarnya sendiri dari penjelasan Syaikh terhadap Ar-Raudhul Murbi’ II
: 185
[26] Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan no. 1422. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i
dengan no 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1190

[Disalin dari Kitab Shalatut Tathawwu' Mafhumun, wa Fadhailun, wa Aqsamun, wa Anwa'un,
wa Adabun Fi Dhauil Kitabi was Sunnah, edisi Indonesia Kumpulan Shalat Sunnah dan
Keutamaannya, oleh Dr Said bin Ali bin Wahf Al-Qathani, Penerbit Darul Haq]
-----------------------------------------------------------------------------------

SUNAT RAWATIB DAN PENEGASAN SHALAT DUA RAKA'AT FAJAR.
Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam.

Shalat fardhu memiliki sunat-sunat rawatib, yang disebutkan dalam As-Sunnah yang shahih
dan suci, baik berupa perkataan, perbuatan maupun pengakuan dari pembawa syari'at.
Shalat sunat rawatib ini mempunyai faidah yang besar dan pahala yang agung, nerupa
tambahan kebaikan, ketinggian derajat, penghapusan keburukan, menambal kekosongan dan
menyempurnakan kekurangannya. Karena itu harus ada perhatian terhadap shalat rawatib
ini dan menjaganya ketika berada di tempat. Adapun ketika dalam perjalanan, tidak
pernah disebutkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adanya satu shalat
rawatib kecuali dua rakaat fajar. Beliau tidak pernah meninggalkannya, baik ketika
menetap maupun ketika dalam perjalanan.

"Dari Abdullah bin Umar Radhyallahu 'anhuma, dia berkata, 'Aku pernah shalat dua rakaat
sebelum Zhuhur bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam, dua rakaat sesudahnya,
dua rakaat sesudah Jum'at, dua rakaat sesudah Maghrib dan dua rakaat setelah Isya'"

adapula riwayat yang lain:
"Barang siapa yang sholat empat rakaat sebelum Dzuhur dan empat rakaat sesudahnya,
maka diharamkan baginya api api neraka". (SHAHIH. HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi,
Ibnu Majah, di Shahihkan oleh Albani)

"Dalam suatu lafazh disebutkan, 'Adapun (rawatib) Maghrib, Isya', Fajar dan Jum'at
dikerjakan di rumah beliau".

"Dalam lafazh Al-Bukhary disebutkanm bahwa Ibnu Umar berkata, "Aku
diberitahu Hafsah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa
shalat dua rakaat yang ringan setelah fajar menyingsing, dan itu merupakan saat aku
tidak menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".

MAKNA GLOBAL
Didalam hadits ini terkandung penjelasan lima shalat sunat rawatib, bahwa untuk shalat
Zhuhur mempunyai empat rakaat, dua rakaat sebelumnya dan dua rakaat sesudahnya, shalat
Jum'at mempunyai dua rakaat sesudahnya, shalat Maghrib mempunyai dua rakaat sesudahnya
dan shalat Isya mempunyai dua rakaat sesudahnya. Rawatib Maghrib, Isya', Shubuh dan
Jum'at dikerjakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam rumah.

Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu mempunyai hubungan yang erat dengan rumah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam karena kedudukan saudarinya, Hafsah di sisi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena itu dia dapat masuk ke tempat beliau
saat beribadah, tetapi tetap memperhatikan adab, sehingga dia tidak masuk kecuali hanya
sesekali waktu saja dan tidak masuk pada saat-saat yang tidak diperkenankan, karena
mengikuti firman Allah.

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian
miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian
tiga kali (dalam satu hari) yaitu sebelum shalat Shubuh..." [An-Nur : 58]

Dia tidak masuk ke tempat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada
saat-saat shalat Shubuh, kendatipun dia ingin tahu shalat yang dikerjakan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Karena didorong keinginan untuk mendapatkan ilmu, maka
dia bertanya kepada saudarinya, Hafshah tentang hal itu, lalu Hafshah memberitahu
kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa shalat dua rakaat secara
ringan setelah fajar menyingsing dan ini merupakan shalat sunat.

KESIMPULAN HADITS.
[1]. Anjuran melaksanakan shalat-shalat rawatib tersebut dan menjaganya.
[2]. Shalat Ashar tidak mempunyai rawatib dibandingkan dengan rawatib-rawatib yang
ditegaskan ini.
[3]. Rawatib-rawatib Maghrib, Isya', Shubuh, Jum'at lebih baik dikerjakan di rumah.
[4]. Meringankan dua rakaat Fajar
[5]. Disebutkan dalam sebagian hadits shahih bahwa Zhuhur mempunyai enam
rakaat, Empat sebelumnya dan dua sesudahnya. Disebutkan riwayat At-Tirmidzi dai hadits
Ummu Habibah secara marfu', "Empat rakaat sebelum Zhuhur dan sesudahnya".
[6]. Sebagian dari rawatib-rawatib ini dulakukan sebelum shalat fardhu
sebagai persiapan jiwa orang yang shalat untuk ibadah sebelum masuk ke
fardhu. Sebagian rawatib dikerjakan sesudah fardhu untuk melengkapi
kekurangan dalam fardhu.

"Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia berkata, Tidak ada satupun shalat nafilah yang
lebih diperlihara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selain dari dua raka'at Fajar"
"Dalam lafazh Muslim disebutkan, "Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya"

MAKNA GLOBAL
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan terhadap penegasan dua rakaat fajar. Aisyah
Radhiyallahu 'Anha menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menguatkannya dan mengagungkan urusannya dengan perkataan dan perbuatan beliau. Dalam
hal ini Aisyah berkata, "Tidak ada satu pun dari shalat-shalat nafilah yang lebih
dijaga dan dipelihara Rasulullah Shallallahu 'alaihi, seperti halnya dua raka'at fajar"
Beliau juga bersabda bahwa dua rakaat fajar ini lebih baik daripada dunia dan seisinya.

KESIMPULAN HADITS
[1]. Shalat sunnat (dua rakaat) fajar ini sangat ditekankan sehingga tidak boleh
diabaikan.
[2]. Keutamaannya yang agung sehingga beliau menganggapnya lebih baik dari dunia dan
seisinya.
[3]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjaga dan memberikan
perhatian lebih banyak terhadap dua rakaat fajar daripada yang lainnya.
[4]. Mengabaikan dua rakaat fajar menunjukkan kelemahan agama dan keengganan
mendapatkan kebaikan yang besar.


[Disalin dari Kitab Taisirul Allam Syarh Umdatul Ahkam edisi Indonesia Syarah Hadits
Pilihan Bukhari-Muslim Oleh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, hal 122-126
Darul Falah]
--------------------------------------------------------------------------------------

ADAKAH SHALAT SUNNAH QABLIYAH JUM’AT??
Oleh : Wahid bin ‘Abdis Salam Baali.

Di antara kaum muslimin ada yang setelah mendengar adzan pertama langsung berdiri dan
mengerjakan shalat dua rakaat sebagai shalat sunnah Qabliyah Jum’at.
Dalam hal ini perlu saya katakan, saudaraku yang mulia, shalat Jum’at itu tidak
memiliki shalat sunnah Qabliyah, tetapi yang ada adalah shalat Ba’diyah Jum’at.

Memang benar telah ditegaskan bahwa para Sahabat radhiallahu 'anhuma jika salah seorang
dari mereka memasuki masjid sebelum shalat Jum’at, maka dia akan mengerjakan shalat
sesuai kehendaknya, kemudian duduk dan tidak berdiri lagi untuk menunaikan shalat
setelah adzan. Mereka mendengarkan khuthbah dan kemudian mengerjakan shalat Jum’at.
Dengan demikian, shalat yang dikerjakan sebelum shalat Jum’at adalah shalat Tahiyyatul
Masjid dan shalat sunnat mutlaq.

Dari Salman radhiallahu 'anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam “ Tidaklah mandi seseorang pada hari jum’at dan berwudhu, dan memakai
wewangian, kemudian keluar seraya tidak memecah-belah 2 orang (melangkahi pundak
orang2), kemudian sholat sedapatnya, kemudian ia diam mendengarkan imam berkhotbah,
melainkan diampuni dosanya antara Jumat tersebut denagn jumat yang lain” (SHAHIH, HR
Bukhari dan Nasa-i, dishahihkan oleh Al Albani, lihat kitab “Seleksi hadist2 Shahih
tentang Targhib dan Tarhib Imam Mundziri, takhrij hadist syaikh Imam Al Albani).

Dari hadist tersebut, jelaslah dalilnya mengenai adanya sholat sunnat menunggu saat
khutbah dimulai dan ini bukanlah sholat qobliyah jum'at sebagaimana yang di fahami
sebagian orang.

Dan hadits-hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at
adalah dha’if, tidak bisa dijadikan hujjah (argumen), karena suatu amalan Sunnah itu
tidak bisa ditetapkan, kecuali dengan hadits yang shahih lagi dapat diterima.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani rahimahullah mengatakan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan Ibnu Hibban melalui jalan Ayyub dari Nafi’, dia mengatakan, “Ibnu ‘Umar biasa
memanjangkan shalat sebelum shalat Jum’at dan mengerjakan shalat dua rakaat setelahnya
di rumahnya. Dan dia menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
melakukan hal tersebut.”

Hadits ini dijadikan hujjah oleh an-Nawawi dalam kitab, al-Khulaashah untuk menetapkan
shalat sunnah sebelum shalat Jum’at seraya memberikan komentar, bahwa ucapan Ibnu
‘Umar, “Dan dia biasa melakukan hal tersebut,” kembali pada ucapannya, “Dan dia
mengerjakan shalat dua rakaat setelah shalat Jum’at di rumahnya.” Dan hal itu
ditunjukkan oleh riwayat al-Laits dari Nafi’ dari ‘Abdullah bahwasanya jika telah
mengerjakan shalat Jum’at dia kembali pulang untuk kemudian mengerjakan shalat sunnah
dua rakaat di rumahnya dan selanjutnya dia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa melakukan hal tersebut.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Adapun ucapannya, “Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat sebelum shalat Jum’at,” maka
yang dimaksudkan adalah setelah masuk waktu shalat sehingga tidak bisa menjadi marfu’,
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ke masjid jika mata-hari
sudah tergelincir lalu beliau menyampaikan khutbah dan setelah itu mengerjakan shalat
Jum’at. Jika yang dimaksudkan adalah sebelum masuk waktu shalat, maka yang demikian itu
merupakan shalat sunnah mutlaq, dan bukan shalat rawatib. Dengan demikian, tidak ada
hujjah di dalamnya yang menunjukkan adanya shalat sunnah Qabliyah Jum’at, tetapi ia
merupakan shalat sunnah mutlaq.

Dan telah disebutkan adanya anjuran melaku-kan hal tersebut -seperti yang telah
disampaikan sebelumnya- di dalam hadits Salman dan lainnya, yang di dalamnya dia
mengatakan, “Kemudian dia mengerjakan shalat yang diwajibkan kepadanya.”
Selain itu, ada juga hadits-hadits dha’if yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat
sunnah Qabliyah Jum’at, di antaranya adalah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh
al-Bazzar dengan lafazh, “Dan beliau biasa mengerjakan shalat dua rakaat sebelum Jum’at
dan empat rakaat setelahnya.” Di dalam sanadnya terdapat kelemahan.

Dan dari Ali juga terdapat hadits yang semisal yang diriwayatkan oleh al-Atsram dan
ath-Thabrani di dalam kitab al-Ausath dengan lafazh, “Beliau biasa mengerjakan shalat
empat rakaat sebelum Jum’at dan empat rakaat setelahnya.” Di dalam sanad hadits ini
terdapat Muhammad bin ‘Abdurrahman as-Sahmi, yang menurut al-Bukhari dan perawi
lainnya, dia adalah seorang yang dha’if (lemah). Al-Atsram mengatakan, “Ia merupakan
hadits yang waahin.”

Juga masih ada hadits lainnya yang senada dengan itu, dari Ibnu ‘Abbas dan dia
menambahkan, “Beliau tidak memisahkan sedikit pun darinya.” Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dengan sanad waahin (lemah). Di dalam kitab al-Khulaashah, an-Nawawi mengatakan,
“Sesungguhnya ia me-rupakan hadits bathil.”

Dan ada juga hadits yang semisal dari Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani,
di dalam sanadnya terdapat kelemahan dan inqithaa’ (keterputusan).
Al-Albani rahimahullah mengatakan, “Semua hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan
shalat sunnah Qabliyah Jum’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak ada
yang shahih sama sekali, yang sebagian lebih dha’if dari sebagian yang lain. [1]

MENINGGALKAN SHALAT SUNNAH BA’DIYAH JUM’AT??
Di antara kaum muslimin ada yang meninggalkan shalat sunnah Ba’diyah Jum’at, baik
karena malas maupun karena tidak tahu. Dan sebagian lagi tidak mengetahui bahwa shalat
Jum’at itu memiliki shalat sunnah ba’diyah.

Diantara mereka ada juga yang tidak mau mengerjakan sholat ba'diyah jum'at dengan dalil
Firman Allah :
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS. Al Jumu'ah
ayat 10)

Ada seseorang yang selama dua puluh tahun tidak pernah mengerjakan shalat sunnah Ba’
diyah Jum’at sama sekali. Wallahul musta'an. Ini jelas salah, dan ia dapat digolongkan sebagai
orang yang mana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” [2]

Shalat sunnah Ba’diyah Jum’at itu empat ra-kaat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Muslim bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat Jum’at, maka hendaklah dia
mengerjakan shalat empat rakaat setelahnya.” [3]

Dan jika mau, dia juga boleh mengerjakan dua rakaat saja. Hal ini didasarkan pada
riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar, di mana dia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat sunnah setelah Jum’at sehingga
beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat dua rakaat di rumah beliau.” [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengata-kan, “Jika mengerjakan shalat sunnah
di masjid, beliau mengerjakan empat rakaat. Dan jika me-ngerjakan shalat sunnah di
rumahnya, maka beliau mengerjakannya dua rakaat.” [5]

Dan dimakruhkan menyambung shalat Jum’at dengan shalat sunnah Ba’diyah tanpa pemisah
antara keduanya, seperti pembicaraan (dzikir) atau keluar dari masjid.

Telah diriwayatkan oleh Muslim dari as-Sa’ib Radhyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku pernah
mengerjakan shalat Jum’at bersama Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu di dalam maqshurah .[6]
"Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung berdiri di tempatku semula untuk kemudian
mengerjakan shalat, sehingga ketika dia masuk dia mengutus seseorang kepadaku seraya
berkata, “Janganlah engkau mengulangi perbuatan itu lagi. Jika engkau telah mengerjakan
shalat Jum’at, maka janganlah engkau menyambungnya dengan suatu shalat sehingga engkau
berbicara atau keluar (dari tempatmu), karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung
shalat Jum’at dengan shalat lainnya sehingga kita berbicara atau keluar.” [7]

[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaai’ah, Bab “75
Khatha-an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Seputar Hari dan Shalat
Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 232).
[2]. Shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 5063) dan Muslim (no. 1401).
[3]. Shahih: Diriwayatkan Muslim (no. 881).
[4]. Shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 937) dan Muslim (no. 882).
[5]. Dinukil oleh muridnya, Ibnul Qayyim di dalam kitab Zaadul Ma’aad, (I/440), dan dia
mengatakan, “Hal tersebut ditunjuk-kan oleh beberapa hadits.”
[6]. Maqshurah adalah sebuah ruangan yang dibangun di dalam masjid.
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 883).

AFWAN, ISI ARTIKEL INI BUKANLAH ISI DARI BUKU YANG COVERNYA TERDISPLAY,
NAMUN INSYA ALLAH ISINYA SESUAI, KARENA BERDASARKAN DALIL2 YG SHAHIH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar