Laman

Kamis, 24 Juli 2014

syariat hanya berupa hukum atau aturan.

Syariat bisa diibaratkan sebagai jasmani tempat ruh berada. Sementara hakikat ibarat ruh yang menggerakkan badan. Keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan, badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah.
Seorang ulama mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Artinya penting merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga tidak boleh dilupakan.
Imam Malik Ra. mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan (zindiq). Sedang bersyariat tanpa hakikat adalah kesia-siaan (fasiq). Siapa yang menghimpunkan keduanya maka itulah hakikat/kebenaran (haq).”
Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi Saw. untuk dijadikan pedoman bagi umat manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam al-Quran hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal. Karenanya Nabi Saw. yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami al-Quran menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan. Yang kemudian para sahabat menjadikannya sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadits atau as-Sunnah.
Sabda-sabda Nabi Saw. itu bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya. Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan Nabi Saw. merupakan orang yang paling mengerti dan memahaminya. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya.
Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi Saw. melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman di masanya. Maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu; al-Quran, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.
Untuk melaksanakan syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah Saw. sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi Saw. melaksanakannya, para sahabat pun mengikuti. Nabi Saw. bersabda: “Shalatlah kalian seperti aku shalat.”
Tata cara shalat Nabi Saw. yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh para ulama, maka kita kenal syarat dan rukun shalat. Kalau hanya sekedar shalat maka syarat dan rukun itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh Muslimin agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi Saw. Akan tetapi, yang demikian itu belum diajarkan tata-cara supaya khusyuk dalam shalat dan mencapai ke tahap makrifat.
Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan “thariqah”, jalan menuju Allah. Jadi tarekat/thariqah itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan dzikir. Nama tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi Saw., yaitu Thariqat as-Sirriyyah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah.
Munculnya perkumpulan tarekat di kemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir. Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw. jauh hari telah mengatakan: “Kebaikan yang tidak terorganisir akan terkalahkan oleh kejahatan yang terorganisir.”
Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong, hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti syarat-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana ke mana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.
Di sinilah sebenarnya letak kelalaian kaum Muslimin pada umumnya, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusyuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman neraka Wail.
Lalai di sini bermaksud sepanjang ibadah hatinya tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau di luar shalat tidak dilatih berdzikir (mengingat) Allah? Dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan?
Sebagai latihannya, maka urutan yang sesuai dengan perintah Allah Swt. dalam surat al-A’la adalah: “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat.”
Alhasil, sebenarnya tidak ada pemisahan antara keempat unsur dalam Islam; Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Keempatnya adalah Satu paduan, harus berjalan secara sinergi dan bersamaan. Tidak boleh terpisah antara satu dengan yang lainnya. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar