Laman

Sabtu, 23 Agustus 2014

Jangan Hanya Nuruti Nafsu


PAGI itu, Pardi kelimpungan. Hatinya gelisah, resah dan ketakutan.
“Kamu sakit flu, Di?” Tanya Dulkamdi.
“Nggak, sehat-sehat saja…”
“Pasti hatimu yang sedang flu, masuk angin, kemasukan apa Di…?”
Pardi masih terdiam, tidak bisa menutupi kegelisahan bathinnya. Dulkamdi tahu benar kejanggalan itu.
“Jangan dipendam nanti sakit jantung…”
“Iya Dul… saya lagi gelisah, jangan-jangan apa yang kita lakukan selama ini, karena menuruti hawa nafsu saja…”
“Maksudmu?”
“Ya ini, di kedai Cak San ini… Masak kamu nggak kroso, kita sangat menikmati suasana ini, kita bicara ngakak, kita ceplas-ceplos, seperti ini kita paling hebat…”
Kini ganti Dulkamdi dan Cak San yang terhenyak mendengar ucapan Pardi. Ya, mereka merasa jangan-jangan ada selipan-selipan hawa nafsu di balik obrolan dunia sufi ini. Nafsu menikmati pengetahuan yang mendorong seseorang jadi bangga dan merasa paling hebat.
Dulkamdi ingat kutipan Al-Hikam yang disampaikan Kyai Mursyid. “Orang bicara tentang maqom maupun kondisi ruhani tertentu. Adakalanya ingin disebut sebagai orang yang berderajat tinggi, ada pula yang berbicara memang karena orang itu sudah sampai kepada Allah. Keduanya berbeda, tapi sulit dibedakan kecuali oleh orang yang memiliki mata hati yang suci”.
Dulkamdi hanya bisa menyela napas dalam-dalam, sementara hening pagi itu benar-benar membuat gerah, tidak sesejuk embun yang harus mengabut.
“Alaaah…gak usah dipikir dalam-dalam”, kata Kang Soleh nyelonong dengan ceplosannya. “kalau muncul rasa bangga dan kenikmatan fantastic di balik ungkapan ruhani kita, cepat-cepat istighfar saja dalam hati. Nati nafsu juga hilang sendiri”.
“wah… solusinya kok gampang to Kang?”
“Lha iya… Yang penting kita ini tidak kemoncelan, masak zikir sampai dibisniskan. Dunia sufi sampai dijadikan komoditas ekonomi baru, nanti lama-lama dijadikan sumber devisa pariwisata. Yang penting kita tidak edan. Apa kamu ikut edan agar keduman zaman edan… Ya, kita do’akan saja semoga orang yang berbicara kebaikan itu benar-benar tulus dari hatinya, bukan ditulus-tuluskan sampai menangis segala. Itu namanya edan tenanan…”
Mereka kembali bisa tertawa-tawa, sesekali berniat menentawakan diri sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar