Laman

Kamis, 23 Oktober 2014

Meraih Esensi Keikhlasan


“Kita ini sudah salah kaprah ya. Masak orang mau menunjukan kehebatannya, malah mengatakan, kalau dirinya tidak sombong. ‘Saya tidak sombong, lho…’ Padahal itu juga sombong juga”. Kata Dulkamdi memancing pembicaraan pagi itu.
“Wah, kalau salah kaprah begitu banyak sekali Dul. Tapi itulah, kenyataan masyarakat kita. Ada yang menonjolkan diri, dan semakin bangga kalau ia menonjol dengan kesukuannya. Ada yang menonjolkan diri dengan ilmunya, dan semakin bangga kalau muncul decak-decak mulut padanya. Ada yang menonjolkan anunya, dan itunya, dan semakin bangga kalau dijadikan bahan berita”, kata Kang Soleh.
Tiba-tiba Pardi datang, tanpa basa-basi, ia bagi-bagikan uang kepada orang-orang yang hadir disana, tanpa pandang bulu.
“Ini untuk menunjukan syukur saya atas nikmat Allah. Saya ikhlas kok membagi-bagi ini… kebetulan saya dapat rejeki lumayan besar dari makelaran motor kemarin”.
“Nggak usah bilang ikhlas kenapa sih, jadinya duitmu ini terasa setengah ikhlas dan setengah tidak. Saya mau belanjakan jadi gamang Di…”.
“Jangan begitu to Dul, kamu ini namanya menolak rejeki…”.
“Lho, kalau uang ini tadi dari kamu kan…? Kamu kan bukan pemberi rejeki. Tapi kalau Allah memberi rejeki mestinya kan tidak seperti itu Di…”.
“Pokoknya kalau kamu tidak mau terima, ya… kembalikan ke saya, masih banyak fakir miskin yang membutuhkan,” jawab Pardi sambil ngedumel.
“Saya juga fakir lho Di…. Masak sudah diberikan diminta lagi. Kamu ini ikhlas atau tidak?”.
Pardi mencoba menahan emosinya, sementara Dulkamdi senyam-senyum sembari merasakan betapa Pardi terkena jebakannya.
“Sebenarnya ikhlas itu bagaimana sih kang…?” Tanya Cak San kepada Kang Soleh.
“Ikhlas itu adalah rahasia dari Rahasia Ilahi yang dititipkan pada hamba-Nya yang dicintai-Nya, lalu hamba itu terputus dari segala hal selain Allah saja”.
“Apa itu yang disebut Lillahi Ta’ala…”
“Ya, tapi masih banyak embel-embelnya, itu masih belum ikhlas”.
“Tapi kan kemampuan manusia berbeda-beda, hati manusia juga berbeda-beda, perasaan manusia juga berbeda-beda Kang” sela Pardi setengah protes.
“Oalahhh, mau ikhlas saja kok didiskusikan. Kalau mau memberi sesuatu pada orang lain malah jangan menunggu ikhlasmu. Bisa-bisa malah kamu tidak pernah memberi orang lain. Nggak usah mikir apakah kamu ikhlas atau tidak, yang penting memberi ya memberi. Kamu juga begitu Dul, kalau menerima sesuatu dari orang lain ya jangan dipikir, apakah pemberiannya ikhlas atau tidak. Kamu bisa mati kelaparan. Diberi ya kamu terima, nggak usah mikir bagaimana caranya membalas pemberian itu”.
“Wah…, kita masak tidak boleh balas budi”.
“Keinginanmu untuk membalas budi itu menunjukan bahwa kamu tidak ikhlas menerima pemberitaan orang lain. Sama saja nilainya dengan orang yang tidak ikhlas dalam beramal”. Mendengar uraian kang Soleh, Pardi dan Dulkamdi hanya manggut-manggut saja.
“Kalau ikhlasnya orang-orang saleh itu bagaimana kang?”.
“Untuk apa? Nggak usah ditanyakanlah. Praktikin saja, lama-lama kamu bisa menyamai mereka”.
“Ini perlu, agar saya bisa mengontrol jiwa saya Kang”.
“Oke, begini Dul, Di dan saudara-saudara sekalian. Ikhlas itu ada dua: Mukhlisin dan Mukhlasin. Yang pertama melakukan melalui segala bentuk upaya sampai bisa ikhlas benar. Yang kedua, tidak mencari ikhlas karena ikhlasnya sudah ditinggalkan jauh-jauh. Itu yang disebut Mukhlasin. Artinya ia ikhlas dari wacana dan kata-kata ikhlas itu sendiri. Ia bebas dari belenggu psikologis ikhlas. Dia tidak mau tahu tentang makna ikhlas, yang penting bisa total dengan Allah, beres”.
“Wah…, itu pasti tingkat tertinggi kang?”.
“Terserah, minimal ikhlas itu dibagi tiga: Ikhlasnya Mukhlisin, yaitu ikhlas untuk beramal, jauh dari makhluk, semata demi Allah. Kedua Ikhlasnya Muhhibbin (para pencita Allah) yaitu ikhlas tanpa pahala, surga, atau apa pun kecuali hanya demi cintanya kepada Rabb. Dan ketiga Ikhlasnya Muwahhidin, yaitu keikhlasan yang dari apa yang disebut ikhlas. Sang hamba merasa seakan-akan menyatu dengan-Nya, dan segalanya tidak lepas dari-Nya”.
“Jadi kalau saya tadi bilang, ‘Saya ikhlas lho, itu bagaimana…?” tanya Pardi.
“Itu tandanya kamu hanya ikhlas setengah hati. Masih ada unsur makhluknya, dan masih ada embel-embel pengakuan.
“Dalam Alqur’an disebutkan bahwa iblis tidak mampu menggoda orang-orang yangMukhlasin, kang?”.
“Benar. Itulah, makanya iblis angkat tangan, karena Mukhlasin itu adalah orang yang sudah melampaui keikhlasan itu sendiri. Bahkan sudah di atas apa yang disebut dengan cinta. Makanya, kamu yang serius ibadah, jangan pikiran melayang kemana-mana, nanti keikhlasn bisa jadi komoditi politik, sosial, dan bisnis. Gawat kan…?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar