Laman

Sabtu, 18 Oktober 2014

Tangis Di Atas Tangis (Jack & Sufi)


Malam itu mata Jack berkaca-kaca. Ia memandang jauh kedepan, seperti ada yang kosong disana. Parjo mendampinginya, sambil memijit-mijti kakinya, Parjo ingin sekali bicara. Tapi ia segan, jangan-jangan bias menggangu Jack, dan tidak tahu apa yang sedang bergumpal di benak Jack.
Parjo tak tahan juga akhirnya. “Ada apa Jack, mbok sesekali bicara kalau ada masalah. Aku inikan sahabatmu juga muridmu.”
“Nggak, nggak ada apa-apa kok. Cumin aku agak lelah.”
“Yah, apa saya cerita-cerita yang lucu-lucu saja, tentag orang Maduru, atau orang Batak, atau orang Arab, apa kisah Abu Nawas. Terserah mana yang kamu pilih, saya punya semua…ha…ha…,” ajak Parjo untuk menghibur Jack.
Tiba-tiba malah air mata Jack menetes. Parjo tambah penasaran.
“Begini Jo, hati saya menangis, karena banyak orang menangis.”
“Maksudmu banyak bencana dan banyak jerit tangis karena bencana itu?”
“Bukan…”
“Lalu?”
“Karena kamu lihatkan? Tiap hari ditayangakan orang menangis di TV. Coba kamu lihat air mata itu, apakah air mata yang bersumber dari mata air ruhani, atau air mata yang bersumber dari mata air hawqa nafsu?”
“Maksudmu?”
“Iya, Jo. Orang menangis karena terharu akibat berdzikir itu mulia sekali. Tetapi kalau menangis karena tersentuh oleh orang yang sedang menangis, atau karena diusahakan agar menangis, itu namanya bukan nangis akibat dzikir. Tetapi karena hawa nafsunya menangis. Nanti paling banter ia begitu bangga dengan tangisan itu, lalu berakhir dengan statemen bahwa tangis adalah puncak ruhani. Padahal bukan!”
Parjo hanya manggut-manggut saja untuk mencoba memahami Jack.
“Jadi gimana dong?”
“Yah, kita nggak usah prihatin ya Jo. Memang Allah baru menakdirkan mereka sebatas itu, mau apalagi. Hidayah itu haknya Allah, bukan urusan kita.”
Lalu Jack berdiri mengajak Parjo pergi.
“Kemana kita?”
“Ketemu sahabat kita yang penjagal dulu, sambil melihat perkembangan anak-anak disana…”
Jack dan Jo, dengan Harley Davidsonnya melesat ke Puncak, Villa Indah Taman Ruhani. Sepanjang jalan Jakarta-Puncak, dua orang itu menyanyikan shoawat nabi dengan nada yang keras, mirip orang gila. Tetapi entah apa yang membuat gembira hati Jack malam itu ketika hendak melihat anak-anak disana.
“Serasa Nabi Muhammad SAW bersama kita Jo, ya?”
Sambil berkata begitu ia toleh Parjo. Si Parjo tersenyum sambil berhamburan airmatanya.
“Saya akan mendiskusikan dengan para ulama dan kyai di negri ini, Jo.”
“Tentang apa Jack?”
“Tentang Islam yang hari ini lebih banyak tampil sebagai teater.”
Parjo hanya menganggukkankepalanya. Tiba-tiba semakin dekat dengan villa di puncak itu. Perempuan cantik sudah disana, ngobrol dengan si mantan algojo.
Ah, ternyata Susi. T6ahu dari mana alamat villa rahasia itu?
Gadis itu ingin berhenti kerja di kafe. Ia ingin mengajar bahasa Inggris yang pernah ditekuni saat kuliah dulu. Anak-anak pinggir rel kereta itu butuh sentuhan Susi, butuh ibunda yang menyayangi.
Jack, hanya tersenyum mendengar pegakuan Susi. Ia bangga, dan terhibur kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar