Laman

Minggu, 29 Maret 2015

Memburu Allah


Seorang tamu di kedai itu sejak tadi pagi memegang tasbih. Rambutnya gondrong, menjadi lengkap disebut sebagai pengembara ketika tongkat dan rangselnya ada di pundaknya. Tapi wajahnya tampak sangar, matanya memerah dan lehernya menekuk.
"Mas, apa saya boleh berguru ke pondok ini ya?" celetuknya pada Pardi.
"Berguru apa Mas?"
"Ya, supaya saya bisa dzikir, dan tentu sampean tahu maksud saya..."
"Wah saya ini orang bodoh Mas. Jadi saya tak mengerti maksud Mas..."
"Begini, singkatnya, saya sedang mencari banyak guru, untuk memburu ilmu, agar saya mendapatkan karomah, kehebatan, dan sekaligus pahala. Oh, ya, apakah keistemewaan dari dzikir dan ilmu di sini...."
"Wooooouuuu begitu to maksud anda. Di sini tidak mengajarkan dzikir dengan keistemewaan supaya bisa begini dan begitu. Kalau mengajarkan ilmu jelas ada. Tapi bukan ilmu yang anda cari. Di sini hanya mengajarkan ilmu menata batin, menata jiwa, agar hubungan dengan Allah itu punya adab. punya etika dan sopan santun...."
"Memang kalau kita berdzikir padaAllah itu tidak ada sopan santunnya Mas?" tanya orang itu.
"Lha kalau dzikirnya demi pahala dan kehebatan itu sah-sah saja. Tapi anda nggak dapat pahala besar. Bolehlah pahala kecil, apalagi kalau dzikirnya agar dapat karomah, malah di sini yang begitu malah dapat sampah...."
Pemuda itu terjengak. Kaget setengah mati dengan jawaban aneh Pardi yang ceplas ceplos itu.Seakan-akan membongkar seluruh pandangan hidupnya tentang ilmu dan dzikir, seperti ada revolusi batin yang sungguh begitu keras dan meledak-ledak.
"Sampean mau dapat ilmu membaca pikiran orang? Tahu apa yang telah dilakukan orang lain kemarin? Atau yang bakal terjadi?"
Pemuda itu semakin kaget. Ia tertunduk merenung dalam konflik batin yang tak karuan. Ingin marah, tapi juga ia tak dapat menyangkal kebenaran omongan si Pardi itu.
Pardi sendiri juga heran. Tapi siapa yang harus diherankan ketika kehidupan perjalanan manusia melalui proses yang memnang harus demikian. Semula manusia ingin mencari rahasia-rahasia Allah, memburu kehebatan-kehebatan, bahkan dengan segala kedigdayaan dan kebanggaannya, terus mencari yang dahsyat-dahsyat. Lalu mereka kehilangan Allah, kehilangan tujuan hakiki hidupnya, sirna dalam buih-buih pencariannya.
Dulkamdi tiba-tiba masuk bersama Kang Soleh. Dua sahabat itu bernyanyi-nyanyi kecil. Sambil berselimut sarung, mereka langsung memesan kopi. Sementara pemuda tadi masih terus bergumul dengan kontemplasinya.
Kang Soleh menebarkan senyum khasnya. Tapi matanya tampak berkaca-kaca. Seperti menahan duka yang dalam. Tapi juga ada peradaan menepiskan duka itu. Lalu ia bicara seperti orang berpidato, sambil sesekali tangannya mengepal memukul-mukul pahanya sendiri.
"Saya nggak habis pikir kenapa orang diajak pada kebaikan sulitnya bukan main. Orang di ajak beribadah malasnya bukan main. Orang diajak dzikir yang tergambar hanya proposalnya saja di depan Allah. Orang sudah banyak yang ingin memaksa Allah sesuai dengan seleranya. Orang diajak senyum malah marah. Diajak marah malah menghindar dari kenyataan. Diajak menuju kepada Allah malah ingin mencari selain Allah, mencari pahala, mencari kehebatan, mencari hal-hal aneh. Apakah mereka masih punya alasan lain untuk mendurhakai Allah?"
Pemuda tadi tiba-tiba pucat pasi mendengar orasi Kang Soleh yang cukup emosional. Tapi Kang Soleh terus nerocos.
"Tapi,....yaaakh...Memang Allah masih menakdirkan mereka itu sebatas itu, mau apalagi. Astaghfirullaahal'adzim, jangan-jangan saya sendiri malah hancur-hancuran. Saya memburu ikan paus malah dapat ikan teri. Saya memburu Allah, malah terpesona rahasia-rahasia Allah. Wah..weah...wah..." kata Kang Soleh geleng kepala, sambil airmatanya bercucuran.
"Kang...Kang! Tenang, Kang!....kita pakai teori, kejarlah daku kau kutangkap!" ceplos Dulkamdi.
"Betul....!" jerit Kang Soleh keras-keras. "Kita membru Allah, mengejar Allah, biar ditangkap oleh Allah. Tapi Dul....Dul....." Kang Soleh tak mampu meneruskan kata-katanya. Nafasnya tersenggal-senggal.
"Tapi apa Kang?"
"Tapi...Ditangkap Allah itu rasanya sakit Dul, sakit sekali....pedih. Kamu tahu Dul, betapa hangus nya diri kita dalam Genggaman Allah. Tapi, sesungguhnya dibalik genggaman itu ada ruang tak terhingga ketika jiwa kita dilepas oleh genggamanNya. Hati kita bisa melihat kebun mawar syurgawi, taman firdaus ruhani, dan tarian mahajelita jamaliyah bidadari....Dul...."
Kang Soleh seseunggukan seperti anak kecil. Dan Pemuda itu yang sedari tadi pucat pasi, sudah tergolek tak mampu bergerak lagi, kecuali dadanya yang naik turun. Pingsan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar