Laman

Rabu, 01 Juni 2016

Sejarah Tentang Perintah Puasa


Sejarah Puasa
Tak terasa, kita telah di penghujung Sya’ban, dan sebentar lagi kita akan memasuki Ramadhan. Bulan yang Penuh berkah dan hikmah. Bulan penuh ampunan, maghfiroh Allah SWT. Bulan yang sangat dinantikan oleh setiap muslim di seluruh permukaan bumi, bahkan dinantikan oleh seluruh makhluk Allah.
“Hai orang—orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “ (QS. Al-Baqarah : 183)
Menyambut bulan suci Ramadhan yang dinanti, marilah sejenak kita mengkaji sejarah, hakikat dan faedah puasa bagi kita. Merupakan persiapan menuju Ramadhan, sehingga ibadah puasa yang akan kita laksanakan akan menjadi lebih bermakna bagi kita yang melaksanakannya.
Sejarah Puasa
Dalam catatan sejarah (kitab Fiqhus Sunnah : Syaikh Sayyid Sabiq juz I), perintah mengerjakan ibadah puasa sebagaimana tertera dalam QS. Al-Baqarah : 183 di atas, turun secara jelas pada tahun 2 Hijrah atau bertepatan dengan tahun 623 M.
Selain itu QS. Al-Baqarah 183 di atas memberikan gambaran bahwa ibadah puasa merupakan ibadah yang bersifat universal artinya ibadah puasa pernah juga diwajibkan atas umat terdahulu (agama samawi lainnya), dengan syariat atau tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda. Atas dasar itu, Prof Dr. Mahmud Syaltut dalam kitabnya “Islam : Aqidah wa syariah” (juz I) mengatakan bahwa puasa merupakan ibadah yang paling tua usianya karena pernah diwajibkan Allah SWT atas bangsa-bangsa terdahulu. Perintah puasa itu ada didalam perjanjian lama, perjanjian baru dan didalam semua kitab suci lain. Satu contoh puasa Nabi Daud AS dilaksanakan secara selang seling setiap 2 hari sekali. Bahkan kaum penyembah berhalapun menjalankan puasa
Puasa dalam kitab-kitab suci itu sangat sulit. Puasa yang paling mudah di berikan kepada umat Nabi Muhammad SAW Bahkan menurut riwayat yang ada, pada awalnya puasa ini sangat sulit. Selama periode awal, para sahabat Rasulullah SAW hanya diperbolehkan membatalkan puasanya antara maghrib dan isya. Setelah Isya mereka diperintahkan untuk berpuasa kembali sehingga mereka berpuasa selama 22 jam. Kemudian Allah membuatnya lebih ringan.
Muncul pertanyaan, bagaimana sikap kita terhadap syariat puasa ummat terdahulu.? Dalam hal ini, menurut Prof. DR. Abu Su’ud, Agama Islam masih mentolerir perilaku puasa yang sudah dilakukan ummat terdahulu (sebelum Islam Nabi Muhammad SAW datang), dengan catatan tidak diniatkan sebagai ibadah. Namun demikian, ada juga sebagian ulama berpendapat bahwa segala bentuk puasa non Islam harus tidak dilakukan, kecuali untuk kepentingan kesehatan, karena ada kemaslahatan didalamnya. Hal yang lebih penting bagi penulis adalah bagaimana puasa dapat dihayati tidak hanya sebagai media pendekatan diri kepada Allah SWT (hablum min Allah) semata, namun pada saat yang sama puasa perlu dijiwai maknanya sebagai sarana memperkuat jalinan hubungan kemanusiaan (hablum minannas).
Hakikat dan Tujuan Puasa
Dikisahkan oleh Imam Al– Ghazali, pada zaman Nabi SAW, ada dua orang perempuan yang sangat kepayahandalam melakukan puasa. Mereka begitu lapar dan dahaga, hampir-hampir pingsan. Mereka minta izin untuk berbuka. Nabi SAW menyuruh mereka muntah. Segera orang-orang melihat kedua wanita itu memuntahkan darah dan daging busuk. Ketika orang-orang menyaksikan peristiwa tersebut merasa heran, lantas Nabi SAW bersabda seketika: ” Mereka berpuasa dari apa yang di haramkan oleh Allah SWT (yakni makan dan minum), tetapi mereka membatalkanpuasanya dengan yang diharamkan oleh Allah SWT. Mereka duduk-duduk sambil megadu domba kejelekan orang lain. Itulah daging busuk yang mereka makan.”
Dilain kisah, pada suatu hari Rasulullah mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya, padahal perempuan itu sedang berpuasa. Rasulullah mengambil makanan dan berkata padanya” Makanlah!”. Perempuan itu berkata ; ”Saya sedang berpuasa ya Rasulullah “.Mendengar itu, Rasulullah menjawab: ”Bagaimana mungkin engkau berpuasa, padahal engkau telah memaki-maki jariyah (budak)mu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah SWT telah menjadikan puasa sebagai penghalang (selain makan dan minum), juga dari hal-hal tercela, yaitu perkataan dan perbuatan yang merusak puasa. Alangkah sedikitnya yang puasa, alangkah banyaknya yang lapar (Ma qallasa-shawwam,wa ma aktsaral-jawwa’)”. Ucapan Rasulullah yang terakhir ini menyimpulkan perbedaan “puasa” dengan “ melaparkan diri”.
Dalam definisi Ahli Fiqh (fuqaha), puasa (shawm) adalah menahan diri dari segala perkara yang merusaknya (baik makan, minum, atau dorongan nafsu)dengan tujuan sebagai salah satu sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT(al-imsak anil –mufthirat al-ma’hudat. Dalam definisi tentang shaum (puasa) tersebut, ada kata “al-imsak”. dalam bahasa arab, kata dasar “amsaka/al-imsak“, artinya menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu (self-restraint). Sedangkan “imsak bi” artinya berpegang teguh kepada sesuatu yang dijadikan gantungan atau pegangan. Zainal Abidin (cucu Nabi SAW) berkata :”wa la umsiku illa billahi”(Aku tidak perpegang teguh kecuali pada tali Allah SWT)”
Hakikat puasa sesungguhnya terletak pada “Imsak ‘an” (menahan diri) dan “imsak ‘bi”(berpegang teguh kepada Allah dan rasul_Nya). Kita dapat saja ber-imsak ‘an tapi tidak ber-imsak bi . Kita menahan diri dari makan dan minum, tapi bukan karena berpegang teguh kepada ajaran Tuhan. Bisa saja kita hanya ingin melangsingkan tubuh, mempercantik diri. hal tersebut berarti kita tidak berpuasa. Kita sedang diet. Boleh jadi kita ber-imsak ‘bi, kelihatannya seperti berpegang teguh kepada Al-Quran dan Al-Sunnah, tetapi kita tidak ber- imsak ‘an, Idealnya, orang yang ber –imsak ‘bi, dengan sendiriya berimsak ‘an meski kenyataannya tidak. Ada sementara kita mengaku “ Ahlul Qur’an“ atau berpegang teguh dengan ajaran Al – Qur’an, namun pada saat bersamaan kita tidak mampu menahan diri dari menyalahkan pendapat atau paham lain. Kita sulit memahami pendapat orang lain.
Hal tersebut sama kasusnya dengan menahan lapar dan dahaga dari terbit Fajar sampai tenggelam matahari. Kita kelihatannya perpegang teguh dengan ketentuan puasa. Namun, kita sulit menahan diri dari memfitnah, mengumpat dan memaki – maki. Kata Rasullah SAW anda bukan “Al- Sawam” ( orang yang berpuasa ); anda hanyalah Al – Jawwa ( orang lapar ). Lebih parah lagi ada saja orang yang tidak ber-imsak’an, apalagi ber-imsak’bi.
Inilah manusia yang hanya mempertuhankan hawa nafsunya, ia tidak mempunyai nilai – nilai yang menjadi “ way of life “ dalam hidupnya. Ia mengalami kekosongan hidup yang menurut ahli jiwa ia mengalami existensial vacuum. Hidupnya sama sekali tidak bermakna bagaikan layang – layang putus talinya. Orang semacam ini dalam optik Al – Quran ( surat QS Al – Tiin : 5 ) memiliki derajat lebih rendah dari binatang ternak sekalipun ( Asfala safiliin ).
Pada akhirnya dan yang menjadi harapan kita bersama, ada juga umat islam yang berusaha menjalankan segalanya secara maksimal dalam berpuasa yaitu ber – imsak’an ( menahan diri) dan sekaligus ber – imsak ‘ bi ( berpegang teguh kepada perintah Allah dan Rasul- Nya), merekalah orang – orang yang benar – benar berpuasa “ Al – Sawwam “. Mereka adalah orang – orang yang mendapatkan predikat “Taqwa “, sebuah predikat bergensi di hadapan Allah SWT yang diantaranya diperoleh karena menjalankan ibadah puasa dalam arti yang sebenarnya. Pribadi takwa ( muttaqin ) yang menjadi tujuan puasa.
Menurut Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya “ The Holy Qur’an “ adalah pribadi yang memenuhi kewajiban dan menjaga diri dari kejahatan. Dengan predikat itu juga, memungkinkan manusia dapat mewujudkan perilaku yang luhur, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Karena puasa mengandung banyak rahasia dan jutaan hikmah, sudah sepantasnyalah kalau kita menyambut kedatangan bulan suci ramadhan 1428 H dengan penuh rasa gembira. Dengan kegembiraan itu, akan membuat kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan khusu’, tawadhu, dan ikhlas selama sebulan penuh. Bukan dianggap sebagai beban berat sehingga mencari – cari alasan agar tidak berpuasa.
Kegembiraan kita dengan datangnya bulan suci Ramadhan 1428 H ini, harus dapat ditunjukkan dengan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkannya sebagai momentum untuk mentalbiah (mendidik) diri sendiri, keluarga, dan masyarakat ke arah pengokohan dan pemantapan taqwa kepada Allah SWT . Sebab, hal tersebut amat diperlukan bagi upaya meraih keberkahan dari Allah SWT bagi bangsa Indonesia. Kita tentu harus perhatikan dengan kondisi bangsa dan masyarakat kita yang masih mengalami krisis-krisis tersebut idealnya diatasi dengan memantapkan iman dan taqwa (terlebih pada bulan ramadhan nantinya ). Bukan dengan menggunakan cara sendiri –sendiri , apalagi dibungkus berbagai kepentingan sesaat yang akhirnya malah memicu dan memacu pertentangan dan perpecahan yang justru menjauhkan kita dari rahmat dan keberkahan Allah SWT, meskipun kita berkoar- koar mengatasnamakan kitab suci-Nya.
“An-Nur” Edisi I Sya’ban 1528 H Oleh: Abdul Fatah, M.Fil.I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar