“Kita ini sudah salah kaprah ya. Masak
orang mau menunjukan kehebatannya, malah mengatakan, kalau dirinya tidak
sombong. ‘Saya tidak sombong, lho…’ Padahal itu juga sombong juga”.
Kata Dulkamdi memancing pembicaraan pagi itu.
“Wah, kalau salah
kaprah begitu banyak sekali Dul. Tapi itulah, kenyataan masyarakat kita.
Ada yang menonjolkan diri, dan semakin bangga kalau ia menonjol dengan
kesukuannya. Ada yang menonjolkan diri dengan ilmunya, dan semakin
bangga kalau muncul decak-decak mulut padanya. Ada yang menonjolkan
anunya, dan itunya, dan semakin bangga kalau dijadikan bahan berita”,
kata Kang Soleh.
Tiba-tiba Pardi datang, tanpa basa-basi, ia bagi-bagikan uang kepada orang-orang yang hadir disana, tanpa pandang bulu.
“Ini untuk menunjukan syukur saya atas nikmat Allah. Saya ikhlas kok
membagi-bagi ini… kebetulan saya dapat rejeki lumayan besar dari
makelaran motor kemarin”.
“Nggak usah bilang ikhlas kenapa sih,
jadinya duitmu ini terasa setengah ikhlas dan setengah tidak. Saya mau
belanjakan jadi gamang Di…”.
“Jangan begitu to Dul, kamu ini namanya menolak rejeki…”.
“Lho, kalau uang ini tadi dari kamu kan…? Kamu kan bukan pemberi
rejeki. Tapi kalau Allah memberi rejeki mestinya kan tidak seperti itu
Di…”.
“Pokoknya kalau kamu tidak mau terima, ya… kembalikan ke saya,
masih banyak fakir miskin yang membutuhkan,” jawab Pardi sambil
ngedumel .
“Saya juga fakir lho Di…. Masak sudah diberikan diminta lagi. Kamu ini ikhlas atau tidak?”.
Pardi mencoba menahan emosinya, sementara Dulkamdi senyam-senyum sembari merasakan betapa Pardi terkena jebakannya.
“Sebenarnya ikhlas itu bagaimana sih kang…?” Tanya Cak San kepada Kang Soleh.
“Ikhlas itu adalah rahasia dari Rahasia Ilahi yang dititipkan pada
hamba-Nya yang dicintai-Nya, lalu hamba itu terputus dari segala hal
selain Allah saja”.
“Apa itu yang disebut Lillahi Ta’ala…”
“Ya, tapi masih banyak embel-embelnya, itu masih belum ikhlas”.
“Tapi kan kemampuan manusia berbeda-beda, hati manusia juga
berbeda-beda, perasaan manusia juga berbeda-beda Kang” sela Pardi
setengah protes.
“Oalahhh, mau ikhlas saja kok didiskusikan. Kalau
mau memberi sesuatu pada orang lain malah jangan menunggu ikhlasmu.
Bisa-bisa malah kamu tidak pernah memberi orang lain. Nggak usah mikir
apakah kamu ikhlas atau tidak, yang penting memberi ya memberi. Kamu
juga begitu Dul, kalau menerima sesuatu dari orang lain ya jangan
dipikir, apakah pemberiannya ikhlas atau tidak. Kamu bisa mati
kelaparan. Diberi ya kamu terima, nggak usah mikir bagaimana caranya
membalas pemberian itu”.
“Wah…, kita masak tidak boleh balas budi”.
“Keinginanmu untuk membalas budi itu menunjukan bahwa kamu tidak ikhlas
menerima pemberitaan orang lain. Sama saja nilainya dengan orang yang
tidak ikhlas dalam beramal”. Mendengar uraian kang Soleh, Pardi dan
Dulkamdi hanya manggut-manggut saja.
“Kalau ikhlasnya orang-orang saleh itu bagaimana kang?”.
“Untuk apa? Nggak usah ditanyakanlah. Praktikin saja, lama-lama kamu bisa menyamai mereka”.
“Ini perlu, agar saya bisa mengontrol jiwa saya Kang”.
“Oke, begini Dul, Di dan saudara-saudara sekalian. Ikhlas itu ada dua:
Mukhlisin dan Mukhlasin . Yang pertama melakukan melalui segala bentuk
upaya sampai bisa ikhlas benar. Yang kedua, tidak mencari ikhlas karena
ikhlasnya sudah ditinggalkan jauh-jauh. Itu yang disebut Mukhlasin .
Artinya ia ikhlas dari wacana dan kata-kata ikhlas itu sendiri. Ia bebas
dari belenggu psikologis ikhlas. Dia tidak mau tahu tentang makna
ikhlas, yang penting bisa total dengan Allah, beres”.
“Wah…, itu pasti tingkat tertinggi kang?”.
“Terserah, minimal ikhlas itu dibagi tiga: Ikhlasnya Mukhlisin , yaitu
ikhlas untuk beramal, jauh dari makhluk, semata demi Allah. Kedua
Ikhlasnya Muhhibbin (para pencita Allah) yaitu ikhlas tanpa pahala,
surga, atau apa pun kecuali hanya demi cintanya kepada Rabb. Dan ketiga
Ikhlasnya Muwahhidin, yaitu keikhlasan yang dari apa yang disebut
ikhlas. Sang hamba merasa seakan-akan menyatu dengan-Nya, dan segalanya
tidak lepas dari-Nya”.
“Jadi kalau saya tadi bilang, ‘Saya ikhlas lho, itu bagaimana…?” tanya Pardi.
“Itu tandanya kamu hanya ikhlas setengah hati. Masih ada unsur makhluknya, dan masih ada embel-embel pengakuan.
“Dalam Alqur’an disebutkan bahwa iblis tidak mampu menggoda orang-orang yang Mukhlasin, kang?”.
“Benar. Itulah, makanya iblis angkat tangan, karena Mukhlasin itu
adalah orang yang sudah melampaui keikhlasan itu sendiri. Bahkan sudah
di atas apa yang disebut dengan cinta. Makanya, kamu yang serius ibadah,
jangan pikiran melayang kemana-mana, nanti keikhlasn bisa jadi komoditi
politik, sosial, dan bisnis. Gawat kan…?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar