Laman

Kamis, 16 Maret 2017

Perjalanan jiwa 3

Musibah atau bencana di bumi adalah dari manusia untuk manusia, dan merupakan suatu pelajaran agar manusia dapat menyadari kesalahannya dan kembali kepada jalan Tuhan.
Perhatikan Surah Al-Rûm ayat : 41 sampai dengan 45,
41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) per
buatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). 42. Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”
43. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya): pada hari itu mereka terpisah-pisah.
44. Barangsiapa yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan),
45. agar Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang ingkar.
Simak kembali ke lima ayat dalam surah Al-Rum diatas, lalu perhatikan penjabaran dibawahnya,
Ayat (41) :
Ketika ayat ini diturunkan, daratan dan laut telah mengalami kerusakan, dan dinyatakan dengan tegas bahwa kerusakan itu akibat perbuatan manusia, bukan disebabkan oleh perilaku hewan atau yang lainnya.
Bahwa ternyata kerusakan di darat dan laut itu dibiarkan oleh Allah agar manusia (yang melakukan kerusakan itu) merasakan sebagian dari akibat perbuatannya.
Untuk apa?
Agar yang pernah melakukan kerusakan itu mendapat pelajaran untuk kembali kepada jalan yang benar. (maksudnya : yang akan merasakan akibat perbuatannya adalah yang pernah hidup pada masa lampau dan yang pernah berbuat kerusakan, bukan orang yang baru pertama kali dilahirkan di muka bumi ini)
Bukankah Tuhan telah menyatakan bahwa Dia tidak merugikan manusia sedikitpun?
Tidak mungkin manusia yang tidak tahu apa-apa dan tidak berbuat suatu kesalahan dikenakan azab oleh Allah, itu suatu tuduhan yang “keji” dan sifat itu sangat mustahil dimiliki Tuhan..
Sebaliknya, dengan sifat Rahman dan RahimNya, maka manusia yang jelas-jelas sudah melakukan “kerusakan di muka bumi” ketika dibangkitkan lagi hanya merasakan sebagian saja dari akibat perbuatannya.
Manusia itu tidak merasakan seluruh akibat perbuatan buruknya.
Hal semacam inilah yang disebutkan pada ayat lain bahwa Tuhan itu memaafkan sebagian besar kesalahan manusia.
Ayat (42)
Bahwa, manusia diperintah Tuhan untuk melakukan perjalanan di muka bumi.
Pada ayat ini kita diperintah untuk memperhatikan akibat perbuatan buruk orang-orang yang hidup pada masa lalu.
Apa kata ayat tersebut?
Bahwa : banyaknya kerusakan di darat dan laut itu ternyata dilakukan oleh orang-orang Musyrik. orang-orang yang menyekutukan Tuhan.
Orang yang menyekutukan Tuhan = Orang yang membuat kerusakan di bumi
Orang yang menyekutukan Tuhan bukanlah orang yang beribadah dan menyembah patung
“Karena kemusyrikan terkait erat dengan amal perbuatan manusia”.
Jika amalan itu merusak bumi, maka itu namanya tindakan “Syirik”.
Jika perusakan bumi itu merupakan perilaku seseorang, maka orang itu disebut sebagai orang “Musyrik” = menyekutukan Tuhan.
Agar tidak terjerumus ke jurang kemusyrikan maka manusia diperintah untuk menghadapkan dirinya kepada Agama (cara hidup yang benar), yaitu : jalan hidup yang lurus yang tidak menimbulkan kerusakan dan merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
Jalan hidup yang demikian inilah yang disebut “ISLAM”
(Maksudnya : Islam adalah jalan selamat dunia + akhirat, jalan ini sifatnya universal jadi siapa saja orangnya yang mengunakan jalan ini dalam kehidupan aktual termasuk dia itu Yahudi = mau Kristen = mau Hindu = mau Buddha dia itu Islam jua)
Ayat (43)
Bahwa : manusia harus berusaha berada di jalan yang lurus.
Dalam ayat lain disebut sebagai orang yang Bertakwa.
Usaha ini harus ditempuh sebelum datangnya hari dari Allah yang disebut sebagai “hari yang tidak dapat ditolak”.
Hari apa gerangan?
Itulah hari Kematian dan sekaligus Kebangkitan bagi seseorang.
Seandainya dalam satu hari ini orang yang mati itu banyak, maka yang dibangkitkan/yang dilahirkan juga banyak, hal ini harus berjalan seimbang demi kelangsungan bumi ini.
Semua sudah tersedia dari awalnya, tidak di-kurangi dan tidak di tambah-tambah lagi, itu-itu juga dari awalnya…
Yang mati = yang bangkit
Yang bangkit bisa jadi manusia juga..
Yang bangkit bisa jadi malaikat
Yang bangkit bisa jadi hewan
Yang bangkit bisa jadi tumbuh-tumbuhan
Yang bangkit bisa jadi mineral = gentayangan
Inilah adalah pilihan-pilihan, silahkan memilih sendiri….
Di mana dibangkitkan?
Ya, di bumi ini!
Lihat kembali QS 7:25.
“Manusia dibangkitkan melalui kelahiran melalui ibunya masing-masing”
Dalam ayat ini mereka disebut menjadi terpisah-pisah.
Ayat (44)
Dan, disebutkan pada ayat ini bahwa, mereka yang kafir akan menanggung perbuatan kekafirannya, yaitu, dilahirkan ditempat “yang sengsara”, sedangkan yang dahulunya berbuat amal saleh, maka akan dilahirkan di tempat yang penuh anugerah Tuhan.
Sekarang perhatikan kata Musyrik dan Kafir, pada ayat (44) diatas…
Kalau yang dirujuk itu sikap hidup, maka namanya “Musyrik”,. tapi, kalau yang dirujuk itu keyakinan dan tindakannya yang mengingkari kebenaran, maka namanya “Kafir”. Jadi, kafir itu tak ada kaitannya dengan agama yang dipeluk.
Agama apa saja yang dipeluknya, kalau ia mengingkari kebenaran dan melakukan kerusakan maka ia termasuk orang kafir!
Ayat (45)
Allah tidak mencintai orang-orang yang ingkar.
Perhatikan pernyataan “tidak mencintai” = “Lâ Yuhibbu”
Ayat ini tidak boleh diterjemahkan menjadi tidak menyukai. Berbeda!
Allah tidak terlibat dalam suka atau tidak suka. Allah juga tidak terlibat dalam soal membenci atau tidak membenci.
Allah itu bersifat Mahabbah, mencintai hamba-Nya. Tetapi, kalau si hamba itu mengingkari-Nya, maka Dia tidak mencintainya.
Apa bedanya “tidak mencintainya” dengan “membenci”?
Benci adalah perasaan tidak suka.
Jadi, kalau Tuhan membenci berarti dalam diri Tuhan itu terkandung perasaan tidak suka, hal ini tentu saja berlawanan dengan sifat-Nya yang Rahman dan Rahim.
Jelas, tidak mungkin terjadi sifat yang saling berlawanan pada diriNya. Sifat Tuhan adalah Cinta. Oleh karena itu para ahli Tasawuf menyebut Tuhan itu sendiri “Cinta”.
Cinta itu bukan suka!
Cinta mengandung makna karunia. Artinya, sesuatu yang dicintai niscaya mendapat perhatian atau karunia dari yang mencintai.
Kalau Tuhan mencintai seorang hamba, maka hamba itu akan mendapatkan cucuran rahmat dan karunia dari-Nya. misalnya, sang hamba yang dicintai Tuhan itu akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan kenikmatan.
Kalau Tuhan “tidak mencintai” orang kafir, artinya Tuhan akan membiarkan si kafir itu menerima akibat perbuatan-Nya.
Jadi, apa yang kita harapkan?
Tentu saja, rahmat dan perlindungan-Nya,
Dengan rahmat dan perlindungan-Nya, maka seorang manusia dapat terus-menerus berusaha di jalan yang benar.
Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar