Kecintaan kaum sufi kepada Allah , bukan
sebab takut akan siksa -Nya, atau kerena ingin surga-Nya, akan tetapi
karena rindu dendam merasakan kelezatan cinta-Nya.
Juga karena Allah
adalah yang paling berhak dicintai. Itulah idealnya dalam bercinta,
yang tidak dikenal oleh selain mareka yang menjadi pilihan Allah.
Nikmat terbesar yang mereka harap-harapkan hanyalah ridha dan berjumpa
dengan Dia. Sementara siksa yang paling mereka takuti adalah jauhnya
dari memperbincangkan soal keindahan kedamaian-Nya, juga dari tempat
berkomunikasi dengan-Nya. Mereka terhalang dari sinar Dzat yang Maha
Mulia.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
maqam tertinggi yang
bisa dicapai oleh pengamal ilmu zahir (syri’at) adalah wukuf dipadang
Arafah , menunggu terbukanya pintu rahmat dan karunia Allah SWT dan pada
hakikatnya adalah menunggu kehadiran Allah. Apakah selamanya kita harus
menunggu, dan apakah menunggu itu hanya di Padang Arafah?
Seluruh
ritual Haji sebagaimana ibadah lain tentu saja mempunyai aspek zahir dan
bathin. Pada hakikatnya orang yang melaksanakan haji adalah memenuhi
panggilan Allah, menjadi manusia mulia sebagai tamu Allah dan tentu saja
sebenarnya setiap yang menunaikan ibadah haji sudah pasti berjumpa
dengan yang punya rumah, jumpa dengan yang mengundang yaitu Allah SWT.
Dalam ilmu zahir (syariat), Ihsan merupakan puncak pencapaian spiritual
dan tidak ada lagi maqam setelah itu. “ Shalatlah kamu seolah-olah kamu
melihat Allah dan jika kamu tidak melihat Allah yakinlah Allah akan
melihat kamu” inilah dasar dari Ihsan. Menurut kaum sufi tentu saja
maqam ini masih spekualitif, masih seolah-olah dan tidak ada kepastian
disana. Siapapun yang bersikukuh pada syariat tidak akan bisa
melanjutkan perjalanan ke maqam berikut yaitu Makrifatullah,
berpandang-pandangan dengan Allah dan inilah kenikmatan puncak dari para
penempuh jalan spiritual melebihi apapun, bahkan kenikmatannya melebihi
surga .
Abu Yazid al-Bisthami ketika berada dalam puncak
kegembiraan, dia berbisik, “ Apakah itu surga? Surga hanyalah mainan dan
kesukaan anak-anak. Aku hanya mencari Dzat Allah. Bagiku surga bukanlah
kenikmatan yang sejati. Dzatnya menjadi sumber kebahagiaanku,
ketentraman yang menjadi tujuanku. ”
Mengenai ucapan Abu Yazid yang
agung ini, Ibnu Arabi pernah ditanya seseorang. Jawabnya, “ Tidak
masalah. Rasulullah pernah berkata dalam do’anya , “ Wahai Tuhan kami…!
Aku mohon kepada-Mu kelezatan melihat DzatMu. Aku rindu ingin bertemu
dengan-Mu ”.
Setiap hamba yang ingin berjumpa dengan Allah terlebih
dahulu dititipkan rasa rindu dan cinta membara dihatinya, dengan itulah
dia mampu bermujahadah melawan hawa nafsu dan berbagai rintangan untuk
sampai kepada tujuannya yaitu menemukan cinta sejati dan berjumpa dengan
yang dicintainya.
Konon An-Nuri bertanya kepada Rabi’ah
al-Adawiyah, katanya, “ Setiap hamba punya syarat. Setiap iman punya
hakikat, apakah hakikat iman anda? ” Rabi’ah menjawab, “ Saya menyembah
Allah bukan lantaran takut Dia. Karena dengan persepsi demikian, aku
seperti budak hina yang bekerja hanya karena takut. Tidak pula lantaran
ingin surga, agar tidak seperti budak hina yang diupah. Akan tetapi aku
menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya. ”
Sa’id bin Yazid
berkata: “ Barang siapa beramal karena Allah atas dasar cinta
kepada-Nya, itu lebih mulia dari pada beramal atas dasar ketakutan. ”
Selanjutnya dia berkata, “Andaikan diberikan kepadaku do’a yang
mustajab, aku tidak akan minta Firdaus , akan tetapi aku hanya akan
memohon ridha-Nya.” Katanya pula,” Lupa kepada Allah itu lebih menyiksa
dari pada masuk neraka ”
Kalau memang memandang wajah Allah itu
merupakan nikmat yang melebihi surga, kenapa kita tidak berusaha mencari
jalan untuk bisa memandang wajah-Nya? Para Nabi dan orang-orang sufi
mengatakan bahwa memandang wajah Allah itu bisa di dunia dan tentu bisa
juga di akhirat, kalau memang bisa melihat-Nya di dunia ini kenapa kita
harus menunggu sampai datang kiamat? Bukankah kalau wajah-Nya bisa
dilihat di dunia sudah pasti di akhirat juga wajah itu tidak berubah dan
sudah pasti bisa dilihat juga, kalau di dunia tidak bisa melihat Allah,
di akhirat?!?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar