Laman

Selasa, 30 Mei 2017

Landasan bertawasul dan rabithah


Dua masalah ini merupakan salah satu bentuk pengetahuan dzikir yang diterapkan di dalam Tasawuf (kalangan Shufi). Tasawuf, kalau kita telusuri sejarahnya adalah dikembangkan dari salah satu di antara 3 pijakan dasar pokok ajaran dalam Islam, yaitu: Rukun Iman, Rukun Islam dan Rukun Ihsan. Tasawuf di sini merupakan pengembangan dari ilmu keihsanan.
Pembahasan Rabithah dan tawasul ini bisa dikatakan materi yang pelik dan memerlukan perhatian yang cukup serius untuk menguraikannya, karena sering diiringi dengan tuduhan-tuduhan kemusyrikan bagi yang mengamalkannya. Hal ini sudah banyak kontroversi/fitnah yang terjadi sejak zaman dahulu, antara pengamal Tasawuf yang mengamalkan Rabithah & Tawasul dengan kaum zhahiri, yang lebih mengedepankan naskah tekstual dalam pengamalan agamanya.
Rabithah atau tawasul dicetuskan oleh para Syekh Mursyid terdahulu ketika tasawuf sedang berkembang menjadi suatu disiplin keilmuan dalam Islam, sebagaimana mengkristalnya kodifikasi hukum Islam dengan sebutan Ilmu Fiqih. Keduanya hanyalah merupakan metode/teknis atau bagian pengajaran Syekh Mursyid kepada murid-muridnya di dalam menempuh Thariqat (jalan).
Problematika tawasul atau rabithah didasari kenyataan bahwa konsep peribadatan (menyembah) hanya kepada Allah (Laa ma’buuda illallaah) didukung oleh penafsiran yang keliru terhadap makna ayat dalam Surat Al-Fatihah yang sering kita baca berulang-ulang, yakni: Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin, yang diartikan atau ditafsirkan oleh kebanyakan orang dengan ‘Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohoon pertolongan’.
Menurut hemat kami, penafsiran tersebut didasari kekhawatiran para mufassirin akan firman Allah yang tidak membukakan ‘pintu ma’af’ kepada orang-orang yang menyekutukan-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan-Nya, tetapi Dia mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. An-Nisa[4]: 48)
Mereka yang bertempat pada pemahaman ini tidak mampu menterjemahkan dengan pola penjabaran yang didasari makna-makna harfiyah kalimat tersebut, sehingga penjelasan tiadanya ampunan sama sekali bagi hamba yang menyekutukan-Nya ini menggugurkan penafsiran makna ‘Iyyaaka’ yang sesungguhnya.
Alangkah naifnya jika kita hanya mengakui bahwa hanya Allah saja sebagai tempat kita meminta dan taat. Bukankah kita senantiasa meminta kepada manusia lainnya. Dan tidak perlukah kita mentaati perintah orang tua atau Guru kita? Kita harus kritis dengan ayat ini yang bisa menafikan bentuk pemahaman yang sesungguhnya. Ayat lainnya jika dipertemukan akan berbenturan misi dan fungsi. Di satu sisi kata ‘hanya’ membatasi bentuk ketergantungan hanya kepada Allah dengan tidak memberi ruang kepada segmen lainnya, sedang di ayat lainnya mengandung perintah untuk mentaati makhluk-Nya.
Kata ‘Iyyaaka’ mengandung makna etimologis ‘akan Engkau’ yang berarti ada rentang perjalanan yang harus dicapai. Tidak bisa dituju langsung dengan menggunakan makna ‘hanya Engkau’. Ada pengurang makna yang besar sekali dalam hal ini.
Pemahaman kaku yang menggiring orang ‘enggan menoleh’ kepada makna harfiyah ayat ini menyebabkan ganjalan bagi mereka untuk memasuki kepada pintu pembahasan tawasul atau rabithah.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan mendekatkan diri kepadaNya dan bermujahadahlah di jalanNya, semoga engkau termasuk orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Maidah[5]: 35)
Melalui ayat ini Allah hendak menyampaikan pesan-pesan Manajemen atau Birokrasi Ilahiyyah, yang harus dipahami oleh setiap manusia yang menghargai adab atau etika dalam beribadah kepada tatanan Kerajaan langit-Nya. Berkenaan masalah Manajemen Ilahiyah ini Insya Allah kita akan bahas pada materi yang khusus.
Umat Islam sejak 14 abad ditinggalkan masa kepemimpinan Nabi SAW telah membentuk sendiri golongan-nya masing-masing (hal ini telah diprediksi oleh Nabi SAW bahwa umat beliau di akhir zaman berpecah belah), sehingga kenyataan ini menyulitkan banyak pemerhati keislaman bahwa manakah di antara golongan-golongan itu yang terlebih benar, baik kemurnian ajaran aqidah atau pengamalan dalam peribadatannya. Usaha atau Ijtihad apapun yang dikerahkan para Ulama maupun Mufassirin belum mampu memonitor dengan pasti mengenai masalah ini.
Dampak yang sejalan dengan kenyataan itu, menimbulkan banyak versi pemahaman atau pengamalan dalam Islam, termasuk bentuk-bentuk cara memahami atau menafsirkan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi SAW.
Selanjutnya di antara umat dan tokoh Islam yang berada di luar keberpihakan dengan ilmu Tasawuf kebanyakan bersikap kaku atau sempit dalam memahami Islam yang bersifat luas/eksternal dan eternal/berkesinambungan. Hal ini menyebabkan kondisi sekarang ini terjadi kekacauan dan perselisihan yang tidak henti di antara mereka yang tidak menyadari kesalahan di antara mereka. Apalagi di zaman globalisasi sekarang ini transformasi berita yang positif dan negatif dengan teknis propagandanya masing-masing, kenyataannya sudah tidak seimbang. Propaganda keburukan yang memicu kejahatan dalam kehidupan ini lebih dominan daripada propaganda kebaikan.
Di kalangan Ulama yang menekankan integritas keilmuan/keahliannya dalam menghafal dan mengkaji teks-teks dasar agama zhahir, sering menangguhkan atau tidak memandang penafsiran atau ijtihad Ulama kaum Shufi. Padahal kaum Shufi yang mereka tuding sebagai orang-orang yang tersesat, adalah orang-orang yang berusaha zuhud, wara’ dalam aqidah maupun ibadahnya, mereka merasa takut ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT, bahkan merekalah yang mendapatkan bimbingan Allah dan Rasul-Nya hingga hari kiamat.
Al-Quran dan Al-Hadits itu sepenuhnya akan senantiasa memberikan bimbingan kepada umat di setiap zaman. Di dalamnya akan membuahi hikmah-hikmah sebagai solusi umat, melalui para Mursyid. Mursyid yang dimaksud bukanlah pembimbing yang tidak jelas asal-usulnya, melainkan harus memiliki darah/nasab dari Rasulullah. Dan inipun tidak cukup, karena tidak semua nasab masuk ke dalam kategori yang layak sebagai pemimpin. Bahkan mereka betul-betul mendapatkan kesaksian/mandat secara estafet dalam thariqat-nya, serta prilakunya senantiasa memperlihatkan Uswatun Hasanah, arif dan bijaksana dalam mengambil suatu keputusan.
Allah berfirman dalam Al-Quran:
“Kemudian Kami wariskan kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. (QS. Fathir[35]: 32)
Jelas di dalam ayat ini Allah menegaskan ‘Kami pilih di antara hamba-hamba Kami’, yakni orang-orang pilihan Allah yang diwariskan pengetahuan tentang agama ini. Dan ditegaskan lagi:
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (Khalifah) mereka di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu perbuat”. (QS. Yunus[10]: 14)
“Dan bagi tiap-tiap kaum itu ada orang memberi petunjuk” (QS. Ar-Ra’d[13]: 7)
“Di setiap umat itu mempunyai utusan (Allah)” (QS. Yunus[10]: 47)
Berdasarkan penjabaran ayat-ayat tersebut, maka ijtihad para Mursyid/para pengganti Rasul lebih utama untuk dijadikan rujukan dalam memberikan solusi atau jalan kemudahan kepada umat. Dan tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad untuk memberikan solusi kepada umat di masanya. Keabsahan ijtihad itu sendiri didasari firman Allah:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Ar-Ra’d[13]: 39)
“Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa-siapa yang Dia kehendaki”. (QS. Al-Baqarah[2]: 269)
Di kalangan penganut tasawuf tetap meyakini bahwa bimbingan Rasulullah kepada umatnya tidak terhenti dengan wafatnya beliau SAW. Hal ini dilegitimasi oleh ayat Al-Quran yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (QS. Al-Baqarah[2]: 154)
Dalam ayat lain dikatakan:“Bahkan mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka diberi rizki”. (QS. Ali Imran[3]: 169)
Demikianlah landasan-landasan pengetahuan bertawasul dan rabithah.
(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar