Laman

Rabu, 14 Juni 2017

Nafsu Berdakwah


“ Assalamu’alaikum wr. Wb . Kenalkan, saya sekarang tinggal di kompleks perumahan yang sangat majemuk warganya. Saya seorang aktivis dakwah yang ingin menyampaikan dakwahnya dengan cara pendekatan sufistik (tasawuf). Apakah hal ini akan efektif untuk jamaah yang majemuk tersebut? Atau harus ada metode penyeimbang lain?” tanya seorang pemuda kepada Kang Soleh di pagi buta usai berjamaah di Masjid Raudhah.
“Oke, kita ngopi di kedai sana yuk. Sambil ngobrol?”. Mereka berjalan berdua, dan tentu si Pardi dan Dulkamdi sudah ada disana.
“Apakah anda menganggap dakwah itu sebuah profesi?”
“Ya”.
“Jadi anda dapat keuntungan dari dakwah anda?” pemuda itu gelagapan.
“Begini. Ajaklah kejalan Tuhanmu dengan cara yang penuh hikmah dan tutur bahasa yang indah. Berilah argumentasi yang lebih baik. Semua orang sebenarnya aktivis dakwah. Dakwah itu bukan profesi, juga bukan lahan pekerjaan, juga bukan tempat mencari posisi. Dakwah itu suatu kelaziman, keharusan, dan niscaya. Seorang guru juga da’i, orang tua juga da’i bagi anak dan keluarganya. Seorang wartawan juga da’i. Hanya sekarang saja jadi melenceng tidak karuan. Seorang da’i itu mesti berpidato di panggung, di TV, mesti muncul dengan performa style tertentu dan harus dengan undangan dan acara tertentu. Akhirnya dakwah jadi tontonan, bukan jadi tuntunan”.
Pemuda itu semakin merundukan mukanya. Pardi dan Dulkamdi tidak banyak komentar, hanya membisu sambil melirikan matanya kearah pemudah itu.
“Saya harus mengoreksi seluruh paradigma dakwah, Kang?” kata pemuda itu.
“Ya… Harus dan harus berani tegas dulu pada diri sendiri. Karena seorang da’i yang merasa dirinya berprofesi sebagai pendakwah ketika mau berangkat berdakwah, biasanya muncul rasa lebih pandai, lebih hebat, lebih baik dibanding yang didakwahi. Itu merupakan perasaan takabur dan ‘ujub yang menghapus seluruh pahalanya sendiri. Apalagi sukses dakwah seseorang manakala dihubungkan dengan massa yang datang, kuantitas dan jumlahnya, akan semakin memperpuruk misi dakwah itu sendiri”.
Tiba-tiba Pardi nyeletuk dengan ceplosanya, “Kang…?! Saya ingat dawuhnya Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily ketika menafsir suatu ayat, “Dan Rasulullah Muhammad tidak berkata didasarkan hawa nafsu, melainkan adalah wahyu yang diturunkan padanya”.
Menurut Syeikh Abul Hasan, ‘Janganlah anda bergembira karena ucapanmu direspon (diiyakan) oleh pendengar. Bergembiralah manakala Allah ‘meridhai’ hatimu (ketika kamu mengucapkan kata-katamu).
“Saya nggak ngerti maksud beliau tu apa Kang?!”.
“Maksud Syeikh Abul Hasan, manakala seorang da’i senang bila kata-katanya disambut oleh pendengar, berarti si pendakwah itu berdakwah karena nafsunya, bukan karena ridha-Nya. Nah betapa kecil sekali sekali jumlah para da’i yang berdakwah demi ridha-Nya, karena mayoritas pasti demi memenuhi hasrat dirinya, nafsunya, jika diukur denga ayat tersebut dan diukur dengan keteladanan Rasul SAW”.
“Apalagi jika seorang da’i pusing tujuh keliling manakala tidak ada yang mengundang lagi, tidak popular lagi, tidak punya massa lagi. Kepusingannya itu menunjukan bahwa dakwahnya selama ini didorong oleh hawa nafsunya. Sebaliknya ketika dia semakin popular, semakin banyak pendukungnya, semakin ia gembira. Itu pun juga semata didorong oleh hawa nafsunya. Dipastikan sang da’i sudah kehilangan hikmah terdalam dari cahaya ilahi yang memancar di hatinya” kata Pardi merasa bak seorang da’i pula.
“Hahaha… kamu senang bicara begitu karena kita semua mengiyakan…”.
“Hmmmmm… he…heh benar juga, ini kata-kata memakan diriku, senjata makan jiwaku. Wah wah… Astagfirullahal’adziiim… ” kata Pardi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Makanya Di… kamu jangan asal njeplak. Malah menampar mukamu sendiri”, sindir Dulkamdi.
“Betul juga ya Dul. Betapa tipisnya batas nafsu dan semangat. Betapa tipisnya ikhlas dan riya”.
“Sekarang kamu mau apa?”
“Aku mau diam saja !”
“Biar apa diam?”
“Biar apa ya…? Ya biar disebut pendiamlah dan disebut orang tidak macam-macam”.
“Keinginanmu begitu itu juga nafsu, Di…”
“Ya, salah lagi”.
Dialog Dulkamdi dan Pardi benar-benar membuat pemuda aktivis itu sangat-sangat terpukul jiwanya. Betapa selama ini dakwah, profesi, semangat, nafsu, materi, bercampur aduk tidak karuan dalam dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar