Laman

Kamis, 15 Maret 2018

Sang Kebenaran Sejati

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Yang kita cari dalam hidup ini adalah kebenaran sejati. Sang Cinta. Keberadaan Yang Ganjil. Bukan kebenaran tunggal atau cinta kalau tidak ganjil. Tidak unik ! Lalu mengapa dalam sumpah itu yang disebut lebih dulu adalah yang genap ? Ya, karena yang genap itu sebenarnya eksistensi (keberadaan alam ini). Sebelum manusia dapat merasa bersentuhan dengan Yang Ganjil, manusia terlebih dahulu merasakan sentuhan dari yang genap. Wujud alam ini dualitas. Berpasangan. Meski hakikatnya adalah satu realitas. Manunggal. Yang Ganjil tidak berada di dalam maupun di luar yang genap. Itulah DIA !
Yang Ganjil ada terlebih dahulu, sebelum adanya yang genap yang berupa langit dan bumi. Dalam Alquran, Dia disebut tiada berawal dan tiada berakhir, Dia sekaligus yang nyata dan yang gaib (QS, al-Hadid 57 : 3 ). Dalam kitab Tao Te Ching XXV : 1-2, Dia disebut sebagai yang suci, kosong, langgeng, berdiri sendiri, dan tidak berubah. Sehingga, Dia dikatakan sebagai ibu alam semesta. Bukankah yang berdiri sendiri dan tidak berubah itu adalah al-Hayy al-Qayyum yang ada di Ayat Kursi (QS. 2:255) ? Bukankah itu sifat yang ganjil ?
Oleh sebab Yang Ganjil, maka semua menjadi ada. Manusia adalah produk dari yang genap, yaitu bumi dan langit. Maka kehidupan manusia sudah pasti mengikuti hukum bumi dan langit. Sedangkan bumi dan langit mengikuti hukum alam semesta (yang tampak maupun yang gaib). Dan, alam semesta mengikuti hukum Tuhan. Sedangkan Tuhan mengikuti hukum Diri-Nya sendiri, alias hukum ”kewajaran” (Tao Te Ching XXV : 6). Hukum kewajaran ini di sebut ” jalan yang lurus.” Jalan yang lurus adalah jalan Tuhan itu sendiri (QS. 6 : 126).
Jalan yang lurus itu pasti satu adanya. Ganjil ! Al-shirath al-mustaqim. Jalan yang lurus dan amat lebar. Di dalamnya ada banyak jalur, karena jalur itu ada di dalam koridor yang lurus, maka jalur mana pun yang dipilih pasti akan menuju-Nya. Tapi, jalan lurus ini akan bisa kita lewati bila kita telah keluar dari kegelapan. Bila kita sudah dapat melampaui lorong-lorong kehidupan yang penuh kegelapan. Tanpa bisa membebaskan diri dari kegelapan, maka cinta tak kunjung datang. Tanpa ada cinta, maka kebenaran tak akan pernah nyata. Meskipun kebenaran itu tunggal, tapi pancaran Wajah-Nya beraneka rupa. Bermacam-macam !

Sudah menjadi kodratnya bahwa mahluk hidup di dunia membutuhkan cahaya. Tubuh manusia atau raga manusia membutuhkan cahaya matahari baik langsung maupun tidak langsung, sedangkan jiwanya akan mendatangi cahaya sumber. Cahaya yang menjadi sumber dari segala cahaya. Manusia hadir untuk menggenapi Yang Ganjil. Jadi, hubungan Yang Ganjil dengan yang genap adalah hubungan reflektif. Yang genap merupakan refleksi dari Yang Ganjil. Manusia adalah refleksi dari Yang Ganjil. Manusia adalah refleksi dari Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah citra Tuhan. ( Dalam hadis yang bernuangsa sufistik, manusia adalah gambar Tuhan. Juga Kejadian I : 27, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya.” ).

Dialah Cahaya. Cahaya di atas Cahaya ! seperti diungkap surah Nur 24 : 35. ” Allah menunjukkan cahaya-Nya kepada orang-orang yang menghendaki cahaya Tuhan.” Artinya pemilik cahaya itu tidak memberikan cahaya-Nya secara acak, secara sembarangan ! Dan Pencerahan itu tidak diundi. Ia harus diusahakan. Harus dicari sampai ketemu. Kalau sampai kita ini tidak mau mencari jalan kebenaran, jalan kehidupan, menuju cahaya-Nya; Sumpah kita tergolong orang yang sombong. Orang yang tidak percaya adanya jalan hidup, berarti ia telah mendustakan-Nya. Juga disebut sebagai orang yang zalim. Yang menganiaya diri sendiri. Merugikan hidupnya sendiri. Bagaimana mungkin kita dapat memahami hidup bila kita menolak adanya jalan hidup ?

Dia adalah Cahaya ! Absennya cahaya pada diri manusia menyebabkan munculnya setan/iblis, kemarahan, keputusasaan, sifat-sifat destruktif dan kebejatan (Gary Zukav, 1990). Absennya cahaya berarti hidup dalam kegelapan. Tiada cinta kasih. Dan hidup tanpa cahaya, meski mata tak buta, tapi tak dapat digunakan untuk melihat. Namun bilamana cahaya terlalu terang, manusia pun tak akan mampu melihat apa-apa. Maka, kehadiran cahaya dibutuhkan tahap demi tahap. Setiap jenis kegelapan harus diterangi dengan cahaya yang sesuai. Bukankah gelap yang diselimuti kabut memerlukan cahaya kuning !

Yang Ganjil merupakan sumber bagi yang genap. Bukan sebaliknya ! Yang Ganjil adalah realitas. Yang genap hanyalah bayang-bayang-Nya. Dia itu Ganjil. Unik ! Karena itu, kata-kata tak pernah bisa melampaui-Nya. Kata-kata tak dapat mengungkapkan hakikat-Nya. Kalau kata-kata dapat mengungkap hakiki-Nya, Dia tidak Ganjil lagi. Dia tidak dapat didekati, kecuali dengan cinta sejati, mahabbah. Dia itu Ganjil. Cinta itu Ganjil. Maka, Dia adalah Cinta. Dan, hanya dengan mewujudkan ”cinta”, kita dapat mendekati Sang Cinta.

Yang Ganjil adalah Diri-Nya. Yang genap adalah alam semesta. Karena, alam semesta merupakan perwujudan dari ying dan yang. Alam semesta merupakan paduan dari maskulinitas dan feminitas, Kejantanan dan keperempuanan. Keperkasaan dan kelembutan. Paduan dari unsur positif dan negatif. Sedangkan Dia…., bukan laki-laki, juga bukan perempuan ! dilihat dari sudut keperkasaan-Nya, disebut huwa. Dilihat dari kelembutan-Nya, disebut Hiya. Dalam khazanah sufi jawa, tarikan nafas diiringi dengan menyebut nama-Nya ”hu”. Dan, hembusan nafas diiringi dengan menyebut nama-Nya ”ya”. Dia Ganjil, karena Dia bukan huwa dan bukan hiya. Dia, Ganjil, karena huwa dan hiya merupakan wajah-Nya ! Oleh sebab itu, kemana saja kita menghadapkan wajah kita, maka sesungguhnya kita senantiasa menghadap kepada Wajah-Nya (QS. Al-Baqarah 2 : 115). Bagi yang masih berada dalam kegelapan, yang ditatap bukan wajah-Nya, melainkan benda.

Bagi yang masih dalam kegelapan, apa yang dilihatnya adalah benda. Karena itu, lingkungan hidup pun semata-mata diperlakukan sebagai benda. Dan, karena benda-benda tersebut dieksploitasi untuk kesenangan hidupnya belaka, maka benda-benda itu beralih fungsi menjadi berhala. Namanya berhala, ya merusak sendi-sendi kehidupan penyembahnya. Lain halnya dengan mereka yang sudah berada di alam terang. Semua yang dilihatnya adalah Wajah Allah. Misalnya, ketika melihat uang, maka yang disaksikan adalah Wajah-Nya. Maka, uang diperlakukan dengan benar dan wajar. Sedangkan bagi penyembah berhala, uang dijadikan tuhan. Jelas beda bukan ?

Sudah saatnya kita lampaui yang genap dan bergegas menuju Yang Ganjil. Kita keluar dari kegelapan menuju yang terang. Meninggalkan thagut/hawa nafsu (ego) menuju Yang terang. Menuju Tuhan. Kita harus sadar bahwa tujuan kita adalah Tuhan. Tujuan hidup ini bukan agama atau surga ! Agama hanyalah sarana. Alama semesta, bumi dan langit prasarananya. Surga hanyalah wahana untuk menuju-Nya. Maka, kita jangan sampai keliru. Manusia memang dibentuk dan ditumbuhkan dalam kegelapan. Seperti biji tumbuhan, ditanam dan ditimbuni tanah. Beberapa hari kemudian biji tumbuh dan muncul di permukaan tanah. Biji tumbuh mencari cahaya. Manusia pun demikian. Dibentuk di alam yang gelap yaitu diperut ibu. Setelah jabang bayi lahir dia pun membutuhkan cahaya atau kesadaran, tahapan-tahapan kesadaran (keluar dari kegelapan-kegelapan) sampai bangkitnya kesadaran sejati. Kesadaran yang menemukan Cahaya di atas Cahaya yaitu ”jalan yang lurus” Kebenaran Sejati-Sang Cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar