Laman

Minggu, 30 Juni 2013

Jalan Menuju Hakikat

  “Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya” (Al-Hadits)



Kognisi Diri

Beberapa hal berikut ini yang perlu disebutkan dalam rangka kognisi diri:
Pertama: Dzat manusia terbentuk dari dua substansi: Substansi cahaya yang membentuk nafs dan substansi gelap yang membentuk jasad. Nafs, adalah hidup, berakal, bekerja dan aktif: sedangkan jasad, adalah mati, jahil, dan pasif.
Kedua: Kesempurnaan, keutamaan, dan kelebihan atas yang lain, dapat diperoleh manusia hanya dengan jalan pengetahuan dan pengamalan terhadap kemestiannya, bukan sesuatu yang lain.
Ketiga: Pengetahuan yang mengantarkan manusia untuk memperoleh keutamaan dan kesempurnaan serta dengan memilikinya akan menaikkan manusia dari kesejajaran hewan-hewan sampai derajat malaikat muqarrabin, bukanlah setiap ilmu (baca; sembarang ilmu). Betapa banyak ilmu dan pengetahuan yang menjadi karya ilmuan tapi hanya menyibukkan para pembacanya, sebab isi dan kandungannya tidak lebih hanya semacam ungkapan-ungkapan perkataan. Adapun ilmu dan makrifat yang bermanfaat di akhirat hanyalah ilmu dan makrifat yang ulama akhirat memberikan perhatian sangat besar terhadapnya, sementara ulama dunia membelakanginya, yakni pengetahuan dan makrifat terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, kitab-kitab suci-Nya, dan para Nabi-Nya (Insan Kamil). Juga pengetahuan terhadap hari kiamat (eskatologi), nafs manusia serta bagaimana nafs mengalami kesempurnaan dan kenaikannya -dari posisi kehewanan- mendapatkan kondisi fana sampai pada tataran malakut dan ruhani yang langgeng dan abadi.
Keempat: Kesempurnaan ilmu dan makrifat demikian ini tidak mungkin diperoleh kecuali dengan jalan riadah dan kesungguhan syar’i serta keilmuan dan menjaga syarat-syarat khusus. Dan kemungkinan untuk meraihnya terbuka lebar bagi setiap orang, namun karena hanya sedikit yang mengarunginya dengan sungguh-sungguh maka hanya sedikit orang yang berhasil menggapainya.
Untuk memahami ungkapan-ungkapan di atas dengan baik, kami menjelaskannya dalam bentuk suatu contoh:
Nafs (jiwa) manusia dalam mempersepsi topik-topik benar dan hakikat sesuatu, berposisi sebagai cermin yang berhadapan dengan gambaran-gambaran ma’lumât (hal-hal yang diketahui). Sementara sebab tak terlihatnya suatu gambaran dalam cermin, ada lima hal:
Cermin masih belum dalam bentuk sempurnanya, misalnya bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatannya sudah tersedia, tapi cermin masih belum dibuat.
Terkadang cermin telah jadi, tapi kotoran, karatan, dan debu mengenainya (menutupinya).
Dikarenakan kita tidak memposisikan cermin pada posisi dimana gambar (rupa) ingin disaksikan, misalnya obyek dan benda yang ingin disaksikan berada dibelakang cermin.
Antara cermin dan benda terdapat sesuatu –misalnya tirai- sebagai penghalang.
Kita tidak mengetahui secara pasti posisi dimana sesuatu yang menjadi obyek perhatian di arahkan, sehingga cermin kita letakkan ke arah tersebut.

Demikian juga seperti lima perkara ini tentang substansi nafs manusia, dimana ia memiliki kesiapan sebagai sebuah cermin bagi tajalli gambaran hakikat Hak Swt. Oleh karena itu, langkah mendasar yang dibutuhkan untuk mendapatkan ilmu dan makrifat Ilahiah adalah mengenal diri dan nafs kita terlebih dahulu. Bahwa nafs adalah suatu substansi cahaya, hidup, berakal, bekerja, aktif, dinamis, dan abadi. Dari dimensi-dimensi yang dimilikinya itu, ia memiliki pelbagai kesiapan untuk menyerap asma dan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: Takhallaqu Bi Akhlâqillah (Berakhlaklah dengan akhlak Allah). Namun tentunya dengan syarat ia harus memiliki kebersihan dan kesucian, sehingga dimensi-dimensi yang dimilikinya tersebut dapat bekerja dengan baik dan sempurna dalam berhadapan dengan cahaya-cahaya Ilahiah yang senantiasa terpancar di alam makro kosmos dan mikro kosmos.


Kemungkinan Musyhadah Alam Gaib

Tidak diragukan, para pembesar agama-agama –dalam hal ini para nabi As- dengan perbedaan tingkatan yang mereka miliki, mempunyai hubungan dengan alam metafisika (baca; alam gaib) dan memiliki informasi dan pengetahuan tentang perkara-perkara batini. Namun masalahnya adalah apakah maqam dan kedudukan ruhani ini hanya terkhusus bagi mereka? Apakah ia merupakan pemberian Tuhan yang hanya terbatas bagi mereka ataukah orang-orang lain yang mengikuti jalan ilmu, makrifat, dan amali mereka, juga berpeluang untuk menggapainya?
Dengan kata lain, apakah informasi dan pengetahuan terhadap perkara-perkara batini dan rahasi-rahasia gaib terbatas hanya bagi para nabi As dan orang-orang lain yang berada di alam materi ini tidak mampu mendapatkan jalan tersebut kecuali setelah mereka mati, ataukah maqam tersebut merupakan perkara iktisabi (maksudnya dapat diperoleh dengan berusaha dan berupaya) dan orang-orang lain juga berpeluang meraihnya? Tentunya jawaban kita dalam hal ini adalah bahwa orang-orang lain juga mampu mendapatkan jalan kepada rahasia-rahasia alam.
Salah satu argumennya adalah; hubungan alam materi (fisika) dengan alam metafisika, hubungan sebab dan akibat serta sempurna dan kurang. Dan kita menamakan hubungan ini dengan hubungan zhahir dan batin.
Sebagaimana kita alami bahwa zhahir secara daruri kita saksikan, sementara penyaksian zhahir tidak bisa kosong dari penyaksian batin, sebab keberadaan zhahir adalah gradasi keberadaan batin dan merupakan manifestasinya; karena itu, batin juga tersaksikan secara aktual ketika zhahir tersaksikan. Dan sebagaimana zhahir merupakan batasan dan manifestasi batin maka ketika manusia mengenyampingkan batasan ini dan bersungguh-sungguh (mujahadah) untuk mengabaikannya, tidak diragukan dia akan menyaksikan yang batin.
Dengan kata lain alam materi ini adalah akibat dari alam mitsal, yakni jika kita ingin dalam bentuk suatu tangga naik ke atas maka kita dari alam materi akan naik ke alam mitsal. Dan alam mitsal ini, sekarang juga bersama kita, ia maujud secara aktual saat ini. Oleh karena itu, hubungan alam zhahir dengan alam batin adalah hubungan akibat dengan sebab. Seperti konsepsi yang ada di akal manusia dengan tulisannya. Manusia, ketika sedang menulis, secara beruntun dia mengkonsepsi dan menuliskannya. Dan jika sedetik dia berhenti mengkonsepsi (sesuatu) maka dia juga akan berhenti menuliskan sesuatu.
Pada hakikatnya dalam konteks ini juga berlaku sistem sebab dan akibat. Zhahir yang disaksikan ini, ia sendiri keberadaannya tegak atas dasar batin. Dan meskipun pada dasarnya batin juga tersaksikan, tapi kita tidak melihatnya. Ketika kita menyaksikan zhahir, batin juga secara aktual tersaksikan oleh kita. Jika seseorang penglihatan batinnya terbuka maka tidak mungkin penyaksian zhahirnya tidak membawanya pada penyaksian batin; sebab wujud zhahir tidak lain merupakan bentuk dan gambaran dari wujud batin. Jadi zhahir itu adalah batin yang bertajalli dan memanifestasi. Karena itu, dengan penyaksian alam materi ini maka batin juga tersaksikan.
Zhahir adalah batasan batin. Pada hakikatnya alam batin terbatasi dengan alam zhahir. Jika seseorang mampu dengan mujahadah nafs memecahkan batasan ini dan tidak menghiraukannya maka dia niscaya akan menyaksikan batin dari alam ini.
Sebagaimana nafs mempunyai kesatuan dengan badan, maka di satu sisi nafs memandang dirinya adalah badan itu sendiri. Namun ketika badan dari jalan penginderaannya menyaksikan nafs maka dia menyangka dirinya terpisah dari nafs, dan ketika persangkaan ini mengambil bentuk maka nafs berhenti pada tataran badan dan melupakan tingkatannya yang tinggi. Tingkatan tinggi setiap orang adalah alam mitsal dan alam akalnya. Dan nafs, ketika melupakan suatu tingkatan dari tingkatan-tingkatannya maka dia akan melupakan juga kekhususan-kekhususan yang terkhususkan tingkatan tersebut dan alam yang terkhususkan untuknya; akan tetapi pada saat yang sama dia tetap menyaksikan inniyyah dan hakikat dirinya, yakni akunya. Penyaksian ini adalah daruri dan tidak dapat terpisahkan.
Oleh karena itu, dengan terputusnya aku dari badan maka tidak terdapat lagi tirai penghalang. Berasaskan ini, jika seseorang kembali kepada nafs dan hakikat dirinya dengan ilmu dan makrifat serta amal baik, niscaya hakikat nafs, tingkatan-tingkatannya, maujud-maujud dan rahasia-rahasia batin alam akan dia saksikan.
Jadi jelaslah bahwasanya manusia selain para nabi As dan maksumin As, juga mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan terhadap alam metafisika (alam gaib) ketika dia masih hidup di alam materi ini, yakni bukan hanya hakikat-hakikat yang tersembunyi dan rahasia itu baru mereka bisa saksikan setelah kematian natural dialaminya.


Musyahadah Batin Dalam Al-Qur’an dan Riwayat

Untuk mengakhirkan bahasan ini kami akan menukilkan sebagian dalil-dalil nakli yang mendukung pandangan tersebut di atas. Bukti dan dalil ini akan memberi kesaksian bahwa manusia mampu menyaksikan rahasia-rahasia dan batin alam sejak dalam kehidupannya di alam materi ini.
Ayat al-Qur’an menyebutkan: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dia adalah Hak. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi syahiid atas segala sesuatu? Ingatlah, sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. Fussilat [41]: 53-54) Sebagian mufassir seperti Allamah Thabathabai menafsirkan bahwa kata syahiid dalam ayat ini tidaklah bermakna syaahid, tetapi bermakna masyhuud, dengan qarinah bahwa dalam ayat ini disebutkan tentang Tuhan memperlihatkan tanda-tanda-Nya sehingga jelaslah Dia Hak Swt.
Dan ayat al-Qur’an: “Dan milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Maha luas, Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah[2]: 115)
Sebab Tuhan, Dialah yang awal dan akhir dan Dia pula yang zhahir dan batin maka ke mana pun maujud-maujud ini mengarahkan pandangnnya, yang mereka saksikan adalah wajah-Nya, apakah itu yang zhahir ataukah yang batin.
Terdapat sebuah riwayat dari Rasulullah Saw: bahwa beliau masuk masjid pada waktu subuh, di dalam mesjid beliau menyaksikan seorang pemuda kurus namun penuh cahaya di wajahnya duduk di salah satu sudut masjid. Rasulullah bertanya: Bagaimana kondisi anda pada subuh ini? Pemuda itu menjawab: Saya pada subuh ini dalam kondisi yakin kepada Allah Swt.


Bertanya Rasulullah tentang kondisi Zaid
Bagaimana pagi subuh ini kau lalui wahai sahabat sejati?
Berkata Aku hamba yang yakin
Bertanya mana bukti keyakinan yang menakjubkan itu?
Berkata aku menyaksikan makhluk-makhluk penghuni langit
Dan aku melihat dan menyaksikan Arasy dan para penghuninya.


Diriwayatkan bahwa Haris bin Malik berkata kepada Nabi Saw: “Ya Rasulullah, aku melihat neraka jahanam dan penghuninya dan aku melihat surga beserta penghuninya dan aku mendengar suara-suara mereka” (Ushul al-Kafi, Jld. 2, Bab Hakikat al-Iman wa al-Yaqin)
Imam Ali As dalam khutbahnya menta’birkan kelompok manusia seperti ini dengan ungkapannya: “Mereka ada di alam dunia ini, menyaksikan Surga seakan-akan mereka juga sedang ikut menikmati keindahannya”. (Nahjul Balagah, Khutbah 193)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar