Laman

Jumat, 14 Maret 2014

KEWAJIBAN BERMAZHAB


Mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan Syafi'i, demikian guru guru kita dan guru guru mereka, sanadz guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanadz mereka muttashil hingga Imam Bukhori, bahkan hingga Rosulalloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam, bukan orang orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya,
Benar bahwasanya kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di Makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan Madzhab Hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri. Beda dengan sebagian muslimin masa kini yang gemar mencari yang aneh dan beda, tak mau ikut jama'ah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yg lain. Hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.
Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena Qoidah syari'ah adalah Maa Yatimmul waajib illaa bihi fahuwa wajib. Yaitu apa apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.
Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?
Tentunya mubah saja, namun bila kita akan sholat fardlu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?
Dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk sholat yang wajib.
Demikian pula dalam syari'ah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syari'ah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rosulalloh Shollallohu 'alaihi wasallam, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib.
Karena kita tak bisa beribadah hal hal yang fardlu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya. Dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya. Ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab Syafi'inya. Demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab Syafi'i, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain.
Sebagaimana suatu contoh kejadian ketika Zeyd dan Amir sedang berwudlu, lalu keduanya ke pasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan sholat, maka Zeyd berwudhu dan Amir tak berwudluu.
Ketika Zeyd bertanya pada amir, "mengapa kau tak berwudlu? bukankah kau bersentuhan dengan wanita?"
Maka Amir berkata : "Aku bermadzhabkan Maliki dan madzhab Maliki tak batal wudhu bila bersentuhan dengan wanita."
Maka zeyd berkata : "wudlu mu itu tak sah dalam madzhab Maliki dan tak sah pula dalam madzhab Syafi'I, karena madzhab Maliki mengajarkan wudlu harus menggosok anggota wudlu, tak cukup hanya mengusap, namun kamu tadi berwudlu dengan madzhab Syafi'i, yaitu mengusap. Dan lalu dalam masalah bersentuhan kamu ingin mengambil madzhab Maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab Syafi'i."
Demikian contoh kecil dari kesalahan orang yang mengatakan bermadzhab tidak wajib.
Mengenai ucapan para Imam Imam itu adalah untuk kalangan para mujtahid, mereka yang sudah melewati derajat Al Hafidz, yaitu pakar hadits, yaitu yang telah hafal 100.000 hadits berikut sanadz dan hukum matannya, maka selayaknya jangan sembarang mengekor saja, Tapi lihat dulu sumber sumbernya yang benar, karena ia ahli dalam hadits, maksudnya adalah barangkali ada hal yang perlu dibenahi dari imam imam itu maka benahilah..
Sebagaimana Imam Bukhori, ia hafal 600.000 hadits berikut sanadz dan hukum matannya saat usianya belum mencapai 20 tahun, orang seperti ini mesti terjun untuk meneliti hadits, jangan ikut ikutan fatwa para Imam Imam lainnya karena ia mengerti tentang hukum hadits.
Beda dengan wahabi salafy konyol masa kini, mereka tak hafal satupun hadits disertai sanadz dan hukum matannya. Karena satu hadits pendek saja kalau disertai sanadz dan hukum matannya bisa jadi dua halaman panjangnya, dan mereka wahabi itu tak hafal satupun hadits berikut sanadz dan hukum matannya, mereka cuma nukil dari buku buku yang ada.
Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 (satu juta) hadits berikut sanadz dan hukum matannya, dan ia adalah murid Imam Syafii. Sahabat bisa bayangkan Jika Imam Ahmad hafal 1 juta hadits namun ia hanya sempat menulis sekitar 20 ribu hadits saja, maka sekitar 980.000 hadits yang ada padanya sirna ditelan zaman.
Imam Bukhori hanya mampu menulis sekitar 7.000 hadits saja, lalu sekitar 593.000 hadits lainnya sirna di telan zaman. Maka yang tersisa adalah fatwa fatwa mereka pada murid murid mereka.
Lalu kita akan ikut siapa???
Akankah kita berpegang pada buku hadits yang ada di masa kini yang tidak mencapai 1% dari hadits yang ada dimasa lalu???
Atau berpegang pada fatwa fatwa murid murid para imam itu yang telah lengkap menjawab seluruh cabang masalah???
Kita harus mengikuti siapa???
Tentunya kita mengikuti para Imam itu karena tahu betul merekalah ahli hadits. Kita tak tahu ratusan atau jutaan hadits itu karena sudah tidak ada.
Kalau kita bandingkan maka pendapat para wahabi itu mereka ingin membuat madzhab baru dengan patokan 1% hadits yang ada, dan menjatuhkan fatwa para imam imam tersebut...
Al-bani tidak sampai ke derajat Al-hafidz (hafal 100.000 hadits dengan sanadz dan hukum matannya). Ia hanya menukil nukil, dan ia sendiri tak punya sanadz hadits. Ia hanya baca dari sisa sisa hadits yang ada lalu berfatwa menentang para Imam Ahlussunnah waljama'ah.
Di bawah Imam Syafi'i ada ribuan AL-Hafidz yang menelusuri fatwa Imam Syafi'i dan setuju. Dibawah Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam imam lainnya pun demikian...
Inilah hebatnya Imam Imam Ahlussunnah Wal Jama'ah, semua berasal dari satu rumpun, Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid Imam Syafi'i, dan Imam Syafi'i adalah murid Imam Maliki, dan Imam Maliki adalah sezaman dengan Imam Hanafi, keduanya belajar dari Tabi'in dan shohabat Rosulalloh shollallohu 'alaihi wasallam, dan para shohabat berguru pada Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam. Demikian ribuan para Hafidzul Hadits dari generasi ke generasi hingga kini dalam satu rumpun besar Ahlussunnah Wal Jama'ah.
Muncullah sempalan pada akhir zaman ini yang menentang mereka, dan memisahkan diri dari Rumpun besar Ahlussunnah Wal Jama'ah dari 4 madzhab besar ini, dan Rosulallohu shollallohi 'alaihi wasallam bersabda : "Barangsiapa yang memisahkan diri dari Jama'ah Muslimin sejengkal saja, lalu ia wafat maka ia mati dalam kematian jahiliyyah." (Shohih Bukhori)
قال صلى الله عليه وسلم "اتبعوا السواد الاعظم" ولما اندرست المذاهب الحقة بانقراض ائمتها الا المذاهب الاربعة التي انتشرت اتباعها كان اتباعها اتباعا للسواد الاعظم والخروج عنها خروجا عن السواد الاعظم. اھ
Nabi Shollallohu 'alahi wasallam. bersabda: "Ikutilah mayoritas (umat Islam)."
Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas. (Muhammad Bahith Al-Muthi’i, Sullam Al-Wushul Syarah Nuhayah Al-Sul, Mesir, Bahrul Ulum,Jilid III, h. 921 dan jilid IV h. 580 dan 581)
حدثنا العباس بن عثمان الدمشقي . حدثنا الوليد بن مسلم . حدثنا معاذ بن رفاعة السلامي . حدثني أبو خلف الأعمى قال سمعت أنس بن مالك يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم : يقول إن أمتي لا تجتمع على ضلالة . فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم
"Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham)" (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al-Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al-Hafidz As-Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar