Laman

Rabu, 23 April 2014

Bakhil dan Cinta Harta

Imam Al-Ghazali
Bakhil adalah penyakit hati yang sangat kronis dan riskan. Allah swt. berfirman: “Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.s. Al-Hasyr: 9).
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.” (Q.s. Ali Imran: 180).
“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir...” (Q.s. An-Nisa’: 37).
Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah sifat bakhil, karena sesungguhnya sifat bakhil itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kamu.”
Sabdanya pula, “Sifat dermawan adalah pohon yang tumbuh di surga, dan tidak akan masuk surga kecuali orang yang dermawan.
Sedang sifat bakhil adalah pohon yang tumbuh di neraka, maka tidak akan masuk neraka kecuali orang yang bakhil.” Sabda Rasul saw selanjutnya, “Ada tiga hal yang membinasakan:
sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti dan mengagumi diri sendiri.” (H.r. Thabrani).
Sabdanya pula, “Sifat yang paling jahat bila ada pada seseorang ialah sifat kikir yang menggelisahkan dan sifat pengecut yang menjerumuskan.”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah murka kepada orang yang bakhil dalam hidupnya, dan senang kepada orang dermawan di saat meninggalkannya.”
Dan sabdanya, “Dermawan yang jahat lebih baik dan disukai Allah daripada ahli ibadat yang bakhil.”
Sabdanya pula, “Dua perangai tidak akan berpadu pada diri seorang Mukmin: sifat kikir dan perangai yang jelek.”
Asal-Usul Bakhil
Sesungguhnya sumber sifat bakhil itu lantaran cinta harta, sebagai sifat tercela. Dan orang yang tidak mempunyai harta tidak akan tampak kebakhilannya dengan keengganan bersedekah, tetapi akan tampak dengan adanya orang yang cinta harta.
Betapa banyak orang berderma, tetapi hatinya sangat terpaut dan cinta pada harta,
sehingga bila berderma, yang diharapkannya adalah agar dirinya disebut dermawan.
Ini pun tercela dalam agama. Karena cinta dunia membuat hati lupa berdzikir kepada Allah, berpaling pada kepentingan duniawi, dan tidak suka pada kematian yang merupakan wahana bertemu Allah swt.
Allah swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.” (Q.s. Al-Munafiqun: 9).
“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) ...“ (Q.s. At-Taghabun: 15).
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (Q.s. At-Takatsur: 1).
Rasulullah saw. bersabda dalam beberapa hadis beliau: “Janganlah kamu terbiasa menjadikan barang-barang antik mahal sebagai perabot rumahmu, agar kamu tidak tergiur pada dunia!”
Suatu ketika beliau ditanya, “Siapakah ummat Anda yang paling buruk?” Beliau menjawab, “Para hartawan.” Sabdanya, “Barangsiapa menumpuk harta melebihi kebutuhannya berarti dia telah mengambil kematiannya sendiri tanpa disadari.”
Seseorang berkata kepada Rasul saw, “Wahai Rasulullah,
sungguh aku tidak suka kematian.”
“Apakah engkau punya harta?” tanya Rasul saw.
“Benar,” jawab orang itu.
“Kemarikan hartamu! Sebab hati seseorang dibebani hartanya. Jika didatangkan harta itu, ia senang untuk mendapatkannya. Jika diundurkan harta itu, ia suka untuk diwariskan.”
Rasul saw bersabda, “Jika seorang hamba meninggal dunia, malaikat berkata, Apa yang dibawa?’
Hamba berkata, ‘Apa yang diwariskan’?”
Sabdanya pula, “Celaka si hamba dirham, celaka si hamba dinar. Celaka dan hina! Apabila terkena duri tidak akan bisa dicabutnya.”
“Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang saleh.”
Sabdanya, “Dunia adalah ladang akhirat.”
Bagaimana harta sepenuhnya tercela ? Sedang hamba itu bepergian menuju Allah swt, dan kehidupan dunia adalah salah satu fase perjalanannya, fisiknya adalah kendaraannya?
Dapatkah melakukan perjalanan menuju kepada Allah tanpa harta, dan kuatkah fisik menjadi kendaraan tanpa makan dan pakaian? Tentu saja tidak!.
Tanpa harta, orang mustahil dapat memiliki dan mengenakan pakaian, serta makan . Tanpa makan dan pakaian, orang tidak mungkin mampu untuk melakukan perjalanan menuju Allah swt.
Jika hal ini dapat dipahami, seseorang tidak mungkin akan menumpuk kekayaan dan harta melebihi kebutuhannya sebagai bekal perjalanan. Jika mampu seperti itu, dia akan meraih makna kebahagiaan sejati.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw. Kepada Aisyah r.a, “Hai Aisyah, bila engkau ingin bersamaku di Surga, ambillah dunia sekadar kebutuhan bekal seorang musafir, dan jangan terbiasa memperbarui pakaian serta menanggalkannya hingga engkau menambalnya!”
Rasul saw. bersabda, “Ya Allah, jadikanlah makanan pokok keluarga Muhammad itu sekadar cukup menahan lapar. Bila lebih dari cukup akan binasa!”
Sabdanya pula, “Siapa yang mengambil harta dunia lebih dari kebutuhannya, berarti ia mengambil kematian dan kebinasaannya, sedang ia tidak mengerti.”
Sebagai musafir, bila kita mengambil dunia melebihi kebutuhan sebagai bekal perjalanan, kita pun akan binasa karena terlalu berat memikul beban bekal tersebut. Pada akhirnya justru menghambat perjalanan kita dan bahkan tidak akan sampai ke tujuan semestinya. sesungguhnya mengambil dan menumpuk harta melebihi kebutuhan, dapat membinasakan diri, hal itu ditinjau dan tiga sisi:
Pertama: Bahwa menumpuk harta itu cenderung menyeret seseorang ke tebing kedurhakaan dan maksiat. Sebab, ujian dengan kemewahan jauh lebih sulit
daripada dengan kesengsaraan. Dan sabar dalam kondisi mampu itu lebih sulit.
Kedua: Cenderung mendorong seseorang untuk hidup berfoya-foya terhadap hal-hal yang memang halal, yang menyebabkan badan gemuk, dan tidak mungkin ada kesabaran di sana. Tidak mungkin pula membiasakan foya-foya itu, kecuali didukung oleh orang lain, yang kelak menjerumuskan pada kezaliman. Tentunya tindakan seperti itu mengarah pada kemunafikan, kebohongan, riya’, permusuhan, dendam dan kemudian melahirkan
bencana-bencana. Karenanya, Nabi saw. memperingatkan, “Cinta dunia itu pangkal segala kesalahan.”
Ketiga: Cenderung alpa dzikir kepada Allah swt. Padahal mengingat Allah merupakan asas kebahagiaan dunia dan akhirat. Di dalam mencari dan mengembangkan harta kekayaan, hati akan dirisaukan oleh beragam pemikiran yang berkecamuk terutama tentang bagaimana cara memperoleh, memelihara dan mengeluarkan serta mengembangkannya. Semua pemikiran-pemikiran ini dapat menyuramkan hati, dan
melalaikan dzikir sebagaimana firman-Nya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (Al-Qur’an).
Kriteria Cukup
Anda, barangkali ingin mengetahui seberapa ukuran kecukupan itu, dan Anda katakan, “Tak ada orang kaya, kecuali selalu menyangka bahwa kekayaan yang ada di tangannya masih di bawah ukuran cukup.”
Ketahuilah bahwa kondisi darurat itu, bila yang dibutuhkan secara mendesak adalah makan dan pakaian saja. Bila Anda meninggalkan pakaian elok, dalam setahun Anda cukup dengan dua dinar bagi musim dingin dan musim panas. Anda memakai pakaian kasar yang bisa Anda pakai untuk menahan panas dan dingin.
Jika Anda meninggalkan makanan yang lezat-lezat dan rasa kenyang, cukup satu mud sehari. Sehingga setahun cukup 500 kati. Lauk-pauknya bila minimal cukup tiga dinar setahun dengan perhitungan harga sedang murah. Karenanya, setahun, Anda cukup biaya lima dinar dan 500 kati. Perkiraan ini kami hitung bagi bujangan.
Jika Anda berkeluarga, Anda mengukur masing-masing anggota keluarga bagiannya sama dengan di atas. Bila Anda pekerja, dan hasilnya sudah cukup untuk kebutuhan sehari, berhentilah, sisa waktunya untuk ibadat hari itu. Kalau Anda masih tambah lagi, Anda sudah tergolong ahli dunia. Apalagi pada zaman seperti saat ini ketika hati telah bergeser dan kikir merajalela, sementara kebutuhan orang-orang yang miskin terabaikan. Kadar seperti di atas lebih baik daripada meminta-minta. Dengan syarat, Anda memang tidak ingin kelaparan dan kedinginan, agar terlepas dan keterlantaran. Disamping itu Anda menghindari maut dan tidak senang bila tersia-sia. Keterlantaran yang menjadi motif Anda mendapatkan makanan sama seperti waktu kosong untuk istirahat, semata karena Anda maksudkan dalam keadaan darurat. Sebab Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah engkau membuat keterlantaran, sehingga engkau menjadi cinta dunia.”
Ketika Anda inginkan, dalam waktu kosong untuk keperluan keagamaan, berarti Anda adalah seorang musafir yang berbekal, bukan orang yang berhenti di atas kesia-siaan.
Sebagian orang memang tidak menerima kriteria saya di atas, kecuali dalam keadaan sulit dan paceklik. Tidak berdosa, menurut agama, lebih dari kriteria di atas, sebab Juga tidak tergolong pemuja dunia dan tidak keluar dan barisan generasi akhirat, serta mereka yang pergi kepada Allah swt. sepanjang bertujuan untuk menolak dan penyakit/bahaya yang mengganggu dzikir dan ibadat. Bukan untuk maksud berfoya-foya di dunia.
Jika ada kelebihan makanan, hendaknya diberikan kepada mereka yang terlantar dan para janda. Toleransi demikian diperkenankan, kecuali untuk berfoya-foya, mengumbar sedekah, atau sekadar menolak bencana pada harta.
Berfoya-foya akan memalingkan diri dari Allah swt. dan akan sibuk dengan dunia. Sedangkan mengumbar sedekah, maka meninggalkan harta lebih baik. Nabi Isa as. berkata, “Wahai pemburu dunia, hendaknya engkau berbuat baik, meninggalkan duniamu, lebih baik dan lebih baik.”
Sedangkan menolak bencana dengan menebar harta, sungguh tak berdasar. Karena, berarti menyimpan su’udzan yang tiada akhirnya. Sebaiknya mendistribusikan harta itu dengan penuh husnudzan kepada Allah swt, terserah kehendak-Nya. Jika memang harta mengandung bencana, pasti kelak Allah
membuka pintu rezeki lain tanpa diduga.
Allah swt. berfirman:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberi jalan keluar, dan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Q.s. Ath-Thalaaq: 2-3).
Kalau kenyataannya tidak demikian, tidak selayaknya hamba meyakini bahwa keselamatan sepanjang hidupnya dan bencana memang sudah digariskan. Namun harus yakin bahwa cobaan itu justru yang bisa mencemerlangkan dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran. Karena itu cobaan pasti dialami oleh para Nabi, para Wali dan sepadannya. Serahkan saja semuanya pada anugerah Allah swt. Bahwa segala musibah itu tidak terjadi melainkan demi kebaikan dan pilihan Anda. Allah-lah yang mengatur segalanya, kerajaan dunia dan kerajaan langit, dan Dia Maha Tahu yang terbaik bagi diri Anda. Apa yang kami sebutkan, bisa lebih dan bisa kurang, tergantung situasi dan zaman. Namun saya yakin, harta itu seperti obat yang bermanfaat, dengan dosis tertentu. Lebih dari dosis akan mematikan atau paling tidak menyakitkan. Anda seharusnya waspada dengan dosis yang ada. Karena melebihi aturan pakai akan membahayakan.
Meminimalkan harta, hanya sedikit menderita seperti pada hari-hari paceklik. Sementara
mereka yang bercita-cita menuju taman Firdaus, tidak merasa berat dengan rasa lapar, karena mereka tahu bahwa kelezatan taman Firdaus itu menurut kadar laparnya.
Kriteria Bakhil
Anda ingin mengetahui kriteria bakhil, sebab terkadang seseorang ragu-ragu apakah ia bakhil atau tidak. Dan banyak perbedaan soal kriteria ini.
Ketauhilah, batasan bakhil adalah mencegah kewajiban (harta) yang digariskan syariat atau menurut harga diri (muru’ah). Anda jangan menduga, orang yang telah menyerahkan harta pada istri dan kerabatnya sesuai dengan kewajiban yang digariskan seorang hakim, namun setelah itu ada kekurangan dalam sesuap makanan bukan tergolong bakhil walaupun hal demikian sesuai dengan syariat.
Arti syariat dalam konteks ini adalah memutuskan pengaduan orang-orang bakhil dengan
ukuran menurut kekuatan si bakhil.
Karena itu Allah swt. berfirman:
“Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir.” (Q.s. Muhammad: 37).
Seharusnya tidak sekadar pertimbangan syara’, namun juga harga diri dan menepis pembicaraan yang kotor. Tentunya menurut kadar masing-masing pribadi dan situasi.Orang yang punya harta, dan dengan hartanya itu ia bisa mencegah caci-maki seorang penyair, tetapi ia tidak melakukannya, bisa tergolong bakhil. Walaupun sebenarnya tidak wajib secara syar’i.
Rasul saw. bersabda, “Sesuatu yang bisa menjaga harga diri seseorang, baginya adalah sedekah.”
Sebenarnya harta itu diciptakan untuk disimpan, namun juga distribusinya mengandung kegunaan. Kegunaan harta yang diberikan, lebih besar ketimbang disimpan. Kalau ia merasa berat memberikan uangnya berarti termasuk bakhil, yang cinta harta. Padahal harta itu tidak ada gunanya untuk disenangi. Maka seharusnya diberikan pada kegunaan yang lebih bermanfaat.
Menjaga harga diri itu lebih utama daripada berfoya-foya dengan makanan. Sedangkan cinta harta dan bakhil, bila dengan sikapnya yang membodohi sariguna harta, berarti lebih bakhil lagi. Hal yang sama jika ia merasa sulit memberikan hartanya, walaupun dengan terpaksa.
Ia baru terbebas dari kebakhilan bila pemberian hartanya layak, sesuai dengan akal sehat dan syariat. Sedangkan derajat orang yang dermawan, adalah bila ia memberikan hartanya melebihi kewajiban syariat dan harga diri.
Terapinya
Barangkali Anda ingin mengetahui terapi yang dapat dilakukan untuk mengobati penyakit bakhil tersebut. Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya penyakit bakhil itu hanya dapat diberantas melalui dua cara: secara ilmiah dan amaliah.
Secara ilmiah Anda harus menyadari bahwa:
1. Sifat bakhil itu dapat membawa kehinaan di dunia dan kebinasaan di akhirat kelak. Harta itu bagaimanapun banyaknya tidak akan menyertai dan tidak pula kita bawa hingga ke liang kubur.
2. Harta adalah milik Allah swt. yang dilimpahkan-Nya kepada diri kita agar dipergunakan pada Jalur-jalur agama-Nya yang paling prinsip dan fungsional.
3. Menahan harta karena ingin berfoya-foya dengannya, merupakan tabiat binatang dan nilainya hanya sementara. Sedangkan menginfakkannya dijalan Allah, merupakan perangai yang bijak dan Pahalanya akan abadi dan berlipat ganda.
4. Dan bila harta itu tidak diinfakkan dengan maksud untuk diwariskan kepada anak-cucu, seakan-akan kita meninggalkan kekayaan kepada mereka dan, sementara kita sendiri menghadap Allah swt. dengan membawa kejahatan.
Ini benar-benar bodoh. Bagaimana tidak, seandainya anaknya kelak rnenjadi anak saleh, pasti Allah swt. mencukupi rezekinya. Namun apabila anaknya fasik, pasti harta itu digunakan untuk kemaksiatan. Justru harta warisan itu menjadi peluang bagi perbuatan maksiatnya. Orangtua tersebut malah menderita, sementara yang lain menikmatinya.
Adapun secara amaliah, maka perlu menempuh dua cara
1. Untuk sementara waktu tidaklah mengapa bila pertama kali merasa tergiur olehpopularitas dan membayangkan mendapatkan balasan lebih banyak, sehingga dapat memotivasi diri untuk senang berinfak.
2. Dengan senantiasa mendisiplinkan diri untuk rajin berinfak, sehingga akhirnya menjadi lapang dan terbiasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar