Laman

Sabtu, 19 Juli 2014

Madrasah Hadhramaut : Penyakit Hasad


Segala puji bagi Allah SWT dengan pujian yang dengannya kami dapat mewujudkan ikhlas yang sesuangguhnya dalam penghambaan dan yang dengannya kami menjadi bagian dari orang-orang yang hatinya terpenuhi oleh cahaya Allah SWT SWT, yang tidak ada lagi tersisa celah sedikit pun bagi syirik di saat-saat melakukan segala perbuatan.
Bila kami katakan bahwa kesombongan (al-kibr) adalah tanda atas kebodohan, riya’ (ar-riya’) adalah tanda atas kepandiran, sesungguhnya hasad adalah permusuhan (mu‘adah) terhadap Allah secara terang-terangan. Naudzu billah!!!
Segala puji milik Allah, Yang mensucikan hati orang-orang yang tulus dalam meraih kesucian, Yang menolong hamba-hamba-Nya di dalam mensucikan hati mereka di jalan ketulusan pencarian terhadap-Nya. Milik-Nya segala puji atas segala yang telah dikaruniakan-Nya, milik-Nya segala puji atas segala yang tengah dikaruniakan-Nya, dan milik-Nya segala puji hingga Allah ridha, dan milik-Nya segala puji setelah ridha.
Ya Allah, limpahkanlah karunia dan kesejahteraan senantiasa atas penghulu kami, Nabi Muhammad, pemilik hati yang paling suci di antara makhluk, dan atas ahli baytnya, shabat-shahabarnya, para tabi‘in, tabi’ut tabi‘in, dan para pengikut mereka, hingga hari Kiamat.
Pada pelajaran yang lalu telah dibahas ihwal menolehkan pandangan kepada hati dengan maksud untuk mensucikannya dari kotoran-kotoran, yang me­nempel padanya dari maksiat dan penyakit-penyakit hati.
Telah lalu penjelasan tentang bagaimana mengobati hati dari penyakit sombong (al-kibr), yang menjadi tanda dari kebodohan pelakunya, demikian pula ten­tang bagaimana mengobati kegelapan penyakit riya’, yang merupakan bentuk peremehan hati terhadap keagungan Allah SWT, dan penolehan hati, karena kebodohan, kepada cinta kedudukan di sisi manusia. Imam Al-Haddad berkata, “Riya’ adalah tanda kebodohan pelakunya. Mengapa?”
Beliau berkata, “Karena ia telah memalingkan ibadahnya kepada Allah kepada makhluk, yang tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula memberikan madharat bagi dirinya.”
Selanjutnya kita akan membicarakan bagaimana melepaskan diri dari hasad, penyakit ketiga dari induk segala penyakit dan maksiat hati.
Bila kembali mengingat pelajaran yang lalu, kalian akan tahu bahwa sombong akan melahirkan penolehan pandangan kepada manusia, karena pada kondisi ini seseorang membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Ia memandang dirinya lebih mulia dan lebih utama dari orang lain. Pandangan ini muncul dari sombong dan merasa lebih tinggi dari orang lain, yang selanjutnya berkembang menjadi riya’, ingin dipandang oleh orang lain. Ia mencari dan menuntut pandangan orang lain kepada dirinya, menuntut orang lain memuliakannya dan mengagungkannya. Ia cinta terhadap kedudukan di antara manusia.
Keadaan semacam ini, bila terus tumbuh berkembang di dalam diri pelakunya, selanjutnya akan berubah menjadi penyakit yang ketiga, yakni hasad.
Hasad, yang merupakan maksiat di antara maksiat-maksiat hati, adalah perasaan berat dalam memandang nikmat atau karunia yang ada di sisi makhluk. Engkau merasa berat bila melihat orang lain memperoleh nikmat dari Allah SWT, baik nikmat duniawi maupun nikmat ukhrawi. Dari mana datangnya perasaan berat semacam ini? Perasaan itu datang karena engkau sibuk untuk meraih dan mendapatkan kedudukan di antara ma­nusia.
Apabila kedudukanmu di antara manusia adalah karena ilmu yang engkau miliki, engkau akan merasa berat bila memandang orang lain yang lebih alim dan berilmu dari dirimu, karena engkau takut orang-orang akan menolehkan pandangan mereka kepadanya, bukan kepada dirimu. Sehingga penyakit yang ada di dalam hatimu itu sampai kepada batas­an bahwa engkau merasa berat untuk melihat adanya nikmat yang Allah berikan kepada selain dirimu. Mengapa? Karena engkau tidak menginginkan orang-orang memandang kepada orang yang mendapat karunia itu. Engkau hanya ingin agar orang-orang memandang kepadamu.
Atau, apabila kedudukan yang engkau harapkan di antara manusia adalah dengan sebab kekayaan yang engkau miliki, atau kemampuan untuk meng-goal-kan proyek-proyek yang mendatangkan pundi-pundi kekayaan, engkau akan merasa berat bila di hadapanmu terdapat orang lain yang juga memiliki kemampuan seperti itu, karena engkau takut hal itu akan membuat pandangan orang-orang tertuju kepadanya, bukan kepada dirimu.
Pada ilmu, kedudukan, pangkat, jabatan, dan pada apa pun itu, penuhnya hati oleh kegelapan cinta terhadap kedudukan di sisi manusia akan melahirkan setelahnya penyakit yang ketiga ini, yakni hasad, perasaan berat melihat nikmat yang ada di sisi makhluk.
Bila kami katakan bahwa kesombongan (al-kibr) adalah tanda atas kebodohan, riya’ (ar-riya’) adalah tanda atas kepandiran, sesungguhnya hasad adalah permusuhan (mu‘adah) terhadap Allah secara terang-terangan. Naudzu billah!!!
Apakah seseorang dapat menerima bahwa dirinya menjadi musuh bagi Tuhan, Yang Maha Pemilik segala kemuliaan? Hasad adalah permusuhan terhadap Allah SWT secara terang-terangan, karena orang yang hasud seolah-olah ia menentang Allah SWT.
“Kenapa Engkau memberi si Fulan?”
Di saat engkau merasa berat untuk melihat adanya nikmat pada seseorang, seolah-olah engkau menentang terhadap Yang memberinya nikmat itu, Allah SWT. Inilah bahaya hasad. Engkau akan se­nantiasa hidup dengan kegelapan hati, yang hatimu merasa berat untuk melihat kebaikan di sisi manusia, dan menentang Allah SWT dalam memberikan karunia-Nya kepada sekalian makhluk-Nya.
Hasad memiliki beberapa macam. Pertama, hasad Iblis (al-hasad al-iblisiy). Yakni berharap hilangnya nikmat dari orang lain meskipun nikmat itu tidak di­harapkan menjadi miliknya.
Seseorang berharap hilangnya nikmat dari orang lain yang ada di hadapannya sekalipun nikmat itu tidak akan menjadi miliknya. Misalkan, seseorang sukses dalam meng-goal-kan suatu transaksi bisnis, engkau berharap agar orang itu mendapat kerugian, sekalipun dirimu tidak dapat melakukan suatu transaksi pun.
“Atasku dan atas musuh-musuhku,” seperti yang dikatakan orang-orang.
Ini hasad Iblis. Dia merasa berat melihat kedudukan yang tinggi dari Allah SWT berada pada ayah kita, Nabi Adam AS. Hasad semacam ini kemudian mem­bawa Iblis kepada menentang Tuhan, Yang Maha Pemilik segala kemuliaan, dengan menolak untuk ber­sujud kepada Nabi Adam AS. Setelah itu, sebagai ganti dari semestinya ia kembali dan bertaubat kepada Allah SWT serta menyesali kesalahannya, yang, bila saja dia bertaubat, niscaya Allah akan menghapuskan dosanya, karena sungguh Allah mahaluas karunia-Nya, kepada Allah justru Iblis mengancam Adam AS dan anak-cucunya. Iblis berkata, “Dia (iblis) berkata, ‘Terangkanlah kepadaku, inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari Kiamat, niscaya be­nar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali se­bahagian kecil." (QS Al-Isra: 62).
Apakah perbuatan Iblis terhadap anak-cucu Adam akan mengembalikan kedudukannya? Apakah dengan itu Iblis akan mendapatkan kembali kedudukan yang telah hilang darinya? Tidak!! Sekali-kali tidak akan pernah kedudukannya itu kembali kepadanya. Disebabkan karena teramat gelap dan hitam pekatnya hasad yang ada di dalam hatinya, Iblis berpaling dari seharusnya memikirkan bagaimana mendapatkan ganti dari kerugian yang dialaminya, dan bagaimana meraih kembali kedudukan yang telah hilang dari dirinya, kepada bagaimana mendatangkan madharat terhadap orang lain yang mendapatkan karunia dan kedudukan dari Allah SWT dan bagaimana melenyapkan karunia yang diraih oleh selain dirinya.
Inilah yang terburuk dan paling hina dari macam-macam hasad.
Bila seseorang terhalang dari ketulusan dan kelapangan hati dan selamanya bersedih hati, niscaya dia tidak akan pernah merasakan nikmatnya ketaatan selama-lamanya. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya munajat kepada Allah SWT. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya dekat dengan Allah, karena dia berhadapan dengan Allah dengan sikap permusuhan terhadap-Nya.
Setelah menjelaskan hakikat hasad dan macam pertama dari macam-macam hasad, yakni hasad Iblis (al-hasad al-iblisiy), pengasuh melanjutkan penjelas­annya tentang macam-macam hasad selanjutnya dan bahaya darinya.
Kedua, harapan terhadap hilangnya nikmat dari orang lain agar nikmat itu beralih kepada dirinya. Seseorang berharap hilangnya nikmat dari orang lain yang berada di hadapanya dan dia berharap agar nikmat itu beralih kepada dirinya. Dia berharap, si Fulan merugi dalam usahanya, agar dirinyalah yang kemudian mendapat keuntungan yang besar. Dia berharap, si Fulan jatuh kedudukannya, agar dialah yang nantinya mendapatkan dan menggantikan kedudukannya.
Seseorang yang memiliki sifat hasad semacam ini berharap hilangnya nikmat dari orang lain agar dirinya yang mendapatkannya. Sifat semacam ini adalah sifat yang buruk dan sesuatu yang dapat me­ngotori hati — wal-‘iyadzu billah, semoga Allah menjauhkan kita dan kalian semua daripadanya. Akan tetapi sifat hasad yang kedua ini lebih rendah keburukannya dari yang sebelumnya.
Ketiga, harapan terhadap hilangnya nikmat dari orang lain agar dia mendapatkannya, namun, jika tidak mendapatkannya, dia tetap rela bila nikmat itu dimiliki orang lain.
Seseorang berharap hilangnya nikmat dari orang lain yang ada di hadapannya dan mengharapkan untuk mendapatkan nikmat itu. Akan tetapi jika tidak ada jalan untuk menggapainya agar menjadi miliknya, dia merelakan nikmat itu menjadi milik orang lain tersebut.
Jenis hasad semacam ini pun buruk, akan tetapi kadar keburukannya lebih ringan dari dua macam hasad sebelumnya.
Keempat, ghibthah. Sesuatu yang tidak dinilai buruk, tapi merasakan berat terhadap nikmat yang ada pada orang lain.
“Mengapa Fulan mendapatkan ini dan itu? Akan tetapi aku tidak berharap agar si Fulan rugi. Aku hanya berharap agar aku pun mendapatkan seperti yang didapatkan oleh si Fulan.”
Inilah ghibthah. Hasad seorang mukmin adalah ghibthah. Seorang mukmin tidak hasad kepada sesamanya, tetapi ia ghibthah.
Apa makna ghibthah kepada orang lain? Maknanya, ia berharap agar mendapatkan nikmat seperti yang didapatkan orang lain, tetapi tidak mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang lain.
Untuk macam yang keempat ini, tidaklah mengapa dimiliki seorang mukmin. Engkau melihat seseorang memiliki suatu kebajikan, misalkan ia telah hafal Al-Qur’an. Engkau merasa berat karena engkau belum hafal, maka engkau pun berharap agar segera dapat hafal Al-Qur’an, tapi engkau tidak merasa berat terhadap saudaramu yang telah lebih dahulu hafal Al-Qur’an. Perasaan berat itu selanjutnya memotivasimu untuk menghafal Al-Qur’an sehingga engkau mendapatkan apa yang ia dapatkan.
Engkau tidak berharap agar nikmat itu hilang dari saudaramu. Ini termasuk bab at-tanafus (saling berlomba). Allah SWT berfirman, "...dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba." QS. Al-Muthaffifin: 26.
Ghibthah adalah sesuatu yang terpuji, karena ini kembali kepada sifat asal manusia, yakni harapan untuk menang, harapan untuk beridentitas, dan harapan untuk maju.
Bila datang ghibthah ke dalam hatimu, tidaklah mengapa. Yang bermasalah adalah pada tiga macam yang pertama, yakni seseorang berharap hilangnya nikmat dari orang lain.
Bahaya di Dunia
Adapun bahaya dan akibat yang ditimbulkan oleh sifat hasud sangatlah besar. Dan tidak hanya terbatas di dunia, tetapi juga di akhirat.
Mengenai bahaya dan akibat sifat hasud di dunia, pertama, orang yang hasud akan senantiasa berada dalam duka dan kesedihan.
Orang yang hasud selalu berada dalam duka selama hidupnya. Karena seseorang yang di hatinya terpenuhi oleh gelapnya sifat hasad tidak pernah suka melihat orang lain mendapatkan nikmat dari Allah SWT. Dia tidak pernah suka bila seseorang terlihat harmonis bersama keluarganya sehingga berusaha untuk menebarkan fitnah, tidak suka bila seseorang mendapatkan nikmat dari kebaikan dunia, tidak suka bila seseorang mendapatkan nikmat berupa ilmu atau kebaikan apa pun.
Selamanya, ketika melihat orang lain mendapat kebaikan, dia akan merasa berat karenanya, sehingga ia pun berharap agar nikmat itu hilang. Orang semacam ini hidupnya miskin. Dia dalam kesedihan sepanjang hidupnya karena karunia Allah tidak pernah terputus selamanya kepada makhluk-Nya. Maka, sepanjang dia melihat karunia dan nikmat Allah di sisi makhluk-Nya, sepanjang itu pula dia se­nantiasa berduka dan bersedih hati sampai akhir umurnya.
Bila saja tidak ada akibat buruk dikarenakan sifat hasad selain hal ini, niscaya cukuplah sebagai bukti dari buruknya sifat hasad. Yang satu ini adalah bah­wa orang yang hasud selamanya bersedih di dunia.
Kedua, orang yang hasud tidak memiliki kawan. Karena hubungannya dengan manusia lainnya sebatas fatamorgana. Orang yang hasud, sekalipun seolah-olah mencurahkan cinta kepada sesama, pasti akan datang saat-saat ketika tampak darinya sikap dan perilaku yang menunjukkan bahwa dia seorang yang hasud terhadap sesamanya sehingga orang-orang pun akan menjauh darinya. Orang yang hasud tidak memiliki kawan. Dia akan hidup terkucilkan sekalipun dia berusaha untuk menutupinya.
Ketiga, orang yang hasud terhalang dari nikmat ketulusan dan kelapangan hati. Ini berlaku di dunia sebelum akhirat. Orang yang hasud tidak akan merasakan makna ketulusan dalam hubungannya de­ngan makhluk lainnya. Setiap kali melihat seseorang mendapatkan sesuatu dari nikmat yang Allah berikan, hatinya merasa berat karenanya. Dia pun gundah dan susah karenanya, di saat orang yang menyambut gembira terhadap datangnya kebaikan pada orang lain merasakan makna ketulusan, karena hubungan yang dibangun bersama sesamanya adalah hubungan yang didasarkan atas cinta terhadap kebaikan bagi sesamanya. Keempat, seorang yang hasud tidak akan mungkin menjadi dai yang meng­ajak kepada jalan menuju Allah SWT. Orang yang hasud tidak akan mungkin mengabdi kepada Islam. Meskipun berusaha untuk melakukan perbuatan yang menggambarkan khidmah terhadap Islam, dia tidak akan dapat menjadi sebab dalam menyampaikan kebajikan kepada segenap makhluk. Karena dasar dalam berdakwah kepada Allah adalah bahwa engkau menyampaikan cahaya iman kepada orang lain. Apa maknanya? Maknanya, engkau me­nyampaikan kebaikan kepada mereka. Apa makna menyampaikan kebaikan kepada mereka? Maknanya, engkau menjadi sebab bagi kebahagiaan mereka. Dan jika di dalam hati terdapat hasad, niscaya akan terasa berat terhadap adanya kebaikan di sisi makhluk. Lalu bagaimana engkau dapat menjadi sebab dalam menyampaikan kebaikan kepada mereka? Syaikh Muhammad As-Sinqithi men­ceritakan satu kisah nyata yang lucu tapi juga ironis. Beliau menceritakan bahwa seorang nonmuslim nonpribumi tinggal di kota Damaskus. Bertahun-tahun lamanya ia berjualan minyak tanah. Setelah lebih dari dua puluh tahun berada di Damaskus, ia merasa saatnya kembali ke negerinya. Lalu ia pun mendatangi seseorang yang terlihat ahli ibadah. Ia datang kepada orang itu dan berkata, “Wahai Tuan, sekarang ini usiaku 60 tahun. Selama aku tinggal di negeri kalian, negeri Islam, aku telah tertarik kepada Islam. Apakah, jika aku masuk ke dalam Islam, Allah akan mengampuniku atas segala yang telah aku perbuat selama ini?”
Orang itu berkata kepadanya, “Enam puluh tahun engkau bergelimang dalam kemaksiatan, dosa, dan berbagai kenistaan... lalu begitu saja ingin lepas dari semua itu dan engkau ingin masuk ke dalam surga? Sulit... hal itu tidak akan mungkin... tidak ada jalan keselamatan bagimu!”
Sampai di situ selesailah permasalahannya, dan orang itu pun mempercayainya. Ia pun kembali ke rumahnya dalam keadaan bersedih dan diliputi duka.
Namun, setelah enam bulan berlalu, hasrat dan keinginan yang kuat di dalam hatinya untuk menetapi jalan kebaikan membawanya untuk datang kepada Syaikh Muhammad As-Sinqithi, yang menceritakan kisah itu.
Nonmuslim itu berkata kepada Syaikh Sinqithi, “Apakah mungkin aku masuk Islam?”
“Baiklah, sekarang ucapkan dua kalimah syahadat!”
“Apakah engkau yakin bahwa itu mungkin untukku?”
“Engkau rela Islam sebagai agamamu dan yakin terhadapnya?”
“Ya”
“Sekarang, ucapkanlah dua kalimah syahadat dan jangan ragu.”
Nonmuslim itu pun bersyahadat dan menangis setelahnya.
Syaikh Sinqithi pun bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
“Aku pergi kepada seorang syaikh sebelum ini, atau seorang yang rupanya seperti seorang syaikh, tapi ia berkata kepadaku, ‘Tidak mungkin ada jalan selamat untukmu...’.” “Siapa dia?”
“Si Fulan di daerah anu...”
Syaikh Sinqithi pun mengunjungi orang yang ditunjukkan oleh nonmuslim tadi.
Setelah bertemu, ia bertanya kepadanya, “Apakah benar beberapa bulan yang lalu ada seorang kelana yang datang kepadamu dan menyatakan bahwa ia hendak masuk Islam lalu engkau katakan kepadanya, ‘Sudahlah, tak ada gunanya... engkau sudah 60 tahun....’
Orang itu menjawab, “Benar.”
“Bagaimana mungkin engkau melakukan hal seperti itu?”
“Allah adalah Tempat meminta pertolongan. Orang ini sudah 60 tahun menghabiskan umurnya dalam keharaman, bersenang-senang dengan perempuan dan segala yang dia inginkan dari dunia, lalu nanti dia akan masuk surga bersama kita?! Ini musykil... Dia akan masuk surga bersama kita?!”
Hikmah dari kisah ini, di dalam kisah ini terdapat tiga masalah, akan tetapi semuanya kembali kepada satu masalah, yakni hasad.
Masalah pertama, dia (“ahli ibadah” itu) tidak menginginkan adanya nikmat bagi orang lain.
Masalah kedua, dia meyakini bahwa dirinya masuk surga. Ini adalah musibah yang kedua. Ujub telah mewariskan kesombongan di dalam hatinya (...dia masuk surga bersama kita?!).
Apakah engkau dapat menjamin bahwa engkau pasti masuk surga?
Masalah yang ketiga adalah sesuatu yang paling dalam. Sesungguhnya dia merasa dirinya rugi bahwa dirinya terhalang dari maksiat. “Bagaimana mungkin orang ini tenggelam dalam maksiat sedangkan aku tidak?” Karenanya dia marah, mengapa orang lain melakukan maksiat sedangkan dirinya tidak.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Tidak lain sebabnya adalah hasad.
Kelima, orang yang hasud terhalang dari nikmat ketaatan kepada Allah SWT.
Bila seseorang terhalang dari ketulusan dan kelapangan hati dan selamanya bersedih hati, niscaya dia tidak akan pernah merasakan nikmatnya ketaatan selama-lamanya. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya munajat kepada Allah SWT. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya dekat dengan Allah, karena ia berhadapan dengan Allah dengan sikap permusuhan terhadap-Nya. “Wahai Tuhanku, kenapa Engkau memberi ini dan itu kepada Fulan dan Fulan?!”
Orang yang hasud menghadapi Allah dengan apa-apa yang tidak disukai-Nya ada di dalam hati hamba-hamba-Nya yang datang kepada-Nya. Ini semua adalah akibat dan bahayanya sifat hasud.
Di akhirat, hasad akan menghanguskan segala kebajikan. Hasad adalah sebab datangnya murka Allah SWT. Hasad adalah sebab tertolaknya seseorang dari rahmat Allah SWT. Tidakkah engkau ketahui bahwa hasad adalah sebab dari terusirnya Iblis?
Setelah pengasuh menjelaskan bahayanya penyakit hasad di dunia, selanjutnya pengasuh menjelaskan ba­haya hasad kelak setelah pelakunya menjumpai Allah SWT di akhirat.
Di akhirat, hasad akan menghanguskan segala kebajikan. Hasad adalah sebab datangnya murka Allah SWT. Hasad adalah sebab tertolaknya seseorang dari rahmat Allah SWT. Tidakkah engkau ketahui bahwa hasad adalah sebab dari terusirnya Iblis? Itulah sebabnya, orang yang hasud akan terusir dari rahmat Allah SWT.
Hasad juga adalah sebab masuknya pelakunya ke dalam neraka. Hasad akan menjadi permulaan hilangnya iman seseorang bila pelakunya tidak menyadarinya – wal ‘iyadzu billah. Bagaimana hasad dapat menjadi sebab tercerabutnya iman dari pelakunya? Karena orang yang hasud senantiasa me­­nentang dan menentang Allah SWT. “Ya Rabb, mengapa Engkau karuniakan kepada Fulan?!” “Mengapa Engkau mudahkan fulan?!” “Mengapa?!” “Mengapa?!!!”
Terhadap Tuhannya, ia menyimpan rasa dalam benaknya, “Ya Rabb, sungguh aku tidak rela dengan apa yang Engkau putuskan!” Kondisi ini bila berke­lanjutan di dalam dirinya, lalu apakah yang tersisa dari imannya? Imannya akan hilang dan tercerabut dari asalnya.
Wahai murid, peniti jalan menuju Allah SWT, masuklah ke dalam hatimu dan periksalah. Terkadang hasad tersembunyi pada nafsu di dalam hati. Berapa kali engkau merasa bahwa dirimu marah terhadap seseorang melampaui batas dalam ucapan yang engkau lontarkan kepadanya hanya karena hal sepele yang tidak perlu berkata keras dan tidak pula berteriak karenanya.
Periksalah, mungkin di dalam hatimu engkau merasakan sesuatu yang berat dari orang yang engkau marahi itu? Engkau hasad terhadapnya pada satu hal sehingga muncul masalah paling kecil namun membuatmu berdiri dan melontarkan kata-kata yang tidak patut kepadanya.
Para ulama hati mengatakan, “Paling buruknya macam-macam hasad adalah hasadnya para ulama, para penuntut ilmu, para dai, dan para salikin, peniti jalan menuju Allah SWT. Mengapa demikian? Karena, semestinya merekalah yang mempergunakan bekal pensucian hati.”
Apabila seorang penuntut ilmu, misalnya, hasad terhadap penuntut ilmu lainnya, niscaya ia akan menanti-nanti kapan penuntut ilmu yang dihasadinya itu melakukan suatu kesalahan. Dan bila ia telah melakukan kesalahan, dia akan menyerangnya dengan serangan yang dahsyat terhadapnya. Karena serangan yang dilakukan itu sesungguhnya bukanlah di­tujukan terhadap kesalahan yang ringan itu sendiri, melainkan untuk membinasakan semua yang datang dan berasal dari sisi penuntut ilmu, orang alim, dai, atau salik, yang dihasadinya itu.
Mengapa demikian? Karena permasalahan yang sesungguhnya adalah permasalahan hasad, bukan permasalahan kritik terhadap kesalahan. Demikian pula halnya dalam perdagangan, jual-beli, dan perniagaan. “Tidak, tidak, tidakk!!.... Aku tidak mungkin percaya kepada si Fulan selama-lamanya!” Mengapa? Pada hari ketika engkau menurunkan barang dagangan ke pasar, orang-orang tidak menemukan masalah apa pun dari si Fulan dalam perniagaannya? Apakah ada kemunngkinan tidak sa­darnya mereka terhadap masalah si Fulan itu karena lupa? Sesungguhnya yang menyebabkan datangnya kemungkinan, mengapa engkau langsung meng­anggapnya tidak amanah atau keji dalam perniagaannya, adalah karena engkau dan si Fulan berada pada satu profesi sebagai pedagang. Bila persaingan telah berlangsung, hasad pun muncul dan datang.
Bila ada seorang petani dan ada petani lain selain dalam satu usaha agrobisnis, misalnya, lalu petani yang kedua melakukan kesalahan dalam salah satu prosedur bercocok tanam yang semestinya hingga memberi pengaruh terhadap panen yang dihasilkan, petani yang pertama akan berkata, “Tidak, jangan kalian percaya kepada si Fulan untuk melakukan tugas-tugas ini dan itu, dia telah melakukan ini dan itu....”
Siapa yang melakukan kecaman dan serangan terhadap petani itu? Yang melakukannya tidak lain adalah petani sepertinya, pada profesi yang sama. Mengapa? Karena petani tersebut merasa berat untuk melihat petani lainnya lebih unggul dan lebih sukses darinya.
Bagaimana mengobati hasad?
Pertama, benci terhadap sifat hasad itu sendiri. Engkau benci sifat ini berada pada dirimu. Akui bahwa sifat hasad ada dalam dirimu dan engkau membenci keberadaanya di dalam dirimu. Biarkan Allah melihat hatimu dan mendapati kebencianmu terhadap hasad di dalamnya. Kebencianmu untuk hasad terhadap orang lain.
Kedua, mendoakan orang yang engkau merasa berat melihat adanya karunia padanya.
Engkau melihat seseorang yang Allah berikan karunia kepadanya berupa nikmat lahir atau bathin lalu hatimu merasa berat melihat nikmat itu ada padanya, maka ucapkanlah, “Ya Allah, tambahkan­lah nikmat-Mu baginya dan berikan keberkahan untuknya di dalamnya.... Ya, Allah, berikan taufiq untuknya agar dapat mempergunakan karunia-Mu dengan sebaik-baiknya.... Ya Allah, bahagiakanlah dia dengan karunia-Mu di dunia dan akhirat.... Ya Allah, muliakanlah dia dan muliakan dzuriyahnya dengan tambahan karunia dari sisi-Mu....”
Sebagian ulama berkata, “Ya Rabbi, Engkau perintahkan aku untuk mendoakan sedangkan hatiku tiada rela. Mungkin lidahku dapat berkata-kata, tapi hatiku sesungguhnya tak menghendakinya. Aku tertawa dan mengkhianati Tuhanku. Aku tiada mampu melakukannya. Aku berkata ‘Ya Rabbi, tambahkan karuniamu kepadanya’ sedang hatiku berkata ‘Jangan pernah Engkau tambahkan baginya’.”
Meskipun hal seperti ini terjadi padamu, tetap lakukanlah. Jika engkau ucapkan ‘Ya Rabb, tambahkanlah karunia-Mu untuknya’ dan hatimu berkata ‘Jangan, ya Rabb. Jangan pernah Engkau tambahkan karunia-Mu untuknya’, ucapkanlah, ‘Ya Rabb, aku berlepas diri dari apa yang ada di hati ini kepada-Mu. Dan yang lidahku mampu untuk mengucapkannya, tolonglah aku atas apa yang aku tiada kuasa terhadapnya (untuk menggerakkan hatiku sebagaimana aku mampu menggerakkan lisanku untuk mendoakan kebaikan). Aku ber-tawajjuh (menghadapkan diri dan jiwa) kepada-Mu pada apa-apa yang membuat-Mu ridha dengan apa-apa yang aku mampu melakukannya, maka tolonglah aku pada apa-apa yang aku tiada mampu memperbuatnya.’ Semoga Allah memuliakanmu.
Ini adalah termasuk obat yang mujarab untuk mengobati hasad yang ada di dalam hati. Engkau mendoakan orang yang engkau merasa berat melihat nikmat berada di sisinya, dan memohonkan untuknya agar Allah SWT menambahkan karunia yang sudah diberikan dengan karunia yang lebih besar lagi.
Bila justru engkau kukuhkan kedudukannya itu di sisi manusia, sesungguhnya engkau telah menghinakan nafsumu dengan segala apa yang dapat menghinakannya. Dengan demikian, engkau telah membunuh permasalahan yang sesungguhnya dari dalam dirimu dan engkau membasminya sampai ke akar-akarnya. Beberapa waktu yang lalu, pengasuh menjelaskan bahayanya penyakit hasad di akhirat dan sebagian penjelasan tentang bagaimana mengo­bati penyakit hasad. Selanjutnya pengasuh melanjutkan ihwal bagaimana mengobati hati dari penyakit hasad, sebagai pelajaran terakhir dari pelajaran kesebelas, tentang penyakit hasad.
Cara yang ketiga untuk mengobati penyakit hasad adalah menceritakan orang yang engkau hasadi di saat ketidakhadirannya dengan pujian.
Engkau ceritakan orang yang engkau merasa berat melihat karunia Allah berada di sisinya dengan pujian. Ceritakan orang yang engkau hasadi di saat ketidakhadirannya dengan pujian terhadap kebaikan-kebaikan yang dimilikinya kepada orang-orang lain. Adapun jika di hadapannya engkau puji sedangkan di belakangnya engkau cela, yang demikian itu adalah kemunafikan dan mencari muka.
Pujilah di saat ketidakhadirannya kepada orang-orang dengan pujian yang baik dan kukuhkan buah dari kebaikan-kebaikannya itu di hati manusia.
Tahukah engkau, di mana wujud pengobatan terhadap hasad dari perbuatan ini?
Ini adalah paling idealnya pengobatan langsung terhadap masalah hasad pada nafsu. Mengapa engkau hasad? Engkau ingin bersenang-senang? Eng­kau menginginkan kedudukan di sisi manusia? Engkau ingin bersenang-senang dengan kedudukan? Bila engkau memuji kemampuan dan keahlian orang yang bersaing denganmu dalam ilmu, perdagangan, industri, teknik, atau bidang apa pun itu, di saat ketiadakhadirannya dan menceritakannya kepada orang-orang lain, apa yang sesungguhnya engkau lakukan di sini? Engkau tengah menguatkan dan meneguhkan kedudukan yang akan menjadi milik orang yang engkau hasadi itu di hati manusia dengan sebab karunia yang telah Allah berikan kepadanya.
Bila demikian halnya, apa yang sedang engkau lakukan? Sesungguhnya engkau tengah membasmi penyakit yang ada dalam hatimu dari asalnya.
Mengapa engkau merasa berat melihat nikmat pada seseorang, mengapa engkau hasad terhadapnya? Karena engkau melihat bahwa nikmat itu akan menjadi sebab bertambahnya kedudukan orang itu, yang akan menyaingi kedudukanmu di sisi manusia. Dan bila justru engkau kukuhkan kedudukannya itu di sisi manusia, sesungguhnya engkau telah menghinakan nafsumu dengan segala apa yang dapat menghinakannya. Dengan demikian, engkau telah membunuh permasalahan yang sesungguhnya dari dalam dirimu dan engkau membasminya sampai ke akar-akarnya.
“Siapa yang dapat melakukan itu?! Ini teramat berat!!”
Apakah engkau ingin dekat dengan Allah? Apakah engkau ingin menjadi seorang peniti jalan menuju Allah SWT? Tentu tidak akan pernah mudah untuk berdiri dan berada di tempat orang-orang yang meniti jalan menuju Allah.
Untuk pertama kali, engkau akan keluar dari majelis ini dengan semangat yang berkobar-kobar setelah mendengarkan penjelasan ini.
“Ya Allah, aku merasa berat terhadap nikmat-Mu yang ada di sisi Fulan. Ya Allah, tambahkanlah karunia-Mu untuknya dan berkahilah dia padanya....”
Esok hari, engkau duduk bersama kawan-kawanmu, katakanlah, “Masya Allah, Fulan luar biasa. Aku yakin, keahlian yang luar biasa di bidang ini akan memberikan manfaat dan mendatangkan kebaikan yang besar. Dan aku akan menyambut gembira atas keberhasilannya.”
Sampai batas ini, mungkin masih mudah bagi hati untuk menerimannya. Akan tetapi, setelah dua atau tiga hari, dan orang-orang mulai menceritakan dan memuji-muji orang yang engkau puji dan ceritakan itu di hadapan mereka, mulai nafsumu menjadi terasa sempit mendengarnya. Mereka memujinya lagi, lagi, dan lagi, dan engkau katakan, “Benar, benar demikianlah dia adanya!” Namun, sekali lagi, dengan marah engkau berkata, “Kami tahu bahwa dia istimewa!!”
Mengapa itu bisa terjadi? Karena dengan sebab semakin banyaknya orang-orang memuji dan menceritakan kebaikan orang itu, urat lehermu terasa semakin sempit dan mencekik.
Makna dari penjelasan ini adalah bahwa ini semua adalah proses yang panjang, karena di sini engkau tengah melawan nafsumu pada apa-apa yang di­sukainya. Engkau tengah membasmi penyakit ini dari dalam hatimu dari dasar hati, yakni mengobati penyakit hasad.
Keempat, memikirkan bagaimana membantu orang yang engkau hasad terhadapnya. Engkau merasa berat melihat nikmat yang telah Allah berikan kepada sesorang. Bila engkau dapat membantu orang itu pada nikmat yang ada padanya, ini pun akan dapat mengobati penyakit hasad yang ada di dalam hatimu lebih dahsyat dan lebih hebat lagi. Bila ini dapat engkau lakukan, niscaya Allah akan memandang hatimu. Inilah yang diharapkan dan buah darinya.
Apabila Allah memandang hatimu dan melihat bahwa engkau berinteraksi dengan-Nya dengan interaksi seperti demikian itu, niscaya Allah akan bertajalli atas dirimu dengan nur-Nya. Dan bila Allah telah bertajalli atas dirimu dengan nur-Nya, Allah akan memberimu kesucian yang engkau tidak upayakan sebelumnya. Dengan sebab itu hatimu akan membuat manusia menjadi tenteram dan hatimu akan menjadi sebab turunnya kebaikan bagi manusia dari sisi Allah SWT, selanjutnya engkau akan merasa rindu untuk melihat adanya nikmat dan karunia bagi manusia lainnya. Mengapa? Karena engkau melihat tajalliyat (pancaran-pancaran kemaha­kuasaan yang berupa rahmat dan kasih sayang) Yang Maha Pemberi nikmat, Allah SWT....
Wahai murid, pahamilah makna ini dan sadarilah. Apabila engkau obati jiwamu dengan apa yang telah kami sebutkan dalam pelajaran ini dan dengan apa-apa yang telah diuraikan oleh para ulama tentang mengobati hati, engkau akan melihat adanya pancaran sinar di dalam hatimu. Apa pancaran sinar itu? Yakni nur dan cahaya kebahagiaan dengan melihat nikmat yang diberikan oleh Yang Maha Pemberi karunia terhadap makhluk-Nya yang lain.
Makna dari ini adalah bahwa engkau menyaksikan tajalliyat Allah SWT. Engkau melihat seseorang yang dikaruniai nikmat oleh Allah SWT.
Apa yang engkau saksikan? Gambaran yang engkau saksikan adalah seorang manusia dan nikmat yang da­tang kepadanya, adapun hakikatnya sesungguhnya engkau menyaksikan tajalli Allah SWT dengan asma-Nya Al-Mun‘im (Yang Maha Pemberi nikmat) atas hamba-Nya. Maka engkau telah berpindah dari ke­gelapan hasad kepada nur penyaksian terhadap tajalli Allah SWT dengan asma-Nya Al-Mun‘im. Kemudian tajalli Allah dengan asma-Nya Al-Mun‘im ini membuat hatimu terpenuhi dengan nur asma Allah Al-Mun‘im.
Bila hatimu telah terpenuhi dengan tajalli Allah dengan asma-Nya Al-Mun‘im, engkau pun akan bertajalli atas dirimu sendiri denga asma-Nya al-Mun‘im. Maka pada saat itu Allah bertajalli atasmu dengan nikmat wushul (sampai) kepada-Nya, yang untuk sampai kepada yang demikian itulah aku meniti jalan ini, menguraikan penjelasan ini, dan menghadiri majelis ilmu untuk menyampaikan pelajaran ini.
Setelah kita membicarakan, pada tiga pelajaran yang lalu, perihal induk dari segala penyakit hati, apakah masih tersisa sesuatu dari al-kibr (kesombongan) da­lam dirimu yang belum engkau benci. Benar, kita butuh waktu untuk melakukan mujahadah agar kita terlepas darinya dan memohon perlindungan Allah darinya. Dari riya’ (menolehkan padangan kepada kedudukan di sisi manusia), dan dari hasad (merasa berat melihat nikmat pada seseorang). Kita akan berupaya untuk melepaskan diri dari penyakit-penyakit itu.
Setelah pelajaran ini, tugas telah menunggu di hadapanmu yang harus engkau kerjakan. Yakni melepaskan diri dari penyakit al-kibr dengan merenungkan keadaanmu dan segala kekuranganmu. Kita melepaskan diri dari al-kibr dengan mendahului orang lain untuk mengucapkan salam kepadanya, bersih-bersih rumah, membersihkan kamar mandi masjid, dan lain-lain.
Kita melepaskan diri dari riya’ dengan merasakan keagungan Allah SWT sampai kita tidak mencari dan merindukan kedudukan di sisi makhluk, membenci lin­tasan riya’ yang datang, dan memperbanyak dzikir La ilaha illallah.
Dan kita melepaskan diri dari hasad dengan membencinya dan mengakui adanya hasad di dalam hati kita, mendoakan orang yang mendapatkan nikmat di hadapan kita, mengakui adanya perasaan berat di dalam hati kita di saat melihat orang lain mendapatkan nikmat, memuji mereka di belakang mereka, dan dengan membantu orang itu pada nik­mat yang ada padanya agar semakin bertambah kebaikan padanya.
Dari tiga penyakit atau tiga maksiat ini bercabang darinya berbagai macam penyakit di dalam hati, karena penyakit-penyakit hati teramat banyak jenis dan bentuknya – wal ‘iyadzu billah. Akan tetapi barang siapa perhatiannya tercurah untuk mensucikan hatinya dari tiga penyakit ini, berarti ia mengobati hatinya dari penyakit-penyakit yang lainnya, yang bercabang dari ketiganya. Karena seolah ia mengobati sumber penyakitnya.
Apabila engkau peduli dengan semua itu dan rela terhadap berlalunya hari demi hari, waktu demi waktu, kesungguhan, pikiran, segenap upaya, agar engkau terlepas dari ketiga induk penyakit itu, niscaya nur-nur kesucian akan memancar dan ber­kemilau di dalam hatimu.
Kita memohon kepada Allah SWT, semoga Dia mengaruniai kita kesempurnaan kesucian lahir dan bathin. Ya Bathin, ya Zhahir... sucikanlah lahir dan bathin kami, dan jadikanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih. Ya Allah, selamatkanlah kami dari kegelapan hasad. Ya Allah, karuniakanlah di dalam hati kami cinta terhadap kebaikan bagi hamba-hamba-Mu. Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang paling bermanfaat bagi makhluk-Mu yang lain dan paling dekat kepada-Mu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar