Laman

Selasa, 11 November 2014

Menyebut Nama Allah


Pagi yang dingin, embun turun seperti kapas melambai. Tiba-tiba muncul serombongan orang-orang yang tampaknya berpenampilan religius. Pardi dan Dulkamdi penasaran. Karena mereka banyak sekali bicaranya, dan sedikit-sedikit meneriakan Allahu Akbar…! Masya Allah…! Subhaanallah…!.
Gerangan apa, pikir Pardi yang membuat orang-orang ini mengenal Kedai Cak San? Pardi mengernyitkan jidatnya sampai berlipat-lipat.
“Dul, bagaimana menurutmu?”
“Kamu ini kayak nggak tahu kedai ini saja. Walaupun kecil, terpencil, sederhana, kedai ini hampir seterkenal KFC dan McDonald, nggak usah heranlah…”
Mereka pun memesan kopi dan makan kecil pagi itu, sambil berdiskusi sendiri, tanpa menghiraukan hadirnya Pardi dan Dulkamdi. Suara mereka cukup keras, karena setiap pembicaraan selalu diiringi kata-kata yang menyebut nama Allah dengan keras dan lantang.
Pardi tampak gregetan. Ia gelisah. Bukan karena nama Tuhan disebut berkali-kali, tapi cara mereka menyebutkannya seakan-akan sebegitu “murah” nama Tuhan itu, hanya sebagai bunyi-bunyian basa-basi. Bukan muncul dari cahaya hatinya. Tapi muncul dari busa-busa mulutnya.
“Hai Dul!” tiba-tiba Pardi berteriak memanggil Dulkamdi.
“Apa…?”
“Gusti Allah tidak butuh kamu. Tidak butuh kau sebut-sebut nama-Nya… Tidak butuh kau sembah…”
“Tenag Di… tenag…” kata Dulkamdi.
Pardi rupanya berakting juga. Aktingnya membuat terperanjat orang-orang itu. Di antara mereka ada yang bermuka merah padam, menahan amarah.
“Bung… jaga mulutmu ya…” kata salah satu dari mereka.
“Oh, ya… Mulutku selalu saya jaga dengan kebenaran. Apa ada yang salah…?” timpal Pardi.
Suasana jadi agak merisaukan. Kedai Cak San akan berubah jadi kafe yang penuh dengan pemabuk yang hendak berantem satu sama lain.
Tiba-tiba, ada sosok gembel memasuki kedai itu. Rambutnya agak keperak-perakan, tetapi tidak ada bau di badannya walaupun pakainnya lusuh. Matanya tajam menghujam siapa pun yang di pandangnya. Sosok setengah baya itu mengejutkan hadirin yang mau bertengkar dan meredakan suasana tiba-tiba.
Kenapa? Rupanya lelaki itu membawa golok putih mengkilap yang tajam. Ia tancapkan di meja kedai itu, sambil berdehem-dehem dengan sorot mata tajam menyapu seisi kedai. Semua orang gemetar, termasuk Pardi dan Dulkamdi, kecuali Cak San yang tenang-tenang saja. Pardi memberanikan diri mendekati sosok itu.
“Kenalkan, saya Pardi Pak…”
“Hmm…”
“Pedangnya bagus dan tajam Pak…”
“Hmmmmm…”
“Asli dari mana Pak?”
“Dari Dia…”
“Tujuan?”
“Dia…”
“Sekarang?”
“Bersama Dia…”
Pardi langsung mencium tangan orang itu berkali-kali. Sebuah pemandangan yang aneh bagi orang-orang yang sedari tadi mau bertengkar dengan Pardi.
“Sekarang mau apa Pak?”
“Sekarang sama mau jadi jagal. Tahu Jagal?”
“Jagal sapi Pak?”
“Ya Jaga sapi yang mengaku manusia, atau manusia yang sesungguhnya sapi…!”
Pardi terhenyak!
“Maaf, maksud Bapak?”
“Kamu ini goblok! Sudah lama jadi pelanggang warung ini, kok semakin goblok!”
“Maaf Pak…”
“Ya! Saya akan penggal leher orang yang mengobral nama Allah, menyebut-nyebut nama-Nya…?”
Kalimat itu membuat gentar seluruh isi ruangan kedai itu. Mereka pun juga saling berbisik, hendak lari saja dari warung itu…
“Kenapa? Ada yang salah…?”
“Nama Allah itu agung, quddus, suci, luhur, tinggi, tak ada yang menandingi. Kalau nama-Nya disebut-sebut dengan jiwa yang kotor, hati yang ruwet, nafsu yang berkobar, jiwa yang penuh riak, berarti itu sama dengan menghina Allah. Akan saya penggal lehernya! Apalagi nama Allah di jadikan basa-basi… Awas…! Saya tidak main-main!” bentaknya sambil menggebrakkan pedang itu ke meja kedai.
Suasana jadi menggetarkan dan sangat mencekam. Tiba-tiba serombongan orang-orang tadi yang menyebut-nyebut Masya Allah, Allahu Akbar, Subhanallah… bersungut-sungut, satu per satu keluar dari kedai itu. Rupanya mereka ketakutan jika ancaman orang “gila” ini benar-benar terjadi.
Sekelebat orang itu berdiri menghadap ke luar, ia tersenyum. Rupanya Kang Soleh datang. Dan dua orang itu berpelukan erat, lama sekali pelukan mereka tak lepas. Pardi dan Dulkamdi yang geleng kepala. Dua oring gila bertemu….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar