Allah Hilang Dari Rumah Jiwa
Dalam pergumulan jiwa kita
sehari-hari diakui atau tidak sering kali terjadi perselingkuhan
spiritual. Yang paling sederhana dari perselingkuhan itu ketika kita
sedang menutupi jiwa kita dari Allah, berakhir dengan tindakan kita:
melanggar aturan Allah.
Begitu kita langgar “janji cinta” antara
kita dengan Allah, Kemahacemburuan Allah telah mengoyak jiwa kita tanpa
kita sadari sudah begitu lama kita berpaling dari Allah. Bahkan Allah
hanya kita jadikan alibi sehari-hari, kita jadikan alasan-alasan
kegagalan, kalau perlu nama Allah kita jualbelikan dalam pasar
kebudayaan dan politik, atau kepentingan nafsu lainnya.
Lalu,
Allah kita bikin tarik ulur dalam qalbu kita. terkadang Allah begitu
jauh, terkadang begitu dekat, terkadang hadir, terkadang hilang,
terkadang pula kita hempaskan ke hamparan hawa nafsu kita. Seakan-akan
kita ini memiliki kekuasaan untuk mengatur segalanya, bahkan termasuk
mengatur Allah dalam gerak-gerik jiwa kita, khayalan dan persepsi kita.
Bahkan Nama Allah sering kita sebut hanya untuk diketahui public bahwa
kita akrab dengan Allah, kita ahli dzikir, kita sering munajat pada
Allah. Padahal hanya kebusukan jiwa kita yang mendorong demikian.
Seperti seseorang yang berteriak, “Saya lakukan ini Lillahi Ta’ala,…!
Saya ikhlas, lho,… ini demi Allah!”, sadar atau tidak ia menikmati riya’
jiwanya, agar disebut sebagai orang yang ikhlas. Dan inilah yang memang
dimaui oleh masyarakat syetan. Perselingkuhan hebat.
Hadirnya
syetan, keakraban Iblis, dan gejolak-gejolak nafsu, sebanding (pada saat
yang sama) dengan “hilang”nya Allah dari gravitasi jiwa kita, dari
denyut nadi dan jantung kita, dari gerak-gerik hati kita. Itulah
tercerabutnya iman kita kepadaNya, ketika Allah sengaja kita abaikan.
Begitu kita sadar, ternyata sedang berada di tengah kubang lumpur yang
memuakkan.
Allah memang “hilang” dalam kemunafikkan kita. Allah
juga hilang dalam kefasikan kita. Allah tidak hadir dalam kedzalimam
jiwa kita. Allah begitu terlantarkan ketika hawa nafsu kita menyeret ke
lembah kehinaan kita. Allah, bahkan tidak diakui dalam lembah-lembah
kekafiran. Allah, begitu sebanding dengan berhala-hala duniawi,
berhala-berhala ambisi kita, berhala-berhala harta kita, berhala pesona
kemolekan, dan itu begitu jelas ketika kemusyrikan membuka pintunya
lebar-lebar. Na’udzubillah min dzaalik.
Kemunafikan dan kefasikan
itu hadir dalam pergumulan hidup kita sehari-hari, dalam hubungan
sosial, hubungan keluarga, hubungan bisnis dan politik,
hubungan-hubungan interaktif kejiwaan kita antar sesama. Bahkan kita
juga diam-diam ada yang menikmati Kemunafikan dan kefasikan itu, sebagai
“tandingan” Tuhan dalam dirinya. Lalu dengan begitu mudah Allah
dijadikan bemper. “Kita gagal, memang sudah takdir Allah…”. Tetapi kalau
sukses, “Wah ini berkat kerja keras kita semua, ini berkat kreativitas
saya dan ide saya…” lalu Allah dimana? Kenapa keakuan bisa menghapus
Allah? Apakah keakuan lebih besar dari pada Allah?
Hari-hari ini
memang hawa nafsu sedang menjadi mendung di atas langit-langit anda.
Mendung itu sesungguhnya adalah awan penghinaan Allah pada makhlukNya,
dan hanya mereka yang selalu menghadirkan Allah dalam qalbunya, yang
terlindung dari penghinaan itu. Banyak orang-orang yang sedang strees,
dan ketika nejalani tekanan hidupnya , mereka tidak kembali kepada
Allah. Sangat terasa sekali betapa atmosgir Ridlo Allah tertutup oleh
kepentingan ego masing-masing. Kemudian, tentu saja, seseorang
kehilangan rasa ridlonya terhadap apa yang telah ditentukan Allah.
Hari-hari ini, betapa sempitnya dada orang, ketika rasa syukur saja
telah hilang dari lembah jiwanya. Apalagi mengembangkan senyum bunga di
hatinya. Mereka lebih senang memuja egonya dari pada memuja Allah
atas-nikmat-nikmatNya. Padahal Allah dengan segala CintaNya tak
henti-hentinya memanggil, “Ingatlah kepadaKu, niscaya Aku ingat
kepadamu…..Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah mengingkari diri-Ku…”
Hari-hari ini betapa banyak orang yang kelaparan dalam kegersangan
dalam kegersangan arus kehidupan modern. Jiwanya lapar, karena qalbunya
tak pernah ditegukkan air dahaga yang menyejukkan, tidak pernah disuapi
dengan suapan-suapan dzikrullah, syukur, tawakkal, dan qana’ah. Lalu
dimana-mana berkembang virus yang sangat menakutkan: Penyakit jiwa yang
merubah sosok-sosok kehidupan seperti binatang.
Hari-hari ini
begitu banyak orang memburu kemuliaan, kebesaran, derajat-derajat,
tetapi mereka lupa bahwa yang mereka tapaki adalah bukit-bukit
kegersangan yang fana. Fatamorgana itu merasuki cita-cita, hasrat dan
mimpi-mimpi. Bahwa gundukan tanah tinggi itu, sesungguhnya adalah
gundukkan dari lobang-lobang kuburan kefanaanya, keruntuhan dan
kehinaannya. Lalu Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan, “Janganlah
kalian mencari kemuliaan pada hamparan kehinaan yang sirna. Carilah
kemuliaan pada hamparan yang abadi, tak pernah fana dan sirna…”. Dan tak
ada keabadian yang menjadi harapan kita semua, melainkan Allah yang
hadir dalam kebersamaan kita.
Fafirruu Ilallah (kembalilah kepada
Allah)! Sebagaimana ketika Rasululah, Muhammad SAWb dipeluk oleh jibril
As, di gua kefanaan Hira’, “Bacalah dengan Nama Tuhanmu…”. Lalu Rasul
pun membacanya dengan Nama Tuhannya, dan nama itu tidak lain adalah
Allah. Rasul membaca dengan gemuruh Allah…Allah…Allah sampai sekujur
tubuh gemetar dalam kemajdzuban (ekstase Ilahiyah), tetapi justru itulah
rasulullah SAW bisa menirukan apa yang dituntun Jibril As.
Apakah Allah masih terus berubah diri Anda? Sesungguhnya yang berubah
itu adalah diri anda, bukan Allah. Asma’, Sifat, Af’aal, dan Dzatullah
tidak berubah selamanya, sejak dahulu hingga abadi kelak, Allah tetap
sebagaimana adaNya.
Apakah anda masih terus menggugat Allah
menggugat janji Allah, menggugat cintanya Allah? Padahal gugatan itu
adalah keresahan hawa nafsu anda, yang sangat pahit ketika menerima
kebenaran Allah. Dan gugatan itu akan berhenti ketika anda sudah mampu
menggugat diri anda sendiri. Sebab kesombongan intelektual anda,
kesombongan moral anda, kesombongan jabatan anda, kesombongan fasilitas
dan kekuasaan anda, kesombongan popularitas anda, hanyalah kotoran debu
yang membungkus diri anda, lalu anda duga itu sebagai kemuliaan, padahal
hakikatnya adalah kehinaan.
Apakah anda masih terus mencari
Allah? Padahal Allah tidak pernah hilang, Allah tidak ghaib, Allah juga
tidak pernah bergerak dari sisi anda. Hanya imajinasi liar andalah yang
melemparkan diri anda dalam hijab yang gelap sehingga anda merasa
kehilangan Allah.
Apakah anda juga masih menuntut sesuatu dari
Allah? Ini sungguh tidak sopan, tidak etis dan tidak punya adab di depan
Allah, karena anda pasti sangat mencurigai Allah, karena anda pasti
tidak yakin pada Allah. Apakah modal kita, bekal kita, prestasi amal
kita, sehingga kita punya hak menuntut Allah? Padahal kita tak pernah
memiliki modal, tak pernah berbuat, tak pernah membuat bekal. Sebab yang
menggerakkan kepatuhan, amal, taat, ibadah kita itu, Allah juga!
Apakah anda masih mencari pemenuhan hasrat itu kepada selain Allah?
Sungguh, anda tak pernah punya rasa malu kepada Allah. Bagaimana bisa
anda lakukan tindakan seperti itu, sedangkan Allah mencukupi anda,
melindungi anda, mengijabahi doa anda, memberi nafas anda, menjalankan
darah anda, dan mendetakkan jantung anda, lalu kelak Allah memeluk anda.
Kenapa anda masih sempat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar