Laman

Jumat, 14 Agustus 2015

Memandang Tuhan dalam Segelas Kopi

Saya termasuk salah seorang penggemar dan penikmat kopi, dengan segelas kopi akan lebih mudah bagi saya untuk menulis dan menuangkan ide tentang apa saja. Biasanya saya menulis tulisan-tulisan untuk sufimuda antara 5-15 menit dan ditemani oleh segelas kopi. Pada umumnya para penikmat kopi sekaligus perokok tapi saya bukan termasuk jenis perokok. Saya sejak kecil berusaha menjadi perokok agar bisa disebut Lelaki Sejati yang gagah he he , tapi sayangnya ketika merokok kelas 1 SMP dada sakit dan nafas sesak, sejak saat itu sampai sekarang saya tidak pernah merokok lagi kecuali terpaksa dan dipaksa oleh kawan-kawan. Syukur Alhamdulillah sampai saat ini Lembaga Ulama tidak memberikan fatwa apa-apa tentang kopi artinya minum secangkir atau dua cangkir kopi dalam sehari tidak was was merasa bersalah dan berdosa. Seperti halnya rokok, bisa jadi suatu saat ada pihak-pihak yang membisikkan kepada Lembaga Ulama agar kopi di haramkan dan tentu saja ulama yang bergabung dalam lembaga tersebut biasanya suka mencari perhatian layaknya ABG dan senang mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversi yang membuat ummat seringkali kaget dan bingung.
Andai ulama yang tergabung dalam Lembaga tersebut mengeluarkan fatwa haram minum kopi saya akan tetap minum kopi sama halnya ketika ulama mengerluarkan fatwa haram mengggunakan Facebook, saya tetap memakai facebook sebagai alat dakwah menyampaikan kebenaran.
Sambil menikmati segelas kopi yang alhamdulillah masih halal, saya ingin membahas tentang Tuhan dengan segala misteri-Nya. Lalu apa hubungan menum segelas kopi dengan memandang wajah Tuhan?
Alam dan seluruh isinya adalah wujud dari cahaya Tuhan, karya Agung yang tidak terlepas dari diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya sebagian orang menemukan Tuhan dari kehebatan dan keagungan Alam yang mengangumkan manusia, menyadarkan manusia betapa Maha Hebat nya sosok di atas sana yang menciptakan alam sedemikian teratur.
Sebagian manusia lain menemukan Tuhan lewat filsafat dan perenungan diri. Kehebatan akal manusia akan menuntun kepada Sang Maha Hebat yaitu sosok yang menciptakan akal itu sendiri secara luar biasa. Descartes seorang Filosof berkata, “Aku berfikir karena itu aku ada”, dengan pernyataannya yang terkenal itu Descartes telah membuat sebuah prinsip yang menjadikan kesadaran berfikir sebagai parameter bagi segala sesuatu untuk dianggap sebagai ‘ada’. Keberadaan kita didunia ini disadarkan oleh akal, tanpa akal maka manusia tidak akan mengenal apa-apa, tidak akan mengenal Alam, Agama dan Tuhan.
Pencarian tentang Tuhan lewat akal kadang kala mengalami jalan buntu dan putus asa sehingga orang yang paling cerdas pun akhirnya menyerah dan mengambil kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada. Dengan tanpa rasa bersalah Karl Mark mengatakan bahwa Agama adalah Candu Masyarakat. Baginya, agama di zamannya tidak lebih dari sesuatu yang hanya menawarkan kesenangan sesaat tanpa memberikan banyak solusi berarti terhadap berbagai masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakatnya di zaman itu. Dengan janji-janji surga, penebusan yang akan segera datang, agama hanya berperan seperti candu yang memberikan kenyamanan sesaat namun tidak pernah bisa menyelesaikan masalah apapun. Agama yang seperti ini tentu saja hanya akan mampu mengakomodir kepentingan kelas-kelas borjuis dan penguasa. Kelas-kelas berjuis dan penguasa pada hakekatnya sudah hidup dengan cukup mapan dan tidak mengalami ketertindasan apapun. Oleh sebabnya, mereka tidak lagi membutuhkan apa yang disebut dengan “hiburan semu”. Lain halnya jika agama ini dilihat dari kacamata mereka yang tertindas secara ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Bagi mereka, agama ini berperan sebagai penyelamat yang nantinya akan membebaskan mereka dari ketertindasan dan melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang telah menindas mereka. Daripada bergulat dengan kejamnya hidup, mereka lebih memilih untuk menyandarkan diri kepada agama yang dinilai dapat memberikan sebuah penghiburan terhadap ketertindasan.
Karen Amstrong bahkan dengan berani menulis buku yang sangat terkenal yaitu “History of God”, buku yang mengupas sejarah Tuhan. Memangnya Tuhan punya sejarah? Dari buku tersebut kita mengetahui bahwa sejarah Tuhan di setiap peradaban hampir sama dan persepsi orang tentang Tuhan tidak terlepas dari pengaruh budaya dan zaman dimana manusia berada.
Berbicara tentang Tuhan, Agama adalah sumber yang paling bisa dipercaya karena tujuan manusia beragama adalah untuk mengenal Tuhan dan menyembah-Nya sampai ajal menjemput. Nabi Muhammad SAW bernah berkata, “Aku melihat wajah Allah dalam rupa seorang pemuda”, dan perkataan serupa pernah dikemukakan oleh seorang tokoh sufi Ibnu Arabi ketika tawaf di ka’bah beliau berkata, “Aku melihat Allah dalam wajah seorang wanita”.
Dalam Al-Qur’an disebutkan, “…dimanapun engkau memandang disitu Wajah Allah”. Lalu bagaimana manusia bisa memandang wajah Allah di alam kalau belum pernah mengenal dan melihat-Nya dalam Kegaiban-Nya? Disinilah diperlukan seorang pembimbing sebagaimana Rasulullah SAW di bimbing oleh Jibril as dan Ibnu ‘Arabi dibimbing oleh Gurunya sehingga setelah mengenal Allah dengan benar maka dimanapun mereka memandang akan bisa menemukan wajah Tuhan disana.
Pun tidak terkecuali ketika tulisan ini saya tulis dan ditemani oleh segelas kopi, saya merasakan ketenangan dan kedamaian di tengah hiruk pikuk warung kopi, ditengah riuh kendaraan lalu lalang, sayang merasakan “Sunyi dalam Keramaian” karena saya merasakan ada getaran Tuhan hadir setiap saat kapan dan dimana saja.  Saya melihat kopi dalam gelas yang tinggal setengah, saya tersenyum karena saya bisa memandang wajah Tuhan disana…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar