Laman

Jumat, 22 Februari 2019

DI SISI KITA

Tidak mungkin lahir anak yang shalih jika orangtua tidak menshalihkan diri dulu.” Ini kalimat yang tampaknya benar, tetapi ada hal serius yang perlu kita khawatirkan.
Pertama, hendaklah kita tidak menafikan apa yang masih mungkin terjadi. Sama halnya, jangan memastikan apa-apa yang memang tidak dipastikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, jika tidak ada peluang bagi manusia untuk berubah, baik di masa kecil maupun sesudah dewasa, lalu apa gunanya pendidikan dan dakwah?

Berapa banyak orang-orang shalih yang tinggi kemuliaan imannya justru lahir dari orangtua yang salah dan bahkan amat besar kemungkarannya. Bukankah Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalaam, bapak dari para nabi, justru lahir dari orangtua pembuat patung berhala? Bukankah kita juga mendapati di zaman kita maupun di masa silam orang-orang shalih yang juga terlahir dari keluarga yang salah? Ini semua menunjukkan bahwa harapan lahirnya anak-anak shalih dan bahkan menjadi pejuang dakwah yang paling gigih dari keluarga yang bahkan paling keras permusuhannya dengan agama kita ini, senantiasa terbuka lebar.

Ada yang berucap, kalau orangtuanya saja tidak membaca Al-Qur’an, bagaimana mungkin ia berharap anak-anaknya menjadi orang yang mencintai Al-Qur’an dan fasih membacanya? Ini sepintas benar, tetapi tidak berdasar. Banyak ‘alim dalam agama ini yang justru lahir dari keluarga yang sangat awam. Hampir-hampir tak mengenal agama ini.

Setiap kita memang harus berusaha untuk menjadi pribadi yang shalih. Dan kepada Allah Ta’ala kita berharap anak-anak yang shalih dan barakah. Kita perlu berjuang keras untuk menjadi orang yang shalih karena ketundukan kita kepada Allah Ta’ala. Bukan semata agar anak sukses, meskipun tentu saja ini sangat kita harapkan.

“Kalau orangtuanya shalih, pasti dan pasti anak-anaknya akan shalih.”
Apakah kalian mengira Nabi Nuh dan Luth ‘alaihimas salam tidak shalih?
Keduanya adalah nabi. Ibadahnya sudah pasti bagus dan akhlaknya jelas terpuji. Teladan? Jangan ditanya lagi. Tetapi putra kedua Nabiyullah yang mulia itu terlepas dari iman dan jatuh pada kekafiran.
Aku nasehatkan kepada diriku sendiri yang bodoh ini, juga kepada para trainer yang amat memukau, jangan pastikan yang Allah Ta’ala tak pastikan! Jangan pula menisbikan apa-apa yang Allah Ta’ala sudah pastikan. Jika sesuatu itu dipastikan oleh Allah Ta’ala, maka tak patut kita meragukannya. Yang perlu kita pahami adalah sebab-sebab di balik buruknya keturunan dari orang-orang yang baik. Pun, baiknya keturunan dari orang buruk.

Bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Jangan bertawakkal kepada sebab. Sepintas sama, tapi keduanya sangat jauh berbeda. Do’a itu adalah pinta kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kita memohon penuh harap dan takut. Adakalanya dikabulkan seketika, adakalanya ditangguhkan dan adakalanya menjadi simpanan kebaikan di akhirat.

Di dunia tak dikabulkan, tetapi di akhirat menjadi kebaikan. Ini semua adalah hak mutlak Allah Ta’ala untuk menentukan. Bukan ditentukan oleh jenis ucapan do’a maupun teknik (yang belakangan berkembang). Maka bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Bukan kepada sebab. Apalagi yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Teringat perkataan seseorang di sebuah majelis yang memastikan sesuatu, padahal ia tidak punya kuasa untuk itu. Miris sekali mendengarnya. Ia berkata dalam sebuah majelis tentang jodoh,
“Seret jodoh, amalkan ini sekian kali, pasti jodohnya akan segera datang. Saya jamin.”
Tertegun saya mendengar perkataannya yang berani memastikan apa yang ia tidak memiliki kekuasaan untuk mengaturnya. Dan terhenyaklah saya ketika mendengar ia bercerai dari suaminya. Betapa bertentangan apa yang ia katakan dengan apa yang menimpanya.
Semoga kita dijauhkan dari hal-hal yang demikian disebabkan kecerobohan kita bertutur. Di luar itu, ada masalah terkait dengan amalan yang disebut bersebab tidak jelas dasar dan tidak adanya tuntunan.

“Pengen punya anak tapi gak dapet-dapet?
Amalkan ini dan ini. Pasti deh…”
Ini termasuk perkataan bathil yang melampaui batas. Ia memastikan apa yang menjadi hak prerogatif Allah Ta’ala sepenuhnya dan termasuk perkara yangghaib. Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi.
Lebih-lebih yang mengatakan sendiri tak kunjung punya anak, lalu bagaimana mungkin ia memastikannya?

Tentu saja tak punya anak disebabkan Allah Ta’ala tak menganugerahinya bukanlah aib.
Yang rusak adalah jika ia sendiri tak kuasa menentukan takdir atas dirinya, tetapi berani memastikan takdir atas orang lain. Na’udzubillahi mn dzaalik.
Jika ada di antara kalian yang berkata semacam itu dan Allah Ta’ala beri teguran langsung semisal perceraian, bersyukur dan bertaubatlah.
Bersyukur karena Allah Ta’ala memberi peringatan. Tidak membiarkan dalam kelalaian yang bertambah-tambah. Bertaubat atas salah yang terjadi.
Sepanjang pengetahuan yang terbatas, di antara tafsir
“يخرج الحي من الميت ويخرج الميت من الحي”
adalah Allah Ta’ala munculkan orang-orang shalih dari para pendahulunya yang ingkar; dan sebaliknya lahirnya orang-orang ingkar dari para pendahulunya yang shalih.
Teladan saja tidak cukup. Bukankah Nabi Luth dan Nabi Nuh ‘alaihimas salaam adalah sebaik-baik teladan bagi keluarganya?
Maka, kita perlu senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala perlindungan atas anak-anak kita dan keturunan kita seluruhnya. Juga atas diri kita. Kita berdo’a sepenuh pinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan menjaga adab-adabnya seraya bertawakkal kepada-Nya. Bukan kepada trik berdo’a.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala,
“رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Tuhanku, karuniailah aku (seorang) anak yang termasuk orang-orang shalih.” (QS. Ash-Shaaffaat, 37: 100).
Kita juga memohon untuk diri kita kepada Allah Ta’ala istri/suami serta keturunan yang menjadi penyejuk mata; di dunia hingga akhirat:
“رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا”
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqaan, 25: 74).
Sudahkah engkau do’akan istri dan anak-anakmu?
Kembali pada perbincangan awal.
Atas setiap perkataan, takarlah adakah ia bersesuaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau menyelisihinya?

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabuLlah, yakni Al-Qur’anul Karim, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Janganlah karena ingin menunjukkan dirimu mampu memberi solusi yang pasti ampuh, lalu engkau melalaikan apa yang digariskan agama ini.
Jagalah lisanmu, wahai diriku, dan ingatkan saudaramu agar tak tergelincir pada perkataan indah yang menjerumuskan ke dalam api yang menyala. Ingatlah perkataan Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
“إِنَّ الْعَبْدَ يَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَزِلُّ بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ”
“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kata yang tak ia periksa (kebenarannya sebelum berucap), maka karena satu kata tersebut dia dapat terjerumus ke dalam neraka yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari & Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar